• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.10 Simulasi Sistem

Simulasi menurut Eriyatno (1999) adalah merupakan aktifitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab-akibatnya sama dengan atau seperti yang ada pada sistem yang sebenarnya. Dengan demikian simulasi berkepentingan dengan pembentukan serta pemanfaatan model-model yang secara realistis menyatakan penampakan sistem pada jalur waktu. Lebih lanjut dikatakan Eriyatno (1999) bahwa manfaat utama dari penggunaan simulasi adalah sifat fleksibilitasnya, dimana setiap permasalahan secara praktis yang mengandung risiko dapat dikaji dengan simulasi dalam derajat ketepatan yang memadai. Dibandingkan dengan cara-cara penyelesaian yang lainnya, simulasi hanya memiliki batasan-batasan yang relatif sedikit dan realistis, sehingga penggunaannya tidak terbatas (Gottfried 1984 diacu dalam Wiyono 2001).

Hasil akhir dari simulasi umumnya adalah berupa informasi dalam bentuk angka tentang kinerja sistem, sehingga belum memberikan kepada hubungan sebab- akibat. Simulasi lebih menunjukkan suatu estimasi statistik dan lebih cenderung hanya merupakan suatu perbandingan dari berbagai alternatif untuk mencapai titik optimum dibanding hasil yang eksak (Eriyatno 1999).

Beberapa asumsi yang sering dijadikan pertimbangan nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan, yaitu: (1) nelayan berasumsi bahwa produksi ikan tergantung pada usaha (dan hasil tangkapan dalam beberapa kasus) (2) Pendapatan pada akhir musim digunakan untuk menutupi selisih biaya pada kegiatan penangkapan untuk musim berikutnya. Investasi adalah fungsi dari keuntungan (3) Ada batas maksimum yang diizinkan untuk trip operasi di laut. Jumlah kapal, sama seperti kekuatan mesin, juga dibatasi oleh pengelola (4) Nelayan berkeinginan melakukan penangkapan dengan jumlah hari yang maksimal dimana aturan dan pendapatan memungkinkan hal tersebut (Frank & Brickman 2001)

Menurut Dommen (1999) tujuan pembangunan berkelanjutan dalam sektor perikanan memerlukan keputusan pengelolaan perikanan kedalam pertimbangan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang tergantung pada perikanan sebagaimana yang diperlukan negara berkembang untuk menjaga pendapatan dari perdagangan yang diperlukan untuk pembangunan. Hal ini menjelaskan bahwa dunia bergerak menjauh dari gagasan sumberdaya laut sebagai ‘bebas dan terbuka’ untuk semua dan telah mengadopsi keadaan yang lebih baik digambarkan sebagai ‘warisan bersama umat manusia’. Pemikiran warisan ini diadopsi dari UNCLOS III dan menyarankan kebutuhan untuk pengelolaan yang bertanggung jawab untuk kepentingan semua makhluk hidup, termasuk generasi masa depan (Russ 2003). 2.11 Penelitian Terdahulu tentang Alokasi Unit Penangkapan Ikan

Dalam pengkajian yang dilakukan Wiyono (2001) di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat diusulkan 2 skenario kebijakan pengaturan alat tangkap. Di antara dua skenario tersebut, skenario kedua, yaitu mengijinkan pengoperasian alat tangkap payang 52 unit, pancing 145 unit, bagan 103 unit, gillnet 0 unit dan rampus 13 unit

merupakan alternatif terbaik, karena baik secara ekonomi maupun biologi memberikan keuntungan yang terbaik. Keuntungan yang diperoleh skenario 2 adalah sebesar Rp. 10.088.476,000 per tahun. Bila skenario kebijakan ini diterapkan diharapkan kelestarian sumberdaya tetap terjaga dan keuntungan nelayan optimum. Untuk mengatasi berlebihnya alat tangkap yang didaratkan diusulkan untuk beralih fungsi ke alat tangkap rawai atau membuka usaha baru di bidang pengolahan ikan.

