• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Diglosia Dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun Di Kota Pematangsiantar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fenomena Diglosia Dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun Di Kota Pematangsiantar"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA DIGLOSIA DAN SIKAP KEBAHASAAN

PENUTUR BAHASA SIMALUNGUN

DI KOTA PEMATANGSIANTAR

TESIS

Oleh

ELISTEN PARULIAN SIGIRO

077009005/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

FENOMENA DIGLOSIA DAN SIKAP KEBAHASAAN

PENUTUR BAHASA SIMALUNGUN

DI KOTA PEMATANGSIANTAR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

ELISTEN PARULIAN SIGIRO

077009005/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : FENOMENA DIGLOSIA DAN SIKAP

KEBAHASAAN PENUTUR BAHASA SIMALUNGUN DI KOTA PEMATANGSIANTAR

Nama Mahasiswa : Elisten Parulian Sigiro Nomor Pokok : 077009005

Program Studi : Linguistik

Menyetujui, Komisi Pembimbing,

(Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed.TESP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

(5)

ABSTRAK

Penelitian terhadap “Fenomena Diglosia dan Sikap Penutur Bahasa Simalungun” ini merupakan penelitian sosiolinguistik yang menggunakan metode kuantitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Data penelitian ini untuk setiap ciri karakteristik, yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap bahasa, dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert.

Populasi penelitian ini adalah suku Simalungun yang berdomisili di wilayah ibu kota kabupaten, yakni kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Barat, yakni sebanyak 60 responden, dalam penelitian ini, yang diteliti hanya elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Hal itu karena prilaku linguistik para responden dianggap homogen. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampel.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya multibahasawan dan menggunakan beberapa bahasa secara “bebas“. Dikatakan demikian, karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa di luar bahasa Simalungun, yakni bahasa Toba, Karo, dan Indonesia.

Selanjutnya, temuan penelitian menyangkut penggunaan bahasa pada setiap ranah menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pada ranah adat, ranah keluarga (terdiri atas beberapa interlokutor, yakni a. interlokutor saudara, ayah, dan ibu, b. interlokutor suami atau istri, dan c. interlokutor anak), ranah agama, ranah tetangga, ranah pergaulan, ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan diglosia telah bocor. Akan tetapi, ranah pendidikan dan ranah pemerintahan menunjukkan bahwa diglosia tidak bocor. Sementara itu, pemertahanan bahasa terlaksana pada ranah adat, pada ranah keluarga dengan interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu sedangkan jika interlokutor Suami, Istri, maupun Anak pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Pada ranah selanjutnya, yakni ranah agama bahasa Simalungun bertahan, pada ranah tetangga, ranah pergaulan jika interlokutor orang yang sesuku bahasa Simalungun masih bertahan, tetapi jika interlokutor orang yang tidak sesuku, pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Demikian juga pada ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan ranah pemerintahan penggunaan bahasa Simalungun tidak bertahan.

Sehubungan dengan sikap bahasa responden, jika sikap bahasa responden ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan dalam keseharian, bahasa yang dianggap terasa lebih indah, dan bahasa yang dianggap terasa lebih akrab dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif. Selanjutnya, sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun, berdasarkan indikator kesetujuan dan ketidak setujuannya atas pertanyaan yang diajukan adalah cenderung positif.

(6)

ABSTRACT

The research of “Diglosia Phenomenon and Attitude of Simalungun Language Speaker” was a sociolinguistic research using a quantitative method in collection and analysis of data. This research data for each characteristic, related to diglosia phenomenon and attitude of language, was counted in basis of frequency, percentage and mean. The mean was calculated by using Likert scale or Likert technic.

The population of this research was ethnic group of Simalungun living in capital town of district, i.e., Pematangsiantar city, precisely at sub district of Siantar Barat, consisting of 60 respondents. In this research, it was only elements of sample, rather than all element of population, to observe. This was largely due to the linguistic behavior of respondents was assumed to be homogenous. Determination of sample number in this research used the sampling quota technic.

The findings of research indicated that essentially the respondents were multilinguists and speaking some language “freely”. There was a reason to support it, that 60 respondents generally mastered (spoke) more than two languages in addition to Simalungun dialect, Toba, Karo, and Indonesian languages.

Furthermore, the findings of this research included the use of language in each domain indicating that the use of language in custom, family (consisting of several interlocutors: a. relative interlocutor, father and mother, b. interlocutor of husband and wife, and c. interlocutor of children), religious, neighbor, social, terminal, transactional, and work domains, the diglosia has leaked out. However, educational and government domains did not indicate a leaked diglosia. Meanwhile, the preservation of language occurred in custom domain, in family domain with interlocutor of relatives, father and mother; while if interlocutors of husband, wife, or children the preservation of Simalungun language did not occur. In another domains—religious domain the Simalungun language was preserved, in neighbor and social domains if interlocutor of co-ethnic group the Simalungun language remained to e intact, but if it was not co-ethnic group interlocutor, the preservation of Simalungun language did not occur. Similarly, in terminal, transactional, work, educational, and government domains, the use of Simalungun language was not preserved.

In relation to language attitude of respondents, if language attitude of respondents was reviewed in perspective of language option on the most used language in daily life, the language assumed to more preference, and the more familiar language, it then could be concluded that language attitude of respondents on Simalungun language tended to be negative. Furthermore, the language attitude of respondents on Simalungun language, in perspective of agreement and disagreement indicators on questions asked, tended to be positive.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena diberikan kesehatan sehingga tesis ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana penulis. Tesis ini mengambil tema Sikap Masyarakat Tutur. Sejalan dengan tema itu, isi tesis ini adalah Fenomena Diglosia dan Sikap Kebahasaan Penutur Bahasa Simalungun di Kota Pematangsiantar.

Pemilihan judul tersebut dilakukan penulis atas dasar bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi yang paling efektif guna mendukung interaksi antarindividu dalam suatu daerah. Melalui bahasa pula manusia mampu mengungkapkan berbagai bentuk ungkapan perasaan dan informasi kepada pihak lain. Tingkat intensitas penggunaan sebuah bahasa turut menentukan eksis atau tidaknya bahasa itu dalam sebuah masyarakat tutur. Kontak bahasa dan interaksi antarmasyarakat yang berbeda asal maupun bahasanya menimbulkan kekhawatiran terjadinya pergeseran dan kepunahan sebuah bahasa sejalan dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Masing-masing bahasa yang berbeda itu tentu saling mempengaruhi dalam sebuah tindak tutur antara individu. Dengan demikian, pada tesis ini akan diungkap fenomena diglosia dan sikap kebahasaan penutur bahasa Simalugun di kota Pematangsiantar.

(8)

Magister Linguistik maupun masyarakat luas, khususnya masyarakat etnis Simalungun di kota Pematangsiantar.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen SPs USU Program S-2 Linguistik yang telah memberikan pengetahuan bagi penulis, khususnya kepada Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dan Dr. Eddy Setia, M.Ed.TESP yang telah memberikan koreksi dan masukan kepada penulis dalam penulisan Tesis ini. Kata terima kasih juga penulis haturkan kepada rekan-rekan yang telah memberikan sumbangan pemikiran bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Medan, April 2009

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahatau sumber dari segala pengetahuan. Berkat izin-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan waktu yang telah dijadwalkan.

Kesempatan yang diberikan pada saya untuk menimba ilmu di Program Magister Linguistik pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara tidak dapat terlepas dari bantuan dari berbagai pihak yang berkompeten di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Pusat Bahasa, serta di Universitas Sumatera Utara. Untuk itu, pada kesempatan ini sepatutnya saya sampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Ibu Jatiwati, S.Pd. (mantan Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah), Dr. Dendy Sugono (mantan Kepala Pusat Bahasa), serta Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc., Ketua Program Studi Linguistik, Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., dan Sekretaris Program Studi Linguistik, Drs. Umar Mono, M.Hum.

Selanjutnya, ucapan terima kasih yang tulus saya sampaikan secara khusus kepada Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., selaku pembimbing I dan Dr. Eddy Setia, M.Ed. TESP selaku pembimbing II yang telah memberikan koreksi dan masukan kepada penulis dalam merampungkan tesis ini.

(10)

Ph.D., Prof. Robert Sibarani, M.S., Prof. Mangantar Simanjuntak, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Bahren Umar Siregar, Ph.D., Rustam A. Efendi, M.A., Ph.D., Prof. Dr. Khairil Ansyari., Dr. Namsyahot, M.Hum. Selanjutnya, terima kasih yang tulus saya sampikan kepada pegawai administrasi di SPs USU, Prodi Linguistik, yakni Bang Rabulah, S.H., Kak Kar, Puput, dan Nila atas segala bantuannya selama saya menjalani studi.

