• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. an. Dalam editorial majalah Prisma (1993: 2) dikatakan bahwa saat ini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. an. Dalam editorial majalah Prisma (1993: 2) dikatakan bahwa saat ini"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Wacana postmodern di Indonesia mulai marak dibicarakan sejak awal 90- an. Dalam editorial majalah Prisma (1993: 2) dikatakan bahwa saat ini masyarakat tengah memasuki zaman keunggulan “imagologi”, yakni realitas (ekonomi) mengalahkan ideologi (etika) dan realitas dikalahkan oleh image (citra etika). Dalam kondisi yang demikian, komoditas “barang” digeser oleh komoditas

“budaya”. Teknologi dan industri pengetahuan menjadi basis konsumsi massal.

Produksi bukan lagi ditujukan untuk nilai guna, melainkan untuk nilai tukar.

Orang-orang lantas berbicara tentang budaya konsumen, tentang semua hal yang dapat diproduksi, dan semua hal harus dikonsumsi tanpa batas seolah orang diberikan kebebasan untuk memilih apa saja yang perlu dan apa saja yang tidak perlu dibeli.

Kondisi tersebut yang melatarbelakangi munculnya “masyarakat konsumen”.1 Hal ini ditandai dengan beberapa fenomena, antara lain berdirinya mal sebagai pusat perbelanjaan di berbagai kota, terutama kota besar di beberapa

1 Istilah ini merujuk pada buku Baudrillard, La Société de Consommation, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai The Consumer Society: Myths and Structures (London: SAGE Publication, 1998). Meskipun terdapat terjemahan langsung dari bahasa Prancis ke bahasa Indonesia dengan judul Masyarakat Konsumsi (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), peneliti lebih memilih menggunakan istilah “masyarakat konsumen” daripada “masyarakat konsumsi”.

Terjemahan “masyarakat konsumsi” tersebut terasa kurang tepat. Apabila merujuk kepada kamus, terjemahan La Société de Consommation ke dalam bahasa Inggris adalah The Consumer Society. Jika menggunakan istilah konsumsi (dalam bahasa Indonesia), istilah yang digunakan seharusnya “consumption” (dalam bahasa Inggris). Dalam kaitannya dengan produksi, konsumsi mengacu pada aktivitas (kata kerja), sedangkan konsumen mengacu pada pelaku (orangnya).

Dengan demikian, istilah masyarakat konsumen lebih tepat untuk mewakili pengertian masyarakat sebagai subjek yang melakukan aktivitas konsumsi.

1

(2)

negara maju di dunia, seperti Paris (Perancis), Las Vegas (Amerika), London (Inggris) yang disusul oleh negara-negara maju lainnya, bahkan kota-kota di Indonesia (Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bogor, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, dan lain-lain). Semenjak era global, fenomena tersebut terus berkembang hingga sekarang. Hal tersebut dapat dilihat dengan berdirinya Carrefour, Giant, Matahari, Ramayana, dan lain-lain. Pada level yang lebih kecil di berbagai kompleks perumahan dan kota-kota kecil di Indonesia berdiri minimarket, seperti Alfamart dan Indomaret sebagai tempat berbelanja bagi masyarakat kota (Fadhilah, 2010: 1).

Dalam zaman yang demikian, masyarakat sedang menuju tatanan hidup yang equal dan uniformity.2 Pola fashion, pola pemakaian teknologi, pola makan, dan pola rekreasi mengarah pada hal yang serupa dan seragam. Persoalan yang muncul kemudian adalah kekurangsadaran masyarakat dalam mengurai kebutuhan sehari-hari mereka. Masyarakat tidak dapat membedakan secara jeli kebutuhan primer, sekunder, atau tersier. Melalui berbagai jalur, yakni iklan, televisi, musik, film, buku, majalah, dan lain-lain, masyarakat dituntun menjadi konsumtif yang bermuara pada terbentuknya masyarakat konsumen. Sebagai akibatnya, masyarakat terjebak dalam silang sengkarut tanda dan terbelenggu dengan kondisi kehilangan kesadaran akan nilai (guna) dan fungsi, kemudian hidup dalam budaya konsumerisme.3

2 Abdullah Sumrahadi dalam pengantar editor buku La Société de Consommation (Paris: Denoël, 1970) yang diterjemahkan menjadi Masyarakat Konsumsi oleh Wahyunto (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hlm. v–x. Tulisan tersebut menjelaskan situasi masyarakat Indonesia yang menunjukkan gejala perubahan akibat pengaruh globalisasi.

3 George Ritzer dalam Baudrillard, ibid, hlm. xxxv.

(3)

Baudrillard (1970) memandang bahwa dalam masyarakat konsumen, orang tidak hanya mengonsumsi barang, tetapi juga mengonsumsi jasa dan hubungan antarmanusia. Masyarakat konsumen diidentikkan dengan masyarakat pertumbuhan yang dalam prosesnya merupakan lingkaran setan pertumbuhan.

Dalam hal ini, kelimpahruahan masyarakat kaya dihubungkan dengan pemborosan. Hal ini dianalogikan dalam analisis sosiologi keranjang sampah, yakni “Katakan padaku apa yang kamu lontarkan, akan kukatakan siapa kamu!”

Dalam hal ini, muncul pertanyaan mendasar, “Apakah kelimpahruahan adalah pangkal arah pemborosan?” Terkait konteks tersebut, pandangan moral4 pemborosan sebagai disfungsi diambil kembali menurut fungsi-fungsi yang sebenarnya (Baudrillard, 2009: 31–32).

Dalam pandangan Baudrillard, konsumsi dipahami secara holistik. Dengan kata lain, konsumsi adalah integrasi sosial meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik materiil, spiritual, jasmani, rohani, bahkan konsumsi dapat juga bersifat semu atau palsu. Pandangan tersebut yang membedakan perspektif Baudrillard dengan para ekonom sebelumnya yang hanya memandang konsumsi sebagai pemenuhan kebutuhan berdasarkan manfaat (utility) suatu objek/barang.

Dengan mengacu pada pandangan Baudrillard dalam melihat realitas kehidupan manusia di abad kontemporer tersebut, analisis masyarakat konsumen tidak dapat dilepaskan dari analisis budaya.

4 Secara moral pemborosan merupakan perbuatan kesia-siaan. Namun, dalam siklus pertumbuhan masyarakat yang merupakan lingkaran setan, pemborosan menjadi logis. Ia berfungsi sebagai penyeimbang kesenjangan sosial antara kelas dominan dengan kelas bawah. Pemborosan dalam kaitannya dengan perilaku konsumen merupakan bagian dari gaya hidup dan budaya konsumerisme. Selengkapnya dalam Fadhilah (2010).

(4)

Budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai kompleksitas5 dan tidak mudah dipahami secara sekilas. Dengan demikian, analisis budaya merupakan usaha melakukan pendekatan berbagai disiplin ilmu agar dapat menjelaskan gejala-gejala budaya. Dalam kompleksitas itu, seorang pengamat budaya melakukan identifikasi mekanisme yang mengintegrasikan berbagai gejala budaya ke dalam sebuah sistem yang koheren. Sistem budaya tidak pernah berhenti, ia mengalami perubahan dan perkembangan karena dorongan baik dari luar maupun dari dalam.

Jika dilihat dari perspektif postmodernisme6, gejala-gejala budaya muncul dan menunjukkan adanya perubahan karakter dalam masyarakat. Baudrillard (1983) mengintroduksi karakter masyarakat Barat sebagai masyarakat simulasi.

Masyarakat yang hidup dengan silang sengkarut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan dalam sebuah simulakra7. Dalam mekanisme simulasi, manusia dijebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa (Hidayat, 2012: 10). Baudrillard ingin

5 Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Edisi Paripurna) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. xi–xii.

6 Cooper, dalam Calvin Theological Journal No.28, April 1993, hlm. 108, mengatakan bahwa postmodernis tidak mencari kebenaran yang mutlak dan universal, tetapi kebenaran yang pluralistik (beraneka ragam) dan relatif secara radikal. Postmodern mengajarkan kita agar menoleransi dan menghargai semua pandangan individu atau kelompok tentang kebenaran.

Klaim tentang kebenaran yang bersifat tunggal, mutlak, dan universal bukan hanya dinilai salah, melainkan juga menyatakan kesombongan dan bersifat sangat berbahaya. Oleh karena itu, kita harus dapat menghargai dan menerima keabsahan semua sudut pandang, entah itu tradisional, kontemporer, dikenal banyak orang, entah asing. Semuanya dianggap memiliki perspektif.

