• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BIOGRAFI KHRISNA PABICHARA DAN SINOPSIS NOVEL

C. Gambaran Umum Novel Sepatu Dahlan

2. Sinopsis Novel Sepatu Dahlan

Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang laki-laki bernama Dahlan (tokoh utama dalam kisah ini). Kisahnya berawal dari sebuah desa kecil di Kebon Dalem, Magetan. Sebuah perkampungan kecil di antara perkebunan tebu yang mayoritas penduduknya hidup kekurangan. Tidak ada listrik ataupun fasilitas lainnya. Saat malam datang rumah-rumah itu hanya berhias lampu teplok yang tentunya tidak seterang lampu zaman sekarang ini. Perjalanan kehidupan yang diwarnai dengan rasa lapar terus-menerus sudah menjadi keseharian hidup keluarga Dahlan Iskan dimasa kecilnya.

Tiwul adalah makanan keseharian mereka karena hanya itu yang mampu mereka beli. Melihat pekerjaan mereka yang hanya nyabit, nguli nandur, dan ngangon domba. Memang sepertinya hanya itulah yang mampu mereka jangkau dari pada bebutiran beras. Kehidupan mendidiknya dengan keras. Baginya rasa perih dan lapar adalah sahabat baik yang enggan pergi. Begitu pula dengan lecet dikakinya, hal tersebut merupakan bukti perjuangan dalam meraih ilmu. Namun, semua itu tidak menyurutkan semangat Dahlan untuk tetap bersekolah. Meskipun setiap hari dia harus berjalan berkilo-kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Tak pernah Dahlan kecil merasakan nikmatnya bersekolah dengan memakai sepatu.

Tak hanya itu, sejak kelas 3 Sekolah Rakyat sepulang dari sekolah, selain sebagai pengembala domba-domba keluarga, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukannya demi sesuap nasi tiwul. Tak jarang anak seusianya harus membanting tulang, sehingga kehilangan saat-saat bermain bersama temannya. Di bawah terik matahari yang menyengat, yang sering membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi masih harus bekerja lagi. Ia harus bekerja tidak hanya untuk kebutuhannya saja, tapi juga untuk membantu keluarganya. Ia bekerja sebagai kuli nyeset dan kuli tandur. Tidak hanya nguli nyeset dan nguli tandur, ia juga melatih tim voli anak-anak juragan tebu.

Rumah atau lebih tepatnya disebut gubuk keluarga Dahlan Iskan berlantai tanah. Yang jika musim hujan lantai menjadi basah dan lembab. Kalau musim kemarau tiba terasa panas dan berdebu. Di atas lantai tanah itulah, dengan menggelar tikar, Dahlan dan adiknya Zain biasanya memejamkan mata. Tidur dengan sangat lelap. Sedangkan dinding rumahnya dari sisa-sisa batu bata merah yang tak terpakai dan sudah dibuang oleh pemiliknya. Di rumah itu tak ada perabot apapun, termasuk ranjang, maupun kasur, selain sebuah lemari kecil tua, yang dipakai untuk menyimpan peralatan dapur dan peralatan membatik sang ibu. Sedangkan pakaian keluarga itu yang hanya ada beberapa pasang. Sudah cukup digantungkan di paku yang ditancapkan pada dinding rumah. Walaupun demikian, Dahlan selalu beranggapan hidup dalam kemiskinan itu, ia sama sekali tidak merasa menderita. Karena ia menjalani hidup itu dengan apa

adanya. Sambil tetap bekerja keras dengan disiplin yang tinggi. Kedisiplinan yang selalu diterapkan dari bapak. Ia selalu menanamkan dalam pikirannya bahwa “Hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.” Karena hati yang lapang dan sifat yang sabar, hidup serba kekurangan, semua itu tidak membuat Dahlan putus asa. Ia tidak merasakan keriangan masa kanak–kanaknya hilang. Ketegasan dan kelembutan hati seorang ibu, membuatnya bertahan. Persahabatan yang murni menyemangatinya untuk terus berjuang.