Yang tidak kalah pentingnya, kata terima kasih dan rasa kagum saya haturkan kepada rekan-rekan yang telah memberikan sumbangan pemikiran bagi penulis dalam menyelesaikan tesis ini, khusunya pada Bang Ramlan Damanik, Pak Gustaf Sitepu, Bang Jamorlan Siahaan, dan Bang Amhar Kudadiri. Anda semua bak hujan pemupus kemaru panjang, bak pelita digelap malamku.

Buat istriku tercinta, Mestika Gloria Manurung, untaian kata ini yang dapat kuucapkan atas kesetiaan dan dukunganmu padaku.

sebab aku mencintaimu bukan karena siapa dirimu melainkan ...karena siapa diriku saat bersamamu. kuingin jalani hidup ini bersamamu untuk bermimi, belajar, dan bekerja saling berbagi, saling menerima dan memaafkan dengan hati yang penuh kasih

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Elisten Parulian Sigiro Tempat, Tanggal Lahir : Lubuk Pakam, 29 Maret 1969

Agama : Kristen Protestan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jalan Kartini 30, Lubuk Pakam

Pendidikan : SD Inpres 10306, Lubuk Pakam, tahun 1983

SMP Negeri 1, Lubuk Pakam, tahun 1986 SMA Negeri Lubuk Pakam, tahun 1989 S-1 Bahasa dan Sastra Batak, USU, tahun 1995

Penataran : - Penyuntingan Kebahasaan, tahun 2000

- Pelatihan Metode Penelitian Tingkat Nasional, tahun 2004

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kerangka Teori ... 8

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan ... 13

2.3 Kerangka Berpikir ... 14

2.4 Klarifikasi Istilah ... 15

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Desain dan Teknik ... 17

(13)

3.3 Lokasi, Peta, Keadaan Geografis, dan Kependudukan ... 25

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1 Latar Belakang Kebahasaan ... 31

4.2 Identitas Sosial Responden ... 31

4.3 Kemampuan Berbahasa Responden ... 36

4.4 Penggunaan Bahasa Berdasarkan Ranah ... 39

4.4.1 Ranah Adat ... 40

4.4.2 Ranah Keluarga ... 42

4.4.3 Ranah Agama ... 51

4.4.4 Ranah Tetangga ... 52

4.4.5 Ranah Pergaulan ... 55

4.4.6 Ranah Terminal ... 65

4.4.7 Ranah Transaksi ... 66

4.4.8 Ranah Pekerjaan ... 69

4.4.9 Ranah Pendidikan ... 70

4.4.10 Ranah Pemerintahan ... 73

4.5 Sikap Bahasa Responden ... 75

4.5.1 Sikap Bahasa atas Pilihan Bahasa ... 75

4.5.2 Sikap Bahasa Terhadap Bahasa Simalungun Berdasarkan Kesetujuan dan Ketidaksetujuan ... 78

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 85

5.1 Simpulan ... 85

5.2 Saran ... 93

(14)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk Kelurahan, dan Penduduk Kota

Pematangsiantar ...

28

2. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Menurut Suku dan

Kecamatan ...

29

3. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (N=60) ... 32

4. Jumlah Responden Berdasarkan Usia (N=60) ... 33

5. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan (N=60) ... 34

6. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan (N=60) ... 35

7. Jumlah Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Siantar (N=60) ... 36

8. Kemampuan Responden Berbahasa Simalungun (N=60) ... 37

9. Kemampuan Berbahasa Responden (N=60) ... 38

10. Daftar Intrakelompok di Lingkungan Tempat Tinggal Responden (N=60) ... 39 11. Ranah Adat (N = 60) ... 41

12. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu (N = 60) ... 45

13. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Suami dan Istri (N = 20) ... 48

14. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Anak (N = 40) ... 50

15. Ranah Agama (N = 60) ... 51

16. Ranah Tetangga (N = 60) ... 54

17. Ranah Pergaulan (N = 60) ... 60

18. Ranah Terminal (N = 60) ... 65

19. Ranah Transaksi (N = 60) ... 67

20. Ranah Pekerjaan (N = 20) ... 70

21. Ranah Pendidikan (N = 20) ... 71

22. Ranah Pemerintahan (N = 60) ... 74

23. Sikap Bahasa Responden (N = 60) ... 76

(15)

DAFTAR GAMBAR

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

(17)

DAFTAR SINGKATAN

BS: Bahasa Simalungun BT: Bahasa Toba BI: Bahasa Indonesia BL: Bahasa Lainnya

n : Jumlah responden yang memberikan jawaban pada setiap karakteristik pilihan jawaban

N : Jumlah keseluruhan responden

(18)

ABSTRAK

Penelitian terhadap “Fenomena Diglosia dan Sikap Penutur Bahasa Simalungun” ini merupakan penelitian sosiolinguistik yang menggunakan metode kuantitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Data penelitian ini untuk setiap ciri karakteristik, yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap bahasa, dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert.

Populasi penelitian ini adalah suku Simalungun yang berdomisili di wilayah ibu kota kabupaten, yakni kota Pematangsiantar, tepatnya di Kecamatan Siantar Barat, yakni sebanyak 60 responden, dalam penelitian ini, yang diteliti hanya elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Hal itu karena prilaku linguistik para responden dianggap homogen. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik quota sampel.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya multibahasawan dan menggunakan beberapa bahasa secara “bebas“. Dikatakan demikian, karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa di luar bahasa Simalungun, yakni bahasa Toba, Karo, dan Indonesia.

Selanjutnya, temuan penelitian menyangkut penggunaan bahasa pada setiap ranah menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pada ranah adat, ranah keluarga (terdiri atas beberapa interlokutor, yakni a. interlokutor saudara, ayah, dan ibu, b. interlokutor suami atau istri, dan c. interlokutor anak), ranah agama, ranah tetangga, ranah pergaulan, ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan diglosia telah bocor. Akan tetapi, ranah pendidikan dan ranah pemerintahan menunjukkan bahwa diglosia tidak bocor. Sementara itu, pemertahanan bahasa terlaksana pada ranah adat, pada ranah keluarga dengan interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu sedangkan jika interlokutor Suami, Istri, maupun Anak pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Pada ranah selanjutnya, yakni ranah agama bahasa Simalungun bertahan, pada ranah tetangga, ranah pergaulan jika interlokutor orang yang sesuku bahasa Simalungun masih bertahan, tetapi jika interlokutor orang yang tidak sesuku, pemertahanan bahasa Simalungun tidak terlaksana. Demikian juga pada ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan ranah pemerintahan penggunaan bahasa Simalungun tidak bertahan.

Sehubungan dengan sikap bahasa responden, jika sikap bahasa responden ditinjau berdasarkan pilihan bahasa terhadap bahasa yang paling sering digunakan dalam keseharian, bahasa yang dianggap terasa lebih indah, dan bahasa yang dianggap terasa lebih akrab dapat disimpulkan bahwa sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun cenderung negatif. Selanjutnya, sikap bahasa responden terhadap bahasa Simalungun, berdasarkan indikator kesetujuan dan ketidak setujuannya atas pertanyaan yang diajukan adalah cenderung positif.

(19)

ABSTRACT

The research of “Diglosia Phenomenon and Attitude of Simalungun Language Speaker” was a sociolinguistic research using a quantitative method in collection and analysis of data. This research data for each characteristic, related to diglosia phenomenon and attitude of language, was counted in basis of frequency, percentage and mean. The mean was calculated by using Likert scale or Likert technic.

The population of this research was ethnic group of Simalungun living in capital town of district, i.e., Pematangsiantar city, precisely at sub district of Siantar Barat, consisting of 60 respondents. In this research, it was only elements of sample, rather than all element of population, to observe. This was largely due to the linguistic behavior of respondents was assumed to be homogenous. Determination of sample number in this research used the sampling quota technic.

The findings of research indicated that essentially the respondents were multilinguists and speaking some language “freely”. There was a reason to support it, that 60 respondents generally mastered (spoke) more than two languages in addition to Simalungun dialect, Toba, Karo, and Indonesian languages.

Furthermore, the findings of this research included the use of language in each domain indicating that the use of language in custom, family (consisting of several interlocutors: a. relative interlocutor, father and mother, b. interlocutor of husband and wife, and c. interlocutor of children), religious, neighbor, social, terminal, transactional, and work domains, the diglosia has leaked out. However, educational and government domains did not indicate a leaked diglosia. Meanwhile, the preservation of language occurred in custom domain, in family domain with interlocutor of relatives, father and mother; while if interlocutors of husband, wife, or children the preservation of Simalungun language did not occur. In another domains—religious domain the Simalungun language was preserved, in neighbor and social domains if interlocutor of co-ethnic group the Simalungun language remained to e intact, but if it was not co-ethnic group interlocutor, the preservation of Simalungun language did not occur. Similarly, in terminal, transactional, work, educational, and government domains, the use of Simalungun language was not preserved.