Masing-masing melihat kebenaran berdasarkan cara pandang mereka sendiri, dan karenanya tidak perlulah kita mencari pandangan siapa lebih benar, atau bahkan yang paling benar.

Semuanya dianggap benar dan sah.

7 Simulakra adalah ruang di mana mekanisme simulasi berlangsung. Ada tiga tingkatan simulakra.

Pertama, simulakra yang berlangsung sejak era Renaisans hingga permulaan Revolusi Industri.

Kedua, simulakra yang berlangsung seiring dengan perkembangan era industrialisasi. Ketiga, simulakra yang lahir sebagai konsekuensi berkembangnya teknologi informasi. Lihat dalam Baudrillard, Simulation (New York: Semiotext(e), 1983), hlm. 54–56.

(5)

menekankan bahwa bentuk baru teknologi informasi menjadi pusat pergeseran dari tata sosial produktif, melalui peningkatan berbagai simulasi (peniruan) dan model yang menyusun dunia sehingga perbedaan antara kenyataan dan penampakan terhapus (Featherstone, 1993: 6).

Sebagaimana yang dicontohkan Baudrillard, dalam sebuah ruang nyata, peta merupakan representasi dari suatu wilayah. Dalam mekanisme simulasi terjadi hal yang sebaliknya, yakni peta mendahului wilayah. Realitas sosial, budaya, bahkan politik dibangun berdasarkan model-model yang dibuat sebelumnya. Dalam wacana simulasi, manusia mendiami ruang realitas. Di sini perbedaan antara yang nyata dan fantasi, yang asli dan palsu sangatlah tipis (Hidayat, 2012: 10). Inilah ruang yang tidak peduli dengan kategori-kategori nyata, semu, benar, salah, referensi, representasi, fakta, citra, produksi, atau reproduksi. Semua lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda (Baudrillard, 1987: 33). Wacana kebudayaan tersebut menawarkan tantangan sekaligus peluang bagi kita untuk mulai memperhatikan sisi lain dari realitas masyarakat dewasa ini. Realitas yang dapat dilihat dalam produk kebudayaan itu salah satunya adalah karya sastra.

Karya sastra merupakan sarana bagi pengarang untuk memberikan tanggapan terhadap lingkungannya, yaitu persoalan-persoalan yang sedang dihadapi masyarakat tempat dia hidup dan tinggal. Pengarang sebagai anggota masyarakat menangkap berbagai masalah sosial dalam masyarakat untuk direfleksikan ke dalam karyanya.8 Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi

8 Wellek dan Warren, dalam Teori Kesusasteraan, terjemahan Melani Budianta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014), hlm. 109, mengatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan yang sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.

(6)

hulu yang merupakan sumber inspirasi lahirnya karya sastra sekaligus menjadi hilir yang membuat karya sastra memiliki fungsi tertentu bagi masyarakat.

Sebagaimana yang dikemukakan Pujiharto (2010a: 18), karya sastra adalah manifestasi pengalaman estetis sekaligus juga merupakan manifestasi pengalaman kemanusiaan. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat. Hal ini menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Karya sastra juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan yang buruk (Budianta dkk, 2002: 19).

Melalui karya sastra, pengarang mengolah masalah kehidupan sebagai suatu proses dan kenyataan sosial sehingga dapat dikatakan bahwa karya sastra merupakan hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial budaya.9 Salah satu faktor penyebabnya adalah bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh pengarang dalam karyanya dapat menjadi bentuk usaha untuk menanggapi realitas, berkomunikasi dengan realitas, atau menciptakan kembali realitas itu. Karya sastra juga memberikan wawasan mengenai kenyataan dalam masyarakat.10 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karya sastra mempunyai hubungan hakiki dengan masyarakat. Bentuk hubungan tersebut dapat berupa negasi, inovasi, atau afirmasi.

9 Sapardi Djoko Damono, Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1979), hlm. 3.

10 Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Williem G. Weststeinj, Tentang Sastra (Jakarta:

Intermassa, 1989), hlm. 45.

(7)

Fungsi karya sastra sebagai pembentuk gagasan aktif ditunjang oleh konsep representasi.11 Representasi adalah tindakan yang menggantikan sesuatu yang tidak dapat terjadi atau tidak mampu menghadirkan dirinya sendiri. Dalam konsep representasi yang diperbaharui, fungsi karya sastra bukan lagi semata-mata sebagai cermin masyarakat. Namun, peristiwa dan struktur karya sastra memang berkorelasi dengan kondisi yang riil di luar wilayah diskursif meskipun hanya dalam wilayah diskursif struktur, peristiwa-peristiwa, dan hubungan-hubungan yang terjadi dalam kenyataan itu diberikan makna. Hubungan-hubungan tersebut dapat membentuk skenario representasi yang memiliki makna tersendiri.

Perspektif fungsi representasi tersebut menunjukkan bahwa persoalan budaya menjadi salah satu tema yang diangkat Umar Kayam dalam karya- karyanya yang berupa esai (kolom), cerpen, dan novel. Novel sebagai salah satu genre karya sastra digunakan oleh Umar Kayam (1981) untuk merekam dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan. Baginya, novel lebih efektif untuk memahami kehidupan secara tepat dibandingkan apabila ditulis dalam bentuk tulisan ilmiah. Karya sastra dibangun pengarangnya berdasarkan perenungan, penafsiran, dan penghayatan terhadap realitas sosial serta lingkungan sosial masyarakat di mana pengarang hidup dan bermasyarakat (Rahmanto, 2004).

Dari sekian banyak tulisannya, Umar Kayam memperlihatkan bahwa ia adalah sosok yang concern terhadap masalah-masalah kebudayaan, khususnya berkaitan dengan transformasi budaya. Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, ia menyampaikan pidato tentang Transformasi

11 Melani Budianta, “Sastra dan Ideologi Gender” dalam Horison XXXIII/4/1998, hlm. 8.

(8)

Budaya Kita.12 Sebuah tema yang hingga saat ini masih diikuti dan menjadi minat para akademisi, penulis, dan pemerhati budaya. Faruk, misalnya, sebagai muridnya mengungkapkan gagasan tentang masyarakat yang termultimediakan.13

Jalan Menikung merupakan novel kedua dan terakhir Umar Kayam yang berbicara tentang transformasi budaya14 yang terjadi dalam masyarakat. Di bawah judul Jalan Menikung terdapat anak judul Para Priyayi 2. Dapat dikatakan novel tersebut merupakan sequel15 dari novel Para Priyayi.16 Menurut Mudji Sutrisno (dalam Rahmanto, 2004: 117), dalam novel ini Umar Kayam berusaha menggeluti konflik nilai dan benturan pendapat umum secara sehat. Lewat Jalan Menikung, Umar Kayam menyajikan olahan fiksi novel ini dengan gaya tersendiri, yaitu penuh humor, sindiran, dan lebih menarik dari novel sebelumnya (Chusnanto dalam Rahmanto, 2004: 117).

Jalan Menikung pertama kali diterbitkan pada 1999. Novel ini muncul tujuh tahun setelah novel Para Priyayi (1992) diproduksi. Berbeda dengan Para Priyayi

12 Menurut Kayam, keterpurukan multidimensi yang terjadi di Indonesia sebagai bentuk ketidakmampuan bangsa Indonesia menyesuaikan idiom budaya Barat yang selalu dianggap modern sehingga Indonesia selalu merasa di bawah jika dibandingkan dengan budaya Barat.

Lihat Kayam, “Transformasi Budaya Kita” (Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM, 1989).

13 Faruk, “Sastra dalam Masyarakat (Ter-)Multimedia(-kan): Implikasi Teoretik, Metodologis, dan Edukasionalnya”, (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar UGM, 9 Maret 2011).

14 Transformasi (nilai-nilai) budaya Jawa dalam Jalan Menikung dapat dilihat melalui gambaran tokoh utamanya. Lihat Wardana, “Transformasi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Novel Jalan Menikung”, (Skripsi Universitas Malang, 2011).

15 Novel Jalan Menikung diselesaikan di Kyoto Imperial University, Jepang, selama enam bulan.

Jika dibandingkan dengan Para Priyayi, ada perbedaan yang cukup signifikan. Dalam Para Priyayi anak Sastrodarsono mendapat porsi pembicaraan yang seimbang, sedangkan dalam Jalan Menikung hanya anak keturunan Hardoyo dan Noegroho yang dimunculkan untuk mendukung ide pengarang. Selengkapnya dalam Rahmanto, Umar Kayam Karya dan Dunianya (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 115.

