• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan

Saat ini, keberhasilan dalam menarik wisatawan untuk tujuan wisata perkotaan sangat terkait dengan 'kebangkitan budaya dalam masyarakat dan pada kemasan pariwisata pada khususnya. Wisata budaya dipandang merupakan sebuah segmen dengan pertumbuhan tercepat di pasar pariwisata (Richards, 1996). Pengembangan minat potensi cagar budaya, di tempat-tempat bersejarah dan kota-kota yang menawarkan agenda budaya yang beragam, membuka perspektif baru bagi perekonomian perkotaan (Van den Borg et al., 1996). Ini berarti tantangan baru bagi industri pariwisata, untuk pengelolaan fasilitas budaya dan lembaga-lembaga publik (Swarbrooke, 1994 dalam Verbeke et al., 1999).

Tabel 1. Faktor Daya Tarik Wisata Kota.

FAKTOR UMUM FAKTOR KHUSUS

1. Unik dan Menarik Banyak yang dilihat dan dilakukan Tempat yang menarik

Menjadi pengalaman yang unik 2. Daya Tarik Budaya dan

Pemandangan

Landmark yang mudah dikenal Arsitektur yang menarik Catatan sejarah

Museum dan Galeri yang baik Masyarakat yang menarik Perbedaan budaya dan cara hidup Kebiasaan dan tradisi setempat

3. Hiburan Suasana malam hari yang menyenangkan Tempat perbelanjaan yang menarik Pertunjukkan musik

Seni dan teater

Festival dan pertunjukkan 4. Makanan dan Akomodasi Hotel yang nyaman

Restoran Makanan khas

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Hubungan saling menguntungkan antara budaya dan pariwisata mengarahkan kedua sektor dalam mencapai target ekonomi secara bersama-sama. Konservasi sumber daya budaya dan proses transformasi menjadi produk pariwisata, dapat menjadi insentif yang nyata untuk proses menghidupkan kembali identitas budaya pada masyarakat atau pada tingkat regional. Pada gilirannya proses ini dapat menciptakan iklim yang menguntungkan untuk pengembangan dan investasi proyek- proyek pariwisata baru, yang mana pasar pariwisata saat ini membutuhkan sebuah inovasi dan diversifikasi. Hal tersebut merupakan asumsi umum bahwa budaya dan pariwisata yang saling ketergantungan (Ashworth,1993 dalam Verbeke, 1999).

Mengingat tingginya biaya yang dibutuhkan dalam konservasi cagar budaya dan pengadaan berbagai fasilitas budaya, jelas pendapatan pariwisata sangat dibutuhkan. Dinamika budaya dalam bentuk dan ekspresi yang berbeda, dalam banyak kasus dapat memberi dukungan yang murni dalam pariwisata. Dari sudut

pandang budaya, pariwisata juga dilihat sebagai cara untuk melegitimasi dukungan politik, justifikasi sosial (dan ekonomi), sarana terhadap konservasi dan insentif untuk inovasi. Pasar pariwisata perlu sumber daya cagar budaya untuk mengembangkan produk baru. Produk-produk tersebut beserta fasilitasnya memberikan nilai tambah bagi pengalaman wisatawan, sehingga kepentingan kedua sektor kebudayaan dan pariwisata merupakan hal yang sangat kompatibel.

Hubungan budaya dan wisata semakin erat bahkan telah menjadi tak terelakkan. Dari sudut pandang pariwisata, budaya dalam definisi yang paling luas dipandang sebagai sebagai sumber daya yang ada dimana-mana dan dapat dikembangkan menjadi produk wisata (Ashworth, 1995). Setiap kota pasti memiliki sejarah, setiap monumen memiliki ceritanya masing-masing, yang menjadikannya sebagai potensi yang tampaknya tak terbatas. Hal yang lain, proses transformasi dari sumber daya budaya menjadi produk wisata belum tentu memiliki investasi dengan biaya yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan proyek-proyek infrastruktur pariwisata lainnya. Mungkin salah satu insentif yang paling relevan untuk berinvestasi pada produk wisata budaya adalah kenyataan bahwa kadang tidak adanya izin yang jelas untuk sumber daya cagar budaya, sering kali tidak ada kepemilikan yang dapat diakui. Dalam banyak kasus objek-objek cagar budaya merupakan barang publik, kepemilikan bersama di mana setiap pengembang pariwisata kreatif dapat memanfaatkannya (Healy, 1994 dalam Verbeke 1999).

Sumber daya cagar budaya memainkan peran kunci dalam pengembangan pariwisata perkotaan. Namun keyakinan tersebut disisi lain apakah didukung juga oleh perubahan struktural disisi permintaan, menjadi pertanyaan yang mengemuka. Peneliti akademis, marketing pariwisata dan manajer dalam bisnis pariwisata ditantang untuk memahami lebih baik karakteristik segmen pasar 'budaya', dengan faktor pendorong (push factor) pada sisi permintaan dan faktor penarik (pull factor) di sisi penawaran.

2.7. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan

Fungsi wisata dari bangunan cagar budaya tergantung kepada kemudahan akses bagi para wisatawan seperti akses untuk publik, waktu yang tersedia untuk mengakses tempat tersebut, kegunaan saat ini, dan fungsi serta kompleksitas bangunan. Transformasi penting dari bangunan cagar budaya adalah dapat berubah dari fungsi tunggal dimana pengunjung lebih terspesifik menjadi multifungsi yaitu menghadirkan serangkaian kombinasi kegiatan seperti budaya, rumah makan, pusat dan perbelanjaan. Bangunan cagar budaya dapat dibuka untuk wisatawan umum dan memiliki fungsi yang eksklusif, atau memiliki kegunaan yang multifungsi. Dalam beberapa kasus bangunan tersebut tidak secara langsung digunakan sebagai tempat wisata seperti halnya bangunan rumah tinggal, tapi tetap saja menambah pemandangan dan pengembangan nilai historis kota tersebut.