In relation to language attitude of respondents, if language attitude of respondents was reviewed in perspective of language option on the most used language in daily life, the language assumed to more preference, and the more familiar language, it then could be concluded that language attitude of respondents on Simalungun language tended to be negative. Furthermore, the language attitude of respondents on Simalungun language, in perspective of agreement and disagreement indicators on questions asked, tended to be positive.

(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selain bahasa sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaanya, bahasa juga mempengaruhi pikiran manusia itu sendiri. Ilmu Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai tingkah laku sosial (social behavior) yang dipakai dalam komunikasi karena masyarakat itu terdiri atas individu-individu, masyarakat secara keseluruhan, dan antarindividu saling mempengaruhi dan saling bergantung. Bahasa sebagai milik masyarakat juga tersimpan dalam diri masing-masing individu. Setiap individu dapat bertingkah laku dalam wujud bahasa dan tingkah laku bahasa individu itu dapat berpengaruh luas pada anggota masyarakat lainnya. Akan tetapi, individu tetap terikat pada “aturan permainan” yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Oleh karena itu, jika bahasa ditinjau dari segi sosial, kelompok masyarakat di kota Pematangsiantar terdiri atas beberapa kelompok etnik yang memiliki tingkah laku kebahasaan yang menunjukkan ciri tersendiri dengan bahasa daerah masing-masing dan bahasa Indonesia.

(21)

kenasionalan, dan dipakai, misalnya, dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (sebagai bahasa resmi dalam rapat, alat komunikasi antarpegawai dengan tamu kantor), dan dalam ranah keagamaan (dalam kotbah). Selain itu, bahasa sering juga dipakai sebagai ciri etnik dan ciri bangsa. Bahasa dikatakan sebagai ciri etnik; bahasa daerah adalah identitas suku, bahasa dikatakan sebagai ciri bangsa; bahasa nasional sebagai identitas bangsa.

Masyarakat di kota Pematangsiantar adalah masyarakat majemuk (plural society). Oleh karena itu, masyarakatnya merupakan masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society) atau masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Biasanya suatu kelompok etnis menggunakan dua bahasa, yakni bahasa tradisional mereka dan bahasa lain yang dominan. Fenomena yang terjadi di kota Pematangsiantar, yaitu ada kelompok pendatang yang menjadi gayub di wilayah itu, tetapi gayub pendatang itu bahasanya berintegrasi pada masyarakat pribumi, yaitu etnik Toba (pendatang) yang berbahasa Toba dengan etnik Simalungun (pribumi) yang berbahasa Simalungun.

(22)

Berdasarkan kenyataan bahwa negara-bangsa (nation-state) ekabahasa itu tampak lebih stabil daripada negara aneka bahasa dan berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme maka perkembangan rasa nasionalis terasa lebih sulit bagi negara aneka bahasa daripada negara ekabahasa. Akan tetapi, keanekaan bahasa itu dalam dunia pendidikan agak berbeda. Dalam beberapa hal, strategi terbaik bagi bahasa dalam pendidikan adalah memakai bahasa etnik—tingkat SD. Bagaimana pun bahasa etnik itulah yang telah dikuasai anak-anak sehingga pelajaran bisa segera dimulai tanpa menunggu sampai anak-anak belajar bahasa nasional. Akan tetapi, dari sisi lain, strategi ini dapat merugikan perkembangan nasionalisme jika anak menerima pendidikan dalam bahasa etnik mereka. Disamping itu, pembelajaran bahasa daerah pada usia dini dapat juga meningkatkan eksistensi bahasa etnik itu dan menjadikannya sebagai lambang nasionalisme yang kontra nasioanal.

(23)

dinyatakan bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi dianalogikan sebagai dua sisi mata uang yang saling mendukung. Salah satu sisi hilang maka tidak bernilailah uang itu.

(24)

1.2 Masalah Penelitian

Bahasa bersifat dinamis. Dalam situasi masyarakat yang aneka bahasa atau masyarakat multilingual (multilingual society) menyebabkan potensi diglosia dan perubahan sikap bahasa pada penuturnya. Sejalan dengan asumsi itu, masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

(1) Bahasa apakah yang digunakan masyarakat bahasa Simalungun pada masing-masing ranah?

(2) Bagaimanakah frekuensi penggunaan bahasa Simalungun, bahasa Toba, dan bahasa Indonesia oleh penutur bahasa Simalungun?

(3) Bagaimanakah situasi diglosia pada penutur bahasa Simalungun?

(4) Bagaimanakah sikap bahasa penutur bahasa Simalungun terhadap bahasanya, apakah cenderung positif atau negatif?

1.3 Tujuan Penelitian

(25)

1.4 Manfaat Penelitian

Setelah didapat kesimpulan yang ilmiah tentang fenomena diglosia dan sikap penutur bahasa Simalungun di kota Pematangsiantar, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dan akademis bagi masyarakat bahasa Simalungun khususnya dan bagi bangsa Indonesia umumnya.

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah setelah didapat informasi tentang fenomena diglosia bahasa Simalungun maka diharapkan agar terwujud diglosia yang tidak bocor di kota Pematangsiantar sehingga eksistensi bahasa Simalungun dapat terjaga dan terciptanya kesadaran berbahasa Simalungun yang positif sehingga bahasa daerah itu tetap dapat memenuhi perannya sebagai penanda identitas etnis, baik dalam peran sosial dan alat komunikasi maupun sebagai bahasa pemerkaya khasanah perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Dengan demikian, maslahat selanjutnya pada bahasa nasional, yakni diharapkan bahwa perumusan perencanaan bahasa nasional akan dapat dilakukan secara lebih cermat sehingga pemasyarakatan bahasa Indonesia dapat terlaksana dengan baik khususnya di kota Pematangsiantar. Dengan demikian, bahasa Indonesia dapat tetap menjatikan dirinya sebagai lambang identitas nasional.

(26)
(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teori

Ibrahim (1993:125—126), berpendapat bahwa semua kelompok manusia mempunyai bahasa. Tidak seperti sistem isyarat yang lain, sistem verbal bisa digunakan untuk mengacu berbagai objek dan konsep. Pada saat yang sama, interaksi verbal merupakan suatu proses sosial di mana ujaran dipilih sesuai dengan norma-norma dan harapan-harapan yang disadari secara sosial. Selanjutnya, fenomena kebahasaan bisa dianalisis baik dalam konteks bahasa itu sendiri maupun di dalam konteks perilaku sosial yang lebih luas. Dalam analisis bahasa secara formal objek perhatiannya adalah seperangkat data kebahasaan yang diabstraksikan dari sudut pandang fungsi-fungsi referensialnya. Akan tetapi, dalam menganalisis fenomena kebahasaan di dalam semesta yang bisa ditentukan secara sosial, studi tentang penggunaan bahasa (language usage) bisa merefleksikan norma-norma perilaku yang lebih umum.

(28)

instrumental dan motivasi integrasi. Motivasi instrumental adalah suatu motivasi belajar yang timbul dengan sikap pandang bahwa bahasa yang dipelajari dianggap sebagai instrumen atau alat untuk mencapai sesuatu, sedangkan motivasi integarasi (integrated motivation) adalah suatu motivasi yang timbul dengan sikap pandang bahwa bahasa yang dipelajari akan menentukan hidupnya di masa yang akan datang. Bisa saja diartikan, bahasa yang dipelajari itu dianggap untuk mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat baru yang akan dimasuki, (Sumarsono dan Paina, 2002).

(29)

dari perbedaan stylistik yang paling lembut di dalam satu bahasa sampai pada penggunaan dua bahasa yang sama sekali berbeda (Fishman, 1968).

