• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Benda Cagar Budaya Sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Benda Cagar Budaya Sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

RIDHA MUHAMMAD ICHSAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Benda Cagar Budaya sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(4)

RINGKASAN

RIDHA MUHAMMAD ICHSAN. Analisis Benda Cagar Budaya sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor. Dibimbing oleh ATANG SUTANDI dan SATYAWAN SUNITO

Pengelolaan kawasan cagar budaya memiliki manfaat yang lebih luas dalam pengembangan wilayah perkotaan. Pemanfaatannya menjadi kawasan wisata perkotaan menjadi sangat relevan bagi kota-kota besar yang membutuhkan sumber ekonomi baru ditengah peningkatan penduduk yang semakin tinggi, kebutuhan wilayah yang semakin meningkat namun dengan keterbatasan sumber daya alam yang dimiliki. Kota Bogor memiliki potensi besar dalam keberadaan warisan cagar budaya ditandai dengan hadirnya 484 bangunan cagar budaya yang menyebar membentuk kawasan cagar budaya di enam kecamatan dan 31 kelurahan.

Terdapat 442 bangunan atau sekitar 91.32% berkondisi baik, 17 bangunan memiliki multi-fungsi dan 26 bangunan multi-akses yang menjadi asset bagi sebuah perencanaan ke depan. Dengan menggabungkan metode Kernel Density, pembobotan dan skoring sederhana, serta metode skalogram, diketahui bahwa terdapat lima kelurahan (Kelurahan Babakan, Kelurahan Paledang, Kelurahan Sempur, Kelurahan Babakan Pasar, dan Kelurahan Pabaton) yang memiliki potensi besar sehingga menjadi kawasan prioritas untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata budaya perkotaan. Namun keberadaan kawasan cagar budaya yang berada di pusat kota dengan laju perubahan fungsi lahan yang sangat tinggi, menjadi perhatian penting dalam merumuskan program-program prioritas dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan cagar budaya pada masa yang akan datang. Melalui metode AHP, persepsi tokoh kunci menunjukkan bahwa pemberdayaan dan penyadaran masyarakat menjadi program prioritas diantara program lain yang harus dilakukan.

Keywords : Kawasan Cagar Budaya, Wisata Perkotaan, Kernel Density,

(5)

Potential Areas in City of Bogor. Supervised by ATANG SUTANDI dan SATYAWAN SUNITO

Management cultural heritage become urban tourist areas are particularly relevant for big cities that require a new economy resource amid the population growth, increasing of the region needs, but the other fact also in limited natural resources to be owned. Bogor city has great potential in the presence of heritage cultural heritage characterized by the presence of 484 heritage buildings that established the heritage area which spread at six districts and 31 sub-districts.

There are 442 buildings in good condition, 17 buildings had multi-function and 26 buildings multi-access that become an asset for future planning. Combining the Kernel Density method, weighting and skalogram methods, it was known that there were five sub-districts that has great potential and priority area to be developed into urban cultural tourism. The existence of the heritage area which located at very high potential of land use change, was important concern to formulating priority programs in the management and development of the area of cultural heritage in the future. Using AHP method, the perception of key figures show that the empowerment and awareness became a priority program among other programs might be done.

Keywords : Kawasan Cagar Budaya, Wisata Perkotaan, Kernel Density,

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

ANALISIS BENDA CAGAR BUDAYA

SEBAGAI POTENSI KAWASAN WISATA PERKOTAAN KOTA

BOGOR

RIDHA MUHAMMAD ICHSAN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Analisis Benda Cagar Budaya Sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor

Nama : Ridha Muhammad Ichsan

NIM : A156120111

Disetujui Oleh

Komisi Pembimbing

Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D. Ketua

Dr. Satyawan Sunito Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, MAgr.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga proposal penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan Juli 2015 ini ialah pemanfaatan kawasan cagar budaya perkotaan dalam konteks pengembangan wilayah, dengan judul Analisis Benda Cagar Budaya Sebagai Potensi Kawasan Wisata Perkotaan Kota Bogor.

Penulisan karya ilmiah ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ir. Atang Sutandi, M.Si., Ph.D., dan Dr. Satyawan Sunito selaku Ketua dan Anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan dan bimbingan yang diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr Yayat Supriatna, MSP selaku penguji luar komisi yang telah memberikan perbaikan dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.

3. Dr Ir Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB, yang juga telah mendorong dan memberi kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2 di IPB.

4. Bapak/Ibu dosen pengajar dan staf akademik di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB.

5. Orang tuaku tercinta Maman Pudjaswara, Alm. dan Komariah atas segala curahan kasih sayangnya, kesabaran dan doa yang selalu senantiasa dipanjatkan. 6. Istriku Yeni Herliana dan Anakku Salman Muhammad Ichsan atas segala

dorongan dan kesabaran yang senantiasa diberikan selama ini.

7. Kakak-kakakku Rita Nurvita dan Rivan Juniawan, Alm. yang selalu memberikan doa, dorongan dan dukungannya selama ini.

8. Arief Rahman M.Si. selaku Ketua Divisi Perencanaan dan Pemberdayaan Masyarakat, P4W LPPM-IPB, beserta seluruh rekan divisi yang telah memberikan dukungan, ruang dan kepercayaan dalam menjalani studi S2 di IPB. 9. Reza Adhiatma selaku Ketua Kampoeng Bogor beserta seluruh anggota dan simpatisan komunitas yang berjuang bersama penulis dalam mengangkat isu cagar budaya di Kota Bogor.

10. Seluruh Anggota TP4 Kota Bogor

11. Rekan-rekan PWL angkatan 2012 yang selama ini berjuang bersama-sama dan saling menyemangati dalam menyelesaikan studi di IPB.

12. Rita Yulisa, M.Si. dan Galuh Syahbana Indraprahasta, M.Si, atas kesediaan meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis terkait penyelesaian penelitian ini.

Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, Semoga karya ilmiah ini menjadi sumbangsih penulis terhadap ilmu pengetahuan dan berguna bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima kasih.

Bogor, September 2016

(12)

DAFTAR ISI

2.2. Kawasan Cagar Budaya dan Penataan Ruang ... 8

2.3. Kawasan Cagar Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan ... 11

2.4. Kota dan Perkembangan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya ... 12

2.5. Zonasi Dalam Upaya Pelestarian Cagar Budaya ... 14

2.6. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan ... 16

2.7. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan ... 17

2.8. Penelitian Terdahulu ... 21

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.2. Jenis dan Sumber Data... 24

3.4.1. Analisis Kepadatan (Kernel Density) ... 25

3.4.2. Analisis Pusat dan Hierarki Pelayanan ... 26

3.4.3. Analisis Pembobotan Rank Order Centroid (ROC) ... 27

3.4.4. Analisis AHP(Analytical Hierarchy Process) ... 28

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 31

(13)

4.2.6. Kemampuan Lahan ... 37

4.2.7. Hidrologi ... 38

4.2.8. Rencana Tata Ruang Wilayah ... 39

4.3. Sosial Budaya Ekonomi ... 45

5.1. Kawasan Cagar Budaya di Kota Bogor ... 48

5.2. Keunggulan Bangunan Cagar Budaya ... 51

5.3. Ketersediaan Sarana Prasarana Pendukung Potensi Wisata Cagar Budaya ... 54

5.5. Arah Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Kota Bogor ... 70

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76 Tabel 1. Faktor Daya Tarik Wisata Kota ... 16

Tabel 2. Penelitian Terdahulu Terkait Tema Cagar Budaya ... 21

Tabel 3. Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis dan output pada setiap tahapan penelitian ... 24

Tabel 4. Penentuan nilai selang kelas hirarki untuk Analisis Skalogram ... 27

Tabel 5. Keterangan Masing-masing Bobot ... 29

Tabel 6. Pemberian Bobot pada Pilihan Berpasangan ... 29

Tabel 7. Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bogor ... 31

Tabel 8. Ketinggian Kota Bogor Menurut Kecamatan... 33

Tabel 9. Tingkat Kemiringan Daerah Menurut Kecamatan di Kota Bogor ... 34

Tabel 10. Jumlah Curah Hujan di Kota Bogor Tahun 2015 ... 35

(14)

