• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORITIS

B. Sinetron Sebagai Produk Acara di Televisi

Sinetron sebagai sebuah hasil karya seni adalah produk dari sebuah kebudayaan masyarakat pada periode tertentu. Sebagai sebuah produk yang dihasilkan oleh media dan dikonsumsi oleh massa maka sinetron bisa disebut sebagai budaya massa. Sinetron merupakan wacana atau teks audiovisual yang bermuatan gambaran realitas sosial virtual atau tiruan dari realitas sosial nyata. Sinetron menyajikan versi persepsi hubungan-hubungan sosial terkini, mengandung pesan-pesan respon terhadap perubahan persepsi dan hubungan sehingga audience menjadi sadar atas adanya

20

pilihan-pilihan ganda yang kontradiktif. Sinetron disajikan secara sekilas, bertutur dalam bingkai episode, konkret dan dengan cara yang dramatis.21

1. Definisi Sinetron

Sinetron adalah sebuah sinema elektronik tentang sebuah cerita yang di dalamnya membawa misi tertentu kepada pemirsa. Misi ini dapat berbentuk pesan moral untuk pemirsa yang ada di kehidupan masyarakat sehari-hari.22

Sinetron atau sinema elektronika sama dengan TV-play, sama dengan teledrama, sama dengan sandiwara televisi, sama dengan film-televisi, sama dengan lakon-televisi. Persamaannya: sama-sama ditayangkan medium audio-visual bernama televisi.23Berbeda bila dibandingkan dengan film layar lebar yang ditayangkan di televisi. Sinetron juga berbeda dengan pementasan teater yang direkam lantas disiarkan televisi.

Sebagai sinema yang dikhususkan untuk tayangan televisi, perhitungan dan kemungkinan eksplorasi estetiknya pun menjadikan sinetron berlainan dengan sinema bioskop. Perbedaan yang paling terasa pertama kali adalah bahwa layar kaca televisi tidak selebar layar bioskop. Perbedaan kedua, jenis penontonnya pun relatif berbeda. Penonton bioskop sejak awal masuk gedung sudah menyiapkan diri untuk menyaksikan tayangan yang akan ditonton, sementara penonton sinema televisi

21

Siti Nurbaya,” Budaya dalam Sinetron Indonesia: Kajian Kritis Terhadap Produksi Sinetron Betawi “Kecil-Kecil Jadi Manten” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2006), hal 56

22

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa(Jakarta: PT. Rineka Cipta 2008) hal.120.

23

menontonnya bisa dikatakan sambil lalu, bersama sanak keluarga, sambil melayani tamu kalau ada tamu, atau sambil-sambilan lainnya.24

Perbedaan karakter pemirsa dan perbedaan masing-masing layar ini tentu membutuhkan perlakuan yang berbeda-beda atau masing-masing tayangan.

Dramaturgi sinema televisi jadinya berbeda dibandingkan dramaturgi sinema bioskop. Contoh yang paling simpel, akan sangat riskan menganggap sinetron kolosal, yang penuh tokoh itu, sementara yang tersedia hanyalah layar yang tidak semuanya besar-besar ukuran incinya. Demikian halnya dengan kemungkinan adanya penonton yang serba sambilan dan sambil lalu itu, juga akan sangat riskan bagi sinetron yang sejak awal hingga akhir tayangan tidak memberi kesempatan pada penonton di rumah-rumah untuk menyempatkan diri ke kamar kecil, ke meja makan, atau mengantar tamu yang pamit pulang.

Begitu banyak sinetron yang menempatkan sisi logika ini diurutan ke terakhir. Yang penting, penonton ketawa, yang penting pemirsa suka, yang penting penonton tidak mau ambil pusing , Survey Research Indonesia(RSI) melegitimasikan peringkat itu.25

Setidaknya alasan-alasan terakhir inilah yang dijadikan senjata pamungkas para pengelola siaran televisi swasta dan para kreator sinetron.