(30)

Warga kota Pematangsiantar merupakan masyarakat yang dwibahasa, baik aktif maupun pasif. Dalam situasi demikian, masyarakat tutur mempunyai pilihan bahasa untuk berinteraksi secara verbal dengan orang lain, lebih-lebih dengan gayub lain yang berbeda bahasa. Dengan demikian, secara umum situasi diglosia berlangsung pada masyarakat itu. Sejalan dengan itu, menurut Fishman (1968), jika diglosia bocor, bahasa yang satu merambah atau merembes ke ranah penggunaan bahasa yang lain, akibatnya, bahasa yang disebut terakhir ini kemudian terdesak penggunaannya. Akibatnya, bisa terjadi pergeseran bahasa (language shift), karena dalam banyak hal, satu bahasa selalu dipakai penutur dan bahasa lain yang semula dikuasai tidak lagi diturunkan kepada anak-anaknya. Anak-anaknya pun kelak lebih tidak mampu menurunkan bahasa itu kepada generasi berikutnya. Jika hal itu terjadi secara terus-menerus dalam beberapa generasi, terjadilah kepunahan bahasa (language death). Namun, manakala diglosia tidak bocor dan tiap bahasa tetap bertahan pada posisi ranah masing-masing, tidak ada satu bahasa pun yang bergeser atau punah; masing-masing bahasa akan mempertahankan diri. Diglosia bahasa (language mainternance) itu pun bergantung pada banyak faktor, seperti, ekonomi, agama, dan politik

(31)

bertindak dengan cara tertentu yang disukainya (Anderson, 1974). Sikap terhadap suatu bahasa dapat pula dilihat dari bagaimana keyakinan penutur terhadap suatu bahasa; bagaimana perasaan pernutur terhadap bahasa itu; bagaimana kecenderungan bertindak tutur (speech act) terhadap suatu bahasa. Sikap bahasa bisa positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan juga bisa negatif (kalau dinilai jelek dan tidak disukai).

Adapun ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa yang dirumuskan oleh Garvin dan Mathiot dalam Fishman (1968), sebagai berikut.

1) Kesetiaan bahasa (language loyalty), yang mendorong suatu masyarakat mempertahankan bahasanya; bila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. 2) Kebanggaan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan

bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan manyarakat.

3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang untuk menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).

(32)

yang menyebabkan varietas yang satu lebih tepat digunakan daripada varietas yang lainnya. Ketepatan itu merupakan hubungan faktor lokasi, topik, dan partisipan.

Sejalan dengan itu, variasi sosiolinguistik mengimplikasikan bahwa para penutur memiliki pilihan di antara varietas-varietas bahasa. Pilihan ini bisa antara satu bahasa dengan bahasa yang lain, tergantung pada situasi (alih kode) atau menggunakan elemen-elemen dari satu bahasa, sementara itu, juga menggunakan bahasa yang lain (campur kode) atau antara berbagai varian di dalam satu sistem bahasa.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Sejalan dengan penelitian ini, Keller dalam Astar dkk. (2003), misalnya, telah meneliti pemakaian bahasa di daerah Pays Doc, Prancis Selatan. Menurutnya, jumlah penutur bahasa daerah Occitan, Gascon, Langedocian, dan Provoncel di Pays Doc tersebut mengalami penurunan. Bahasa-bahasa tersebut kebanyakan hanya dikuasai dengan baik oleh masyarakat yang sudah berumur lima puluh tahun ke atas sedangkan masyarakat kelompok usia muda lebih menguasai bahasa Prancis. Hal itu menyebabkan fungsi dan peran bahasa daerah itu tergeser oleh perkembangan bahasa Prancis yang begitu pesat. Hal lain yang juga dapat mempercepat pergeseran bahasa tersebut adalah karena di daerah-daerah tersebut terdapat industri yang didatangi oleh para imigran dari Italia dan Spanyol.

(33)

dwibahasawan karena hampir setiap anggota gayup tersebut mampu menguasai bahasa gayup yang lain. Dengan demikian, di dalam gayub Loloan, bahasa Melayu Loloan dan bahasa Indonesia membentuk situasi diglosia. Bahasa Melayu Loloan hanya berperan dalam ranah rumah tangga, ketetanggaan, dan agama. Akhirnya Suamarsono menyimpulkan bahwa dalam kenyataannya diglosia itu cenderung ‘bocor’. Maksudnya, pemakai bahasa Indonesia sudah mulai merembes ke ranah rumah tangga, ketetanggaan, dan kekariban.

Berkaitan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti di atas, penelitian itu telah menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang fenomena diglosia dan sikap kebahasaan, khususnya penutur bahasa Simalungun di kota Pematangsiantar.

2.3 Kerangka Berpikir

Dengan pembatasan bahwa faktor internal dan eksternal mempengaruhi pilihan bahasa maka kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 1 : Kerangka Berpikir Faktor Internal

Faktor Eksternal

Prestise Sosial

Identitas Diri

Motivasi Instrumental

Motivasi Integrasi

Sikap Bahasa Masyarakat Tutur

R

ana

h P

ili

ha

n

B

ah

as

(34)

2.4 Klarifikasi Istilah

Klarifikasi istilah pada tulisan ini dimaksudkan agar terciptanya persamaan persepsi tentang istilah yang digunakan sebab istilah-istilah yang muncul pada tulisan ini adakalanya mempunyai makna yang berbeda pada bidang ilmu di luar linguistik. Oleh karena itu, makna istilah-istilah tersebut ditinjau berdasarkan konsep sosiolinguistik. Adapun istilah-istilah itu, yakni:

1) sikap bahasa adalah kepercayaan, penilaian, dan pandangan terhadap bahasa, penutur bahasa atau masyarakatnya serta kecenderungan untuk berperilaku terhadap bahasa, penutur bahasa atau masyarakatnya di dalam cara tertentu,

2) ranah adalah lingkungan yang memungkinkan terjadinya percakapan, merupakan kombinasi antara partisipan, topik, dan tempat (misalnya, keluarga, pendidikan, tempat kerja, keagamaan, dsb.). Sementara itu, ranah penggunaan bahasa adalah susunan situasai atau cakrawala interaksi yang pada umumnya di dalamnya digunakan satu bahasa. Dibandingkan dengan situasi sosial, ranah adalah abstraksi dari persilangan antara status hubungan-peran, lingkungan, dan pokok bahasan tertentu. Ranah yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah ranah kekeluargaan, pergaulan, pekerjaan, pendidikan, pemerintahan, transaksi, terminal, keagamaan, adat, dan tetangga,

(35)

4) fenomena adalah hal-hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat deterangkan serta dinilai secara ilmiah (seperti fenomena alam), dan

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain dan Teknik

Untuk mencapai tujuan penelitian ini diperlukan prinsip pendekatan dan prosedur pemecahan masalah yang relevan. Untuk keperluan itu, penelitian ini pada dasarnya menggunakan metode penelitian Kausal-Komperatif (Ex Pos Facto). Metode ini lebih ditujukan untuk melihat dan mengkaji hubungan antara dua variabel atau lebih. Adapun variabel yang dikaji telah terjadi sebelumnya melalui perlakuan orang lain (Sujana, 2001).

(37)

1) Prestise Sosial

Sikap penutur bahasa Simalungun terhadap bahasa Toba dan bahasa Indonesia

Ranah

Penggunaan Bahasa Pilihan Bahasa

Adapun varibel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini, yang berkaitan dengan fenomena diglosia digambarkan seperti terdapat dalam diagram berikut.

Variabel bebas Variabel terikat

Selanjutnya, varibel bebas dan variabel terikat, yang berkaitan dengan sikap bahasa digambarkan seperti terdapat dalam diagram berikut.

Variabel bebas Variabel terikat

Gambar 2 : Variabel Bebas dan Variabel Terikat

Dalam penyediaan data, istilah yang sarankan Sudaryanto (1993:10—11) menggantikan pengumpulan data, metode yang digunakan adalah metode yang biasa dipakai dalam sosiolinguistik, yakni ancangan (pendekatan) Sosiologi, yakni penelitian perihal kebahasaan di dalam konteks sosial, yang dikaji adalah prilaku kelompok bukan prilaku perseorangan. Dengan demikian, metode yang digunakan, yakni metode survei: metode penelitian untuk mengumpulkan dan menganalisis data sosial melalui daftar pertanyaan atau kuesioner yang sangat berstruktur dan rinci

2) Identitas Diri

3) Motivasi Instrumental

(38)

dengan tujuan memperoleh informasi dari sejumlah besar responden yang dianggap mewakili populasi.

Sementara itu, teknik yang digunakan, yakni teknik kuesioner survei dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup dan semi tertutup.

Dalam menganalisis data, metode dan teknik yang digunakan, yakni metode statistik dengan mengunakan teknik statistik deskriptif dan statistik analitik. Statistik deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan variabel penelitian dalam bentuk persen dan nilai rata-rata. Data yang dijaring dari para responden adalah pengakuan diri (self-report) dari tiga generasi, yakni kelompok umur remaja, dewasa, dan orang tua (berdasarkan jenis kelamin [gender], pendidikan, dan ranah berdasarkan peristiwa bahasa).