16 Para Priyayi adalah novel pertama yang ditulis di New Haven, Connecticut, Amerika Serikat selama satu tahun. Emha Ainun Nadjib (Kompas, 18 Februari 1990) menulis bahwa Umar Kayam di Universitas Yale sedang bekerja keras menulis novel tentang bagaimana proses tawar-menawar manusia Jawa khususnya dan manusia Indonesia pada umumnya terhadap gelombang modernisasi. Salah satu angle, segi yang akan dikerjakan adalah salah kaprah kita dalam memahami etos dan budaya priyayi. Dua tahun kemudian, harapan Emha menjadi kenyataan, pada Mei 1992 novel Para Priyayi terbit. Rahmanto, op.cit., hlm. 61–62.

(9)

yang ditulis di New Haven, Connecticut, Amerika, Jalan Menikung ditulis di Jepang atas dukungan dari Kyoto Imperial University17. Jika dilihat dari situasi sosial di Indonesia, novel itu ditulis dalam rentang 1992–1999. Pada rentang waktu tersebut, terutama pada 1998, Indonesia mengalami sebuah peristiwa besar yang dikenal dengan istilah reformasi. Reformasi ini terjadi setelah pemerintahan Orde Baru mencanangkan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II) dengan jargon “era tinggal landas”, tetapi berakhir dengan krisis ekonomi 1997.

Pada akhirnya, krisis ekonomi dan adanya sikap represif pemerintah berujung pada tuntutan reformasi yang digerakkan oleh para mahasiswa. Peristiwa kekerasan akibat sentimen ras dan agama, bahkan hingga pemerkosaan dan pembunuhan terhadap etnis cina mewarnai peristiwa kerusuhan 1998.18 Persoalan identitas, pluralisme, krisis kepemimpinan, disintegrasi, kegairahan atas kebebasan berpendapat (kebebasan pers dan organisasi), dan kegamangan atas masa depan mencuat pada tahun-tahun tersebut.19 Selain kondisi tersebut, secara global masyarakat sedang menjelang pergantian milenium yang menimbulkan kegelisahan.20 Kondisi-kondisi tersebut merupakan situasi yang melingkupi pada saat novel Jalan Menikung ditulis.

17 Umar Kayam mengambil waktu dan tempat khusus dalam mengerjakan novelnya. Para Priyayi ditulis selama satu tahun di Connecticut-USA dan Jalan Menikung diselesaikan di Kyoto-Jepang selama enam bulan. Lihat Wulan Anggraini dalam Siregar, Umar Kayam Luar Dalam (Yogyakarta: Pinus, 2005), hlm. 229–236.

18 Komnas HAM, Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM yang Berat dalam Peristiwa Kerusuhan 13–15 Mei 1998 (2003).

19 Setelah Reformasi 1998 bermunculan organisasi-organisasi politik baru (48 partai politik) yang sebelumnya selama bertahun-tahun hanya ada tiga partai, Golkar, PPP, dan PDI. Lembaga pers baru maupun lama (pada masa Orde Baru dibredel) juga bermunculan.

20 Kegelisahan seringkali dikaitkan dengan kepercayaan agak mistis mengenai pergantian abad, pergantian dari milenium II ke milenium III. Setiap pergantian waktu yang penting secara mistis sering dipercaya sebagai sebuah situasi pancaroba, masa-masa kritis yang berbahaya. Akan tetapi, apabila berhasil dilewati akan membuahkan sesuatu yang baru, keadaan yang lebih baik,

(10)

Novel ini menceritakan kisah generasi ketiga dan keempat dari trah priyayi Sastrodarsono.21 Dengan orangtua yang memiliki jabatan dan materi, generasi ketiga tumbuh menjadi konglomerat di Jakarta. Hanya tokoh Harimurti saja yang tidak cukup sukses dalam perekonomian karena pernah terlibat kasus PKI pada waktu masih muda sehingga geraknya terbatas. Tommi yang menjadi seorang pengusaha hidup kaya raya dan serba kecukupan. Kehidupannya merupakan cermin seorang yang dapat membeli, membuat, dan mengonsumsi apa saja yang diinginkan. Termasuk pada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Demi mendapatkan sebuah citra dan status priyayi, Tommi membangun kompleks makam yang menghabiskan biaya miliaran rupiah. Tindakan yang dilakukan Tommi dan keluarganya menunjukkan gejala terjadinya perubahan orientasi nilai.

Sebuah wacana postmodernitas sebagaimana yang diungkapkan Baudrillard dalam melihat realitas masyarakat Barat.

Dalam konteks postmodern, seorang pengarang (penulis, intelektual) ketika berkarya ada yang tidak menyadari istilah postmodern, tetapi ada juga yang berusaha mentemakan dan mempromosikannya (Featherstone, 1993: 4–5).

Dengan demikian, dapat diperdebatkan bahwa salah satu fungsi dari minat para pengarang terhadap postmodernisme adalah menyebarkan istilah tersebut pada lebih matang, daripada masa-masa sebelumnya. Lihat Faruk, Beyond Imagination Sastra Mutakhir dan Ideologi (Yogyakarta: Gama Media, 2001), hlm. 2.

21 Sastrodarsono adalah tokoh priyayi yang berasal dari kalangan petani, bukan keturunan raja sebagaimana priyayi dalam pengertian yang sebenarnya. Namun karena kegigihan, perjuangannya, dan pengabdiannya pada masyarakat sebagai seorang pegawai (guru) maka ia menjadi seorang yang dihormati atau dipandang di masyarakat dan diakui sebagai seorang priyayi. Dengan jalur pendidikan, Sastrodarsono berhasil membuat kehidupan anak-anaknya semakin baik. Anak pertama menjadi seorang tentara berpangkat kolonel, anak kedua menjadi pegawai di Mangkunegaran, dan anak ketiga menikah dengan seorang pegawai Kementerian Dalam Negeri. Kisah lengkap tentang generasi pertama dan kedua diceritakan dalam Kayam, Para Priyayi, Cetakan ke-13 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009).

(11)

masyarakat luas. Dalam konteks ini, Umar Kayam memunculkan kata “post- modernism” dalam novel Jalan Menikung. Hal tersebut mengindikasikan kesadaran Umar Kayam akan situasi postmodern di sekitarnya. Berpijak pada hal tersebut, wacana kebudayaan dalam novel Jalan Menikung bukan hanya karya fiksi, melainkan juga merepresentasikan dunia postmodernitas. Postmodernitas yang dimaksudkan di sini tidak terletak pada bentuk atau struktur karya yang menggunakan gaya postmodern (melawan struktur penulisan modern), tetapi lebih kepada gambaran dunia postmodern. Sebuah tanggapan terhadap realitas postmodern yang dituangkan dalam karya sastra.

Dengan mengacu paparan di atas, terdapat beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Pertama, nilai tanda dan simulasi dalam novel Jalan Menikung untuk mengetahui bentuk-bentuk kondisi nilai yang digambarkan dalam fakta fiksional novel Jalan Menikung dan tokoh-tokoh yang menjadi subjek dalam simulasi. Kedua, fenomena konsumsi masyarakat kontemporer akan dilihat realitasnya dalam konteks keindonesiaan yang mengalami pergeseran nilai sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat Barat.

Ketiga, masyarakat konsumen Jalan Menikung dan fungsi penggambaran dunia postmodern dalam novel tersebut. Tujuannya adalah untuk mengetahui gambaran masyarakat konsumen dalam karya sastra dan kaitannya dengan realitas sehingga diketahui fungsi dari penciptaan karya sastra tersebut bagi masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah utama dalam penelitian ini adalah masyarakat konsumen dalam novel Jalan Menikung karya

(12)

Umar Kayam. Untuk menjelaskan masalah tersebut, penelitian ini akan memfokuskan pembahasan pada tiga rumusan masalah sebagai berikut: (1) Nilai tanda dan simulasi dalam novel Jalan Menikung karya Umar Kayam; (2) Fenomena konsumsi masyarakat kontemporer; (3) Masyarakat konsumen Jalan Menikung dan fungsi penggambaran dunia postmodern.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis.

Tujuan teoretisnya adalah menerapkan teori postmodern Jean Baudrillard untuk mengungkapkan (1) Nilai tanda dan simulasi dalam novel Jalan Menikung; (2) Fenomena konsumsi dalam masyarakat kontemporer; (3) Masyarakat konsumen Jalan Menikung dan fungsi penggambaran dunia postmodern.