Senjata pamungkas pengelola siaran televisi menjadikan kreator sinetron tidak lagi perlu mendalami produksi sinetronnya. Nyaris tidak bisa ditemukan paket-paket sinetron televisi swasta yang kualitasnya sekelas atau tidak mendekati mini seri Siti

24

Ashadi Siregar, Sinetron Indonesia Untuk Pasar dan Budaya hal 12

25

Nurbaya, seri-seri awal Jendela Rumah Kita, atau Aksara Tanpa Kata, Di Timur Matahari, Sayekti dan Hanafi, Tambusa, Di Balik Tobong, Tayub, Dua Orang Perempuan, Bertahan dalam Badai, Ketika Tebu Berbunga, dan sejumlah judul lainnya, yang ternyata lebih banyak di produksi oleh TVRI. 26

Film cerita yang dibuat untuk media televisi, yang dalam wacana televisi Indonesia disebut sinema elektronik (sinetron), sudah menjadi bagian dari wacana publik dalam ruang sosial masyarakat. Cerita sinetron tidak hanya sekedar menjadi sajian menarik di layar kaca, tetapi juga telah menjadi bahan diskusi atau bahan “ngerumpi baru” di antara para ibu di sekelompok arisan, antara anggota keluarga, bahkan tidak jarang, nilai-nilai sosial di dalamnya hadir sebagai rujukan perilaku para penggemarnya.27

Salah satu tayangan televisi yang marak ditayangkan dan terus menerus mengejar rating adalah sinetron. Sinetron tidak hanya menjadi salah satu komoditi bagi stasiun televisi, tetapi juga pengiklan. Dari sinetron, stasiun televisi mendapatkan keuntungan dari pengiklan. Sedangkan pengiklan mendapatkan khalayak untuk mempromosikan produknya.28

2. Karekteristik Sinetron

Perkembangan sinetron televisi di Indonesia saat ini sangat pesat, banyaknya paket sinetron sireal maupun lepas di TV swasta, secara langsung mencerminkan prospek cerah bagi Production House (Rumah Produksi) maupun biro periklanan

26

Ashadi Siregar, Sinetron Indonesia Untuk Pasar dan Budaya hal 13

27

Muh. Ladib, Potret Sinetron Indonesia; Antara Realitas Virtual dan Realitas Sosial (Jakarta: PT Mandar Utama Tiga Books Division 2002) hal. 1

28

Mochtar Lubis, Budaya, Masyarakat, dan Manusia Indonesia: himpunan “Catatan Kebudayaan”(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1993) hal 201

yang berperan sebagai salah satu pemasok dana untuk mensponsori pembuatan dan penayangan sinetron televisi.29

Menjamurnya paket sinetron di televisi, bukan hal yang luar biasa. Kehadiran sinetron merupakan salah satu bentuk aktualisasi komunikasi dan interaksi manusia yang diolah berdasarkan alur cerita, untuk mengangkat permasalahan hidup manusia sehari-hari. Dalam membuat paket sinetron, baik sutradara, pengarah acara dan produser, pihak televisi harus memasuki isi pesan yang positif bagi pemirsa.

Sinetron, seperti yang banyak diberitakan media massa adalah paket acara lokal yang diasumsikan sangat digemari pemirsa. Setiap rating yang dikeluarkan Survey Research Indonesia(SRI) selalu menunjukkan bahwa sinetron adalah mata acara yang paling banyak penontonnya. Memang cukup layak, kalau sinetron mendapatkan julukan sebagai primadona acara televisi. Namun, tampaknya julukan primadona itu kini berangsur-angsur mulai pudar karena pembuatan sinetron bukan lagi menekankan aspek kualitas melainkan hanya dikerjakan untuk memenuhi tuntutan kuota paket lokal televisi dan kejar tayang sekaligus membendung film-film asing maupun telenovela. Akibatnya, tema cerita, tidak adanya pengenalan antropologis dan skenario yang lemah, floating yang overlaping, penjiwaan karakter pemain yang dangkal, bahkan kurangnya kewajaran adegan (logika) terkesan dipaksakan sehingga dramaturginya kacau. 30

DR. Eduard Depari, dalam sebuah workshop “Pasca Primadona Sinetron” di Yogyakarta beberapa waktu silam, melihat sinetron Indonesia sudah mengalami pasca

29

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 74

30

primadona. Hal ini terjadi karena pemerintah mempersyaratkan pihak TV untuk memenuhi 80% produksi lokal (sinetron) di TV.31

Persoalannya, kini kembali pada pihak griya produksi dalam memproduksi sinetron. Mana yang cenderung mereka pilih dari dua misi (pesan moral atau realitas moral) di atas atau barangkali mereka memadukannya. Karakteristik apa saja yang dibutuhkan agar sebuah sinetron menjadi berkualitas dalam dua misi itu. Ini merupakan sebuah tantangan konkret bagi griya produksi nasional.

DR. Sasa Djuasa Sendajaya, menyebutkan, sebuah sinetron seyogianya memiliki karakteristik, yaitu32:

1. Mempunyai gaya atau style terdiri dari aspek artistiknya, orisinalitas, penggunaan bahasa film dan simbol-simbol yang tepat, penataan artistik seperti cahaya, screen-directing dan art-directing, fotografi yang bagus, penyampaian sajian dramatik yang harmonis, adanya unsur suspense dan teaser.