Data penelitian ini untuk setiap ciri karakteristik, yang berkaitan dengan fenomena diglosia dan sikap bahasa, dihitung berdasarkan frekuensi, persentase, dan angka rata-rata nilai (mean). Angka nilai rata-rata dihitung dengan menggunakan skala Likert atau teknik Likert, yaitu dengan cara meminta responden menandai

(39)

nilai rata-rata (mean) untuk setiap pertanyaan. Nilai rata-rata ini diperoleh dengan menggunakan rumus berikut.

(n1 x 1) + (n2 x 2) + ... (n5 x 5) n1 + n2 + ... n5

Dalam hal ini, n1 = jumlah responden yang memberikan nilai 1 untuk karakteristik yang bersangkutan, dan seterusnya, terakhir, n5 = jumlah responden yang memberikan nilai 5 untuk karakteristik yang bersangkutan. Nilai rata-rata ini dikelompokkan ke dalam dua kelompok, misalnya nilai 1,00—2,50 dianggap atau ditafsirkan tidak setuju dan itu dikategorikan sikap negatif. Sementara itu, nilai 2,60—5,00 dianggap setuju dan dikategorikan sebagai sikap positif.

(40)

n1 + n2 + n3 + ... n7 n

Dalam hal ini, n1—n7 = nilai indeks jawaban responden dan n = jumlah jawaban. Diglosia diinterpretasikan (ditafsirkan) bocor atau tidak bocor, untuk pertanyaan yang terdiri atas 4 jawaban, berdasarkan rumus di atas, mediannya adalah: 4 + 3 + 2 + 1 = 10 = 2,50. Dengan demikian, jika nilai rata-rata berada 4 4

pada kisaran 1,00—2,50 diglosia diinterpretasikan bocor dan sebaliknya, diglosia diinterpretasikan tidak bocor jika nilai rata-ratanya ada pada kisaran 2,60—4,00.

Untuk pertanyaan yang terdiri atas 5 jawaban, mediannya adalah 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 15 = 3,00.

5 5

Dengan demikian, jika nilai rata-rata berada pada kisaran 1,00—3,00 diinterpretasikan diglosia bocor, sebaliknya, diglosia ditafsirkan tidak bocor jika nilai rata-ratanya ada pada kisaran 3,10—5,00.

Untuk pertanyaan yang terdiri atas 6 jawaban, mediannya adalah 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 21 = 3,50. Dengan demikian, jika nilai rata-rata berada 6 6

pada kisaran 1,00—3,50 diinterpretasikan diglosia bocor, sebaliknya, diglosia ditafsirkan tidak bocor jika nilai rata-ratanya ada pada kisaran 3,60—6,00. Selanjutnya, untuk pertanyaan yang terdiri atas 7 jawaban, mediannya adalah 7 + 6 + 5 + 4 + 3 + 2 + 1 = 21 = 4,00. Dengan demikian, jika nilai rata-rata 7 7

(41)

persentase penggunaan setiap bahasa tersebut dalam setiap ranah/domain untuk melihat apakah pemertahanan bahasa pada setiap ranah itu masih berlangsung atau tidak karena fenomena diglosia akan berdampak pada lebih disukainya salah satu bahasa sehingga mengakibatkan bahasa yang tidak disukai itu cepat atau lambat akan punah.

Selanjutnya, untuk menentukan persentase penggunaan bahasa responden digunakan rumus: n1 + n2 + ... n5 X 100%

N

Dalam hal ini, n1 = jumlah responden yang memberi jawaban terhadap karakteristik yang bersangkutan dan N = jumlah seluruh responden. Rentang nilai yang diacu sebagai indikator berlangsung atau tidak berlangsungnya pemertahanan bahasa Simalungun berdasarkan persentase penggunaan bahasa ditentukan dengan terlebih dahulu menentukan nilai tengah (median) dengan menggunakan rumus: 100% : 2 = 50%. Dengan demikian, nilai tengah (median) adalah 50% maka rentang nilai 0%--50% mempunyai interpretasi pemertahanan bahasa Simalungun pada penuturnya tidak berlangusung dan rentang nilai 51%--100% mempunyai interpretasi pemertahanan bahasa Simalungun pada penuturnya berlangsung.

3.2 Populasi dan Sampel

(42)

frekuensinya sangat tinggi di wilayah perkotaan, sesuai dengan tuntutan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari masyarakat tutur yang representatif.

Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai penelitian ini, yakni untuk mengetahui fenomena diglosia dan sikap masyarakat terhadap pilihan bahasa, dalam penelitian ini, hanya sebagian elemen atau objek saja yang diteliti atau hanya meneliti elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Sejalan dengan itu, Milroy dalam Gunarwan (2002:46), mengatakan bahwa untuk penelitian kebahasaan, pemercontoh (sampling) yang besar cenderung tidak perlu. Hal itu karena prilaku linguistik itu lebih homogen daripada prilaku-prilaku lain. Walaupun demikian, pemercontoh dalam penelitian ini tetap menggunakan desain pemercontoh yang lazim dalam penelitian pada umumnya, yakni menentukan pemercontah dengan cara acak-berlapis, dengan rincian sebagai berikut: a) mewakili kelompok remaja; usia 17—25 tahun, b) mewakili kelompok dewasa; usia 26—50 tahun, dan c) mewakili kelompok orang tua; usia 51—60 tahun. Jumlah pemercontoh ditetapkan enam puluh responden

(43)

memenuhi serta dapat mewakili populasi atau sebagai populasi (Mardalis:1999). Sejalan dengan Mardalis, sampel pada penelitian ini memiliki ciri yang khas, yaitu asli suku Simalungun yang berdomisili di Pematangsiantar.

Sejalan dengan itu, pemilihan responden juga dilakukan berdasarkan syarat-syarat penentuan responden yang memenuhi syarat-syarat. Samarin (1988:55), mengatakan bahwa seseorang yang meneliti suatu bahasa dengan tujuan menemukan deskripsi bahasa itu sebenarnya memerlukan tidak lebih seorang informan yang baik.

Syarat-syarat pemilihan responden yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan kriteria sebagai berikut:

1) penutur asli bahasa Simalungun berusia 17 sampai dengan 60 tahun yang sekarang tinggal di kota Pematangsiantar,

2) tidak pernah atau tidak lama meninggalkan tempat asal, 3) berasal dari masyarakat tutur dialek Simalungun, 4) setidak-tidaknya berpendidikan SD,

5) dapat berbahasa Indonesia,

6) sehat dan tidak mempunyai cacat wicara, 7) bersedia menjadi responden,

8) tidak mudah tersinggung, bersifat jujur, terbuka, sabar, dan ramah, 9) teliti, cermat, dan mempunyai daya ingat yang baik, dan

(44)

3.3 Lokasi, Peta, Keadaan Geografis, dan Kependudukan

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan. Pematangsiantar yang berkedudukan di pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik, yaitu Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaaan sebagai raja tahun 1906.

Di sekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk di antaranya, Kampung Suhi Haluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum kota Pemantangsiantar, yaitu:

1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang. 2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota.

3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol-Pinggol, Kampung Melayu, Martoba, Sukadame, dan Bane.

4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang.

(45)

Luas daratan kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km2 terletak 400 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan luas wilayah menurut kecamatan, kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Siantar Marihat dengan luas wilayah 25,831 Km2 atau sama dengan 32,30 persen dari total luas wilayah kota Pematansiantar. Secara administrasi wilayah kota Pematangsiantar terbagi atas delapan kecamatan dengan 43 kelurahan. Adapun kecamatan yang dimaksud, yaitu:

1) Kecamatan Siantar Marihat, 2) Kecamatan Siantar Marimbun, 3) Kecamatan Siantar Selatan, 4) Kecamatan Siantar Barat, 5) Kecamatan Siantar Utara, 6) Kecamatan Siantar Timur,

7) Kecamatan Siantar Martoba, dan 8) Kecamatan Siantar Sitalasari.