Sepatu. Itulah benda yang paling diidam-idamkan, paling mewah, sekaligus paling tak terbelikan oleh Dahlan Iskan di kala itu. Orangtuanya yang miskin, ayah hanya bekerja sebagai buruh tani (mengerjakan sawah orang lain), dan sekali-kali menjadi kuli bangunan, sedangkan sang ibu sekali-kali menerima pesanan membatik, tidak mampu untuk membelikan Dahlan sepasang sepatu, bekas sekalipun. Meskipun mereka tahu anak laki-lakinya itu sejak lama sangat menginginkannya. Tak jarang, Dahlan terpaksa menelan air liurnya sendiri ketika melihat ada teman-temannya yang memakai sepatu yang dinilainya bagus. Disertai dengan mimpi-mimpi indahnya suatu waktu kelak bisa memakai dan mempunyai sepatu.

Ibu, sosok yang baik hati dan sabar itu, sangat disayang oleh Dahlan. Pernah suatu ketika saat ibu Dahlan sakit, dan harus dirawat di rumah sakit, Zain dan Dahlan lapar karena tidak ada makanan di rumah. Terpaksa Dahlan mencuri tebu di kebun yang dijaga oleh mandor Komar. Namun, nasib baik sedang tidak berpihak ia tertangkap dan harus

menanggung malu. Semenjak itulah ia selalu berusaha tidak mencuri meskipun perut menahan rasa sakit karena lapar. Sakit yang diderita ibunya semakin parah sehingga tidak dapat terselamatkan. Ibunya meninggal saat Zain dan Dahlan lama menunggu kepulangan Ayah yang membawa ibunya kembali ke rumah. Kehidupan Dahlan semakin terpuruk setelah ditinggal Ibunya. Harapan untuk mendapatkan sepasang sepatu yang selalu diutarakan kepada ibunya semakin pupus. Karena lebih banyak kebutuhan yang mendesak dan sangat perlu dibandingkan sepasang sepatu. Selain sepatu, Dahlan juga sangat mendambakan sebuah sepeda. Agar dia tidak perlu lagi berjalan kaki pergi-pulang sejauh 12 kilometer untuk sekolah, di bawah terik matahari yang menyengat. Yang sering membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi masih harus bekerja lagi, nguli nyeset.

Dari kerja kerasnya itu Dahlan selalu mendambakan akan mampu membeli sepasang sepatu baginya dan adiknya, Zain. Tetapi, selalu saja tidak kesampaian, karena belum juga duitnya cukup terkumpul, selalu ada keperluan lain yang jauh lebih penting. Membeli gula, garam, beras, minyak goreng, dan sebagainya. Namun demikian, kemiskinan bagi Dahlan bukan halangan untuk menuntut ilmu dan meraih impiannya. Keinginan bersekolah di sekolah idamannya. SMP Magetan tak bisa ia rasakan, bukan karena ia tak bisa bersekolah di Magetan, lantaran larangan dari bapak. Bapak melarang karena faktor biaya dan jarak bersekolah yang

terlalu jauh. Hingga bapak meimnta Dahlan untuk bersekolah di Pesantren Takeran, karena banyak keluarga yang memang di sekolahkan di sana.

Dahlan pun masuk ke Pesantren Takeran dengan melewati masa orientasi yang menyenangkan terutama dengan kata-kata sambutan yang bijak dari Ustad Ilham yang membuat Dahlan merasa bersalah karena telah memandang remeh Pesantren ini. Sejarah pesantren Takeran tak bisa dipisahkan dengan pelarian Pangeran Diponegoro, Kyai Hasan Ulama bersama sahabatnya Kyai Muhammad Ilyas yang mendirikan Pesantren Takeran pada tahun 1430 H. sejarah pesantren takeran juga tidak lepas dari sejarah Kiai Mursid yang mengubah nama pesantren Takeran menjadi Pesantren Sabilil Muttaqien yang ditahan oleh FDR yang didampingi oleh sahabatnya Imam Faham dan tidak kembali lagi.