Tabel 12. Kondisi Fisik dan Lingkungan Menurut Jenis Tanah Per Kecamatan

di Kota Bogor ... 36

Tabel 13. Luas Lahan Pertanian Menurut Kecamatan ... 37

Tabel 14. Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Kecamatan ... 37

Tabel 15. Kemampuan Lahan Kota Bogor ... 38

Tabel 16. Hasil Pengukuran Debit Tahun 2004 ... 39

Tabel 17. Rencana Pusat Pelayanan ... 40

Tabel 18. Luas Wilayah, Jumlah RT/RW, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk per Kecamatan di Kota Bogor ... 46

Tabel 19. Penduduk Menurut Agama di Kota Bogor ... 46

Tabel 20. Jumlah Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Kecamatan ... 48

Tabel 21. Jumlah Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Jenis Bangunan ... 48

Tabel 22. Keterangan Penilaian Kriteria Masing-masing Objek dan Bangunan Cagar Budaya ... 51

Tabel 23. Tabel Jumlah Kondisi, Fungsi dan Akses Untuk Masing-masing Kriteria Penilaian Bangunan Cagar Budaya ... 52

Tabel 24. Tabel Bobot pada Setiap Kriteria Menggunakan Rank Order Centroid .... 52

Tabel 25. Nilai Bangunan pada masing-masing Kelurahan yang Memiliki Bangunan Cagar Budaya ... 53

Tabel 26. Tingkat Pertumbuhan Kelurahan yang Memiliki Bangunan Cagar Budaya di Kota Bogor... 55

Tabel 27. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Babakan berdasarkan Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya. ... 57

Tabel 28. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan. ... 58

Tabel 29. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Paledang berdasarkan Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. ... 60

Tabel 30. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang. ... 61

Tabel 31. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Sempur berdasarkan Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. ... 63

Tabel 32. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur. ... 63

Tabel 32. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Babakan Pasar berdasarkan Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. . 65

Tabel 32. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar. ... 66

Tabel 35. Proporsi Luas Wilayah Kelurahan Pabaton berdasarkan Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya, RTRW Kota Bogor Tahun 2011-2031. ... 68

Tabel 36. Potensi Wisata Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton. ... 69

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 6

Gambar 2. Pelestarian Pusaka Urban ... 13

Gambar 3. Kelompok Kota Pusaka ... 14

Gambar 4. Daya Tarik Wisata Kawasan Cagar Budaya Perkotaan ... 18

Gambar 5. Konsep Spektrum Peluang Wisata Perkotaan ... 19

Gambar 6. Model Pengembangan Spektrum Peluang Pariwisata ... 19

(15)

Gambar 8. Tipologi Kawasan Cagar Budaya ... 20

Gambar 9. Peta Lokasi Penelitian ... 23

Gambar 10. Ilustrasi Input-Output pada Arcgis Menggunakan Kernel Density ... 26

Gambar 11. Kerangka Hirarki pengembangan Kawasan Cagar Budaya sebagai Potensi Wisata Perkotaan Kota Bogor ... 28

Gambar 12. Peta Administrasi Kota Bogor ... 32

Gambar 13. Peta Kelas Ketinggian Kota Bogor... 33

Gambar 14. Peta Lereng Kota Bogor ... 34

Gambar 15. Rencana Struktur Ruang Kota Bogor ... 41

Gambar 16. Rencana Pola Ruang Kota Bogor ... 43

Gambar 17. Piramida Penduduk Kota Bogor, 2014 ... 46

Gambar 18. Peta Sebaran Bangunan Cagar Budaya Kota Bogor... 49

Gambar 19. Peta Kepadatan Bangunan Cagar Budaya Menggunakan Metode Kernel Density ... 50

Gambar 20. Peta Peringkat Kepadatan Kelurahan yang Memiliki Bangunan Cagar Budaya ... 50

Gambar 21. Contoh Bangunan Cagar Budaya yang Tidak Utuh dan Tidak Terawat ... 51

Gambar 22. Peta Potensi Bangunan Cagar Budaya ... 54

Gambar 23. Peta Tingkat Pertumbuhan Kelurahan Bangunan Cagar Budaya ... 54

Gambar 24. Peta Kelurahan Prioritas Pengembangan Kawasan Wisata Cagar Budaya Kota Bogor... 56

Gambar 25. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan. ... 58

Gambar 26. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan... 59

Gambar 27. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang. ... 61

Gambar 28. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Paledang. ... 62

Gambar 29. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur. ... 64

Gambar 30. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Sempur. ... 65

Gambar 28. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar. ... 66

Gambar 32. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Babakan Pasar. ... 67

Gambar 33. Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya dan Sebaran Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton. ... 69

Gambar 34. Contoh Bangunan Cagar Budaya di Kelurahan Pabaton. ... 70

Gambar 35. Program Prioritas yang Mendukung Pengembangan Kawasan Wisata Cagar Budaya. ... 71

Gambar 36. Prioritas dalam Pemberdayaan dan Penyadaran Masyarakat ... 72

Gambar 37. Prioritas dalam Perlindungan Kawasan ... 72

Gambar 38. Grafik Prioritas dalam Sarana dan Prasarana Pendukung ... 75

Gambar 39. Grafik Prioritas Penguatan Citra Kawasan ... 75

(16)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan suatu wilayah idealnya dilakukan berdasarkan potensi yang dimiliki wilayah tersebut. Namun seringkali pembangunan yang dilakukan malah mengeleminasi potensi yang ada. Seperti halnya terhadap keberadaan suatu kawasan cagar budaya di wilayah perkotaan. Keberadaan kawasan cagar budaya dengan segala bentuk objek cagar budaya yang ada di dalamnya perlahan semakin hilang digeser oleh pembangunan perkotaan yang semakin pesat seperti halnya terjadi di Kota Bogor. Perkembangan kota yang berorientasi memenuhi kebutuhan masyarakat dengan berbagai sarana prasarana perkotaan guna memenuhi target pembangunan, pada prakteknya tidak pernah berjalan bersamaan dengan pengelolaan aset cagar budaya. Merubah fungsi lahan menjadi kawasan yang semata-mata hanya memenuhi kebutuhan komersil, seringkali berada pada satu ruang yang sama.

Kawasan cagar budaya perkotaan atau dikenal juga dengan urban heritage

adalah kawasan yang pernah menjadi pusat-pusat dari sebuah kompleksitas fungsi kegiatan ekonomi, sosial, budaya yang mengakumulasi makna kesejarahan (historical significance). Kawasan tersebut memiliki kekayaan tipologi dan morfologi urban heritage yang berupa historical site, historical distric dan historical cultural (Shirvani 1985, dalam Ramadhani 2012). Namun seperti halnya Kota Bogor, kawasan pusat kota berkembang dari kawasan yang pada masa lalu memiliki aktifitas tinggi karena lokasinya yang strategis, sehingga pusat kota saat ini dan kawasan cagar budaya seringkali berada pada lokasi yang sama. Kondisi kawasan cagar budaya menjadi sangat rentan karena pusat kota memiliki alih fungsi lahan yang tinggi.

Kawasan-kawasan seperti pemukiman lama Etnis Tionghoa disepanjang Jalan Suryakencana-Siliwangi dan sekitarnya, pemukiman Arab di sekitar Empang dan Bondongan, serta pemukiman Eropa di sebagian wilayah Bogor Barat, harus terhimpit dan perlahan tergantikan oleh pesatnya pembangunan ruko, hotel dan pusat perbelanjaan di Kota Bogor. Kota yang tumbuh dengan sejarah, kehidupan sosial dan budaya, kaya akan bangunan cagar budaya, namun dalam beberapa kasus juga merupakan kawasan yang penuh dengan permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan (Cortie, et al., 1993 dalam Verbeke, 1999). Tidak kurang sebanyak 650 entry data bangunan cagar budaya di Kota Bogor yang berhasil disurvey oleh modern Asian Architecture Network (mAAN) yang merupakan jejaring kerjasama antar individu maupun institusi yang berbagi wawasan mengenai pelestarian warisan arsitektur dan kota-kota di Asia pada tahun 2007 bekerjasama dengan Universitas Tarumanegara. Selanjutnya pada tahun 2010, Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor hanya berhasil mendata sebanyak 487 bangunan cagar budaya yang ada.

