• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maryam ingin pulang ke kampung halamannya, setelah lima tahun dia tidak pernah menginjakkan kakinya di kampung itu lagi. Keinginan ini tiba-tiba saja muncul dibenaknya. Setelah bercerai dengan Alam, Maryam tidak tahu harus pergi kemana, kecuali pulang ke kampungnya dan meminta maaf kepada kebua orang tuanya. Dia berharap orang tuanya mau menerimanya kembali, setelah menyakiti hati mereka karena menikah dengan orang yang tidak sefaham dengan ajaran mereka.

Ingatan-ingatan masa lalu muncul dalam benak Maryam, mulai dari saat ia bersekolah SMA dan akhirnya melanjutkan pendidikan ke Universitas Airlangga, Surabaya. Pertemuannya dengan Gamal dan perceraiannya dengan Alam. Semua itu tersaji dalam ingatan Maryam dengan utuh. Maryam yang terlahir sebagai seorang Ahmadi, sejak remaja telah memelihara ketakutan. Dia tdak mau mengalami kejadian seperti teman-temannya yang harus menanggung malu dan kesedihan karena menikah dengan orang yang berbeda keyakinan.

Itulah sebabnya Maryam tidak berani pacaran. Sampai lulus SMA tahun 1993, dia berangkat ke Surabaya. Dia diterima di Universitas Airlangga, Fakultas Ekonomi jurusan Akutansi. Maryam tinggal di rumah Pak dan Bu Zul. Mereka penganut Ahmadi juga. Pak Zul adalah teman ayah Maryam sampai SMP. Pak Zul merantau ke Surabaya dan bersekolah di sana.

Maryam kuliah dan tinggal jauh dari orang tuanya. Ia tinggal di Surabaya bersama Pak Zul dan Bu Zul. Perkenalan dengan pemuda Ahmadi bernama Gamal

membuat Maryam gembira, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Sikap Gamal mulai berubah sejak Gamal pulang dari penelitian di Banten untuk menyelesaikan skripsinya. Gamal yang selama ini sangat patuh kepada orangtuanya, mulai berdebat. Gamal menuduh orangtuanya sesat. Gamal tentu juga meninggalkan Maryam.

Alam memberanikan diri menceritakan tentang latar belakang Maryam. Ibunya berteriak histeris, saat Alam mengatakan Marya seorang Ahmadi. Ibunya kecewa dan marah. Kedua orang tuanya menyuruh untuk meninggalkan Maryam. Setiap tidakan Alam selalu diperhatikan ibunya. Dia mau memastikan Alam sudah berpisah dengan Maryam. Alam kembali memujuk ibunya. Dia mengatakan bahwa Maryam tidak seperti penganut Ahmadi lainnya. Maryam selalu sholat bersamanya dan tidak menolak sholat di mesjid mana pun. Dia juga tidak pernah mengikuti pengajian-pengajian Ahmadi. Maryam hanya kebetulan saja terlahir dari keluarga Ahmadi. Alam mengatakan Maryam juga bersedia meninggalkan keyakinannya, jika mereka sudah menikah nanti.

Alam membujuk Maryam pelan-pelan. Memberi pengertian pada Maryam. Demi cinta mereka Maryam menyetujui permintaan Alam. Ayah Maryam sangat marah mendengar perkataan Maryam bahwa dia akan meninggalkan keyakinannya. Ayahnya memberi Maryam dua pilihan, menyuruh meninggalkan Alam atau menjadikan Alam seorang Ahmadi. Maryam menolak keduanya. Dia memilih pergi dari kehidupan orang tuanya dan menikah dengan Alam.

Maryam akhirnya menikah dengan Alam melalui seorang wali nikah. Pernikahan itu tidak direstui orang tua Maryam, karena Maryam memutuskan

untuk keluar dari ajaran Ahmadi dan mengikuti keyakinan Alam. Maryam meninggalkan semua keluarga dan saudaranya. Dia tidak pernah pulang ke Lombok. Dia tidak pernah menelepon dan mengirim surat. Orang tuanya pun demikian juga. Mereka menganggap anak perempuannya telah hilang. Mereka kecewa dan menyayangkan keputusan Maryam.