Di pesantren itu pula Dahlan mengikuti tim bola voli di sekolahnya dan menjadi peserta unggulan. Pernah suatu ketika, Dahlan bersama teman satu tim mewakili sekolahnya dalam kejuaraan bola voli kemudian berhasil menjadi juara. Yang pada awalnya Dahlan dan teman-temannya sempat putus asa karena dalam pertandingan tersebut diwajibkan memakai sepatu, sedangkan Dahlan tak memiliki sepatu. Namun ia dan teman setim tidak menyerah begiu saja. Pertandingan tetap dijalaninya. hingga tak disangka karena prestasi yang bagus dalam bola voli Ia dipercayai menjadi ketua tim voli Pesantren Takeran. Demikian pula ia menjadi pelatih voli anak-anak juragan tebu. Untuk menambah tabungannya dengan upah yang tak seberapa. Dengan kepolosan, ketekunan, kerajinan, ketakwaan yang

dimiliki oleh Dahlan. Iapun terpilih sebagai pengurus ikatan santri yang baru, yang harus memegang amanat yang dibebankan olehnya. Menjalankannya dengan pesan dari Kiai Irsjad bahwa untuk menjadi pemimpin santri itu harus tawaduk, harus rendah hati, karena menjadi pemimpin bukan berarti menjadi penguasa yang berhak memerintah sekehendak hati, melainkan jadi pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Kemudian harus tawakal. Karena dunia ini hanya persinggahan semata. Jabatan adalah amanat yang dilimpahkan kepada kita, kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban. 2

Kehidupan telah mendidik Dahlan kecil dengan keras. Hidup kekurangan, mengharukan, menyedihkan telah dirasakannya. Ketegasan sang ayah dan kelembutan seorang ibu, membuatnya tetap bertahan. Persahabatan yang murni menyemangatinya untuk terus berjuang untuk meraih impiannya. Mendapatkan sepatu dan sepeda menjadi cita-cita besarnya. Baginya kemiskinan bukan untuk ditakuti ataupun disesali. Hingga akhirnya keinginan itu bisa tercapai, dari hasil jeri payah dan kerja keras Dahlan dapat membeli sepasang sepatu untuknya bekaspun tak jadi masalah, sehingga Dahlan juga dapat membelikan adiknya Zain sepasang sepatu.

Tiba hari kelulusan para santri Pesantren Takeran membuat Dahlan bersedih karena takut kehilangan sahabat pejuang yang begtu murni, yang saling mendukung, selalu menghadapi bersama-sama, selalu memberikan

2

semangat juang, sahabat yang selalu memberikan kisah penuh canda dan tawa. Ketika malam hari Arif berkunjung ke rumah Dahlan dengan sepeda melaju dengan sangat cepat untuk menyampaikan surat penting dari Aisha. Wanita yang ia sukai sejak duduk di sekolah menengah. Namun Dahlan tak pernah memiliki nyali untuk mengatakan perasaan itu kepada Aisha. Surat yang isinya mengatakan bahwa Aisha juga menaruh hati pada Dahlan, dan ia meminta Dahlan untuk menunggunya selama tiga tahun karena setelah lulus Aisha melanjutkan pendidikannya di Yogyakarta. Sepintas Dahlan merenung dan berpikir meminta izin kepada bapaknya untuk merantau ke Samarinda tempat kakaknya. Keinginan itu direstui oleh bapak Dahlan. Meskipun berat karena Dahlan harus meninggalkan adiknya Zain yang begitu amat disayanginya.

A. Hasil Temuan Penelitian

Dalam analisis teks, peneliti memfokuskan pada strategi wacana serta teknik penulisan yang dipakai untuk menggambarkan peristiwa tertentu, dengan cara menguraikan struktur kebahasaan secara makro (tematik), superstruktur (skematik), dan mikro (semantik, sintaksis, stilistik dan retoris).

Novel Sepatu Dahlan setebal tiga ratus enam puluh halaman dirangkai oleh Khrisna Pabichara dengan alur yang terdiri atas satu prolog dari halaman satu sampai halaman sembilan, tiga puluh dua episode dari halaman tiga belas sampai halaman tiga ratus lima puluh sembilan dan epilog dari halaman tiga ratus enam pulu empat sampai halaman tiga ratus enam puluh sembilan. Tidak kesemua judul terkait secara langsung tentang pencitraan Dahlan Iskan. Melainkan pula terdapat kisah yang menceritakan sosok Dahlan terkait dengan lingkungan di sekitar. Peneliti menganalisis dan mengkategorikan kalimat-kalimat yang terkait secara langsung dengan sosok Dahlan melalui cerita novel tersebut. Hal tersebut dilakukan karena penelitian ini merupakan penelitian dengan tujuan utamanya adalah untuk menganalisa penggambaran pencitraan Dahlan Iskan sebagai tokoh utama dalam Novel Sepatu Dahlan.