(17)

khas. Sedangkan situs cagar budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu. Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Sehingga cagar budaya baik berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya. Dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya tersebut, maka diperlukan juga keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kemudian dalam konteks penataan ruang, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya kota-kota memperhatikan nilai parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini mengandung makna tema budaya menjadi salah satu faktor determinan dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya, seperti lingkungan, sumber daya alam dan teknologi, ekonomi dan pertahanan keamanan. Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air sehingga upaya pelestarian sangat berkaitan pula dengan penataan ruang.

Pengelolaan kawasan cagar budaya memiliki manfaat yang lebih luas dalam pengembangan wilayah perkotaan. Perlindungan cagar budaya tidak hanya berkontribusi pada kualitas dalam membangun lingkungan tapi juga sangat penting bagi masyarakat dan bagi identitas budaya serta membantu dalam menentukan karakter sebuah tempat. Dengan melakukan pelestarian suatu cagar budaya, dan menghidupkannya kembali dengan cara yang baru, merupakan salah satu bentuk realisasi pembangunan berkelanjutan yang efektif (Rui, 2008). Dalam masyarakat yang semakin multi-kultur yang mengalami tekanan ekstrim penyeragaman globalisasi, masalah apa yang harus dilindungi telah mengemuka dalam perdebatan tentang kawasan cagar budaya. Isu yang berkembang tentang kota berkelanjutan selalu mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan emisi karbon, pemanfaatan energi terbarukan, dan pengelolaan limbah, atau pada aspek ekonomi dari pertumbuhan kota. Namun keberadaan warisan budaya akhirnya menjadi bagian yang diakui dapat mendorong kesejahteraan sosial pada kelompok-kelompok masyarakat yang hidup dalam kota yang semakin kosmopolitan (Tweed dan Sutherland, 2007).

Hal yang paling nyata dalam pemanfaatan cagar budaya oleh para praktisi pengembangan wilayah adalah bagaimana menarik perhatian banyak orang ke dalam wilayah tersebut terutama kaitannya dalam wisata cagar budaya (Timothy, 2007

(18)

agenda budaya yang beragam, membuka perspektif baru bagi perekonomian perkotaan (Van den Borg et al. 1996).

1.2. Perumusan Masalah

Pembangunan kota yang cukup pesat, pada sisi lain telah berdampak pada menghilangnya satu persatu bangunan cagar budaya yang merupakan asset Kota Bogor. Bangunan-bangunan tersebut yang selama ini telah membentuk kawasan cagar budaya dan memiliki nilai penting dalam pengembangan wilayah Kota Bogor. Jika hal ini terus terjadi, maka Kota Bogor tidak hanya kehilangan salah satu potensi penting yang menjadi bagian kota, namun juga kehilangan identitas dan tidak memiliki alternative dalam pengembangan wilayah di masa yang akan datang terutama dalam pengembangan wisata perkotaan. Hingga kini belum diketahui lagi jumlah eksisting bangunan semenjak survey yang dilakukan oleh modern Asian Architecture Network (mAAN) pada tahun 2007 dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor pada tahun 2010. Kemudian survey yang dilakukan oleh Program Pelestarian dan Pengembangan Kota Pusaka (P3KP) pada tahun 2012 hanya mempertegas kawasan yang sebelumnya tercantum pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011-2030. Hingga saat ini, belum terdapat lagi survey atau inventarisir untuk mengetahui sejauh mana keberadaaan bangunan cagar budaya di Kota Bogor.

Perhatian dan upaya pengelolaan Kawasan Cagar Budaya oleh pemerintah daerah dalam hal ini dinilai belum maksimal, dimana upaya pengelolaan kawasan yang dilakukan terhenti pada proses pendataan saja, yang hanya menghasilkan catatan jumlah bangunan yang semakin hari semakin berkurang. Keberadaan kawasan cagar budaya belum dijadikan bagian yang menjadi satu struktur kesatuan perkotaan. Hal ini seringkali dikaitkan dengan fokus pembangunan daerah yang memiliki prioritas pada kebutuhan lain yang dinilai lebih mendesak dibandingkan upaya pengelolaan cagar budaya. Padahal Kota Bogor tetap membutuhkan alternative upaya pengembangan wilayah khususnya pada pusat kota yang cenderung mulai mengalami kejenuhan dan kelebihan beban, sehingga kota mulai kehilangan daya tarik. Kota memerlukan inisiatif dalam mengembangkan ekonomi baru perkotaan dan menggeliatkan kembali sector unggulan ditengah menurunnya kontribusi PDRB oleh sektor perdagangan hotel dan restoran pada lima tahun terakhir.

Perkembangan Kota Bogor yang terjadi selama ini diharapkan dapat menjadi penunjang pengembangan kawasan cagar budaya, sehingga menjadi bagian dalam pembangunan kota yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan bukan menjadi hal yang saling meniadakan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian terkait dengan potensi wisata kawasan cagar budaya perkotaan sebagai bagian dalam pengembangan wilayah di Kota Bogor.

Permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Belum diketahuinya kondisi eksisting kawasan cagar budaya di Kota Bogor; 2. Belum diketahuinya potensi wisata kawasan cagar budaya yang ada di Kota

Bogor;

3. Belum diketahuinya keterkaitan antara perkembangan wilayah dan potensi kawasan cagar budaya Kota Bogor

(19)

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi bangunan cagar budaya di Kota Bogor saat ini?

2. Apakah kawasan cagar budaya yang ada memiliki potensi wisata untuk dikembangkan?

3. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah pada masing-masing kawasan cagar budaya?

4. Bagaimana arah pengembangan kawasan cagar budaya sebagai potensi wisata perkotaan?

1.3. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi bangunan serta kawasan cagar budaya Kota Bogor secara spasial.

2. Menganalisis potensi wisata kawasan cagar budaya perkotaan di Kota Bogor. 3. Menganalisis tingkat pertumbuhan masing-masing kawasan cagar budaya Kota

Bogor.

4. Menyusun arah pengembangan kawasan cagar budaya sebagai potensi wisata perkotaan Kota Bogor.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat pada beberapa aspek antara lain, menambah khasanah informasi tentang aspek pengelolaan aset sejarah dan budaya di kawasan perkotaan, memberikan informasi kondisi eksisting kawasan cagar budaya di Kota Bogor, memberikan alternatif arahan pengembangan kawasan cagar budaya sebagai komponen penting dalam pengembangan wilayah, sehingga menjadi masukan upaya perencanaan pada masa-masa yang akan datang serta sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup substansial meliputi batasan penelitian yang terkait dengan potensi-potensi yang ada pada setiap kawasan cagar budaya Kota Bogor berikut fasilitas yang tersedia. Potensi setiap kawasan menjadi dasar arah pengembangan dengan tambahan masukan pengelolaan dari masyarakat yang diintegrasikan dengan kriteria dan ketentuan pengelolaan suatu kawasan cagar budaya.

(20)

1.6. Kerangka Pemikiran

Menempatkan kawasan cagar budaya menjadi salah satu prioritas pembangunan memang bukan merupakan hal yang mudah dalam kebijakan pemerintah daerah. Dampak perkembangan dari pengelolaan sebuah kawasan tidak dapat dirasakan dalam jangka waktu yang pendek. Namun kota tetap memerlukan proyeksi investasi jangka panjang dalam kerangka pembangunan dan upaya pengembangan wilayah. Seperti idealnya sebuah perkotaan, investasi mau tidak mau harus dilakukan untuk membangun daya tarik kota, kemudian mengemasnya dalam wisata perkotaan, dan menyerap pendapatan daerah melalui sektor perdagangan, hotel dan restoran. Faktanya pembangunan fisik di Kota Bogor tidak hanya memiliki dampak positif dari sisi ketersediaan fasilitas perkotaan namun juga memiliki dampak negative terhadap kenyamanan dan daya tarik kota. Semakin menurunnya kualitas kawasan cagar budaya akibat perubahan fungsi yang selalu berorientasi pada pendapatan daerah, mengakibatkan terjadinya perubahan kawasan yang seringkali tidak sesuai dengan peruntukkan yang kemudian mengakibatkan daya tarik kota semakin menurun.