Tujuan praktis penelitian ini adalah (1) Untuk menjembatani pemahaman, memperluas, dan memperkaya pengetahuan pembaca, khususnya peminat studi karya-karya Umar Kayam: (2) Menambah referensi penelitian sastra yang menerapkan teori postmodern Jean Baudrillard; (3) Sebagai pijakan penelitian selanjutnya.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian terhadap karya-karya Umar Kayam telah banyak dilakukan. Di antaranya terkumpul dalam buku Umar Kayam dan Jejaring Semiotik editor Aprinus Salam (2000), Umar Kayam Karya dan Dunianya oleh B. Rahmanto (2004), dan Umar Kayam Luar Dalam disunting oleh Ashadi Siregar dan Faruk

(13)

HT (2005). Penelitian terhadap novel Jalan Menikung telah beberapa kali dilakukan, sebagaimana penelitian terhadap novel Para Priyayi. Penelitian terhadap novel Para Priyayi dapat digunakan untuk membantu atau menjadi semacam penuntun awal bagi penelitian terhadap novel Jalan Menikung.

Penelitian ini akan memfokuskan diri pada novel Jalan Menikung (Para Priyayi 2).

Rahmanto (2004: 133–143) dalam buku Umar Kayam: Karya dan Dunianya membuat ulasan ringan mengenai “Perilaku Generasi Baru Trah Sastrodarsono dalam Jalan Menikung”. Ia mengungkapkan perilaku kepriyayian anak keturunan Noegroho yang mendapatkan porsi pembicaraan cukup besar dalam Jalan Menikung. Tommi, anak bungsu Noegroho yang sukses sebagai pengusaha, menjadi priyayi yang melahap perilaku Barat nyaris membabi buta. Tommi tidak lagi memiliki sifat luhur priyayi yang dicita-citakan Sastrodarsono, yaitu sakmadya, ”tahu batas dan tidak berlebihan”. Selain itu, menurut Rahmanto, masalah lain yang cukup menarik adalah perkawinan beda kebangsaan dan perilaku anak-anak muda terhadap hubungan pria-wanita yang sudah mengalami pergeseran. Masalah ini belum sepenuhnya dapat diterima oleh mereka yang dinilai sudah kebablasan ataupun yang masih setia pada nilai kepriyayian.

Rahmanto juga mengungkapkan munculnya pertanyaan-pertanyaan sampingan, seperti mengapa Lantip telambat menikah, mengapa Lantip pindah ke Jakarta, mengapa Marie tidak diceritakan lebih lanjut, Soemini dan anak keturunannya tidak diceritakan, dan terakhir Endang Rahayu Prameswari gundik Tommi mengapa tidak diperankan dalam intrik segitiga Tommi-Jeannete dan Endang.

(14)

Ulasan Rahmanto tersebut memberikan gambaran sekilas mengenai isi dari novel Jalan Menikung. Dalam konteks ini, Rahmanto justru mempertanyakan persoalan-persoalan yang terjadi dalam novel, terutama yang berkaitan dengan kronologi cerita yang menghubungkan Para Priyayi dan Jalan Menikung yang menurutnya terdapat bagian-bagian yang hilang. Meskipun demikian, tulisan Rahmanto tersebut dapat membantu penulis atau peneliti lain untuk menggali lebih dalam persoalan yang muncul dalam novel Jalan Menikung.

Munandar (2009) dalam esainya “Kontribusi Umar Kayam untuk Teori Clifford Geertz tentang Masyarakat Jawa melalui Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra” mengungkapkan studi komparasi yang membandingkan dua novel karya Umar Kayam dengan buku Religion of Java karya Clifford Geertz (1960). Esai tersebut mempertanyakan kontribusi Umar Kayam untuk teori Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa melalui novel Para Priyayi dan Jalan Menikung. Pertanyaan tersebut berusaha dijawab melalui kerangka analisis sosiologi sastra.

Setelah membandingkan novel Umar Kayam dengan karya ilmiah Geertz, Munandar menyimpulkan bahwa beberapa bagian teori Geertz disanggah oleh Umar Kayam. Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam menciptakan tokoh-tokoh priyayi yang berbeda dengan karakter priyayi menurut deskripsi Geertz. Untuk menyempurnakan teori Geertz, Umar Kayam seolah-olah menciptakan kelas sosial baru di antara ketiga kelas yang diciptakan Geertz. Dalam novel Jalan Menikung, ia juga menunjukkan bahwa teori trikotomi Geertz sudah kurang relevan untuk dipakai menjelaskan fenomena sosial di masyarakat Jawa

(15)

kontemporer. Konflik-konflik yang disebutkan Geertz hanyalah konflik-konflik laten yang belum tentu muncul ke permukaan. Menurut Munandar, Umar Kayam menciptakan tokoh dalam karyanya untuk menyempurnakan teori Geertz tentang rasa kemanusiaan seorang priyayi. Umar Kayam berpendapat bahwa rasa kemanusiaan seorang priyayi tidak datang dari faktor keturunan, tetapi lebih merupakan manifestasi akumulasi pengalaman masa kecil seseorang. Tulisan Munandar tersebut hanya memberikan gambaran secara umum novel Para Priyayi dan Jalan Menikung yang terkait teori trikotomi yang diungkapkan Geertz.

Apa yang disampaikan Munandar dalam tulisannya telah membuka kemungkinan novel Jalan Menikung disandingkan secara intertekstual dengan sebuah teori dari intelektual Barat. Akan tetapi, tulisan tersebut hanya menempatkan Jalan Menikung sebagai second mind dan pelengkap dari sebuah teori lain. Munandar tidak menempatkan pemikiran Umar Kayam sebagai kajian yang berdiri sendiri, membentuk, dan dapat memengaruhi peta kebudayaan.

Haikal (2014) menulis skripsi “Jalan Menikung Karya Umar Kayam:

Analisis Hegemoni Gramsci”. Haikal meneliti ideologi dan formasi ideologi dalam Jalan Menikung serta konsensus dan ideologi Umar Kayam sebagai pengarang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Jalan Menikung mengandung ideologi humanisme, kapitalisme, materialisme, dan liberalisme.

Formasi ideologi dan konsensus pada Jalan Menikung menunjukkan hegemoni minimum. Dengan ideologi humanisme dan rasionalisme sebagai negosiator, kelompok subaltern (tradisionalisme, nasionalisme, dan teisme) bersatu untuk menunjukkan keengganan terhadap ideologi yang mendominasi (kapitalisme,

(16)

materialisme, dan rasialisme). Ideologi pengarang disampaikan melalui tokoh Lantip. Melalui Lantip disampaikan ideologi teisme, tradisionalisme, humanisme, dan rasionalisme. Umar Kayam melalui Jalan Menikung menunjukkan pemikirannya bahwa ideologi-ideologi yang ada pada saat itu harus disaring.

Penelitian Haikal tersebut memberikan gambaran mengenai ideologi dalam Jalan Menikung yang dapat digunakan sebagai rujukan terutama yang berkaitan dengan ideologi kapitalisme yang dapat dikaitkan dengan perubahan nilai yang terjadi dalam masyarakat.

Penelitian yang menggunakan teori-teori posmodernisme sebenarnya telah banyak dilakukan. Misalnya, penelitian Pujiharto yang berjudul Kepostmodernan Novel Saman (2002), yang dilanjutkan dengan Dunia-Dunia Postmodern dalam Novel Larung (2003). Lewat penelitiannya tersebut, ia memetakan secara khusus dunia yang ada di dalam Larung dengan kacamata posmodernisme McHale.

Dengan teori yang sama, ia menulis disertasi yang berjudul “Puitika Pascamodern dalam Fiksi Indonesia 1970–2005” (2009) yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Perubahan Puitika dalam Fiksi Indonesia Dari Modernisme ke Pascamodernisme (2010). Pujiharto mengatakan bahwa telah terjadi perubahan puitika pada fiksi Indonesia yang terbit pada 1970 hingga 2005.