Pernikahan itu akhirnya kandas. Belum genap lima tahun menikah, mereka tidak dikaruniai anak. Maryam tidak tahan atas perlakuan mertuanya kepadanya. Maryam juga kecewa terhadap suaminya. Dia menganggap suaminya tidak tulus mencintainya. Maryam memilih bercerai dan dia kembali menyusuri kampung halamannya, menemui orang tuanya. Maryam benar-benar pulang.

Dia mengetuk pintu rumah tersebut. Pak Jamil, orang yang dulu bekerja pada ayahnya keluar menemui Maryam. Pak Jamil bercerita, hingga ia mengetahui kejadian buruk yang menimpa keluarganya saat ia meninggalkan mereka. orangtuanya diusir karena dianggap mereka sebagai orang-orang sesat. Ayahnya memilih pergi meninggalkan desa, daripada mereka dibakar hidup-hidup. Rasa bersalah menggelayuti hati Maryam. Ia lalu mencari keberadaan orang tuanya. Melalui ketua organisasi mereka, Zulkhair, Maryam mengetahui bahwa ayahnya tinggal di Gegarung. Zulakhir menceritakan bagaimana orang tua Maryam terusir dari kampungnya dan orang-orang Ahmadi lainnya yang berada di luar kampung Gerupuk.

Maryam menangis saat bertemu dengan ibunya. Ibunya juga terharu melihat Maryam. Mereka berdua menangis sambil berpelukan. Adiknya, Fatimah juga meneteskan air mata. Mereka sekeluarga larut dalam duka nestapa. Lalu

Maryam menceritakan semua yang menimpa dirinya. Orang tua Maryam tidak marah kepadanya, bahkan mereka mererima Maryam kembali dengan tangan terbuka. Maryam sangat bersyukur, ternyata keluarganya menerimanya dengan baik.

Maryam tidak mau kembali ke Jakarta. Dia juga meninggalkan pekerjaannya. Ayahnya menyusun sebuah rencana untuk membuat Maryam bahagia. Dia akan mencarikan jodoh buat anaknya. Agar anaknya tidak terlalu lama didera kesedihan. Ayahnya akan mencarikan seorang pemuda Ahmadi, biar hidup Maryam menjadi lebih tenang dan menjalani hidup dalam kepastian. Mereka memperkenalkan Umar kepada Maryam. Umar adalah anak Pak Ali dan Ibu Ali yang berasal dari Lombok.

Pak Khairuddin membuat persiapan untuk upacara pernikahan Maryam dan Umar. Meski yang diundang hanya sesama anggota Ahmadi yang sudah biasa bertemu setiap bulan, namun Pak Khairuddin tetap ingin memberikan yang terbaik. Ini adalah pernikahan pertama yang mereka gelar. Apalagi Bu Ali termasuk orang terpandang di sesama anggota Ahmadi.

Pernikahan Maryam digelar pada sore hari. Seluruh penghuni keluarga Ahmadi di komplek itu, berkumpul di rumah Maryam. Beberapa orang membawa hantaran. Rombongan pihak laki-laki terlihat memasuki rumah Maryam. Rombongan Perempuan di dalam rumah, sedangkan laki-laki di luar. Sebelum akad nikah dilangsungkan, mereka mengadakan pengajian terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan ijab kabul. Umar memberikan alat sholat dan Al Quran sebagai mas kawin. Usai akad nikah Maryam meneteskan air mata.

Umar bersikap lembut pada Maryam. Hal ini membuat Maryam tersanjung. Untuk mencairkan hubungan di antara mereka, Umar mengajak Maryam ke Sumbawa untuk beberapa hari. Maryam tidak menolak, tetapi di tengah perjalanan tiba-tiba keinginannya untuk kembali ke Gerupuk muncul. Lalu dia mengutarakannya kepada Umar. Umar menyambut ajakan Maryam. Dia juga ingin berkeliling di pulau ini.