Secara lebih jelas, analisis teks wacana kritis Novel Sepatu Dahlan mengenai pencitraan yang terbangun atas novel tersebut dapat dijelaskan secara rinci pada masing-masing sub bab di bawah ini melalui elemen analisis teks model Van Dijk.

1. Struktur makro

Unsur global dari wacana disebut tematik. Tema merupakan gagasan inti dari suatu teks yang menggambarkan apa yang ingin disampaikan oleh seorang penulis kepada pembaca melalui tulisannya dalam melihat atau memandang suatu peristiwa. Tema dalam suatu karya fiksi atau novel merupakan gagasan sentral yang menjadi dasar penulisan sebuah karya dan dalam tema itu tercakup persoalan dan tujuan atau amanat penulis kepada pembaca melalui tulisannya. Secara keseluruhan, Novel Sepatu Dahlan menceritakan tentang perjalanan kehidupan Dahlan kecil. Kisah tersebut diawali dengan prolog kemudian mengkisahkan perjuangan hidup Dahlan kecil yang tinggal di Perkampungan, Desa Kebon Dalem Magetan sampai lulus sekolah menengah dan setelah itu berencana merantau. Namun, di akhir cerita novel ini terdapat epilog yang membangunkan dan mengkisahkan cerita baru berupa sebuah mimpi baru bagi Dahlan.

a. Mimpi Dan Cita-cita

Tema secara umum pada Novel Sepatu Dahlan adalah menguraikan tentang Mimpi dan Cita-cita. Tema tersebut diuraikan penulis dalam bentuk masalah sosial, khususnya kemampuan seseorang untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya dengan menempuh berbagai cara. Khrisna Pabichara mengungkapkan bagaimana upaya yang dilakukan Dahlan kecil untuk meraih mimpi dan cita-citanya berupa sepatu dan sepeda. Dan bagaimana Dahlan kecil dengan lincahnya menggapai visi hidupnya. Tidak pernah takut bermimpi untuk meraih cita-cita

setinggi-tingginya. Akan tetapi yang menarik di sini adalah seolah Dahlan paham betul efek dari kerja kerasnya untuk masa depannya. Padahal masa itu adalah masa bermain Dahlan, yang seharusnya tidak terlalu jauh berfikir tentang visi dan misi hidupnya, akan tetapi Dahlan berimajinasi diluar batas anak seusianya.

Mengenai sepatu dan sepeda yang menjadi mimpi dan cita-cita terlihat dalam penggalan berikut ini.

“Tak ada salahnya bermimpi punya sepatu, tetapi jangan karena mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus asa. Hidup ini keras, kamu harus berjuang sendiri”

“Meskipun Ibu pasti menyadari bahwa aku memang sejak dulu ingin sepatu, dan keinginan itu semakin bertambah setelah aku menginjak usia remaja. Dengan sepatu itu, kakiku tidak perlu melepuh atau lecet-lecet. Meski begitu, aku tak berharap Ibu atau Bapak akan membelikan sepatu untukku. Kemiskinan telah mengajari kami bahwa

banyak yang lebih penting dibeli dibanding sepatu.”1

Kemahiran penulis novel dalam merangkai teks terangkai dalam setiap kalimatnya yang ia tulis. Seperti kegigihan Dahlan kecil yang tertulis di dalam teks, sangat terasa dimata pembaca novel. Menggambarkan betapa keinginan Dahlan dalam mewujudkan cita-citanya untuk memiliki sepatu dan sepeda. Teks tersebut juga menggambarkan betapa kemandirian Dahlan semenjak kecil karena ia ingin mewujudkan cita-citanya tanpa dibantu orang tuanya.

“Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak disebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai benar-benar aku memilikinya. Dulu aku sering bertanya-tanya bagaimana rasanya orang-orang berjalan dengan sepatu, dan bertekad kelak aku harus bisa beli sepatu.

1

Harus. Dulu aku juga sering memikirkan enaknya memperpendek jarak tempuh dengan sebuah sepeda, dan kupikir akan sangat menghemat waktu dibanding jalan kaki, hingga aku sangat meninginkan sebuah sepeda.”