Fadhilah (2010) menulis tesis berjudul “Epistemologi Konsumerisme dalam Perspektif Jean Baudrillard”. Tesis Fadhilah tersebut bertujuan menjelaskan pandangan Jean Baudrillard tentang konsumsi dalam perspektif epistemologi, pengertian masyarakat konsumen, dan budaya konsumerisme. Hasil penelitiannya menunjukkan beberapa hal. Pertama, pandangan epistemologi konsumsi

(17)

Baudrillard bersifat multidimensi (metafisik, sosiologi-strukturalis, semiotik/

semiologi, dan postmodern). Hakikat objek konsumsi adalah sistem tanda (tanda- tanda sosial) dan makna konsumsi telah berubah menjadi pemisahan kelas dan institusi kelas. Kedua, masyarakat konsumen adalah individu sosial sebagai objek konsumsi. Ketiga, budaya konsumerisme adalah budaya masyarakat yang cenderung mengonsumsi objek secara berlebihan, bukan sekadar memenuhi kebutuhan hidup sesuai nilai guna objek, melainkan lebih berorientasi untuk mengejar prestise (prestige) dan status sosial. Relevansi epistemologi perspektif Baudrillard dengan budaya konsumerisme terletak pada ideologi konsumsi, yaitu idealisme liberal kapitalis dengan konsep masyarakat pertumbuhan atau berkelimpahan (affluence society) yang mendambakan kemapanan dan kenyamanan hidup. Relevansi bagi budaya Indonesia adalah bahwa budaya konsumerisme merupakan fakta sosial yang dampak negatifnya lebih besar bagi kehidupan sosial dan meningkatkan pencemaran bagi lingkungan hidup.

Meskipun demikian, terdapat dampak positif dalam bidang perkembangan kreativitas seni dan budaya, serta usaha pemberdayaan masyarakat.

Penelitian menggunakan teori postmodern Baudrillard pada karya sastra dilakukan Fatimah Azzahrah (2012) yang menulis skripsi dengan judul “Simulasi dan Hiperrealitas di Balik Proses Konsumsi di Kafe dalam Cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari”. Penelitian tersebut mengungkapkan kerefleksian cerpen Filosofi Kopi dalam kaitannya dengan fenomena konsumsi masyarakat kontemporer. Azzahra menyimpulkan bahwa simulasi sebagai sesuatu yang abstrak ternyata dapat beroperasi setidak-tidaknya pada dua media, yaitu

(18)

teknologi dan permainan bahasa/penanda. Dengan melihat permainan bahasa/penanda dalam Filosofi Kopi, diketahui bahwa simulasi terhadap objek konsumsi di kafe menjalankan beberapa strategi, yakni penyifatan, penciptaan efek berlebihan, dan penciptaan halusinasi teritorial.

Model analisis dalam penelitian yang telah disebutkan di atas, terutama penelitian Fadhilah dan Azzahra akan dipergunakan sebagai pijakan awal dalam penelitian ini. Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada fenomena masyarakat konsumen yang berlangsung dalam novel Jalan Menikung. Dengan mengambil objek formal novel yang mengandung kompleksitas kebudayaan luas, diharapkan lingkup kajian dan bahasan penelitian ini pun akan lebih mendalam sehingga mampu menggambarkan dengan baik kebudayaan postmodern khususnya dalam karya sastra Indonesia dengan menggunakan kacamata pemikiran Baudrillard. Keistimewaan penelitian ini adalah penggunaan teori Baudrillard tentang perubahan nilai untuk membaca karya sastra dari pengarang yang concern terhadap persoalan transformasi budaya. Transformasi budaya tersebut notabene juga menyinggung perubahan nilai. Sejauh ini penelitian mengenai masyarakat konsumen dalam Jalan Menikung belum pernah dilakukan atau belum pernah ditemukan. Dengan demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dari penelitian-penelitian yang telah disebutkan sebelumnya sehingga dapat menyempurnakan penelitian terdahulu.

1.5 Landasan Teori

Untuk menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini menggunakan teori postmodern Jean Baudrillard.

(19)

Dalam pandangan Baudrillard (1970: 29), konsumsi kini telah menjadi faktor fundamental dalam ekologi spesies manusia. Pada dasarnya, mekanisme sistem konsumsi berangkat dari sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan (Baudrillard, 1970: 47). Dalam hal ini, Baudrillard sama sekali tidak bermaksud menafikan pentingnya kebutuhan. Ia hanya ingin mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumen, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, tetapi oleh seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status, dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan. Baudrillard menjelaskan,

Apa yang secara sosiologis penting bagi kita, dan apa yang menjadi tanda zaman bahwa kita tengah berada dalam era konsumsi, sebenarnya adalah sebuah fenomena umum tentang pengaturan kembali faktor konsumsi sebagai aspek primer dalam suatu sistem penandaan, yang kemudian tampil sebagai fenomena perubahan dari yang alamiah (nature) menjadi produk budaya (culture), yang mungkin merupakan wajah khas zaman kita sekarang (Baudrillard, 1970: 47).

Terdapat perubahan mendasar pada status komoditas dan tanda dalam hubungan yang kompleks antara politik ekonomi, linguistik, dan ideologi dalam masyarakat postindustri. Baudrillard membahas fenomena masyarakat konsumen dari perspektif neo-Marxis dengan bertumpu pada psikoanalisis Lacanian dan strukturalisme Saussurean untuk mengembangkan tema utamanya, yaitu bahwa konsumsi menjadi dasar utama tatanan sosial (Aziz, 2014: 4). Ia menandai

(20)

keterputusannya dari Marxisme awal, khususnya Karl Marx, dengan konsep fetisisme (fetishism)22 dan ideologinya (Piliang, 2003: 95).

Bagi Baudrillard, konsep yang dikemukakan Marx mengandung banyak kelemahan jika digunakan untuk mengkaji objek-objek fetish dalam kebudayaan kontemporer. Hal tersebut dikarenakan telah terjadi perubahan yang mendasar pada status komoditas di dalam masyarakat postindustri. Fenomena perubahan mendasar pada status komoditas, menurut Baudrillard, ditandai dengan ekspansi secara total kode tanda-tanda (sign) ke dalam tubuh komoditas di mana-mana, serta status baru komoditas itu sebagai dispenser kekuasaan plural (kebahagiaan, kesehatan, keamanan, prestise, dan sebagainya).

Dalam pandangan Baudrillard, postmodernisme lahir karena perkembangan lanjut dari modernisme yang ternyata menunjukkan watak aslinya yang penuh kontradiksi, ideologis, dan justru melahirkan pelbagai patologi23 modernisme.

Unsur-unsur utama modernisme, seperti rasio, ilmu, dan antropoformisme justru menyebabkan reduksi dan totalisasi hakikat manusia. Memang benar pada satu sisi, modernisme telah memberikan sumbangan terhadap pembangunan kebudayaan manusia dengan paham otonomi subjek, kemajuan teknologi, industrialisasi, penyebaran informasi, penegakan HAM, serta demokratisasi.

Namun di sisi lain, modernisme juga melahirkan berbagai patologi, seperti dehumanisasi, alienasi, diskriminasi, rasisme, pengangguran, jurang perbedaan

22 Fetisisme adalah pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Lihat Aziz, Galaksi Simulacra Esai-esai Jean Baudrillard, (Yogyakarta: LKiS, 2014), hlm. 10.

23 Semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas, kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal. Selengkapnya dalam Kartono, Patologi Sosial 1 (Jakarta: Rajawali Pers, 2014).

(21)

antara kaya dan miskin, materialisme, konsumerisme, dua kali perang dunia, ancaman nuklir, hegemoni budaya, serta ekonomi. Berbagai patologi inilah yang menjadi alasan penting gugatan pemikiran postmodernisme terhadap modernisme.

(Hidayat, 2012: 7).

Menurut Standford Encyclopedia of Philosopy, Jean Baudrillard (1929–

2007) adalah salah satu tokoh intelektual terkemuka pada zaman sekarang yang karyanya menggabungkan filsafat, teori sosial, budaya, dan metafisika aneh yang mencerminkan tentang peristiwa kunci fenomena zaman ini. Baudrillard adalah kritikus tajam masyarakat kontemporer, budaya, dan pemikir. Ia sering dianggap sebagai guru utama dari teori postmodern Prancis, dan juga sebagai seorang pemikir yang menggabungkan bentuk gaya menulis teori sosial dan filsafat dengan cara khas dan provokatif. Sebagai seorang penulis, ia sangat produktif dan telah menerbitkan lebih dari tiga puluh buku dan komentar pada beberapa fenomena budaya dan sosiologis paling menonjol di era kontemporer, termasuk penghapusan perbedaan gender, ras, dan kelas yang terstruktur dalam masyarakat modern baru, konsumen postmodern (masyarakat konsumen), media, dan masyarakat teknologi tinggi. Perubahan mendasar dalam politik, budaya, dan manusia, dan dampak dari media baru, informasi, dan teknologi cybernetic dalam suatu tatanan sosial kualitatif yang berbeda menyediakan perubahan fundamental dalam hidup manusia dan sosial.

