• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1Simpulan

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Simalungun oleh para responden pada dasarnya cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari data responden yang menyatakan “Ya” (mampu berbahasa Simalungun) sebanyak 41 responden atau 68%, yang menyatakan “Sedikit-sedikti” (mampu berbahasa Simalungun) sebanyak 18 responden atau 30%, dan yang menyatakan “Tidak” (tidak mampu berbahasa Simalungun) sebanyak 1 responden atau 2%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para responden masih loyal dalam menggunakan bahasa Simalungun yang ditunjukan dengan frekuensi kemampuan berbahasa Simalungun masih tinggi, yakni (98%). Di samping itu, dapat juga diketahui bahwa para responden pada dasarnya adalah multibahasawan. Dikatakan demikian karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa di luar bahasa Simalungun. Jika dilihat dari persentase penguasaan para responden akan bahasa lain di luar bahasa Simalungun (BS) maka 51,67% responden menguasai bahasa Toba/Indonesia (BT/BI) dan 1,67% responden dapat berbahasa Indonesia dan bahasa lainya (BI/BL).

Sehingga dapat juga disimpulkan bahwa 100% dari jumlah responden dapat berbahasa Indonesia (BI).

Dalam hal hubungan intrakelompok, dalam hal ini, melibatkan anggota-anggota etnis yang sama menunjukkan pengakuan responden bahwa di lingkungan tempat tinggalnya masih “banyak” yang suku dengannya oleh 50 responden atau 83% dari jumlah keseluruhan responden, 7 responden atau 12% mengaku “agak banyak”, 3 responden atau 5% mengaku “sedikit”, dan tidak ada responden yang tidak mempunyai tetangga yang sesuku dengannya. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa hubungan intrakelompok para responden masih tinggi, yakni 83%. Tidak satu pun responden yang di lingkungan tempat tinggalnya tidak terdapat orang yang sesuku dengannya. Dengan demikian, dapat dianggap bahwa para responden masih dalam komunitas Simalungun yang sangat kental.

Untuk mengetahui fenomena diglosia dan sikap kebahasaan penutur bahasa Simalungun ini, penggunaan bahasa responden dikaji melalui pendekatan ranah penggunaan bahasa, yakni 1) Ranah Adat, 2) Ranah Keluarga, terdiri atas beberapa interlokutor (rekan berbicara), yakni a. interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu, b. interlokutor Suami atau Istri, dan c. interlokutor Anak. Selanjutnya, 3) Ranah Agama, 4) Ranah Tetangga, 5) Ranah Pergaulan, 6) Ranah Terminal, 7) Ranah Transaksi, 8) Ranah Pekerjaan, 9) Ranah Pendidikan, dan 10) Ranah Pemerintahan. Di samping itu, kajian terhadap pilihan bahasa di luar bahasa Simalungun dan berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan para responden atas pilihan jawaban juga dilakukan untuk mengetahui sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasa Simalungun.

Selanjutnya, temuan penelitian menyangkut penggunaan bahasa pada setiap ranah, frekuensi penggunaan bahasa, dan situasi diglosia dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Bahasa yang digunakan para responden dalam setiap ranah adalah bahasa Simalungun (BS), bahasa Toba (BT), dan bahasa Indonesia (BI).

2) Frekuensi penggunaan bahasa Simalungun dan situasai diglosia pada setiap ranah adalah sebagai berikut.

a. Penggunaan bahasa responden dalam ranah adat menunjukkan bahwa situasi diglosia pada ranah adat dengan interlokutor komunitas etnis Simalungun dan interlokutor komunitas etnis Toba, telah mengalami kebocoran. Jika dilihat secara keseluruhan, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden, yakni 1,65. Adapun standar pengukuran yang diacu, yakni rentang nilai rata-rata 1,00— 2,50 diinterpretasikan diglosia bocor sedangkan apabila nilai rata-rata direntangan 2,60—4,00 diinterpretasikan diglosia tidak bocor. Akan tetapi, dalam hal pemertahanan bahasa, pemertahanan bahasa Simalungun pada ranah adat (komunitas suku Simalungun) masih bertahan, ini ditunjukkan pada persentase penggunaan bahasa Simalungun yang masih tinggi pada peristiwa bahasa pada acara adat Simalungun dengan komunitas suku Simalungun, yaitu sebesar 65%.