“Aku pernah nguli nandur berhari-hari, berharap dari upahnya aku

bisa membeli sepasang sepatu. Namun, ketika upah itu kuterima, ada barang lain yang mesti ditebus dan itu jauh lebih mendesak dibanding sepatu seperti beras, tepung singkong, cabai, gula, atau minyak tanah. Aku ikut nguli nyeset dan berharap dari upahnya aku bisa punya sepeda, tetapi ada saja yang terjadi sehingga upah itu tak pernah

dipakai membeli sepeda.”2

Kegigihan, cita-cita yang tinggi yang dimiliki Dahlan menjadi nilai tersendiri bagi penulis novel dalam mengolah kata-kata, yaitu Khrisna Pabichara. Ia mengatakan usaha yang dilakukan Dahlan kecil sama halnya yang ia lakukan sejak kecil dalam menggapai sebuah mimpi, jeri payah, semangat, dan pantang menyerah. Kesamaan latar belakang menjadi daya tarik sendiri untuk penulis. Alasan inilah yang membuat Khrisna antusias dalam menulis tentang kehidupan Dahlan. Hal demikian tercakup pada hasil wawancara sebagai berikut.

“secara pribadi saya menyukai pemikiran dan terobosan Dahlan Iskan yang kerap dituturkan lewat tulisan-tulisan di media. Saya juga ingin berbagi kabar kepada pembaca perihal ada seseorang yang begitu gigih memperjuangkan harapan dan cita-cita sederhananya. Bahkan dengan segala keterbatasan, mampu melampau situasi yang membelit dan melilit hidupnya. Hal lain, masa kecil Dahlan Iskan rada mirip dengan masa kecil saya. Kami lahir dan besar dari keluarga sederhana, sebut saja miskin- yang buat makan saja amat susah. Kami juga sama-sama mengembala kambing, bedanya hanya pada ternak piaraan: pak Dahlan menggembala kambing, saya menggembala kerbau. O ya, kami juga sama-sama nyeker kalau ke sekolah. Ini saya maksud dengan ada kemiripan latar masa lalu. Kalaupun ada perbedaan, lebih

lantaran Dahlan Iskan sekarang sudah kaya. Saya, belum. Hehe”3

2

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 337-338

3

Wawancara Peneliti dengan Khrisna Pabichara (Penulis Novel Sepatu Dahlan) di Café Housen Cullinary, pada 5 April 2013.

b. Kesederhanaan

Topik lain yang disajikan dalam tema sentral di atas adalah mengenai kehidupan yang sederhana. Tema hidup sederhana tersebut merupakan serangkaian alur cerita yang menggambarkan kondisi kehidupan keluarga Dahlan kecil. Dahlan dibesarkan dilingkungan pedesaan dangan serba kekurangan, begitu pula dengan rumahnya yang berlantai tanah. Jika musim hujan datang lantai selalu basah dan ketika musim kemarau lantai akan selalu berdebu. Disisi lain ada cerita menarik yang yang menggambarkan betapa serba kekurangannya Dahlan saat kecil. Disitu diceritakan Dahlan kecil hanya memiliki satu celana pendek dan satu baju, tapi masih memiliki satu sarung. Diceritakan dalam novel bahwa sarung yang Dahlan miliki bisa jadi apa saja. Mulai jadi alat ibadah, mencari rezeki, alat hiburan, fashion, kesehatan sampai menjadi alat untuk menakut-nakuti. Dimana kisah mengenai kehidupan Dahlan digambarkan Khrisna seperti di bawah ini;

“Pakaian misalnya, aku hanya punya sepasang dan itu alamat akan jadi bahan ejekan bagi murid-murid lain yang rata-rata punya orang

tua yang mampu membelikan mereka banyak pakaian.”4

Teks ini menjelaskan kondisi kehidupan Dahlan yang sederhana, yang hidup dalam kemiskinan, Dahlan nampak terlihat kekurangan semenjak kecil, tidak pernah membayangkan memiliki pakaian lebih, untuk makan sehari-hari saja belum tentu bisa. Seperti teks yang peneliti temui sebagai berikut.