Baudrillard adalah salah seorang pemikir postmodernisme yang menaruh perhatian besar pada persoalan kebudayaan dalam masyarakat kontemporer. Agak berbeda dengan filsuf-filsuf postmodern lainnya yang memusatkan diri pada

(22)

metafisika dan epistemologi, Baudrillard lebih memilih kebudayaan sebagai medan pengkajian. Ia mengambil pilihan itu bukan tanpa tujuan. Baudrillard ingin mengungkapkan transformasi dan pergeseran yang terjadi dalam struktur masyarakat Barat dewasa ini yang disebutnya sebagai masyarakat simulasi dan hiperrealitas. Pendapat Baudrillard muncul sebagai suara lain yang mencoba membaca dan menyikapi perubahan watak modernisme dari ranah budaya. Ia menunjukkan adanya diskontinuitas budaya dalam realitas masyarakat dewasa ini.

Baudrillard mencoba mengintroduksi karakter khas masyarakat Barat yang disebutnya sebagai masyarakat simulasi.

Jean Baudrillard dilahirkan di kota Riems, Prancis Barat, pada 5 Juli 1929 dan meninggal pada usia 77 tahun di Paris, Perancis, pada 6 Maret 2007. Kedua orangtuanya berasal dari keluarga petani yang kemudian pindah ke kota Paris dan bekerja sebagai pegawai di Dinas Pelayanan Masyarakat.24 Baudrillard menjadi anak pertama dari keluarganya yang mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Sorbonne, Paris. Selama masa kuliahnya, ia mempelajari sastra dan bahasa Jerman. Universitasnya kemudian memberikan kesempatan mengajar subjek yang sama di beberapa lycée dari 1960–1966. Selama mengajar dia menerbitkan review sastra dan menerjemahkan beberapa buku karangan Peter Weiss. Baudrillard kemudian tertarik dan memutuskan pindah pada bidang sosiologi. Pada 1966 Baudrillard berhasil menyelesaikan tesis sosiologinya di Universitas Nanterre di bawah bimbingan Henry Levebvre, seorang antistrukturalis Prancis kondang saat itu.

24 http://plato.stanford.edu/entries/baudrillard/

(23)

Pada 1968 ia mulai menulis buku The Object System (1967). Dalam buku itu, yang belum terlihat minatnya pada soal kebudayaan postmodern saat itu, Baudrillard mencoba mengadopsi metode semiologi Barthes untuk membongkar hubungan dan mistifikasi objek-subjek dalam realitas masyarakat modern.

Setahun kemudian, ia menulis buku Communication (1969), sebuah buku yang membahas struktur komunikasi tanda dalam masyarakat Barat dewasa ini.

Tulisan-tulisan awal Baudrillard banyak dipengaruhi pemikiran Karl Marx.

Hal tersebut terlihat dalam majalah Calvino dan Les Temps Modernes milik Sartre. Ia mencoba menggabungkan pemikiran Marx dengan strukturalisme Prancis. Selain Marx, Baudrillard mengambil alih pemikiran Barthes mengenai semiologi, pemikiran Marcel Mauss, antropolog strukturalis, mengenai gift atau pemberian, dan pemikiran George Bataille mengenai expenditure atau pembelanjaan (Lecte, 1994: 233). Bersepakat dengan dua pemikir terakhir, Baudrillard menolak prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx yang menyatakan bahwa aktivitas konsumsi manusia pada dasarnya merupakan aktivitas non- utilitarian (Baudrillarrd, 1993: 68). Ia mengadopsi pendapat Mauss dan Bataille yang menyatakan bahwa dalam masyarakat primitive, kebiasaan memberi sesuatu dan membelanjakan sesuatu ternyata didasarkan pada prestise dan kebanggaan simbolik, bukan pada kegunaan. Prinsip inilah yang sekarang semakin transparan berlangsung dalam aktivitas konsumsi masyarakat dewasa ini (Hidayat, 2012: 53–

54).

Baudrillard dikenal luas dalam diskursus filsafat kontemporer ketika tulisannya The Mirror of Production (1975) dipublikasikan. Karya tersebut

(24)

merupakan kritik terhadap konsep Marx tentang “produksi”. Baudrillard membongkar konstruksi ideologis produksi dalam paradigma pemilik modal (menurut Marx) bahwa manusia adalah mesin-mesin produksi. Baudrillard menawarkan kritik ekonomi politik tanda. Alienasi manusia yang menganggap manusia sebagai orang lain (liyan) bertujuan untuk meyakinkan hasrat terdalam manusia menjadi dirinya sendiri. Hal tersebut bagi Baudrillard adalah absurd.

Karya magnum opus-nya Simulation, pada 1983 diterbitkan dalam bahasa Inggris. Dalam buku yang segera menjadi klasik itu, Baudrillard mengintroduksi sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini. Menurutnya, kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, yakni dunia yang terbentuk dari hubungan pelbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses produksi dan tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi. Dalam kebudayaan simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan berjalin berkelindan membentuk satu kesatuan. Kesatuan ini yang disebut simulacra atau simulacrum oleh Baudrillard, sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra, dan kode (Hidayat, 2012: 55).

Dari sekian banyak karya Baudrillard, La Société de Consommation: Ses Mytes, ses Structures (1970) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris The Consumer Society: Myths and Structures (1998) dan bahasa Indonesia Masyarakat Konsumsi (2009) merupakan karyanya yang paling lengkap dan hasil dari perkembangan pemikirannya. Baudrillard dalam buku ini memfokuskan perhatiannya pada konsumerisme, bagaimana objek yang berbeda dikonsumsi

(25)

dengan berbagai cara yang berbeda. Pada wilayah ini pandangan politik Baudrillard diasosiasikan dengan marxis (situasionisme), tetapi buku ini berbeda dengan Marx dalam beberapa hal secara signifikan. Menurut Baudrillard, yang berfungsi mengendalikan masyarakat kapitalis adalah konsumsi, bukan produksi.

Ia berpendapat bahwa pemikiran ekonomi Marx dan Adam Smith diterima sebagai ide tentang kebutuhan dasar yang dapat digunakan sebagai dasar secara mudah dan sederhana. Pandangan Baudrillard dipengaruhi pandangan Bataille bahwa kebutuhan dasar dikonstruksi bukan abadi. Sementara itu, Marx berkeyakinan bahwa dalam objek, kebutuhan nilai guna dibedakan dari apa yang disebut komoditas fetesisme.

Menurut Baudrillard, semua pembelian selalu terkait dengan konteks sosial penggunanya. Objek selalu mengatakan sesuatu tentang penggunanya. Dalam hal ini, konsumsi lebih penting dari produksi karena peristiwa ideologis dari kebutuhan bersumber dari bertemunya produksi barang dan kebutuhan.

Setidaknya ada empat cara sebuah objek mendapatkan nilainya:

1. nilai fungsional, tujuan instrumental, pulpen untuk menulis;

2. nilai tukar, nilai ekonomis, satu pulpen senilai tiga pensil;

3. nilai simbolis, sebuah objek apabila dikaitkan dengan objek lain, pulpen dapat disimbolisasi sebagai hadiah kelulusan sekolah;

4. nilai tanda dari objek, nilai dalam sistem objek, satu objek (contoh, permata) bisa tidak mempunyai nilai apa pun (nilai 1–3), tetapi di sisi lain permata bisa menunjukkan kelas atau level sosial tertentu (Standford Encyclopedia of Philoshopy).

(26)

Baudrillard berpendapat bahwa satu atau dua nilai tersebut tidak dengan mudah dilekatkan pada objek, terkadang satu dengan yang lain bisa saling memengaruhi. Pada akhirnya, Baudrillard menolak pandangan Marxisme secara total.

Menurut Ritzer, di antara karya-karya Baudrillard, La Société de Consommation merupakan karyanya yang terkemuka dan banyak memengaruhi teoretikus sosiologi postmodern (Baudrillard, 2007b: xv). Buku tersebut merupakan hasil perkembangan pemikiran Baudrillard yang banyak terinspirasi oleh berbagai pemikiran dari beberapa disiplin ilmu. Meskipun terdapat kritik atas kelemahan karya tersebut dipandang dari segi teori sosiologi, Baudrillard mentransformasikan dirinya dalam posisi antara seorang modernis dan postmodernis. Sebagai seorang postmodernis, Baudrillard ternyata masih terpengaruh narasi besar tentang paradigma mitologis masyarakat primitif, yakni bahwa keberadaan seorang manusia hidup diberkati dengan kebutuhan-kebutuhan yang mengarahkannya menuju objek-objek yang memberinya kepuasan.