(46)

Kec. Siantar Utara

Kec. Siantar

Timur Kec. Siantar

Barat

Kec.Sitalasari

Kec. Siantar

Selatan

Kec. Marimbun

(47)

Selanjutnya, luas wilayah, jumlah penduduk, kelurahan, dan penduduk kota Pematangsiantar dirinci menurut masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk Kelurahan, dan Penduduk Kota Pematangsiantar

No. Kecamatan Luas

Areal (Km2)

Jumlah Kelurahan

Jumlah Penduduk

Kepadatan Penduduk (Per Km2)

1. Kecamatan Siantar

Marihat

7,825 4 19,607 2.506

2. Kecamatan Siantar

Marimbun

18,006 3 13,294 738

3. Kecamatan Siantar

Selatan

2,020 6 21,855 10.819

4. Kecamatan Siantar Barat 3,205 8 48,531 15.142

5. Kecamatan Siantar Utara 3,650 7 51,431 14.091

6. Kecamatan Siantar Timur 4,520 7 44,076 9.751

7. Kecamatan Siantar

Martoba

18,022 4 28,110 1.560

8. Kecamatan Siantar

Sitalasari

22,723 4 23,081 1.016

TOTAL 79,971 43 249,985 55.623

(48)

Sementara itu, jumlah penduduk kota Pematangsiantar menurut suku dan kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2a. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Menurut Suku dan Kecamatan

No

1. Kecamatan Siantar Marihat

16.043 1.75 2

666 395 17 18 410

2. Kecamatan Siantar Marimbun

10.878 1.18 7

452 268 12 12 278

3. Kecamatan Siantar Selatan 4. Kecamatan Siantar

Barat

5. Kecamatan Siantar Utara

6. Kecamatan Siantar Timur 7. Kecamatan Siantar

Martoba

(49)

TOTAL 118.658 63.978 16.622 14.133 9.647 6.025 4.436

Tabel 2b. Jumlah Penduduk Kota Pematangsiantar Menurut Suku dan Kecamatan

No. Kecamatan

Suku Bangsa

Melayu Nias Acerh Pakpak Lainnya Jumlah/

Total

1. Kecamatan Siantar Marihat

22 91 21 18 154 19.607

2. Kecamatan Siantar Marimbun

15 61 14 13 104 13.294

3. Kecamatan Siantar Selatan

26 100 13 13 441 21.855

4. Kecamatan Siantar Barat

695 127 265 18 5.184 48.531

5. Kecamatan Siantar Utara

320 138 92 39 4.541 51.431

6. Kecamatan Siantar Timur

191 299 100 99 1.370 44.076

7. Kecamatan Siantar Martoba

218 147 118 29 533 28.110

8. Kecamatan Siantar Sitalasari

179 120 97 23 438 23.081

TOTAL 1.666 1.083 720 252 12.765 249.985

Sumber data : Badan Pusat Statistik Kota Pematangsiantar (2008)

(50)

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Latar Belakang Kebahasaan

(51)

merupakan bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi antarkeluarga dan antaranggota masyarakat. Di samping itu, bahasa Simalungun juga merupakan alat pendukung kebudayaan daerah. Dalam fungsinya sebagai alat pengembangan kebudayan daerah, bahasa Simalungun masih dipakai dalam kesusateraan daerah seperti dalam pantun (umpasa), peribahasa, mantera, serta kolom khusus bahasa Simalungun di surat kabar lokal. Begitu pula dalam upacara-upacara adat seperti pesta perkawinan, upacara meninggal dan berbagai aspek kebudayaan daerah yang dianggap khas bahasa Simalungun masih terus dipakai. Bahasa Simalungun dibagi atas dua dialek, yaitu dialek Simalungun Atas dan dialek Simalungun Bawah, masyarakat Simalungun mempunyai beberapa marga yang mendiami wilayah Simalungun, antara lain, marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba yang terkenal dengan istilah Sisadapur (Sangti, 1978).

4.2 Identitas Sosial Responden

Identitas sosial responden mengacu pada ciri-ciri yang berkenaan dengan masyarakat bahasa yang dijadikan pemercontoh (sampling) pada penelitian ini. Dengan demikian, ciri-ciri sosial responden akan dihitung berdasarkan jumlah pemercontoh. Adapun jumlah responden berdasarkan identitas sosial yang diidentifikasi, yakni:

1. Jumlah Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

(52)

dilakukan dengan mengabaikan dikotomi prilaku bahasa laki-laki dengan perempuan sehingga pada penelitian ini prilaku bahasa dilihat secara umum (general). Adapun data yang diperoleh dari pengakuan responden berkaitan dengan identias responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Jumlah Responden Berdasarlan Jenis Kelamin (N=60)

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase

Laki-Laki 30 50%

Perempuan 30 50%

Total 60 100%

2. Jumlah Responden Berdasarkan Usia

(53)

Berdasarkan data di atas, jumlah responden menurut usia dipaparkan pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Jumlah Responden Berdasarkan Usia (N=60)

Usia

Laki-Laki Wanita

F % F %

17—25 10 33,33% 10 33,33%

26—45 10 33,33% 10 33,33%

>46 10 33,33% 10 33,33%

Total 30 100% 30 100%

3. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan

Apabila dilihat dari segi pendidikan, para responden mempunyai jenjang pendidikan yang bervariasi. Dari data 60 responden, yang berpendidikan sarjana sejumlah 17 responden atau 28,33%, Diploma sejumlah 11 responden atau 18,33%, SMA sejumlah 29 responden atau 48,33%, SMP sejumlah 3 responden

atau 5,00%, dan responden yang memiliki jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) pada data penelitian ini tidak ada. Sementara itu, proporsi responden berdasarkan jenjang pendidikan ini tidak proporsional, yakni SMA paling tinggi disebabkan, secara umum pada dekade ini, rata-rata tingkat pedidikan masyarakat lebih banyak pada tingkat SMA.

(54)

komunikasi yang formal sewaktu di sekolah.

Adapun jenjang pendidikan para responden itu dipaparkan pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Jumlah Responden Berdasarkan Pendidikan (N=60)

Pendidikan F %

Sarjana 17 28,33%

Diploma 11 18,33%

SMA 29 48,33%

SMP 3 5,00%

SD 0 0,00%

Total 60 100%

4. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan

Berkaitan dengan pekerjaan responden, data yang diperoleh menunjukkan bahwa responen yang bekerja sebagai pegawai negeri sebanyak 19 responden atau 31,67%, yang bekerja sebagai wirausaha/berjualan sebanyak 19 responden atau 31,67%, yang bekerja sebagai petani sebanyak 2 responden atau 3,33%, dan yang belum bekerja atau masih berstatus pelajar sebanyak 20 responden atau 33,33%. Penjaringan data berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan responden didasarkan pada asumsi bahwa lingkungan pekerjaan juga dapat mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Hal itu akibat dari tuntutan formal dan tidak formalnya komunikasi para responden. Dengan demikian, berdasarkan jenis pekerjaan data di atas dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Jumlah Responden Berdasarkan Pekerjaan (N=60)

Pekerjaan F %

(55)

Wiraswasta/Berjualan 19 31,67%

Bertani 2

3,33%

Sekolah dan lainnya 20

33,33%

Total 60 100%

5. Jumlah Responden Berdasarkan Mobilitas

Berkaitan dengan mobilitas responden, diperoleh data bahwa lama tinggal para responden berdomisili di kota Pematangsiantar menunjukan bahwa 12 responden atau 20% berdomisili kurang dari 10 tahun dan 48 responden atau 80% telah berdomisili lebih dari 10 tahun di kota Pematangsiantar. Dari data yang diperoleh itu, menunjukkan bahwa para responden yag tinggal lebih dari 10 tahun masih dominan (80%) sehingga dapat diasumsikan bahwa para responden paling tidak masih bersentuhan dengan bahasa Simalungun. Dengan demikian, data responden di atas dipaparkan dalam tabel berikut.

Tabel 7. Jumlah Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Siantar (N=60)

Lama Tingal F %

< 10 Tahun 12 20%

> 10 Tahun 48 80%

Total 60 100%

(56)

Kemampuan bahasa responden pada penelitian ini mengacu pada kemampuan responden berbahasa Simalungun, penguasaan responden terhadap bahasa lain di luar

bahasa Simalungun, dan kemampuan bahasa berdasarkan hubungan

intrakelompoknya. Dengan demikian kemampuan berbahasa responden pada penelitian ini akan dijabarkan sebagai berikut.

1. Kemampuan Responden Berbahasa Simalungun

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa Simalungun oleh para responden pada dasarnya cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari persentase yang cukup tinggi atas jawaban “Ya” atau mampu berbahasa Simalungun. Data itu diperoleh atas pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner, yaitu:

8. Apakah Anda dapat berbahasa Simalungun?

Berdasarkan pertanyaan tesebut, diperoleh jawaban responden atas pertanyaan (8) adalah sebagai berikut: yang menyatakan “Ya” sebanyak 41 responden atau 68%, yang menyatakan “Sedikit-sedikti” sebanyak 18 responden atau 30%, dan yang menyatakan “Tidak” sebanyak 1 responden atau 2%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa para responden masih loyal dalam menggunakan bahasa Simalungun yang ditunjukan dengan frekuensi kemampuan berbahasa Simalungun masih tinggi, yakni (98%). Dengan demikian, data itu dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Kemampuan Responden Berbahasa Simalungun (N=60)

Atribut

Bahasa Simalungun

(57)

Ya

2. Situasi Bahasa Responden

Berdasarkan data yang diperoleh bahwa jawaban responden akan pertanyaan: 9. Selain bahasa Simalungun, bisakah Anda berbahasa lainnya, misalnya?

menunjukkan bahwa responden yang mampu berbahasa Toba/Indonesia/Lainnya (BT/BI/BL) sebanyak 4 responden atau 6,67%. Responden yang mampu berbahasa Toba/Indonesia (BT/BI) sebanyak 31 responden atau 51,67%, yang mampu berbahasa Indonesia/lainnya, bahasa Karo, (BI/BL) sebanyak 1 responden atau 1,67%, dan yang mampu berbahasa Indonesia (BI) sebanyak 24 responden atau 40%.