Kota Bogor yang tidak banyak memiliki daya tarik dari sisi keberadaan objek wisata yang tersedia, patut mempertimbangkan kawasan cagar budaya menjadi potensi wisata perkotaan dalam rangka menghadirkan kembali daya tarik kota. Daya tarik Kota Bogor diperkirakan semakin meningkat jika keberadaan kawasan cagar budaya dikelola dengan baik dimana berbagai fasilitas perkotaan yang telah disediakan oleh laju pembangunan dapat menjadi penunjang dalam pengembangan ke depan. Namun untuk menjadi objek wisata perkotaan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik wisatawan seperti akses terhadap lokasi, waktu yang tersedia untuk mengakses objek tersebut, adanya fasilitas pendukung, dan faktor lain sehingga objek tersebut memiliki daya tarik bagi wisatawan. Faktor tersebut menjadi variable-variabel yang kemudian diintegrasikan dengan potensi kawasan cagar budaya yang saat ini ada.

(21)
(22)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Cagar Budaya

Peranan penting cagar budaya telah tertuang dalam produk hukum negara mulai dari tahun 1992 yang kemudian diperbaharui dengan munculnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Negara menganggap bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Sehingga cagar budaya baik berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya. Dengan adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya tersebut, maka diperlukan juga keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya lebih lanjut menjelaskan beberapa pengertian terkait cagar budaya diantaranya seperti dijelaskan pada beberapa uraian berikut di bawah ini:

1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

3. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.

4. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

(23)

6. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Suatu objek dapat ditetapkan menjadi benda cagar budaya dengan melalui tahapan proses sebagai berikut:

1. Pendaftaran, adalah upaya pencatatan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada pemerintah kabupaten/kota atau perwakilan Indonesia di luar negeri dan selanjutnya dimasukkan dalam Register Nasional Cagar Budaya.

2. Penetapan, adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

Dimana proses tersebut dilakukan terhadap benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria:

a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

2.2. Kawasan Cagar Budaya dan Penataan Ruang

Sebelum masa kemerdekaan Indonesia merupakan negara yang tumbuh dengan perjalanan sejarah yang panjang, dimana kerajaan-kerajaan nusantara tumbuh dan saling berebut kekuasaan hingga masa berganti memasuki masa penjajahan. Setelah berabad-abad lamanya, menjadikan potensi warisan budaya yang kaya dan beragam menyebar diseluruh nusantara. Potensi-potensi tersebut hadir dalam bentuk kesenian, adat istiadat, bahasa, situs, arsitektur dan kawasan bersejarah. Kekayaan dan keragaman warisan budaya inilah yang telah memberikan kontribusi kepada kota-kota di Indonesia, sehingga masyarakat kota-kota dengan proses budayanya, telah membentuk karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas melekat pada setiap kota serta memberikan peran signifikan dalam pembentukan identitas kota. Hal ini menjadi bagian penting dari sebuah wilayah sehingga patut pula menjadi bagian sebuah dari perencanaan baik rencana tata ruang maupun rencana pembangunan daerah.

(24)

prosesnya. Penenkanan pelaksanaan pelestarian cagar budaya perlu memperhatikan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pemahaman tersebut di atas kemudian diterjemahkan Undang-Undang Cagar Budaya ke dalam tujuan Pelestarian Cagar Budaya yang meliputi:

1. Melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; 2. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya; 3. Memperkuat kepribadian bangsa;

4. Meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan

5. Mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Kemudian dalam konteks penataan ruang, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan pentingnya kota-kota memperhatikan nilai parsial budaya yang berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Hal ini mengandung makna tema budaya menjadi salah satu faktor determinan dalam pengelolaan kawasan disamping tema-tema lainnya, seperti lingkungan, sumber daya alam dan teknologi, ekonomi dan pertahanan keamanan. Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air sehingga upaya pelestarian sangat berkaitan pula dengan penataan ruang. Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila:

1. Mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan;

2. Berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;

3. Memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun;

4. Memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas;

5. Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan

6. Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.

Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) telah menetapkan tiga peninggalan budaya yang termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN), yakni Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Tana Toraja. Namun tidak menutup kemungkinan situs-situs lain akan ditetapkan sebagai KSN apabila telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam RTRWN. Lebih lanjut Kebijakan/Arahan Pengembangan Kawasan Heritage dan Bangunan Cagar Budaya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah diwujudkan dalam:

1. Kebijakan dan strategi pengembangan Kawasan Heritage sebagai bagian dari Kawasan Lindung yang meliputi implementasi antara lain:

- Menetapkan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

- Meningkatkan nilai kawasan bersejarah dan/atau bernilai arsitektur tinggi; dan

- Mengembangkan potensi sosial budaya masyarakat yang memiliki nilai sejarah.

(25)

budidaya sesuai dengan daya dukung dan daya tampung mengendalikan pengembangan kawasan pusat kota.

3. Kebijakan dan Strategi pengembangan Kawasan Heritage sebagai bagian dari Kawasan Strategis Sosial Budaya dimana strategi pengembangannya dapat berupa menata kawasan dalam rangka perlindungan terhadap kelestarian lingkungan dan menata kawasan dalam rangka perlindungan peninggalan budaya.

Kota Bogor seperti kota/kabupaten lainnya di luar hasil realisasinya di lapangan, telah mengakomodir kebutuhan ruang dalam RTRW yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Dalam Rencana Kawasan Lindung RTRW Kota Bogor 2011-2031, dinyatakan bahwa yang masuk ke dalam Kawasan Cagar Budaya meliputi:

1. Istana Bogor di Jl.Ir.H.Juanda; 2. Istana Batu Tulis di Jl.BatuTulis;

3. Gedung Karasidenan Bogor/ Bakorwil di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 4; 4. Balai Kota Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 10;

5. Markas KODIM 0606 Bogor di Jl. Jenderal Sudirman Nomor 33; 6. Markas KOREM 061/Surya Kencana di Jl. Merdeka Nomor 6; 7. Gedung Blenong/Badan PertanahanNasionalBogordiJl.JalakHarupat; 8. Gedung RRIRegional II Bogor di Jl. Pangrango Nomor 34;

9. Balai Penelitian Bio Teknologi Perkebunan Republik Indonesia di Jl. Taman Kencana;

10.Kantor Pos Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 5; 11.Museum Zoologi Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 9;

12.Monumen dan Museum Peta di Jl. Jenderal Sudirman Nomor 35; 13.Makam Raden Saleh di Jl. Pahlawan gg. Raden Saleh;

14.Gereja Kathedral di Jl. KaptenMuslihat Nomor 22; 15.Gereja Zebaothdi Jl. Ir. H. Juanda Nomor 3; 16.Kapel Regina Pacis, Kompleks diJl. Ir. H. Juanda; 17.Gedung SMA YZA 2 Bogor di Jl. Semeru Nomor 41;

18.Gedung SMP Negeri 2 Bogor di Jl. Gedong Sawah IV Nomor 9; 19.Gedung SMA-SMP Negeri 1 Bogor di Jl. Ir. H. Juanda Nomor 16; 20.Stasiun Kereta Api Bogor di Jl. Nyi Raja Permas Nomor 1;

21.Rumah Sakit Salak di Jl. Jenderal Sudirman Nomor8;

22.Rumah Panti Asuhan “Bina Harapan” di Jl, Jenderal Sudirman No 7; 23.Hotel Salak di Jl. Ir. H. Juanda;

24.Mesjid Empang di Jl. Empang;

25.Klenteng Dhanagun/ Hok Tek Bio di Jl. Suryakencana Nomor 1;dan 26.Prasasti Batu Tulis di Jl. Batu Tulis.