Maryam mengajak Umar ke pantai. mereka menikmati pantai yang indah. Di situ, Maryam bertemu dengan Nuraini tetangganya di Gerupuk dan teman lamanya. Teman Maryam sejak sejak SD sampai SMA. Nur berjualan sarung khas Lombok menawarkan kepada para turis. Mereka bercerita penuh tawa sebagaimana layaknya dua teman yang sudah lama tidak berjumpa. Nur juga bercerita bahwa dia baru pulang dari Arab Saudi sebagai TKI. Selama di Arab, suaminya Wahid, menikah lagi dan sekarang mereka tinggal dalam satu rumah. Sampai akhirnya mereka bercerita tentang pengusiran keluarga Maryam sekitar empat tahun yang lalu.

Nurani bersama dengan Maryam dan suaminya berangkat ke Gerupuk. Maryam langsung menuju ke rumah Nuraini. Maryam bertemu dengan ibu Nuraini dan istri Wahid yang kedua. Maryam disambut dengan hangat oleh ibu Nuraini. Namun, tiba-tiba datang Pak RT dan seorang ustaz ke rumah Nuraini dan mengusir Maryam untuk segera meninggalkan kampung tersebut. Mereka tidak mau ada orang yang beraliran sesat mengganggu di kampung mereka. Maryam mengatakan dia hanya ingin bersilaturrahmi, namun Pak RT dengan tegas

menolak Maryam. Maryam akhirnya meninggalkan Gerupuk dengan perasaan kesal.

Semula Maryam berniat pernikahan ini hanya untuk membahagiakan membahagiakan orang tua mereka. namun, pernikahan ini berubah menjadi pernikahan yang penuh cinta. Hingga Maryam mengandung buah cintanya dengan Umar. Maryam hamil satu bulan. Ibu Umar dan orang tua Maryam tidak henti-hentinya mengucapkan syukur dengan mata yang berbinar. Maryam menjalani pernikahan dengan Umar tanpa beban, tanpa harapan, tanpa kewajiban, tanpa ketakutan. Orang tua mereka telah berlepas tangan. Melihat Maryam dan Umar bisa hidup berdua dengan tenang sudah menjadi kebahagiaan.

Untuk mengungkapkan rasa syukur atas kehamilan Maryam, orang tuanya bermaksud untuk mengelar pengajian empat bulanan kehamilan. Memasuki bulan Oktober, kehamilan Maryam berusia empat bulan. Ramadhan jatuh pada bulan ini. Orang tua Maryam memilih hari pada pertengahan Ramadhan untuk melaksanakan pengajiannya. Pengajian akan diakhiri dengan berbuka puasa bersama.

Jam empat sore semua orang sudah duduk di tempat yang disediakan. Bapak Maryam membuka acara. Lalu dilanjutkan dengan pengajian dan ceramah oleh ustaz hingga tiba waktu berbuka puasa. Tiba-tiba rumah mereka diserbu oleh warga yang melempar batu dari kejauhan. Ada beberapa orang yang terkena. Dua puluh menit saling melawan, sampai kemudian pasukan polisi datang. Semua menahan diri, tidak ada lemparan batu dan adu fisik. Semua diam, hanya suara

polisi dengan pengeras suaranya yang terdengar menyuruh semua pengikut Ahmadi mengungsi.

Umar datang jam tiga lebih, tepat saat orang-orang akan makan sahur. Umar membawa puluhan nasi bungkus lalu dibagi-bagikan. Mereka sholat subuh berjamaah yang dipimpin oleh Pak Khairuddin. Maryam yang sejak semalam tidak meneteskan air mata, tetapi pagi ini dia tidak tahan lagi. Kesedihan, kemarahan, ingatan akan masa lalu bercampur aduk. Dia mengalaminya sekarang. Pengusiran yang dulu dialami keluarganya. Sekarang Maryam sadar, apa yang dialaminya di Gerupuk saat dia bertandang ke rumah Nur, tidak ada apa-apanya dibanding semua ini.