“sebatang pohon mangga yang rimbun tepat berada di tengah halaman. Jelang musim hujan, mangga itu adalah rezeki berlimpah

4

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, (Jakarta Noura Books PT. Mizan Publika), h. 21-22

bagi kami;buah pengganjal perut. Di dekat pagar, tiga pohon kelapa gading berjajar dengan rapi. Tingginya sekitar lima meter. Kelapa gading yang di tengah itu sering mengancam nyawa adikku.”5

Dalam teks di atas dijelaskan bahwa ketika musim hujan tiba adalah rezeky yang berlimpah bagi Dahlan karena mendapatkan buah mangga. Artinya buah mangga itu menjadi makanan pengganjal perut Dahlan dan Adiknya disaat lapar. Selain itu yang digambarkan sederhana dalam kehidupan Dahlan peneliti temukan dalam teks sebagai berikut.

“Rumahku. Seperti rumah lainnya di kampung ini, berlantai tanah.

Jika musim hujan tiba, akan lembab dan basah. Setiap kemarau datang, lantai tanah itu panas dan berdebu. Di sana, di lantai tanah yang lembab atau berdebu itu, aku dan adikku menggelar tikar setiap malam. Ajaibnya, kami selalu bisa mendengkur dengan nikmat”6

Melalui tulisannya, Khrisna melukiskan secara fakta kondisi kehidupan yang di alami Dahlan kecil. Penggambaran hidup sederhana Dahlan kecil yang disampaikan penulis dalam tulisannya mencerminkan tokoh dengan sosok figur yang sederhana. Dengan adanya figur Dahlan dalam novel, Khrisna menggambarkan fenomena sebagian kehidupan rakyat kalangan bawah, mulai dari masalah ekonomi maupun pendidikan. Hal yang menyangkut tema hidup sederhana juga terdapat dalam kalimat sebagai berikut.

“Sejak Ibu meninggal, Bapak jarang di rumah. Setiap malam tiba, dengan lampu teplok di tangan, beliau ke sawah bengkok yang dia garap. Kadang pulang setelah malam larut, kadang beberapa saat sebelum subuh berkumandang, lalu pergi lagi. Aku dan Zain juga sama. Bangun lebih pagi dari biasanya, bersama-sama ke tegalan, pematang-pematang sawah, atau ke jalanan pembatas ladang tebu untuk menyambit rumput. Embun masih tersisa di daun rumput yang

5

Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, h. 44

6

kami sabit itu, tapi kami harus berlomba dengan matahari. Setiba di rumah, tak ada sarapan pagi. Paling sekedar teh hangat dari air yang

dijerang Bapak..”7

Gambaran kehidupan Dahlan yang sederhana dapat dilihat pada teks di atas yang menjelaskan tidak ada sajian istimewa untuk dihidangkan, hanya sekedar air teh hangat yang disediakan oleh bapak Dahlan. Sederhana yang dimiliki Dahlan tidak hanya sederhana dalam kehidupannya, mulai dari pakaian, kondisi rumah, bahkan untuk makan sehari-hari tak pernah terlihat istimewa.

c. Perjuangan

Tema selanjutnya menguraikan arti perjuangan seseorang. Berbeda dengan tema sebelumnya, tema perjuangan yang dipaparkan Khrisna menjelaskan seorang anak dusun yang berjuang. Bagaimana perjuangan Dahlan kecil demi mendapatkan pendidikan, susah payah yang ia dapatkan semasa sekolah hingga perjuanganya mendapatkan sepasang sepatu untuk digunakannya saat bersekolah. Kisah Dahlan dalam novel ini bertujuan untuk membangkitkan semangat setiap orang yang membacanya karena berisi pesan moral yang sangat kuat. Salah satunya adalah bahwa setiap orang berhak atas keberhasilan dalam hidupnya. Tidak peduli dia lahir dari keluarga miskin sekalipun.

Keras dan pahitnya perjuangan hidup Dahlan kecil untuk tetap terus menuntut ilmu dan bersekolah. Baginya, pendidikan adalah hal yang tidak bisa tergantikan dengan harta kekayaan manapun, siapa yang ingin sukses maka ia

7

harus siap menjadi sosok terdidik walau sesulit apapun perjuangan yang ia

Dokumen terkait