Kawasan Cagar Budaya tersebut direncanakan untuk mempertahankan karakteristik bangunan dan lingkungan sekitarnya serta merevitalisasi kawasan cagar budaya. Selain itu terdapat juga Kawasan Strategis Kota dimana salah satu nya terdapat Kawasan Strategis Sosial Budaya yang meliputi:

1. Kawasan perdagangan lama di Pasar Bogor, Pecinan di Jalan Suryakencana dan Kampung Arab di Empang;

2. Kawasan Istana Batutulis dan sekitarnya;dan

3. Kawasan perumahan berarsitektur khas di Taman Kencana.

(26)

1. Menata bangunan dan lingkungan; 2. Meningkatkan kualitas lingkungan;

3. Mempertahankan nilai sejarah kawasan; dan

4. Mempertahankan fungsi kawasan sebagai pusat perekonomian dan kawasan wisata.

Untuk penataan Kawasan Istana Batutulis upaya yang dilakukan adalah perlindungan terhadap kawasan bersejarah dan pengendalian lingkungan sekitar kawasan. Sedangkan untuk penataan kawasan perumahan berarsitektur khas, upaya yang dilakukan berupa pelestarian bangunan bersejarah dan pengendalian terhadap perubahan arsitektur bangunan.

2.3. Kawasan Cagar Budaya dan Pembangunan Berkelanjutan

Kurangnya pemahaman yang mendetail terkait dengan definisi pembangunan berkelanjutan, memungkinkan terbukanya beragam interpretasi para stakeholder dalam merasakan kenyamanan sehingga tidak jarang memunculkan perdebatan. Kesulitan dalam menyikapi hal tersebut adalah dalam menentukan aktifitas-aktifitas yang dibutuhkan untuk menjamin sebuah pembangunan keberlanjutan. Model tiga pilar (Keiner, 2005; UNIDO, 2005) bagaimanapun berjalan untuk menjelaskan masalah dengan mengidentifikasi tiga dimensi yang meliputi lingkungan hidup, ekonomi dan sosial.

Dimensi lingkungan menjadi perhatian yang dominan dalam pembangunan berkelanjutan terutama diarahkan pada penggunaan sumber daya alam dan lingkungan, dan karena hal tersebut merupakan topik penelitian yang mudah diukur, aspek pengembangannya dilihat sebagai yang paling mudah dikerjakan. Keunggulan yang senantiasa terjadi pada dimensi ini terjamin karena memenuhi kebutuhan yang mendasar bagi kelangsungan hidup manusia. Sampai saat ini fokus lingkungan pada kawasan cagar budaya diutamakan dalam membahas masalah-masalah teknis mempertahankan struktur bangunan yang ada, misalnya dalam menangani serangan dari polutan kimia di lingkungan perkotaan. Walaupun pada umumnya terletak pada satu lokasi yang sama, aktivitas pada kawasan cagar budaya akan berbeda dengan sebuah kawasan pusat perkotaan. Aktifitas pusat kota yang seringkali menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan, daya dukung dan tampung lingkungan tentu akan berubah ketika upaya pelestarian kawasan budaya dilakukan. Hal ini ditegaskan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan, yang pada dasarnya tidak memperkenankan hilangnya nilai-nilai sejarah bangunan, arsitektur dan budaya.

(27)

wisatawan, khususnya untuk kota cagar budaya yang telah mapan, yang mampu meningkatkan ekonomi baik skala nasional maupun lokal. Wisata budaya berkelanjutan merupakan topik penelitian utama dari proyek PICTURE (Pro-active management of the Impact of Cultural Tourism upon Urban Resources and Economies) SSPA-CT-2003-502491 (PICTURE, 2005).

Dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan menekankan terpenuhinya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup untuk semua warga negara dengan meningkatkan pendapatan dasar dan meningkatkan keadilan sosial, sehingga semua kelompok memiliki akses yang adil terhadap pendidikan, mata pencaharian dan sumber daya (Tweed dan Sutherland, 2007). Dimensi ini merupakan hal yang paling relevan dengan kebutuhan untuk mempertimbangkan kawasan cagar budaya sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Relevansi khusus untuk diskusi ini adalah gagasan kesetaraan antar generasi, dimana pelestarian cagar budaya kota yang dilakukan generasi saat ini (Bourdieu, 1984) untuk kepentingan generasi yang akan datang (UNIDO, 2005).

2.4. Kota dan Perkembangan Pelestarian Kawasan Cagar Budaya

Pusaka menurut Piagam Pelestarian dan Pengelolaan Pusaka Indonesia Tahun 2003 meliputi pusaka alam, pusaka budaya dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 (lima ratus) suku bangsa di tanah air Indonesia, secara sendiri-sendiri, sebagai kesatuan bangsa Indonesia dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah keberadaannya. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud (tangible) dan pusaka tidak berwujud (intangible). Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan pusaka budaya dalam kesatuan ruang dan waktu.

Kota Pusaka adalah kota yang memiliki kekentalan sejarah yang bernilai dan memiliki pusaka alam, pusaka budaya berwujud dan pusaka budaya tidak berwujud, serta rajutan berbagai pusaka tersebut secara utuh sebagai aset pusaka dalam wilayah/kota atau bagian dari wilayah/kota yang hidup, berkembang, dan dikelola secara efektif.

Selanjutnya Kota pusaka di Indonesia adalah kota/kabupaten yang dinilai memiliki beragam situs maupun peninggalan yang penting bagi kehidupan komunitas dan masyarakat luas pada umumnya. Terdapat peninggalan yang diklasifikasikan sebagai pusaka yang formal, namun terdapat pula pusaka yang belum terklasifikasi secara formal karena belum adanya penetapan dari pemerintah.

(28)

Gambar 2. Pelestarian Pusaka Urban.

Kota Pusaka diharapkan dapat diakui UNESCO menjadi World Heritage City. Dari 962 World Heritage Sites yang diakui oleh UNESCO, delapan di antaranya berasal dari Indonesia. Namun, di antara delapan situs tersebut, tidak ada yang termasuk dalam kategori World Heritage City. Untuk itu, sebagai upaya untuk mendorong diakuinya Kota Pusaka Indonesia sebagai Kota Pusaka Dunia oleh UNESCO, Kementerian PU menginisiasi pelaksanaan Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP), sekaligus sebagai bentuk implementasi RTRW konsisten pada tema-tema budaya/pusaka berbasis penataan ruang.

Dari 26 kota/kabupaten yang telah menunjukkan keseriusan dan menyatakan komitmennya untuk berpartisipasi di dalam P3KP, tim evaluator proposal mengelompokkan hasil ke dalam 3 (tiga) kelompok besar yang pada intinya disesuaikan dengan tingkat pemahaman pusaka, kelengkapan dan kedalaman substansi proposal, kesiapan dan keseriusan daerah di dalam melaksanakan program P3KP (yang telah dan akan dilaksanakan), dan kompetensi SDM daerah terkait.

(29)

Gambar 3. Kelompok Kota Pusaka.

2.5. Zonasi Dalam Upaya Pelestarian Cagar Budaya

Salah satu bentuk pelindungan cagar budaya adalah zonasi atau pemintakatan. Dalam konteks penerapannya di Indonesia, pemintakatan atau zonasi telah diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1993 tentang pelaksanaan UU No.5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang masih tetap berlaku. Dalam ketentuan umum UU No. 11

Tahun 2010 tentang Cagar Budaya disebutkan “Pelindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara

Penyelamatan, Pengamanan, Zonasi, Pemeliharaan, dan Pemugaran Cagar Budaya”.

Sementara itu, zonasi dipahami sebagai penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai dengan kebutuhan.Dengan demikian, dalam pelaksanaan pelestarian zonasi merupakan tahapan penting yang perlu dilakukan sebagai bentuk pelindungan terhadap cagar budaya.

(30)

batas-batas keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian. Sistem Zonasi ini ditetapkan oleh:

1. Menteri apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional atau mencakup 2 (dua) provinsi atau lebih;

2. Gubernur apabila telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya provinsi atau mencakup 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih; atau

3. Bupati/wali kota sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah kabupaten/kota.

Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan rekreatif, edukatif, apresiatif, dan/atau religi.Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik vertikal maupun horizontal.Pengaturan Zonasi secara vertikal dapat dilakukan terhadap lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air. Sistem Zonasi dapat terdiri atas:

1. zona inti;

2. zona penyangga;

3. zona pengembangan; dan/atau 4. zona penunjang.

Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam pelaksanaannya di lapangan, telah sering dilakukan zonasi cagar budaya di beberapa situs purbakala yang terdapat di wilayah Indonesia.Kegiatan zonasi cagar budaya selama ini dilakukan oleh UPT Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala di setiap wilayah kerjanya masing-masing yang tersebar di Indonesia.Peraturan zonasi pada dasarnya adalah suatu alat untuk pengendalian yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya yang disusun untuk setiap blok/zona peruntukan (UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang), dimana blok/zona peruntukan yang menjadi acuan ditetapkan melalui rencana rinci tata ruang. Peraturan zonasi ini lebih dikenal dengan istilah popular zoning regulation, dimana kata zoning yang dimaksud merujuk pada pembangian lingkungan kota ke dalam zona-zona pemanfaatan ruang dimana di dalam tiap zona tersebut ditetapkan pengendalian pemanfaatan ruang atau diberlakukan ketentuan hukum yang berbeda-beda (Barnet, 1982 dalam Mulyadi, 2012).

(31)

2.6. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan

Saat ini, keberhasilan dalam menarik wisatawan untuk tujuan wisata perkotaan sangat terkait dengan 'kebangkitan budaya dalam masyarakat dan pada kemasan pariwisata pada khususnya. Wisata budaya dipandang merupakan sebuah segmen dengan pertumbuhan tercepat di pasar pariwisata (Richards, 1996). Pengembangan minat potensi cagar budaya, di tempat-tempat bersejarah dan kota-kota yang menawarkan agenda budaya yang beragam, membuka perspektif baru bagi perekonomian perkotaan (Van den Borg et al., 1996). Ini berarti tantangan baru bagi industri pariwisata, untuk pengelolaan fasilitas budaya dan lembaga-lembaga publik (Swarbrooke, 1994 dalam Verbeke et al., 1999).

Tabel 1. Faktor Daya Tarik Wisata Kota.

FAKTOR UMUM FAKTOR KHUSUS

1. Unik dan Menarik Banyak yang dilihat dan dilakukan Tempat yang menarik

3. Hiburan Suasana malam hari yang menyenangkan Tempat perbelanjaan yang menarik Pertunjukkan musik

Seni dan teater

Festival dan pertunjukkan 4. Makanan dan Akomodasi Hotel yang nyaman

Restoran Makanan khas

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Hubungan saling menguntungkan antara budaya dan pariwisata mengarahkan kedua sektor dalam mencapai target ekonomi secara bersama-sama. Konservasi sumber daya budaya dan proses transformasi menjadi produk pariwisata, dapat menjadi insentif yang nyata untuk proses menghidupkan kembali identitas budaya pada masyarakat atau pada tingkat regional. Pada gilirannya proses ini dapat menciptakan iklim yang menguntungkan untuk pengembangan dan investasi proyek-proyek pariwisata baru, yang mana pasar pariwisata saat ini membutuhkan sebuah inovasi dan diversifikasi. Hal tersebut merupakan asumsi umum bahwa budaya dan pariwisata yang saling ketergantungan (Ashworth,1993 dalam Verbeke, 1999).

(32)

pandang budaya, pariwisata juga dilihat sebagai cara untuk melegitimasi dukungan politik, justifikasi sosial (dan ekonomi), sarana terhadap konservasi dan insentif untuk inovasi. Pasar pariwisata perlu sumber daya cagar budaya untuk mengembangkan produk baru. Produk-produk tersebut beserta fasilitasnya memberikan nilai tambah bagi pengalaman wisatawan, sehingga kepentingan kedua sektor kebudayaan dan pariwisata merupakan hal yang sangat kompatibel.

Hubungan budaya dan wisata semakin erat bahkan telah menjadi tak terelakkan. Dari sudut pandang pariwisata, budaya dalam definisi yang paling luas dipandang sebagai sebagai sumber daya yang ada dimana-mana dan dapat dikembangkan menjadi produk wisata (Ashworth, 1995). Setiap kota pasti memiliki sejarah, setiap monumen memiliki ceritanya masing-masing, yang menjadikannya sebagai potensi yang tampaknya tak terbatas. Hal yang lain, proses transformasi dari sumber daya budaya menjadi produk wisata belum tentu memiliki investasi dengan biaya yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan proyek-proyek infrastruktur pariwisata lainnya. Mungkin salah satu insentif yang paling relevan untuk berinvestasi pada produk wisata budaya adalah kenyataan bahwa kadang tidak adanya izin yang jelas untuk sumber daya cagar budaya, sering kali tidak ada kepemilikan yang dapat diakui. Dalam banyak kasus objek-objek cagar budaya merupakan barang publik, kepemilikan bersama di mana setiap pengembang pariwisata kreatif dapat memanfaatkannya (Healy, 1994 dalam Verbeke 1999).

Sumber daya cagar budaya memainkan peran kunci dalam pengembangan pariwisata perkotaan. Namun keyakinan tersebut disisi lain apakah didukung juga oleh perubahan struktural disisi permintaan, menjadi pertanyaan yang mengemuka. Peneliti akademis, marketing pariwisata dan manajer dalam bisnis pariwisata ditantang untuk memahami lebih baik karakteristik segmen pasar 'budaya', dengan faktor pendorong (push factor) pada sisi permintaan dan faktor penarik (pull factor) di sisi penawaran.

2.7. Sinergitas Antara Cagar Budaya dan Pariwisata Perkotaan

Fungsi wisata dari bangunan cagar budaya tergantung kepada kemudahan akses bagi para wisatawan seperti akses untuk publik, waktu yang tersedia untuk mengakses tempat tersebut, kegunaan saat ini, dan fungsi serta kompleksitas bangunan. Transformasi penting dari bangunan cagar budaya adalah dapat berubah dari fungsi tunggal dimana pengunjung lebih terspesifik menjadi multifungsi yaitu menghadirkan serangkaian kombinasi kegiatan seperti budaya, rumah makan, pusat dan perbelanjaan. Bangunan cagar budaya dapat dibuka untuk wisatawan umum dan memiliki fungsi yang eksklusif, atau memiliki kegunaan yang multifungsi. Dalam beberapa kasus bangunan tersebut tidak secara langsung digunakan sebagai tempat wisata seperti halnya bangunan rumah tinggal, tapi tetap saja menambah pemandangan dan pengembangan nilai historis kota tersebut.

(33)

utama atau elemen pendukung (Jansen-Verbeke 1994). Model konseptual dari objek wisata yang diterapkan dalam analisis ini adalah alat untuk mengidentifikasi cluster cagar budaya dan memberikan peringkat dalam posisi morfologi dan secara fungsinya (Gambar 4).

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Gambar 4. Daya Tarik Wisata Kawasan Cagar Budaya Perkotaan.

Prinsip dasar dari model analitis ini adalah kedekatan interaksi antara bentuk dan fungsi dalam pengembangan cluster cagar budaya yang menarik. Terdapat gradasi yang jelas antara cluster cagar budaya yang berfungsi sebagai elemen utama produk wisata perkotaan, baik dari sisi karakteristik morfologi, posisi dan kemudahan akses, dibandingkan dengan fungsi wisata dan bangunan cagar budaya yang tidak terintegrasi yang bukan merupakan hal yang menarik untuk kebanyakan wisatawan.

Langkah pertama dalam analisis, yaitu terfokus pada kelompok cagar budaya dalam kota bersejarah tanpa memperhitungkan struktur fungsi keseluruhan dan zonasi di pusat kota. Fungsi wisata sebuah kota bersejarah tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang hanya menempel pada struktur perkotaan. Sebaliknya, hal tersebut bagaimanapun juga merupakan bagian dari sistem perkotaan (Ashworth et al., 1990 dalam Verbeke, 1999). Semakin pentingnya fungsi wisata secara bertahap mengubah campuran fungsi di pusat kota dan dampak dari kegiatan pariwisata mempengaruhi kualitas dan karakteristik lingkungan. Harmonisasi dan interaksi antara pariwisata dan kegiatan ekonomi lain, dalam hal penggunaan ruang, sangat tergantung bagaimana kelompok cagar budaya secara fisik dan fungsi terintegrasi dengan sistem perkotaan.

Faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan spektrum peluang wisata perkotaan meliputi:

 Aksesibilitas menuju dan dalam area destinasi;

(34)

 Kombinasi aktifitas dengan anggaran yang spesifik;

 Pengaturan tata ruang dari tempat-tempat menarik (jaringan, jalan);

 Sinergitas fungsi antar fasilitas perkotaan;

 Interaksi antar aktivitas.

Sumber: Jansen-Verbeke dan Lievois (1999)

Gambar 5. Konsep Spektrum Peluang Wisata Perkotaan.

Interpretasi awal dari hasil studi ini mengarah pada pendefinisian tiga dimensi yang relevan dalam model pengembangan spektrum peluang wisata perkotaan (Gambar 6.). Tantangan saat ini terletak pada analisis yang lebih mendalam dari masing-masing dimensi, terutama untuk menilai peran cluster warisan dalam pengembangan spektrum/jangkauan yang menarik untuk berbagai jenis wisatawan.

(35)

Komponen indeks daya tarik wisata yang merupakan kombinasi dari indeks posisi morfologi dan indeks fungsi menawarkan sebuah kerangka untuk pengelolaan spektrum peluang Wisata perkotaan (Gambar 7). Untuk menggunakan pendekatan analisis ini secara efektif sebagai alat perencanaan, maka informasi yang diperlukan pada komponen daya tarik wisata, kegiatan serta preferensi wisatawan harus tersedia lebih banyak. Khususnya pembangunan jalur bertema dan peran intervensi peluang yang membutuhkan tinjauan lapangan lebih lanjut.

Gambar 7. Indeks Komponen Daya Tarik Wisata.

Memahami komponen yang berbeda dari daya tarik perkotaan bagi wisatawan budaya bukan menjadi tujuan akhir tapi sebagai dasar untuk pengembangan strategi manajemen. Konsep dan model di atas juga dapat diimplementasikan sebagai alat perencanaan kota dimana pariwisata telah mencapai batas kapasitasnya. Menilai objek wisata dengan cara yang analitis dan kritis membuka perspektif baru tentang pembangunan berkelanjutan. Pemahaman tentang tipologi cluster cagar budaya, menuju penghitungan karakteristik lokasi dan fungsi, kemudian membentuk dasar yang kuat untuk pilihan pembangunan. Pilihan tersebut sebagai contoh adalah untuk memperkuat fungsi wisata cluster cagar budaya yang menghubungkan area utama, atau menambahkan kegiatan pada kawasan cagar budaya yang kini hanya berfungsi sebagai wisata pemandangan saja (Gambar 8).

(36)

2.8. Penelitian Terdahulu

Isu kawasan cagar budaya menjadi tema yang umum dalam penelitan mengenai lanskap sejarah termasuk yang dilakukan di Kota Bogor. Beberapa penelitian hanya mengkaji salah satu objek atau salah satu kawasan saja seperti kawasan Kebun Raya Bogor, Kawasan Suryakencana, atau Kawasan Empang. Analisa potensi wisata juga telah dilakukan pada penelitian sebelumnya terkait keberadaan cagar budaya kota khususnya dari lanskap sejarah dan pengembangan jalur wisata sejarah, namun pada penelitian tersebut metodelogi yang digunakan belum mengakomodir analisa secara kuantitatif dan perbedaan potensi antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Namun dengan keberadaan penelitian-penelitian tersebut, tentu penelitian kali ini memiliki tambahan wawasan dan dasar dalam menentukan kerangka pemikiran.

Tabel 2. Penelitian Terdahulu Terkait Tema Cagar Budaya.

No Nama Tahun Judul Penelitian

1. Wulan Sari Lestari 2009 Rencana Pelestarian Konsep

Garden City Kota Bogor Lama (Buitenzorg), Jawa Barat

2. Krishta Paramita Kurnadi 2009 Studi Lanskap Bersejarah Kawasan Pecinan

Suryakencana, Bogor 3. Ira Puspa Kencana,

Nurhayati Hadi Susilo Arifin

2010 Studi Potensi Lanskap Sejarah

Untuk Pengembangan Wisata Sejarah Di Kota Bogor

4. Rani Angraeni 2011 Assessment Lanskap Sejarah

Kawasan Empang Untuk

6. Febri Nur Wirawan 2014 Pengembangan Jalur Wisata

Sejarah Sebagai Penunjang Wisata Sejarah Kota Bogor

(37)

kawasan tersebut, sehingga dapat membuat kawasan kehilangan ciri khas dan identitas.

Kurnadi (2009) pada hasil penelitiannya memaparkan kondisi salah satu kawasan cagar budaya yang menjadi pusat perdagangan dan pembauran etnis di Kota Bogor. Kawasan Pecinan Kota Bogor masih memiliki kekayaan tinggalan sejarah baik berupa fisik bangunan maupun berupa aktifitas budaya yang masih dilakukan sampai saat ini. Namun karena proses pembangunan yang sangat cepat, ditambah kawasan pecinan yang menjadi pusat aktifitas ekonomi, maka ancaman terhadap upaya pelestarian cagar budaya menjadi tinggi. Hal ini yang menyebabkan kawasan tersebut menjadi semrawut dan tampak kumuh, sehingga upaya mendorong kepedulian masyarakat dan perhatian pemerintah daerah menjadi hal yang direkomendasikan. Serupa seperti di Kawasan Pecinan, Angraeni (2011) melalui penelitiannya menyatakan bahwa terdapat potensi yang besar di Kawasan Empang (Kampung Arab) terkait keberadaan kawasan cagar budaya. Namun upaya pelestarian dan pengelolaan lanjut belum dilakukan secara optimal.

(38)

3.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Bogor yang secara geografis terletak di antara 6o30’30”-6o41’00” Lintang Selatan dan 106o43’30”-106o51’00” Bujur Timur serta mempunyai ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter di atas permukaan laut. Kota Bogor dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor dengan batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec. Sukaraja Kabupaten Bogor.

b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor.

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten Bogor.

Luas wilayah Kota Bogor mencapai 11.850 Ha yang terdiri dari enam kecamatan dan 68 kelurahan. Waktu Penelitian mulai dari penyusunan proposal sampai penulisan tesis dilaksanakan pada periode bulan Juli 2015 sampai dengan bulan Desember 2015. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.

(39)

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan, observasi, wawancara dan kuisioner, pengambilan data koordinat, serta dokumentasi atau sketsa maupun visual berupa gambar dan foto. Data sekunder diperoleh dari sumber tertulis yang telah ada berkaitan dengan materi yang akan dicari seperti dari buku, laporan, peta dan data instansional di Kota Bogor antara lain:

1. Data penduduk dan potensi kelurahan dari Badan Pusat Statistik.

2. Dokumen Grand Design, RTRW, RDTR, dan RPJMD dari Bappeda dan Dinas Pengawasan Bangunan dan Pemukiman.

3. Laporan hasil pemetaan Kota Pusaka Kota Bogor dari Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP).

4. Dokumen Renstra Pariwisata dan Rencana Induk Pariwisata Daerah dari Dinas Pariwisata Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor. 5. Laporan pendataan Bangunan Cagar Budaya dari Dinas Pariwisata

Kebudayaan dan Ekonomi Kreatif Kota Bogor.

6. Literatur yang berkaitan dengan kawasan cagar budaya di Kota Bogor. 7. Sumber lain yang relevan dengan topik penelitian.

Alat yang digunakan berupa seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak ArcGIS 9.3, Microsoft Word dan Microsoft Excel. Peralatan penunjang berupa printer, GPS, kamera digital, dan peralatan menulis. Jenis dan sumber data, teknik pengumpulan dan analisis data serta keluaran (output) yang diharapkan ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis dan output pada setiap tahapan penelitian.