b. Pada ranah keluarga penggunaan bahasa berdasarkan hubungan peran responden, baik sebagai kelompok remaja, dewasa, maupun orang tua dengan interlokutor Saudara, ayah, maupun ibu jika dilihat secara keseluruhan, nilai

rata-rata penggunaan bahasa responden, yakni 1,31. Berdasarkan fakta dari nilai rata-rata penggunaan bahasa para responden, diglosia pada penutur bahasa Simalungun pada ranah keluarga telah mengalami kebocoran sebab nilai rata-ratan penggunaan bahasa yang berada direntang nilai rata-rata 1,00—3,00 mempunyai interpretasi bahwa diglosia telah bocor sedangkan apabila nilai berada direntangan nilai rata-rata 3,01—5,00 diinterpretasikan diglosia tidak bocor. Akan tetapi, bila dilihat pemertahanan bahasa Simalungun pada ranah keluarga, secara keseluruhan, berdasarkan hubungan peran responden, baik sebagai kelompok remaja, dewasa, maupun orang tua dengan interlokutor saudara (52%), ayah (58%), maupun ibu (55%), bahasa Simalungun masih bertahan.

Sementara itu, dalam ranah keluarga yang mempunyai interlokutor Istri dan Suami diglosia telah bocor. Dikatakan diglosia telah bocor sebab jika dilihat secara keseluruhan, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden, yakni 1,98. Adapun standar pengukuran untuk interlokutor suami dan istri ini adalah jika nilai rata-rata penggunaan bahasa berada direntang nilai rata-rata 1,00—2,50 mempunyai interpretasi bahwa diglosia telah bocor sedangkan apabila nilai berada direntangan nilai rata-rata 2,60—4,00 diinterpretasikan bahwa diglosia tidak bocor. Begitu juga jika dilihat dari sisi pemertahanan bahasa, penggunaan bahasa Simalungun (BS) tidak lagi bertahan dalam ranah keluarga ini. Hal itu ditandai dengan penggunaan

bahasa Simalungun istri pada suami pada ranah ini, jika dilihat secara keseluruhan, yakni 45%.

c. Selanjutnya, jika dilihat dari interlokutor anak pada ranah keluarga, diglosia telah bocor. Dikatakan diglosia telah bocor karena jika dilihat dari nilai rata-rata penggunaan bahasa responden dengan interlokutor anak telah bocor. Dikatakan diglosia telah bocor sebab jika dilihat secara keseluruhan, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden, yakni 2,50. Begitu juga jika dilihat dari sisi pemertahanan bahasa, penggunaan bahasa Simalungun (BS) tidak lagi bertahan. Persentase penggunaan bahasa Simalungun hanya 15%.

d. Pada ranah agama diglosia telah mengalami kebocoran sebab jika dilihat dari nilai rata-rata penggunaan bahasa responden pada ranah agama ini menunjukkan rata-rata penggunaan bahasa responden 2,02. Sementara itu, berdasarkan skala pengukuran ditentukan bahwa nilai rata-ratanya yang

berada direntang nilai rata-rata 1,00—2,50 mempunyai interpretasi bahwa diglosia telah bocor. Di sisi lain, jika dilihat dari persentase penggunaan bahasa responden pada ranah agama ini, pemertahanan bahasa Simalungun

(BS) masih terlaksana sebab persentase penggunaan bahasa Simalungun (BS) sebesar 53%.

e. Selanjutnya, pada ranah tetangga dapat diinterpretasikan bahwa diglosia pada masayarakat penutur bahasa Simalungun (BS) dengan interlokutor “tetangga sesuku” dan “tetangga yang tidak sesuku” telah bocor. Hal itu dapat dilihat dari jumlah keseluruhan nilai rata-rata penggunaan bahasa responden,

yakni 2,51%. Di sisi lain, pemertahanan bahasa Simalungun (BS) pada ranah tetangga jika dilihat dari penggunaan bahasa