1.5.1 Nilai Tanda dan Nilai Simbol

Sebagaimana yang dinyatakan sebelumnya, mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, dan bukan karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan (Baudrillard, 1970: 47). Nilai- tanda dan nilai-simbol, yang berupa status, prestise, ekspresi gaya dan gaya hidup, kemewahan, dan kehormatan menjadi motif utama dari aktivitas konsumsi masyarakat. Pergeseran nilai yang terjadi seiring dengan perubahan karakter

(27)

masyarakat postmodern inilah yang kemudian menarik perhatian Baudrillard untuk mengkajinya secara lebih mendalam.

Baudrillard menolak pandangan Marx dengan menyatakan bahwa dalam masyarakat konsumen dewasa ini, nilai-guna dan nilai-tukar, sebagaimana dinyatakan Marx, sudah bergeser. Baudrillard menggabungkan semiologi Barthes, pemikiran ekonomi politik Marx, pemikiran Mauss dan Bataille tentang sifat non- utilitarian aktivitas konsumsi manusia, serta konsep the society of spectacle Guy Debord. Penggabungan tersebut menyatakan bahwa konsep nilai guna dan nilai tukar yang disarankan Marx kini telah digantikan oleh nilai tanda dan nilai simbol.

Menurut Baudrillard, saat ini adalah era kejayaan nilai-tanda dan nilai-simbol yang ditopang oleh meledaknya makna serta citra oleh perkembangan teknologi dan media massa (Lechte, 1994: 234). Baudrillard kemudian mengubah pula periodisasi25 sejarah masyarakat yang dibuat Marx.

Berangkat dari kerangka Marx, Baudrillard mengajukan periodisasi perubahan struktur masyarakat, yakni dari masyarakat primitif, masyarakat hierarkis, dan masyarakat massa (Lechte, 1994: 238). Menurut Baudrillard, masyarakat primitif ditandai dengan tidak adanya elemen tanda dalam interaksi seluruh aspek kehidupan masyarakatnya. Objek dipahami secara murni dan alamiah berdasarkan kegunaannya. Selanjutnya, dalam masyarakat hierarkis, lahir elemen tanda yang beroperasi masih dalam lingkup yang terbatas. Tanda dipahami sebagai makna yang ditanamkan oleh segolongan kelas kepada kelas yang lain.

Tanda juga mulai menggantikan kedudukan objek murni, yang kini memiliki

25 Menurut Marx, terdapat tiga tahap struktur masyarakat, yakni masyarakat feodal, masyarakat kapitalis, dan masyarakat komunis.

(28)

nilai-tukar. Akhirnya, pada tahapnya yang tertinggi, terbentuklah masyarakat massa. Dalam masyarakat massa, tanda mendominasi seluruh aspek kehidupan.

Tidak ada lagi objek murni, kecuali objek tanda. Individu dalam masyarakat massa berperan sebagai konsumen tanda tanpa memiliki status kelas tertentu.

Logika Baudrilard tentang nilai objek dapat dilihat dalam tabel berikut.

Nilai Guna Nilai yang Dipertukarkan

Pertukaran Simbolik

Nilai Tanda

fungsional ekonomis/komersial hadiah (mauss) konsumsi

operasi praktis ekuivalensi ambivalensi perbedaan

dunia pasar subjek objek lain

alat komoditas simbol Tanda

apa yang

dilakukan objek

apa nilainya hubungan dengan subjek

hubungan tanda- tanda lain

lemari pendingin penyimpanan makanan

2mentega=1 senjata cincin kawin Mode

Empat Objek Logika Baudrillard26

Skema di atas menunjukkan nilai objek yang terakhir adalah logika sosial konsumsi. Konsep kebutuhan sebagai fungsi utilitas (nilai guna) hanya menghasilkan tautologi, suatu pengulangan yang tidak memperjelas. Dalam hal ini, subjek ditetapkan oleh objek dan sebaliknya objek ditentukan oleh subjek.

Legitimasi produksi terdapat pada kenyataan bahwa masyarakat akan menguraikan konsumen melalui konsep kebutuhan. Kebutuhan hadir karena sistem memerlukannya (Aziz, 2014: 6–7). Contoh dari logika tautologi dalam berkonsumsi antara lain ketika seseorang merasa lapar atau haus maka dia akan mencari atau membeli makanan atau minuman untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Hal ini berbeda nilainya jika seseorang tersebut harus mencari restoran mewah dengan tujuan memenuhi hasrat akan harga diri atau citra dirinya. Dalam hal ini, konsumsi sebagai nilai tanda merupakan kekayaan sekaligus

26 Aziz, op.cit., hlm. 9.

(29)

kekurangannya karena tindakan konsumsi tidak semata-mata pembelian, tetapi sekaligus pengeluaran uang. Kegiatan belanja tersebut merupakan pernyataan kekayaan sekaligus penghancuran kekayaan. Dengan demikian, nilai ekonomis diubah ke dalam pertukaran tanda berdasarkan monopoli kode.

1.5.2 Simulasi dan Simulakra

Melalui bukunya Simulations, Baudrillard (1983) memaparkan kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam dunia simulacra/simulacrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun dari konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme. Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang berdiri di atas logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pra-modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern yang ditandai dengan logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut Baudrillard, prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi saat-saat kematiannya. Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard mengumandangkan kematian modernisme dengan logika produksinya sebagai The end of labor.

Kematian ideologi dimaknai sebagai kondisi seluruh sistem berfluktuasi dalam ketakteraturan, seluruh kenyataan yang tersedot oleh hiperrealitas kode dan simulasi. Dengan demikian, yang mengatur kehidupan sosial bukanlah kenyataan

(30)

melainkan simulasi. Tidak terdapat lagi hal semacam ideologi, yang ada adalah simulacra.

Ungkapan Baudrillard tersebut sekaligus menandakan keyakinannya akan datangnya era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi menjadi panglima, di mana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi, dan industri pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi manusia. Dalam masyarakat simulasi seperti ini, segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra, dan kode.27

Ruang realitas kebudayaan dewasa ini, menurut Baudrillard, merupakan cerminan yang disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum. Simulacra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur-ulang berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas citra, fakta, tanda, serta kode yang silang-sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama (Piliang, 1998: 196). Simulakra tidak memiliki acuan. Ia adalah duplikasi dari duplikasi sehingga perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur.

Dalam ruang ini, tidak dapat lagi dikenali mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.

27 Tanda adalah segala sesuatu yang mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang tampak oleh indera, tetapi sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial.

Sementara itu, kode adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain. Dapat dilihat dalam Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Postmodernisme (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 13.

(31)

Ruang simulakra ini memungkinkan seseorang menjelajahi pelbagai fragmen realitas, baik nyata maupun semu, mereproduksi, merekayasa, dan mensimulasi segala sesuatu sampai batasan yang terjauh. Menurut Baudrillard, sebenarnya dunia simulakra yang menjadi wacana dominan kesadaran masyarakat Barat dewasa ini telah ada semenjak era Renaisans. Realitas simulakra tersebut memiliki tiga tingkatan, yakni simulakra orde pertama, simulakra orde kedua, dan simulakra orde ketiga (Baudrillard, 1983: 54–56).

Simulakra orde pertama, realitas dipahami berdasar prinsip hukum alam dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah, serta bersifat transenden.

Alam menjadi pendukung pertama sekaligus determinan kebudayaan. Tanda yang diproduksi orde ini mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan seimbang (Hidayat, 2012: 76). Simulakra orde kedua berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Baudrillard menyatakan bahwa teknologi reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi, objek-objek alamiah telah kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli. Simulakra orde ketiga lahir sebagai konsekuensi logis perkembangan ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global media massa, konsumerisme, dan kapitalisme.

Relasi pelbagai unsur struktur budaya mengalami perubahan mendasar. Tanda, citra, kode, dan subjek budaya tidak lagi merujuk pada referensi dan realitas yang ada. Simulakra orde ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan memberi makna realitas (Hidayat, 2012: 77).

(32)

Pada perkembangannya, Baudrillard dalam buku Transparancy of Evil mengatakan ada satu tahap terakhir yang disebutnya dengan istilah orde fraktal (atau viral atau radian). Dalam orde ini, tidak ada lagi prinsip referensi, tidak ada lagi acuan, dan nilai menyebar ke segala arah, mengisi semua celah, dan sekadar hubungan murni belaka (Baudrillard, 1993: 72).

