• Tidak ada hasil yang ditemukan

Melalui bukunya Simulations, Baudrillard (1983) memaparkan kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam dunia simulacra/simulacrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun dari konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme. Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pra-modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern yang ditandai dengan logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut Baudrillard, prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi saat-saat kematiannya. Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard mengumandangkan kematian modernisme dengan logika produksinya sebagai The end of labor.

Kematian ideologi dimaknai sebagai kondisi seluruh sistem berfluktuasi dalam ketakteraturan, seluruh kenyataan yang tersedot oleh hiperrealitas kode dan simulasi. Dengan demikian, yang mengatur kehidupan sosial bukanlah kenyataan

melainkan simulasi. Tidak terdapat lagi hal semacam ideologi, yang ada adalah simulacra.

Ungkapan Baudrillard tersebut sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima, di mana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi, dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Dalam masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra, dan kode.27

Ruang realitas kebudayaan dewasa ini, menurut Baudrillard, merupakan cerminan yang disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum. Simulacra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur-ulang berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas citra, fakta, tanda, serta kode yang silang-sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama (Piliang, 1998: 196). Simulakra tidak memiliki acuan. Ia adalah duplikasi dari duplikasi sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur.

Dalam ruang ini, tidak dapat lagi dikenali mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.

27 Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang tampak oleh indera, tetapi sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial.

Sementara itu, kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain. Dapat dilihat dalam Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 13.

Ruang simulakra ini memungkinkan seseorang menjelajahi pelbagai fragmen realitas, baik nyata maupun semu, mereproduksi, merekayasa, dan mensimulasi segala sesuatu sampai batasan yang terjauh. Menurut Baudrillard, sebenarnya dunia simulakra yang menjadi wacana dominan kesadaran masyarakat Barat dewasa ini telah ada semenjak era Renaisans. Realitas simulakra tersebut memiliki tiga tingkatan, yakni simulakra orde pertama, simulakra orde kedua, dan simulakra orde ketiga (Baudrillard, 1983: 54–56).

Simulakra orde pertama, realitas dipahami berdasar prinsip hukum alam dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah, serta bersifat transenden.

Alam menjadi pendukung pertama sekaligus determinan kebudayaan. Tanda yang diproduksi orde ini mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan seimbang (Hidayat, 2012: 76). Simulakra orde kedua berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Baudrillard menyatakan bahwa teknologi reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi, objek-objek alamiah telah kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli. Simulakra orde ketiga lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global media massa, konsumerisme, dan kapitalisme.

Relasi pelbagai unsur struktur budaya mengalami perubahan mendasar. Tanda, citra, kode, dan subjek budaya tidak lagi merujuk pada referensi dan realitas yang ada. Simulakra orde ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan memberi makna realitas (Hidayat, 2012: 77).

Pada perkembangannya, Baudrillard dalam buku Transparancy of Evil mengatakan ada satu tahap terakhir yang disebutnya dengan istilah orde fraktal (atau viral atau radian). Dalam orde ini, tidak ada lagi prinsip referensi, tidak ada lagi acuan, dan nilai menyebar ke segala arah, mengisi semua celah, dan sekadar hubungan murni belaka (Baudrillard, 1993: 72).

Baudrilllard menyatakan simulasi dibangun berdasarkan model-model yang begitu cermat nyaris mendekati fakta dan model tampil mendahului fakta. Fakta tidak lagi memiliki alur sejarahnya sendiri. Di satu sisi, ia hadir dalam silang sengkarut bersama model-model. Di sisi lain, bisa jadi sebuah fakta diproduksi oleh model-model. Simulasi tidak berkaitan dengan sebuah teritori, sebuah acuan, ataupun subtansi. Simulasi adalah era yang dibangun oleh model-model realitas tanpa asal-usul, sebuah dunia hiperreal teritori tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah acuan simulakra. Petalah yang membentuk teritori (Baudrillard, 1983: 32).

1.5.3 Hiperrealitas

Pemikiran Baudrillard tentang hyperreality didasarkan pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media. Menurut Baudrillard, media massa kini tidak hanya sebatas perpanjangan badan manusia, tetapi juga merupakan ruang bagi manusia untuk membentuk identitas dirinya. Pandangan-pandangan McLuhan tentang global village dewasa ini telah menjelma menjadi yang disebut Baudrillard sebagai hiperreal village (Baudrillard, 1983: 16). Perkembangan teknologi dengan microprocessor, memory bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet, tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem saraf

manusia, tetapi lebih fantastis lagi mampu mereproduksi realitas, masa lalu, dan nostalgia. Hal itu menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan. Selain itu, mampu menyulap fantasi, ilusi, bahkan halusinasi menjadi kenyataan serta melipat realitas sehingga tak lebih sekadar sebuah layar kaca televisi, disket, ataupun internet (Piliang, 1998: 197).

Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas-realitas itu mengungkung dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang bukan sesungguhnya melainkan dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran itulah yang disebut dengan realitas semu (hyperreality).

1.5.3.1 Antara Nyata dan Fantasi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan kecanggihan teknologi, hal-hal yang berupa fantasi dapat disulap menjadi realitas yang dianggap nyata. Tokoh-tokoh dalam dunia Disneyland, Mickey Mouse, Narnia, Pirates of the Caribbean, Tarzan, atau tokoh-tokoh dalam film garapan Marvell/Warner Bros, seperti Captain America, X-Men, Hulk, Terminator, Superman, dan sebagainya dapat diciptakan sedemikian miripnya dengan manusia. Mereka menjalani aktivitas-aktivitas makhluk hidup, seperti makan dan berkembang biak, dapat berkompetisi dan bertarung melawan musuh-musuhnya untuk sekadar bertahan hidup, bahkan memiliki perasaan.

Kemiripan tersebut membuat manusia sebagai penonton tidak mampu lagi membedakan antara yang nyata dan yang fantasi. Ketidakmampuan tersebut terlihat pada reaksinya seusai menonton adegan sedih di layar televisi sampai bisa menangis sesenggukan, seperti yang dilakukannya saat mengalami kesedihan di dunia nyata. Selain itu, kemiripan tersebut membuat manusia seringkali mencari citra diri dan makna hidup dari sana. Cerita Naruto atau Dragon Ball, misalnya, justru lebih ampuh membentuk karakter seorang anak daripada nasihat orangtuanya. Hal inilah yang digambarkan Baudrillard sebagai “peta telah mendahului wilayah” atau “model memproduksi fakta”.

Dunia hiperreal Baudrillard ini dilukiskan secara menarik dalam film The Matrix28. Film ini menceritakan tentang dunia manusia yang diyakini sebagai realitas, tetapi ternyata semu. Kenyataan yang sebenarnya adalah konstruksi gelombang elektronik yang dipancarkan oleh komputer/mesin dalam otak manusia. Manusia yang senyatanya hidup dalam tabung-tabung di zaman mesin.

Film ini bahkan menunjukkan dalam salah satu scene-nya tentang artikel berjudul

“On Nothing” yang merupakan salah satu bab dari buku Simulation karya Baudrillard.

1.5.3.2 Hilangnya Sekat Ruang dan Waktu

Salah satu indikasi yang menunjukkan adanya hiperrealitas adalah

28 The Matrix adalah sebuah film fiksi ilmiah yang dirilis di Amerika Serikat pada 31 Maret 1999.

Film ini bercerita tentang seorang hacker bernama Neo yang mengetahui keadaan sebenarnya dari realitas. Neo kemudian bergabung dengan sebuah kelompok pemberontak melawan program-program komputer penjaga yang disebut agen-agen. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Wachowski bersaudara. Film ini termasuk kategori box office yang meraup untung USD171 juta di Amerika dan USD456 juta dari seluruh dunia. Dibuat menjadi trilogi dengan seri kedua diberi judul The Matrix Reloaded dan The Matrix Revolution.

berubahnya pandangan tentang waktu. Masa lalu dapat dihadirkan sedemikian dekatnya dengan masa kini melalui selembar foto atau rekaman video. Ketika melihat selembar foto, seseorang meyakini bahwa realitas pemilik wajah adalah sesuai dengan yang ada dalam foto meskipun bisa jadi foto itu sebenarnya telah diambil beberapa tahun yang lalu. Dalam waktu yang bersamaan, setiap orang di rumahnya dapat mengetahui peristiwa yang terjadi di New York secara langsung atau mengikuti kegiatan selebritas idolanya hanya dengan menekan tombol remote televisi.

Hal semacam itu juga berlaku pada ruang. Untuk merasakan nikmatnya masakan Jepang, konsumen tidak perlu datang ke sana. Cukup datang ke restoran atau rumah makan terdekat dan membeli makanan dengan citra “Japanese”

meskipun masakan itu ternyata produk lokal. Untuk mengetahui Mexico, konsumen tidak perlu pergi ke sana. Dengan membeli topi lebar bergaya Mexico, konsumen dapat merasakan sensasi Mexico. Hilangnya sekat ruang semacam itu dapat disebut sebagai deteritorialisasi ruang. Konsumen dapat berpindah dari satu teritorial ke teritorial lain dengan menciptakan halusinasi teritorial (Piliang, 2004:

66). Oleh karena itu, yang terbentuk sebenarnya bukan lagi “Aku orang Jawa”, melainkan “Aku adalah orang KFC”, “Aku adalah masyarakat BMW”, “Aku adalah orang Mal”, “Aku adalah masyarakat Kafe”, dan sejenisnya.

Dokumen terkait