Untuk itu, kemampuan bahasa responden terhadap bahasa di luar bahasa Simalungun disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 9. Kemampuan Berbahasa Responden (N=60)

(58)

Berdasarkan data yang terdapat dalam tabel di atas dapat diinterpretasikan bahwa responden pada dasarnya adalah multibahasawan. Dikatakan demikian karena dari 60 responden pada umumnya menguasai lebih dari dua bahasa diluar bahasa Simalungun. Jika dilihat dari persentase penguasaan bahasa responden di luar bahasa Simalungun (BS) maka 6,67% responden menggunakan bahasa Toba, Indonesia, dan bahasa lainnya (BT/BI/BL), 51,67% responden menguasai bahasa Toba/Indonesia (BT/BI), 1,67% responden dapat berbahasa Indonesia dan bahasa lainya (BI/BL), dan 40% responden dapat berbahasa Indonesia. Sementara itu, berdasarkan data itu juga dapat disimpulkan bahwa 100% dari jumlah responden dapat berbahasa Indonesia (BI).

3. Hubungan Intrakelompok Responden

Hubungan intrakelompok, dalam hal ini, melibatkan anggota-anggota etnis yang sama. Data tentang frekuensi dan persentase hubungan intrakelompok diperoleh berdasarkan jawaban yang diberikan responden terhadap pertanyaan berikut.

10. Apakah di lingkungan tempat tinggal Anda terdapat orang-orang yang sesuku dengan Anda?

Adapun jawaban yang diberikan responden dapat dilihat pada tabel di bahwah ini.

Tabel 10. Daftar Intrakelompok di Lingkungan Tempat Tinggal Responden (N=60)

Banyak Agak Bayak Sedikit Tidak Ada Jumlah

(59)

50 83% 7 12% 3 5% 0 0% 100 100%

Berdasarkan tabel 10 di atas pengakuan responden bahwa di lingkungan tempat tinggalnya masih “banyak” yang suku dengannya oleh 50 responden atau 83%, 7 responden atau 12% mengaku “agak banyak”, 3 responden atau 5% mengaku “sedikit”, dan tidak ada responden yang tidak mempunyai tetangga yang sesuku dengannya. Dengan demikian, dapat diinterpretasikan bahwa hubungan intrakelompok para responden masih tinggi, yakni 83%. Tidak satu pun responden yang di lingkungan tempat tinggalnya tidak terdapat orang yang sesuku dengannya. Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa para responden masih dalam komunitas Simalungun yang sangat kental.

4.4 Penggunaan Bahasa Berdasarkan Ranah

Adapun ranah yang menjadi objek penelitian ini sebanyak sepuluh ranah. Ranah-ranah yang dimaksud, yakni Ranah-ranah adat, Ranah-ranah keluarga, Ranah-ranah agama, Ranah-ranah tetangga, ranah pergaulan, ranah terminal, ranah transaksi, ranah pekerjaan, ranah pendidikan, dan ranah pemerintahan.

4.4.1 Ranah Adat

Data yang berkaitan dengan rahan adat ini diperoleh dari jawaban responden atas pertanyaan berikut.

(60)

35. Jika berbicara dalam acara adat Toba (komunitasnya suku Toba) bahasa apa yang Anda gunakan?

Setelah jawaban responden diolah maka diperolehlah frekuensi, persentase dan nilai rata-rata penggunaan bahasa pada ranah adat ini. Adapun pengakuan responden apabila berbicara dalam acara adat Simalungun yang interlokutornya komunitas suku Simalungun, yang mengaku menggunakan bahasa Siamalungun (BS) sebanyak 39 responden atau 65%, pengguna bahasa Indonesia (BI) sebanyak 10

responden atau 16,67%, dan yang mengaku menggunakan bahasa

Simalungun/Toba/Indonesia (BS/BT/BI) sebanyak 1 responden atau 1,67%, dan yang tidak menjawab/blangko sebanyak 10 responden atau 16,87%. Adapun penyebab responden yang blangko itu adalah akibat dari usia responden remaja

masih relatif muda sehingga belum terlibat dalam kegiatan acara adat. Sementara itu, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (34) ini sebesar 1,22.

(61)

Selanjutnya, pertanyaan (34), (35) itu diajukan kepada respenden juga untuk melihat kemultibahasaan responden, yakni dibuktikan dengan pilihan bahasa responden atas penggunaan bahasa Simalungun (BS), Toba (BT), dan bahasa Indonesia (BI) yang menunjukkan bahwa para responden umumnya, selain menguasai bahasa ibunya, bahasa Simalungun (BS), juga menguasai bahasa Toba (BT) (45%) dan bahasa Indonesia (BI) (100%).

Dengan demikian, penggunaan bahasa responden dalam ranah adat dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 11. Ranah Adat (N = 60)

Nilai rata-rata 1,00—2,50 rentang nilai interpretasi diglosia bocor Nilai rata-rata 2,60—4,00 rentang nilai interpretasi diglosia tidak bocor

(62)

yang diacu adalah rentang nilai rata-rata 1,00—2,50 diinterpretasikan diglosia bocor sedangkan apabila nilai rata-rata direntangan 2,60—4,00 diinterpretasikan diglosia tidak bocor. Begitu juga pada peristiwa bahasa di acara ada Toba dengan komunitas etnis Toba, diglosia juga diinterpretasikan telah bocor sebab nilai rata-rata sebesar 2,07, yaitu berada direntang nilai rata-rata 1,00—2,50 yang mempunyai interpretasi diglosia bocor. Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, penggunaan bahasa responden dalam ranah adat menunjukkan bahwa situasi diglosia pada ranah adat dengan interlokutor komunitas etnis Simalungun dan interlokutor komunitas etnis Toba telah mengalami kebocoran. Nilai rata-rata penggunaan bahasa responden, yakni: 1,22 + 2,07 = 1,65

2

Akan tetapi, dalam hal pemertahanan bahasa, pemertahanan bahasa Simalungun pada ranah adat masih bertahan, ini ditunjukkan pada persentase penggunaan bahasa Simalungun yang masih tinggi pada peristiwa bahasa pada acara adat Simalungun dengan komunitas suku Simalungun, yaitu sebesar 65%.

4.4.2 Ranah Keluarga

Ranah keluarga dalam hal ini merupakan konstelasi lokasi, topik, dan partisipan, yakni peristiwa tutur yang berlangsung di rumah dengan anggota keluarga dengan topik kehidupan sehari-hari. Adapun konstelasi/hubungan sekumpulan orang itu akan dijabarkan sebagai berikut.

(63)

Pada ranah keluarga berdasarkan data yang diperoleh didapat frekuensi, persentase dan nilai rata-rata penggunaan bahasa berdasarkan hubungan peran responden, baik sebagai kelompok remaja, dewasa, maupun orang tua dengan interlokutor saudara, ayah, maupun ibu. Adapun standar pengukuran yang menjadi acuan adalah interpretasi diglosia telah bocor bila nilai rata-ratanya berada direntang nilai rata-rata 1,00—3,00 dan nilai berada direntangan nilai rata-rata 3,01—5,00 diinterpretasikan diglosia tidak bocor.

Adapun pertanyaan yang menjadi indikator yang dijadikan untuk menjaring data berdasarkan interlokutor Saudara dengan pertanyaan berikut.

15. Bahasa apa yang Anda gunakan di rumah dengan Saudara Anda?

Jawaban responden atas pertanyaan (15) menujukkan bahwa penggunaan bahasa Simalungun (BS) oleh 31 responden atau 52%, bahasa Toba (BT) oleh 2 responden atau 3%, bahasa Indonesia (BI) oleh 23 responden atau 38%, pengguna bahasa Simalungun/Indonesia (BS/BI) oleh 4 responden atau 7%. Sementara itu, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (15) ini sebesar 2,07.