Umar tidak langsung pulang menuju rumahnya. Mereka singgah ke rumah Pak Zulkhair, pemimpin organisasi mereka. ketika peristiwa semalam terjadi, Pak Zul tidak di tempat karena sakit. Di tengah pembicaraan, mobil polisi datang. Semua orang menjadi tegang. Dua polisi menuju ke arah mereka dan mengucapkan salam dengan ramah. Pak Zul mempersilakan duduk. Pak Zul mengatakan bahwa kaqntor dan mesjid mereka disegel. Tidak boleh digunakan lagi, agar tidak ada lagi kerusuhan. Umar dan Maryam terdiam.

Nasib mereka di pengungsian sangat tragis. Ada empat puluh lima kepala keluarga yang mengungsi, lebih kurang dua ratus tiga puluh orang. Sebulan sekali ada petugas Dinas Sosial datang. Mereka membawa beras, mi instan, minyak goreng, dan minyak tanah. Mereka masak di dapur umum yang sempit dengan alat masak seadanya. Mandi bergantian di kamar mandi yang kumuh. Setiap keluarga menyekat ruangan teersebut dengan kain. Anak-anak untuk sementara tidak lagi

bisa meneruskan sekolahnya. Sebagian mereka yang mempunyai saudara di luar kota mengirim anaknya bersekolah di sana.

Anak Umar dan Maryam lahir dalam duka. Seorang bayi perempuan yang sehat dan sempurna. Mereka memberi nama Mandalika, seperti nama seorang putri cantik yang ada di dalam dongeng masyarakat Lombok. Syukuran kelahiran Mandalika diadakan di Gedung Transito. Maryam menyiapkan tumpeng dan aneka masakan. Hari-hari berikutnya, Maryam sering datang ke Gedung Transito bersama putrinya untuk mengunjungi keluarganya dan menghibur para pengungsi lainnya.

Wartawan datang silih berganti sejak hari pertama mereka mengungsi. Dari Mataram, Surabaya, Jakarta, bahkan dari negara asing. Tapi tetap tidak ada yang berubah. Zulkhair dan beberapa pengurus lainnya sudah beberapa kali datang ke kantor Gubernur. Mereka meminta penjelasan kapan bisa kembali ke rumah masing-masing. Gubernur tidak pernah bisa memberi jawaban pasti.

Maryam mengusulkan untuk mencoba lagi mendatangi pak Gubernur. Melihat niat Maryam yang beersungguh-sungguh ingin memperjuangkan nasib pengungsi, Pak Zul kembali bersemangat. Zulkhair, Maryam, dan Umar datang menemui Pak Gubernur. Mereka disambut dengan baik dan dipersilahkan duduk. Gubernur banyak berbicara tentang Dinas Sosial, membantu orang-orang susah dan pembangunan yang dilakukan sejak dia memerintah. Maryam tidak sabar, ingin menanyakan tentang nasib pengungsi, kapan mereka boleh pulang ke rumah mereka. Pak Gubernur tidak bisa memberi jawaban pasti. Demi keamanan, dia menganjurkan untuk keluar dari Ahmadiyah dan kembali ke Gegarung, atau tetap

di Transito sampai ditemukan jalan keluarnya. “Wajah ketiga tamu Gubernur itu merah mendengar kata-kata Gubernur. Mulut mereka terkunci. Tapi soeot mata mereka bicara banyak. Kemarahan dan sakit hati” (My: 249).

Gedung Transito sekarang menjadi pusat kegiatan keagamaan mereka. menggantikan Mesjid Organisasi yang sampai kini tidak bisa digunakan. Usai sholat Jumat, Zulkhair memaparkan semua rencananya. Katanya ada tawaran dari London lewat pengurus organisasi di Jakarta. Mereka akan diberikan pinjaman untuk memulai usaha baru. Mereka tidak bisa hanya tinggal diam saja di sini. Mereka harus berusaha bangkit sendiri. Apalagi pasokan bantuan dari Dinas sosial semakin berkurang. Mereka menyambut baik rencana tersebut. Pak Khairuddin memilih akan berjualan kembali.

Fatimah lalu menikah dengan seorang lelaki yang bukan Ahmadi dengan Umar sebagai walinya. Ayahnya mengijinkan dia menikah, tetapi dia tidak mau jadi wali nikahnya. Fatimah memaklumi hal tersebut.