2. Memiliki isi cerita termasuk di dalamnya hubungan logis dalam alur cerita, irama dramatik, visi dan orientasi, karakteristik tokoh, permasalahan/tema yang aktual dan konstektual.

3. Memiliki karakter dan format medium, penguasaan teknik peralatan dengan kemungkinan-kemungkinannya, manajemen produksi. Untuk mencapai itu, sebuah sinetron diusahakan agar memenuhi kualitas standar lebih dahulu, yaitu menyentuh basic instinct human-being.

31

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 120

32

Dari beberapa karakteristik sinetron yang disebutkan oleh DR Sasa Djuarsa, ternyata sinetron TV kita banyak yang tidak memiliki format gaya atau style dan aspek teknis. Mungkin ini disebabkan sumber daya manusianya yang terbatas dan tidak mampu. Pihak griya produksi juga tidak mengikuti perkembangan mutakhir teknologi sinematografi.

Terlepas dari apa yang dikemukakan dua pakar di atas, griya produksi sudah terlanjur menjamur di Indonesia. Selain itu, beberapa TV swasta yang telah hadir di layar kaca harus diisi berbagai acara untuk menarik pemirsa dan pemasang iklan sebagai nyawa TV swasta. Perlu diketahui pula bahwa isi pesan sinetron adalah cermin nilai dan norma moral masyarakat.33

Mengapa sinetron begitu banyak ditonton pemirsa? Ada beberapa faktor yang membuat paket acara ini disukai, yaitu34:

1. Isi pesannya sesuai dengan realitas sosial pemirsa

2. Isi pesannya mengandung cerminan tradisi nilai luhur dan budaya masyarakat (pemirsa)

3. Isi pesannya lebih banyak mengangkat permasalahan atau persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

Karena ketiga faktor di atas itulah, maka acara sinetron selalu mendapat sambutan hangat dari pemirsa.

3. Faktor yang Mempengaruhi Isi Sinetron

33

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Analisis Interaktif Budaya Massa hal. 121-122

34

Wawan Kuswandi, Komunikasi Massa; Sebuah Analisis Isi Media Televisi(Jakarta: PT. Rineka Cipta1996) hal.130

Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi isi sinetron penulis mengadopsi dari faktor yang mempengaruhi isi berita media menurut Pamela J. Shoemeker dan Stephen Reese menyebutkan berbagai hirarkis yang dapat mempengaruhi isi media, yaitu:35

1. Faktor Individu

Faktor individu ini merupakan garda paling depan dalam penetuan isi berita wartawan atau jurnalis merupakan orang yang terkait langsung (menyaksikan) langsung sebuah realitas yang akan dilaporkannya. Mereka bisa merekrronstruksi event atau peristiwa yang akan ditayangkan di media masing-masing.

2. Faktor Rutinitas Media

Para jurnalis dan editor dalam merekrontstruksi berita tunduk pada media rutin. Yang dimaksud media rutin adalah praktik-praktik media di mana keputusan dan persepsi mengenai event yang dibawa oleh jurnalis ke ruang pemberitaan dipengaruhi oleh cara para profesional media di perusahaan di mana mereka bekerja mengorganisasikan sistem kerja mereka.

3. Faktor organisasi Media

Di samping rutinitas media, organisasi media juga ikut terlibat dalam proses rekontruksi berita atau peristiwa. Pada level ini, organisasi sebagai perangkat struktur industri media, ikut menentukan proses rekonstruksi event

atau peristiwa yang terjadi.

35

Pamela J. Shoemeker dan Stephen Reese, Mediating the Message:Theories of Influences on Mass Media Content, 2nd edition(New York: Longman Publisher 1996)

4. Faktor Ekstra Media

Terdapat lima faktor di luar organisasi media yang bisa mempengaruhi isi media yaitu: sumber berita, iklan, dan pelanggan, kontrol pemerintah, pasar dan teknologi. Sumber berita bisa mempengaruhi isi berita karena kedekatan wartawan dengan sumber berita atau sebaliknya.

5. Faktor Ideologi

Level ideologi umumya berkaitan dengan struktur kekuasaan dalam arti sejauhmana kekuasaan, melalui berbagai peraturan yang diterapkan, mampu memberi pengaruh atas proses pengambilan keputusan rekonstruksi berita atau peristiwa dalam ruang pemberitaan media.

Dokumen terkait