Simalungun pada tetangga yang sesuku masih bertahan, yakni persentase penggunaan bahasa Simalungun dikisaran 63%, tetapi jika dilihat pada pengunaan bahasa Simalugun pada interlokutor tetangga yang tidak sesuku pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana, yakni persentasenya hanya 11,67%.

f. Pada ranah pergaulan dengan interlokutor orang yang sesuku, orang yang tidak sesuku, teman akrab sesuku, teman akrab tidak sesuku, orang yang lebih tua sesuku, orang yang lebih tua tidak sesuku, orang yang lebih muda sesuku, orang yang lebih muda tidak sesuku, dan orang yang baru dikenal diglosia telah bocor. Hal itu dapat dilihat dari data nilai rata-rata penggunaan bahasa para responden secara keseluruhan, yakni 2,53. Sejalan dengan situasi diglosia yang telah bocor pada ranah pergaulan, juga dapat ditafsirkan bahwa pemertahanan bahasa Simalungun pada ranah pergaulan itu bervariatif berdasarkan peristiwa bahasanya. Pada peristiwa bahasa “berbicara pada orang yang sesuku” menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Simalungun terlaksana. Hal itu dapat dilihat dari persentase penggunaan bahasa Simalungun dikisaran 68%. Jika dilihat dari peristiwa bahasa “berbicara pada orang yang tidak sesuku” menunjukkan bahwa bahasa Simalungun tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 0%. Selanjutnya, berdasarkan “interlokutor teman akrab yang sesuku” menunjukkan bahwa

bahasa Simalungun bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 65%. Jika dilihat dari peristiwa bahasa “berbicara pada teman akrab yang tidak sesuku” menunjukkan bahwa bahasa Simalungun tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 2%. Demikian juga halnya, jika dilihat dari peristiwa bahasa “berbicara dengan orang yang yang lebih tua yang sesuku” menunjukkan bahwa bahasa Simalungun bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 68%. Kemudian, jika dilihat dari peristiwa bahasa “berbicara dengan orang yang yang lebih tua yang tidak sesuku” menunjukkan bahwa bahasa Simalungun tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 7%. Sama halnya apabila dilihat dari peristiwa bahasa “berbicara dengan orang lebih muda yang sesuku” bahwa bahasa Simalungun tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 48% dan bila dilihat dari peristiwa bahasa “berbicara dengan orang lebih muda yang tidak sesuku” menunjukkan bahwa bahasa Simalungun juga tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 0%. Selanjutnya, bila dilihat dari peristiwa bahasa “berbicara dengan orang yang baru dikenal” menunjukkan bahwa bahasa Simalungun juga tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun 0%.

g. Pada ranah terminal diglosia berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa diglosia telah bocor. Hal itu ditandai dengan nilai rata-rata penggunaan bahasa responden 2,82. Selanjutnya, jika dilihat dari bertahan atau tidak bertahannya bahasa Simalungun pada ranah terminal berdasarkan “interlokutor supir

angkot” pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana karena persentase penggunaan bahasa Simalungun pada ranah ini hanya 7%.

h. Pada ranah transaksi yang mempunyai interlokutor “pedagang di warung” dan interlokutor “pedagang di pasar” diglosia telah bocor, ditandai dengan nilai rata-rata penggunaan bahasa responden secara keseluruhan, yakni 2,96%. Selanjutnya, jika dilihat dari bertahan atau tidak bertahannya bahasa Simalungun pada ranah transaksi berdasarkan interlokutor “penjual di warung” (16,67%) dan interlokutor “penjual di dipasar” (5%). Hal itu menunjukkan bahwa bahasa Simalungun tidak bertahan.

i. Pada ranah pekerjaan jika interlokutor “rekan kerja”, diglosia telah bocor. Hal itu ditandai dengan nilai rata-rata penggunaan bahasa responden 2,45. Selanjutnya, jika ditinjau dari sisi pemertahanan bahasa, bahasa Simalungun pada ranah pekerjaan berdasarkan interlokutor “rekan kerja” menunjukkan bahwa bahasa Simalungun tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun pada ranah ini hanya 1,67%.