Minggu pertama di bulan November, Fatimah sudah berada di Transito bersama ibunya. Tidak lama kemudian, Maryam datang bersama anaknya. Beberapa saat kemudian, Maryam dan seluruh pengikut Ahmadi menerima kabar Pak Khairuddin kecelakaan. Motornya menabrak truk. Maryam merinding, mereka segera menuju ke rumah sakit. Sepanjang jalan mereka memanjatkan doa. Sesampai di rumah sakit, mereka menumpahkan tangis, melihat Pak Khairuddin sudah tidak bernyawa lagi. Kabar kematian Pak Khairuddin bergerak cepat ke orang-orang di Transito dan seluruh orang Ahmadi di Lombok.

Maryam tergagap ketika ditanya tentang pemakaman ayahnya. Ibunya mengatakan akan dimakamkan di Gerupuk. Tempat pemakaman yang ada di Gerupuk adalah pemakaman umum. Berada diujung kampung berbatasan dengan laut. Pemakaman itu sepi, tidak ada satu orang pun saat iring-iringan itu mobil itu datang. Ibu Maryam menuju makam kakek dan nenek Maryam. Dia menunjuk tanah kosong di sebelah kedua makam itu. Lalu orang-orang menggali tanah tersebut.

Saat itulah tiba-tiba beberapa laki-laki datang. Mereka orang-orang Gerupuk. Rohmat, ketua RT menolak pemakaman Pak Khairuddin. Mereka tidak mau orang sesat dimakamkan di situ. Umar marah, lalu memukul muka Rohmat. Orang-orang Gerupuk langsung mengeroyok Umar. Zulkhair berteriak agar semua berhenti berkelahi. Zulkhair mengambil sikap, mengajak Umar pergi dan memakamkan Pak Khairuddin di Mataram.

Kini, Pengikut Ahmadi lain yang memiliki penghasilan mulai hidup mandiri, karena bantuan dari Dinas Sosial semakin berkurang. Kadang tiga bulan sekali, bahkan perna lima bulan baru datang. Wartawan masih sering mengunjungi Gedung Transito, juga orang-orang dari berbagai lembaga. Zulkhair masih datang setiap hari untuk memantau kondisi, termasuk untuk menemui tamu-tamu.

Satu mobil polisi datang ke Transito. Sepuluh orang polisi berjaga di luar gedung, memeriksa orang yang keluar masuk. Umar dan Maryam datang bersama kedua ibu dan anak mereka. sekedar kunjungan rutin sambil membawa bahan makanan. Seorang polisi memberhentikan mobil Umar dan memeriksa semua

bawaan dan menanyakan keperluan Umar datang. Umar langsung bergabung dengan Zulkhair. Zulkhair menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi di Jakarta.

Malam hari, di rumah Umar semua menonton televisi. Televisi Jakarta menayangkan gambar-gambar di Gedung Transito. Dimulai dari gambar keseluruhan gedung, sampai wawancara dengan Zulkhair dan gamabr anak-anak. Esok harinya Maryam membeli koran Jakarta dan koran lokal. Dada Maryam sesak, melihat tulisan “Gubernur: Ahmadiah Silakan Cari Suaka ke Australia”. Maryam tidak menanggapi lagi. Dia mengajak suaminya melihat perkembangan di Gedung Transito.

Sudah ada beberapa wartawan di dalam ruangan, menanyai orang-orang tentang kata-kata Gubernur yang ada di koran. Semua orang menjawab tidak mau pindah ke Australia. Wartawan itu tidak bisa berkata apa-apa lagi. Raut mukanya menunjukkan rasa kasihan, tidak tega, sekaligus terharu. Mata Maryam juga berkaca-kaca. Maryam sudah kehabisan akal untuk membantu mereka.

Novel ini ditutup dengan epilog yang dinaratori oleh Maryam. Maryam yang mengirimkan sebuah surat sebagai kritik atas sikap acuh tak acuh Gubernur dan pemerintah kepada pengikut Ahmadi selama ini. Kehidupan pengikut Ahmadi di Gedung Transito masih tetap seperti sebelumnya. Harapan Maryam adalah keadilan dapat ditegakkan.

LAMPIRAN II:

Dokumen terkait