Agar dalam upaya pemanfaatan ikan pelagis kecil untuk jangka panjang tetap memberikan hasil tangkapan yang maksimum dalam bentuk bobot dan dari segi pengusahaannya memberikan keuntungan, maka dilakukan pembatasan jumlah unit penangkapan yang didasarkan atas nilai optimum masing-masing alat tangkap. Nilai optimum tersebut merupakan hasil perhitungan optimasi yang didasarkan atas upaya penangkapan dan potensi lestari dari masing-masing sumberdaya ikan pelagis kecil (Ratnasari 2002)

Berdasarkan hasil analisis optimasi pada penelitian Ratnasari (2002) di Teluk Lampung, bila kepentingan yang diperhatikan adalah maksimum keuntungan usaha penangkapan ikan pelagis kecil yang dominan di Teluk Lampung, maka jumlah unit penangkapan yang disarankan adalah bagan perahu sebanyak 1.545 unit, bagan tancap sebanyak 1.459 unit dan jaring insang hanyut sebanyak 260 unit alat tangkap standar. Keuntungan optimum yang diperoleh dari pengoperasian semua unit penangkapan ini adalah sebesar Rp 324.502.300 per tahun.

Hasil analisis LP yang dilakukan Laapo (2004) yang ditampilkan dalam bentuk skenario kebijakan perikanan dan perubahan eksternal dalam model ekonomi sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan (perubahan ketersediaan sumberdaya) memberikan pilihan alternatif terbaik usaha pengembangan perikanan tangkap. Penetapan alternatif kebijakan perikanan tangkap terbaik untuk diaplikasikan pada pelaku perikanan ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat dan kelestarian sumberdaya perikanan tangkap. Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya memiliki indikator sebagai berikut:

(1) Secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan nelayan

(2) Mampu memenuhi permintaan pasar ikan (domestik dan ekspor) (3) Dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja

(4) Secara biologi, kelestarian sumberdaya perikanan tangkap tetap terjaga. Tiga indikator pertama dapat diidentifikasi melalui besaran target yang dicapai dari tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap untuk setiap perubahan internal pelaku perikanan dan kebijakan pemerintah terhadap usaha perikanan. Kriteria keempat dapat diidentifikasi melalui besaran nilai potensi sumberdaya ikan (MSY) yang termanfaatkan. Makin besar pencapaian pendapatan, pemenuhan permintaan ikan dan kesempatan kerja, maka makin baik kesejahteraan masyarakat. Namun, jika pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan melebihi nilai MSY, maka terjadi ancaman kelestarian sumberdaya. Untuk itu, pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan yang berkelanjutan tidak boleh melebihi MSY.

Penentuan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan indikator disesuaikan dengan kondisi sumberdaya, perubahan dalam harga input-output perikanan dan penetapan kebijakan retribusi usaha perikanan. Kondisi yang dimaksud terdiri atas 3 kombinasi dengan 11 skenario perubahan dalam koefisien tujuan (akibat perubahan harga input- output dan kebijakan pemerintah) dan kendala sumberdaya (akibat perubahan ketersediaan sumberdaya).

Lebih lanjut Laapo (2004) menjelaskan bahwa ketersediaan BBM minyak tanah dan es balok pada setiap skenario selalu terpakai habis. Hal ini mengindikasikan pentingnya kendala input tersebut bagi usaha nelayan sehingga ketersediaannya perlu ditambah. Namun peningkatan ketersediaan BBM dan es akan meningkatkan intensitas penangkapan pada sumberdaya ikan pelagis kecil, pelagis besar dan ikan karang sehingga ketersediaan sumberdaya menurun dan seluruhnya termanfaatkan. Pada kondisi ini pemanfaatan sumberdaya perikanan mencapai titik MSY, sehingga diperlukan daerah penangkapan baru (new fishing ground) guna kelestarian sumberdaya.

Kebijakan peningkatan aksesibilitas penggunaan BBM dan es yang ditunjang oleh peningkatan harga ikan berdampak pada pencapaian target pengelolaan

perikanan tangkap. Secara makro, pemberlakuan retribusi bagi usaha perikanan dapat meningkatkan pendapatan daerah Kabupaten Morowali dari sektor perikanan. Secara biologi, pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap oleh nelayan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama dan ketersediaan sumberdaya ikan tetap lestari.

Hasil penelitian Kaleka (2007), guna mencegah terjadinya konflik atau keresahan sosial, maka alokasi unit penangkapan ikan tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi jenis unit penangkapan ikan tertentu yang telah ada, tetapi untuk mengatur komposisi yang tepat dan optimal serta membatasi jumlah unit penangkapan ikan yang tidak berpengaruh langsung dan jumlahnya dianggap sudah cukup dalam aktifitas penangkapan di Kabupaten Kupang.