Baudrilllard menyatakan simulasi dibangun berdasarkan model-model yang begitu cermat nyaris mendekati fakta dan model tampil mendahului fakta. Fakta tidak lagi memiliki alur sejarahnya sendiri. Di satu sisi, ia hadir dalam silang sengkarut bersama model-model. Di sisi lain, bisa jadi sebuah fakta diproduksi oleh model-model. Simulasi tidak berkaitan dengan sebuah teritori, sebuah acuan, ataupun subtansi. Simulasi adalah era yang dibangun oleh model-model realitas tanpa asal-usul, sebuah dunia hiperreal teritori tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah acuan simulakra. Petalah yang membentuk teritori (Baudrillard, 1983: 32).

1.5.3 Hiperrealitas

Pemikiran Baudrillard tentang hyperreality didasarkan pada beberapa asumsi hubungan manusia dan media. Menurut Baudrillard, media massa kini tidak hanya sebatas perpanjangan badan manusia, tetapi juga merupakan ruang bagi manusia untuk membentuk identitas dirinya. Pandangan-pandangan McLuhan tentang global village dewasa ini telah menjelma menjadi yang disebut Baudrillard sebagai hiperreal village (Baudrillard, 1983: 16). Perkembangan teknologi dengan microprocessor, memory bank, remote control, telecard, laser disc, dan internet, tidak saja dapat memperpanjang badan atau pusat sistem saraf

(33)

manusia, tetapi lebih fantastis lagi mampu mereproduksi realitas, masa lalu, dan nostalgia. Hal itu menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan. Selain itu, mampu menyulap fantasi, ilusi, bahkan halusinasi menjadi kenyataan serta melipat realitas sehingga tak lebih sekadar sebuah layar kaca televisi, disket, ataupun internet (Piliang, 1998: 197).

Konsep ini sepenuhnya mengacu pada kondisi realitas budaya yang virtual ataupun artifisial di dalam era komunikasi massa dan konsumsi massa. Realitas- realitas itu mengungkung dengan berbagai bentuk simulasi (penggambaran dengan peniruan). Simulasi itulah yang mencitrakan sebuah realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang bukan sesungguhnya melainkan dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran itulah yang disebut dengan realitas semu (hyperreality).

1.5.3.1 Antara Nyata dan Fantasi

Telah disebutkan sebelumnya bahwa dengan kecanggihan teknologi, hal-hal yang berupa fantasi dapat disulap menjadi realitas yang dianggap nyata. Tokoh- tokoh dalam dunia Disneyland, Mickey Mouse, Narnia, Pirates of the Caribbean, Tarzan, atau tokoh-tokoh dalam film garapan Marvell/Warner Bros, seperti Captain America, X-Men, Hulk, Terminator, Superman, dan sebagainya dapat diciptakan sedemikian miripnya dengan manusia. Mereka menjalani aktivitas- aktivitas makhluk hidup, seperti makan dan berkembang biak, dapat berkompetisi dan bertarung melawan musuh-musuhnya untuk sekadar bertahan hidup, bahkan memiliki perasaan.

(34)

Kemiripan tersebut membuat manusia sebagai penonton tidak mampu lagi membedakan antara yang nyata dan yang fantasi. Ketidakmampuan tersebut terlihat pada reaksinya seusai menonton adegan sedih di layar televisi sampai bisa menangis sesenggukan, seperti yang dilakukannya saat mengalami kesedihan di dunia nyata. Selain itu, kemiripan tersebut membuat manusia seringkali mencari citra diri dan makna hidup dari sana. Cerita Naruto atau Dragon Ball, misalnya, justru lebih ampuh membentuk karakter seorang anak daripada nasihat orangtuanya. Hal inilah yang digambarkan Baudrillard sebagai “peta telah mendahului wilayah” atau “model memproduksi fakta”.

Dunia hiperreal Baudrillard ini dilukiskan secara menarik dalam film The Matrix28. Film ini menceritakan tentang dunia manusia yang diyakini sebagai realitas, tetapi ternyata semu. Kenyataan yang sebenarnya adalah konstruksi gelombang elektronik yang dipancarkan oleh komputer/mesin dalam otak manusia. Manusia yang senyatanya hidup dalam tabung-tabung di zaman mesin.

Film ini bahkan menunjukkan dalam salah satu scene-nya tentang artikel berjudul

“On Nothing” yang merupakan salah satu bab dari buku Simulation karya Baudrillard.

1.5.3.2 Hilangnya Sekat Ruang dan Waktu

Salah satu indikasi yang menunjukkan adanya hiperrealitas adalah

28 The Matrix adalah sebuah film fiksi ilmiah yang dirilis di Amerika Serikat pada 31 Maret 1999.

Film ini bercerita tentang seorang hacker bernama Neo yang mengetahui keadaan sebenarnya dari realitas. Neo kemudian bergabung dengan sebuah kelompok pemberontak melawan program-program komputer penjaga yang disebut agen-agen. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Wachowski bersaudara. Film ini termasuk kategori box office yang meraup untung USD171 juta di Amerika dan USD456 juta dari seluruh dunia. Dibuat menjadi trilogi dengan seri kedua diberi judul The Matrix Reloaded dan The Matrix Revolution.

(35)

berubahnya pandangan tentang waktu. Masa lalu dapat dihadirkan sedemikian dekatnya dengan masa kini melalui selembar foto atau rekaman video. Ketika melihat selembar foto, seseorang meyakini bahwa realitas pemilik wajah adalah sesuai dengan yang ada dalam foto meskipun bisa jadi foto itu sebenarnya telah diambil beberapa tahun yang lalu. Dalam waktu yang bersamaan, setiap orang di rumahnya dapat mengetahui peristiwa yang terjadi di New York secara langsung atau mengikuti kegiatan selebritas idolanya hanya dengan menekan tombol remote televisi.

Hal semacam itu juga berlaku pada ruang. Untuk merasakan nikmatnya masakan Jepang, konsumen tidak perlu datang ke sana. Cukup datang ke restoran atau rumah makan terdekat dan membeli makanan dengan citra “Japanese”

meskipun masakan itu ternyata produk lokal. Untuk mengetahui Mexico, konsumen tidak perlu pergi ke sana. Dengan membeli topi lebar bergaya Mexico, konsumen dapat merasakan sensasi Mexico. Hilangnya sekat ruang semacam itu dapat disebut sebagai deteritorialisasi ruang. Konsumen dapat berpindah dari satu teritorial ke teritorial lain dengan menciptakan halusinasi teritorial (Piliang, 2004:

66). Oleh karena itu, yang terbentuk sebenarnya bukan lagi “Aku orang Jawa”, melainkan “Aku adalah orang KFC”, “Aku adalah masyarakat BMW”, “Aku adalah orang Mal”, “Aku adalah masyarakat Kafe”, dan sejenisnya.

1.5.4 Masyarakat Konsumen

Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000: 280) disebutkan bahwa konsumsi memiliki pengertian the act of using energy, food or materials.

Kegiatan menggunakan tenaga, makanan, atau materi. Pengertian konsumsi

Referensi

Dokumen terkait

Persaingan yang sedemikian ketat dalam industri perhotelan menuntut pihak Grand Kalpataru Syariah Hotel untuk meningkatkan loyalitas tamunya agar tidak beralih ke

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sosialisasi yang dijalankan oleh PT JGC Indonesia dari tahun 2007 sampai pada tahun 2015 awal tepatnya Januari 2015 ini yaitu

1 Sistem dapat digunakan untuk menyimpan Tinggi U.01 Use Halaman Utama (H.2) pengetahuan yang berasal tulisan auditor,. karangan orang lain maupun artikel majalah dan internet yang

Jika seseorang itu percaya bahawa kitar semula dapat membantu dalam memulihkan alam sekitar yang kini mempunyai sumber yang amat terhad dan dapat menjimatkan kos dengan

Analisis data berisi uraian data yang diolah untuk proses pemilihan strategi permesinan (toolpath strategy), penentuan cutter yang digunakan, feedrate, spindel speed, plungerate

Pewarnaan untuk opening dibuat dengan kesan cinematic agar lebih masuk ke dalam suasana Film Dokumenter Sampah Visual, dan untuk pewarnaan isi Film Dokumenter Sampah

Memiliki Diploma dalam bidang yang sesuai dengan mendapat sekurang-kurangnya PNGK 2.80 atau kelayakan lain yang diiktiraf oleh Senat UPM. Bacelor Kejuruteraan (Elektrik

Limbah cair industri tekstil (mengandung logam Cr) yang dibuang ke lingkungan dapat mencemari lahan pertanian karena digunakan sebagai sumber air irigasi. Selain itu, pencemaran