(40)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Dalam pelaksanaan penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan metode pengumpulan data sekunder yang diperoleh sumber tertulis dan beberapa instansi terkait. Metode pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan urutan sebagai berikut:

3.3.1. Penentuan Informan Kunci

Penentuan informan kunci merupakan proses penting sebelum dilakukannya proses wawancara mendalam. Informasi yang didapat diharapkan menjadi data yang bisa digunakan dalam kepentingan penelitian. Informan kunci yang ditentukan yaitu tokoh masyarakat, pemerintah setempat, praktisi dan pihak-pihak yang terkait dengan upaya pelestarian dan pengembangan kawasan cagar budaya.

3.3.2. Kuisioner

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengisian kuisioner dengan beberapa orang informan kunci (key informan) yang telah ditetapkan sebelumnya. Angket atau kuesioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulirformulir yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada seseorang atau sekumpulan orang untuk mendapatkan jawaban atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti (Mardalis, 2008).

Kuesioer berisikan daftar pertanyaan yang dibuat secara berstruktur dengan bentuk pertanyaan pilihan program menggunakan skala prioritas. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang persepsi pengembangan kawasan cagar budaya dari responden.

3.3.3. Survei GPS

Pengumpulan data koordinat dilakukan dengan melakukan survey objek dan bangunan cagar budaya di enam kecamatan Kota Bogor dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System). GPS adalah suatu sistem navigasi yang memanfaatkan satelit. Penerima GPS (alat GPS) memperoleh sinyal dari beberapa satelit yang mengorbit bumi. GPS dapat memberikan informasi posisi dan waktu dengan ketelitian sangat tinggi. Data-data yang diambil berbentuk titik dari bangunan cagar budaya. Data waypoints bersifat seperti titik yang menginformasikan posisi secara akurat dan tepat mengenai bangunan cagar budaya.

3.4. Teknik Analisis Data

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, teknik analisis data yang digunakan dapat diuraikan sebagai berikut;

3.4.1. Analisis Kepadatan (Kernel Density)

(41)

hasil analisa ruang dan waktu, yang mengindikasikan referensi para wisatawan untuk berkunjung dan berkumpul (Dietvorst 1995). Untuk itu setelah dilakukan proses inventarisir, proses pengelompokkan bangunan cagar budaya merupakan hal yang perlu dilakukan dalam menilai dan melakukan analisis lebih lanjut.

Konsentrasi bangunan cagar budaya secara spasial atau cagar budaya sebagai sebuah kawasan pada sebuah kota dianggap memiliki daya tarik wisata dibandingkan dengan satu bangunan cagar budaya yang saling terpisah jauh dari bangunan lainnya. Dalam mengukur kepadatan sebaran bangunan cagar budaya maka digunakan metode

Kernel Density. Kernel Density mengukur kepadatan objek dengan menghitung kedekatan jarak antara satu objek terhadap objek yang lain secara kontinyu. Lingkup analisa Kernel Density bekerja pada titik-titik bangunan cagar budaya secara kontinyu dengan Kota Bogor sebagai batas wilayah analisa dan tidak melakukan analisis berdasarkan wilayah administrasi kelurahan. Hal tersebut membutuhkan proses selanjutnya yaitu dengan melakukan overlay peta jenis kepadatan bangunan cagar budaya dengan batas wilayah administrasi kelurahan di Kota Bogor.

Kernel Density menelusuri radius pencarian yang disebut dengan bandwidth

dengan persamaan sebagai berikut:

Search Radius = 0.9 ∗min 1

ln 2 ∗ ∗

−0.2

dimana:

SD adalah jarak standar

Dm adalah jarak median

n adalah jumlah titik atau jumlah populasi

Gambar 10. Ilustrasi Input-Output pada Arcgis Menggunakan Kernel Density.

3.4.2. Analisis Pusat dan Hierarki Pelayanan

Kawasan-kawasan cagar budaya yang terbentuk memiliki keterkaitan dengan wilayah administrasi baik kelurahan maupun kecamatan. Menghitung pertumbuhan wilayah berdasarkan wilayah administrasi dapat dilakukan untuk mengetahui sejauh mana wilayah tersebut dapat mendukung keberadaan kawasan cagar budaya. Perkembangan wilayah diketahui dengan mengukur sejauh mana wilayah tersebut berkembang dengan ciri perkembangan perkotaan yang meliputi jumlah dan jenis fasilitas perkotaan yang telah ada, dengan menggunakan Analisis Skalogram.

(42)

bidang sarana perekonomian, sarana komunikasi dan informasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan terhadap jumlah penduduk disetiap kelurahan di Kawasan Cagar Budaya Kota Bogor. Tahapan kegiatan pada analisis data dengan metode skalogram adalah: (1). Melakukan pemilihan terhadap data yang bersifat kuantitatif; sehingga hanya data yang relevan saja yang digunakan; (2). Melakukan rasionalisasi data; (3). Melakukan seleksi terhadap data-data hasil rasionalisasi hingga diperoleh variabel untuk analisis skalogram yang mencirikan tingkat perkembangan masing-masing wilayah; (4). Melakukan standarisasi data terhadap variabel tersebut sebelum menentukan indeks perkembangan desa/kelurahan (IPD) di masing-masing kelurahan menggunakan rumus sebagai berikut:

��� = �′ dimana �′ = � −�

��

Keterangan :

 IPDj Iij =Indeks Perkembangan Desa ke-j  I’ij =Nilai (skor) sarana prasarana ke-i desa ke-j

 Ii min =Nilai (skor) sarana prasarana ke-i terkecil (minimum)  SDi = Simpangan baku sarana prasarana ke-i

Setelah proses pembakuan selesai, kemudian dilakukan penjumlahan nilai baku tersebut untuk setiap kelurahan. Untuk melihat struktur wilayah dilakukan sortasi data dimana wilayah yang mempunyai nilai yang paling besar diletakkan di barisan atas dan fasilitas yang paling banyak berada di kolom kiri. Indeks Perkembangan Wilayah dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yaitu; hirarki I (tinggi), hirarki II (sedang), hirarkki III (rendah). Penentuannya didasarkan pada nilai hasil standar deviasi IPD dan nilai rataannya, sehingga mendapat selang hirarki untuk menentukan kelas hirarki seperti pada ditunjukkan Tabel 4.

Tabel 4. Penentuan nilai selang kelas hirarki untuk Analisis Skalogram.

No Kelas Nilai Selang Tingkat Hirarki

1 Hirarki I X > [rataan + (St Dev.IPW)] Tinggi 2 Hirarki II rataan < X < (St Dev.IPW) Sedang

3 Hirarki III X < rataan Rendah

3.4.3. Analisis Pembobotan Rank Order Centroid (ROC)

Gambar

Tabel 1. Faktor Daya Tarik Wisata Kota.
Tabel 2. Penelitian Terdahulu Terkait Tema Cagar Budaya.
Gambar 9. Peta Lokasi Penelitian.
Tabel 3. Hubungan antara tujuan penelitian, jenis data, sumber data, teknik analisis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Akhir ini merupakan penelitian terkait pencapaian dari pengembangan kawasan cagar budaya Keraton Kasunanan sebagai1. kawasan wisata budaya yang

kawasan Masjid Azizi di Tanjung Pura memiliki benda cagar budaya yang merupakan peninggalan-peninggalan istana Kesultanan Langkat yang penuh dengan sejarah dan

Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan

Ternate Utara merupakan kecamatan dengan Jumlah objek wisata budaya berdasarkan karakteristik cagar budaya sebanyak 6 objek diantaranya Kedaton kesultanan Kota Ternate, Taman

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan potensi budaya yang dimiliki Kecamatan Wundulako, sehingga dapat dijadikan sebagai daerah tujuan wisata budaya di Kabupaten

Produk yang dihasilkan dalam perancangan ini adalah video promosi kota Surabaya dengan tema cagar budaya dengan gaya dokumenter yang menampilkan potensi wisata cagar

Kawasan prioritas yang telah ditetapkan pada Kawasan Pecinan memiliki unit bangunan cagar budaya Klenteng Xiang Ma (Vihara Istana Naga Sakti), Klenteng “ Ma Tjo Poh ”

pelestarian kawasan cagar budaya di kawasan tempat tinggal mereka. cagar budaya Meyakinkan masyarakat melalui program penyuluhan atau dipengaruhi untuk terlibat dalam