j. Pada ranah pendidikan, berdasarkan data yang terjaring dari 20 responden remaja (usia 17—25 tahun), interlokutor “teman sekolah” pada saat istirahat dan pada saat belajar di kelas diglosia tidak bocor. Hal itu ditandai dengan nilai rata-rata penggunaan bahasa responden secara keseluruhan, yakni 2,10. Kemudian, jika dilihat dari bertahan atau tidak bertahannya bahasa Simalungun pada ranah pendidikan dengan interlokutor “teman sekolah” baik sewaktu istirahat maupun saat belajar menunjukkan bahwa bahasa

Simalungun tidak bertahan, persentase penggunaan bahasa Simalungun pada ranah ini 0%. Hal itu menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pada ranah pendidikan taat azas, yaitu para responden menggunakan bahasa Indonesia pada tempat dan situasi yang formal.

k. Pada ranah pemerintahan yang mempunyai interlokutor “pegawai isntansi swasta/pemerintah”, diinterpretasikan bahwa diglosia tidak bocor. Hal itu ditandai dengan nilai rata-rata penggunaan bahasa responden 2,92. Dalam hal pemertahanan bahasa menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana, persentase penggunaan bahasa Simalungun 0%.

3) Sehubungan dengan sikap bahasa responden, jika sikap bahasa responden ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan dalam keseharian, bahasa yang dianggap terasa lebih indah, dan bahasa yang dianggap terasa lebih akrab dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif. Hal itu dapat dilihat dari nilai rata-rata sikap bahasa responden secara keseluruhan, yakni 1,87. Selanjutnya, sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun, berdasarkan indikator ‘kesetujuan dan ketidaksetujuannya’ atas pertanyaan yang diajukan adalah cenderung positif. Hal itu dapat dilihat dari nilai rata-rata dari keseluruhan pertanyaan yang dijadikan indikator terhadap sikap bahasa para responden, yakni 3,77.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diglosia pada masyarakat bahasa Simalungun telah bocor dalam berbagai ranah, pemertahanan bahasa Simalungun juga cenderung tidak terlaksana, dan pilihan bahasa penutur bahasa Simalungun terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif. Bocornya diglosia pada masyarakat bahasa dalam kepustakaan sosiolinguistik disebut bilingualisme dengan diglosia. Konsekuesi dari situasi kebahasaan itu akan berdampak pada kecenderungan dari masyarakat penutur bahasa itu akan lebih menyukai bahasa Toba atau bahasa Indonesia untuk peristiwa tutur pada ranah yang menuntut penggunaan bahasa Simalungun sehingga memungkinkan bahasa Simalungun akan kalah bersaing dengan bahasa lain yang ada di lingkungan komunitasnya dan cepat atau lambat bahasa Simalungun akan ditinggalkan oleh penuturnya. Oleh karena itu, disarankan agar para orang tua menggunakan bahasa Simalungun di ranah keluarga dan menurunkan bahasa Simalungun kepada anak-anaknya. Sehingga si anak yang diharapkan sebagai generasi penerus bahasa Simalungun itu tetap dapat melestarikan dan menunjukkan kebanggaan terhadap bahasa Simalungun yang selanjutnya pada akhirnya juga akan menurunkan bahasa itu kepada anak-anaknya di kemudian hari. Di samping itu, diharapkan juga di sekolah-sekolah agar pengajaran bahasa Simalungun dilakukan sebagai langkah regenerasi terhadap masyarakat bahasa itu.

Penelitian ini hanyalah penelitian sederhana tentang fenomena diglosia dan sikap kebahasaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih lengkap, misalnya dengan sampel yang lebih besar dengan variabel yang lebih beragam dan dengan analisis yang lebih tajam. Senjutnya, diharapkan juga dilakukan

penelitian yang lebih khusus, yakni yang berkaitan dengan campur kode, alih kode, maupun interferensi yang menyertai penggunaan bahasa masyarakat penuturnya.

Dokumen terkait