Sedangkan pertanyaan yang menjadi indikator yang dijadikan untuk menjaring data berdasarkan interlokutor ayah adalah pertanyaan berikut.

16. Bahasa apa yang Anda gunakan di rumah dengan Ayah Anda?

(64)

atau 2% mengunakan bahasa Simalungun/Indonesia (BS/BI). Sementara itu, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (16) ini sebesar 1,85.

Selanjutnya, jika interlokutor ibu, indikator yang dijadikan untuk menjaring data dengan pertanyaan berikut.

17. Bahasa apa yang Anda gunakan di rumah dengan Ibu Anda?

Atas pertanyaan itu diperoleh data penggunaan bahasa responden sebagai berikut. Jika berbicara dengan interlokutor ibu saat berada di rumah, pengguna bahasa Simalungun (BS) sebanyak 33 responden atau 55%, penggunaan bahasa Toba (BT) oleh 1 responden atau 2%, bahasa Indonesia (BI) digunakan 24 responden atau 40%, penguna bahasa Simalungun/Indonesia (BS/BI) oleh 1 responden atau 1,67%, dan pengguna bahasa Simalungun/Toba (BS/BT) oleh 1 responden atau 1,67%. Sementara itu, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (17) ini sebesar 1,93.

Dengan demikian, data tentang pengunaan bahasa pada ranah keluarga dengan interlokutor saudara atau ayah maupun ibu dapat dilihat pada tabel berkut.

Tabel 12. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Saudara, Ayah, dan Ibu (N = 60)

No.

Penggunaan Bahasa

Peristiwa

BS/BI BS/B T

BI BT BS Jumlah

(65)

Bahasa % % % % % %

Nilai rata-rata 1,00—3,00 rentang nilai interpretasi diglosia bocor Nilai rata-rata 3,10—5,00 rentang nilai interpretasi diglosia tidak bocor

(66)

Dengan demikian, jika dilihat secara keseluruhan, pada ranah keluarga penggunaan bahasa berdasarkan hubungan peran responden, baik sebagai kelompok remaja, dewasa, maupun orang tua dengan interlokutor Saudara, Ayah, maupun Ibu nilai rata-rata penggunaan bahasa responden, yakni:

2,07 + 1,85 + 1,93 = 1,31 3

Berdasarkan fakta dari nilai rata-rata penggunaan bahasa para responden, yakni 1,31 diglosia pada penutur bahasa Simalungun pada ranah keluarga telah mengalami kebocoran.

Akan tetapi, bila dilihat pemertahanan bahasa Simalungun pada ranah keluarga, secara keseluruhan, berdasarkan hubungan peran responden, baik sebagai kelompok remaja, dewasa, maupun orang tua dengan interlokutor saudara (52%), ayah (58%), maupun ibu (55%), bahasa Simalungun masih bertahan. Adapun skala pengukuran terhadap persentase yang interpretasi pemertahanan bahasa tidak terlaksana bila persentase berada pada rentang 0%--50% dan jika berada pada rentang 51%--100% mempunyai interpretasi pemertahanan bahasa masih terlaksana atau bahasa masih bertahan.

2. Interlokutor Suami dan Istri

(67)

atau 50%, pemakai bahasa Toba (BT) sebanyak 8 responden atau 40%, penguna bahasa Indonesia (BI) sebanyak 1 responden atau 5%. Sementara itu, 1 responden atau 5% tidak menjawab/blangko karena belum berumah tangga. Adapun, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (18) ini sebesar 1,45.

Selanjutnya, pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan interlokutor suami, yakni:

18. Bahasa apa yang Anda gunakan di rumah dengan Suami Anda?

Selanjutnya, jika interlokutor istri, berdasarkan data yang terjaring dari 20 responden, bahasa yang digunakan suami bila dilihat dari frekuensi penggunaannya maka responden pengguna bahasa Simalungun (BS) sebanyak 8 responden atau 40%, pemakai bahasa Toba (BT) sebanyak 2 responden atau 10%, penguna bahasa Indonesia (BI) sebanyak 2 responden atau 10%, dan pengguna bahasa Simalungun/Toba (BS/BT) sebanyak 8 responden atau 40% dari jumlah keseluruhan responden. Sementara itu, nilai rata-rata penggunaan bahasa responden untuk pertanyaan (19) ini sebesar 2,50.

Adapun pertanyaan yang diajukan pada responden dengan interlokutor istri, yakni:

19. Bahasa apa yang Anda gunakan di rumah dengan Istri Anda?

(68)

Tabel 13. Ranah Keluarga dengan Interlokutor Suami dan Istri (N = 20)

Nilai rata-rata 1,00—2,50 rentang nilai interpretasi diglosia bocor Nilai rata-rata 2,60—4,00 rentang nilai interpretasi diglosia tidak bocor

Selanjutnya, dari tabel ranah keluarga di atas dapat diinterpretasikan bahwa situasi diglosia pada masayarakat penutur bahasa Simalungun (BS) pada ranah keluarga sebagai interlokutor istri dan suami telah bocor. Dikatakan diglosia telah bocor apabila dilihat dari nilai rata-rata penggunaan bahasa responden dengan interlokutor Suami, pertanyaan (18) menunjukkan bahwa diglosia telah bocor. Hal itu ditandai dengan nilai rata-rata penggunaan bahasa responden 1,45 yang berarti bahwa diglosia telah bocor sebab nilai rata-ratanya berada direntang nilai rata-rata 1,00— 2,50 yang mempunyai interpretasi (penafsiran) bahwa diglosia telah bocor sedangkan apabila nilai berada direntangan nilai rata-rata 2,6—4,0 diinterpretasikan diglosia tidak bocor.

(69)

sebab nilai rata-ratanya berada direntang nilai rata-rata 1,00—2,50 yang mempunyai interpretasi (penafsiran) bahwa diglosia telah bocor sedangkan apabila nilai berada direntangan nilai rata-rata 2,60—4,00 diinterpretasikan diglosia tidak bocor.

Sementara itu, jika dilihat secara keseluruhan, dalam ranah keluarga dengan interlokutor Istri dan Suami diglosia telah bocor. Dikatakan diglosia telah bocor sebab nilai rata-rata penggunaan bahasa responden, yakni:

1,45 + 2,50 = 1,98 2

Selanjutnya, jika dilihat dari sisi pemertahanan bahasa, bahasa Simalungun tidak lagi bertahan dalam ranah keluarga ini. Hal itu ditandai dengan penggunaan bahasa Simalungun oleh istri pada suami (50%) dan suami terhadap istri (40%). Dikatakan tidak bertahan sebab skala pengukuran terhadap persentase yang interpretasi pemertahanan bahasa tidak terlaksana bila persentase berada pada rentang 0%--50% dan jika berada pada rentang 51%--100% mempunyai interpretasi pemertahanan bahasa masih terlaksana atau bahasa masih bertahan.

c. Interlokutor Anak

Gambar

Gambar 1  : Kerangka Berpikir
Gambar 2  : Variabel Bebas dan Variabel Terikat
Gambar 3  : Peta Kota Pematangsiantar
Tabel 1. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk Kelurahan, dan  Penduduk Kota  Pematangsiantar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Masih dalam cabang olahraga yang sama, Dio Novandra Wibawa mahasiswa Fakultas Hukum (FH) UNAIR juga berhasil mengalungi satu emas di nomor pertandingan 100 meter surface

Setelah selesainya pelatihan ini, para peserta diharapkan akan mempunyai ide-ide dan pemikiran baru yang lebih baik tentang bagaimana menggunakan berbagai macam tools

Dari pengolahan data minyak sawit mentah (CPO) diperoleh kesimpulan yaitu pengendalian persediaan minyak sawit mentah (CPO) dengan metode EOQ tahun 2011 sebanyak 1.138 ton dengan

Bank Kustodian akan menerbitkan Surat Konfirmasi Transaksi Unit Penyertaan yang menyatakan antara lain jumlah investasi yang dialihkan dan dimiliki serta Nilai Aktiva

Perubahan warna pada tabung gas menunjukkan suatu jarak tertentu yang dapat diukur melalui program komputer dengan mengaplikasikan metode segmentasi warna

Bahwa Pasal 310 Undang-Undang a quo tidak memberikan penjelasan secara khusus mengenai frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” sehingga tidak memberikan kepastian hukum,

Terapi hormonal diberikan pada kanker payudara stadium IV. Prinsip terapi ini berdasarkan adanya reseptor hormon yang menjadi target dari agen terapi kanker. Ketika

Sistem informasi secara online menimbulkan tantangan-tantangan baru yang menciptakan dilema etika, dimana bisa menciptakan akuntabalitas ( pertanggung jawaban) atas