Dalam analisis fungsi wisata kelompok cagar budaya, terdapat indeks fungsional yang mengacu pada kombinasi dari akses bagi wisatawan dan tingkat dari kegunaan/fungsi dalam sebuah kawasan. Skor fungsi tertinggi diberikan kepada bangunan yang memiliki fungsi utama dalam objek wisata, dimana fungsi wisata yang spesifik dan secara harian dapat diakses oleh para wisatawan. Hal ini didasarkan pada apresiasi objek wisata yang berbeda dalam kota sebagai elemen

utama atau elemen pendukung (Jansen-Verbeke 1994). Model konseptual dari objek wisata yang diterapkan dalam analisis ini adalah alat untuk mengidentifikasi cluster cagar budaya dan memberikan peringkat dalam posisi morfologi dan secara fungsinya (Gambar 4).

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Gambar 4. Daya Tarik Wisata Kawasan Cagar Budaya Perkotaan.

Prinsip dasar dari model analitis ini adalah kedekatan interaksi antara bentuk dan fungsi dalam pengembangan cluster cagar budaya yang menarik. Terdapat gradasi yang jelas antara cluster cagar budaya yang berfungsi sebagai elemen utama produk wisata perkotaan, baik dari sisi karakteristik morfologi, posisi dan kemudahan akses, dibandingkan dengan fungsi wisata dan bangunan cagar budaya yang tidak terintegrasi yang bukan merupakan hal yang menarik untuk kebanyakan wisatawan.

Langkah pertama dalam analisis, yaitu terfokus pada kelompok cagar budaya dalam kota bersejarah tanpa memperhitungkan struktur fungsi keseluruhan dan zonasi di pusat kota. Fungsi wisata sebuah kota bersejarah tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang hanya menempel pada struktur perkotaan. Sebaliknya, hal tersebut bagaimanapun juga merupakan bagian dari sistem perkotaan (Ashworth et al., 1990 dalam Verbeke, 1999). Semakin pentingnya fungsi wisata secara bertahap mengubah campuran fungsi di pusat kota dan dampak dari kegiatan pariwisata mempengaruhi kualitas dan karakteristik lingkungan. Harmonisasi dan interaksi antara pariwisata dan kegiatan ekonomi lain, dalam hal penggunaan ruang, sangat tergantung bagaimana kelompok cagar budaya secara fisik dan fungsi terintegrasi dengan sistem perkotaan.

Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan spektrum peluang wisata perkotaan meliputi:

 Aksesibilitas menuju dan dalam area destinasi;

 Kemungkinan terdapatnya pilihan dari berbagai kegiatan dan memenuhi beragam preferensi;

 Kombinasi aktifitas dengan anggaran yang spesifik;

 Pengaturan tata ruang dari tempat-tempat menarik (jaringan, jalan);

 Sinergitas fungsi antar fasilitas perkotaan;

 Interaksi antar aktivitas.

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Gambar 5. Konsep Spektrum Peluang Wisata Perkotaan.

Interpretasi awal dari hasil studi ini mengarah pada pendefinisian tiga dimensi yang relevan dalam model pengembangan spektrum peluang wisata perkotaan (Gambar 6.). Tantangan saat ini terletak pada analisis yang lebih mendalam dari masing-masing dimensi, terutama untuk menilai peran cluster warisan dalam pengembangan spektrum/jangkauan yang menarik untuk berbagai jenis wisatawan.

Komponen indeks daya tarik wisata yang merupakan kombinasi dari indeks posisi morfologi dan indeks fungsi menawarkan sebuah kerangka untuk pengelolaan spektrum peluang Wisata perkotaan (Gambar 7). Untuk menggunakan pendekatan analisis ini secara efektif sebagai alat perencanaan, maka informasi yang diperlukan pada komponen daya tarik wisata, kegiatan serta preferensi wisatawan harus tersedia lebih banyak. Khususnya pembangunan jalur bertema dan peran intervensi peluang yang membutuhkan tinjauan lapangan lebih lanjut.

Gambar 7. Indeks Komponen Daya Tarik Wisata.

Memahami komponen yang berbeda dari daya tarik perkotaan bagi wisatawan budaya bukan menjadi tujuan akhir tapi sebagai dasar untuk pengembangan strategi manajemen. Konsep dan model di atas juga dapat diimplementasikan sebagai alat perencanaan kota dimana pariwisata telah mencapai batas kapasitasnya. Menilai objek wisata dengan cara yang analitis dan kritis membuka perspektif baru tentang pembangunan berkelanjutan. Pemahaman tentang tipologi cluster cagar budaya, menuju penghitungan karakteristik lokasi dan fungsi, kemudian membentuk dasar yang kuat untuk pilihan pembangunan. Pilihan tersebut sebagai contoh adalah untuk memperkuat fungsi wisata cluster cagar budaya yang menghubungkan area utama, atau menambahkan kegiatan pada kawasan cagar budaya yang kini hanya berfungsi sebagai wisata pemandangan saja (Gambar 8).

Dokumen terkait