• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Sintesis Alkanolamida secara Enzimatik

Beberapa penelitian telah dilakukan pada sintesis alkanolamida secara enzimatik. Sumber lemak/asam lemak yang digunakan antara lain metil ester asam lemak, etil ester asam lemak, asam oleat, asam laurat, serta trigliserida dari minyak sawit, inti sawit dan berbagai sumber minyak lainnya. Pelarut yang lazim digunakan

pada sintesis alkanolamida adalah heksan dan tert-amil alkohol. Heksan adalah pelarut non polar, dimana n-metil-glukamina tidak larut.

Maugard, dkk. (1997) mengamati bahwa jika campuran yang stoikiometris antara asam oleat dengan N-metil-glukamina menggunakan Novozym pada 55 oC dan tekanan atmosfi, maka 40 % dari asam lemak akan terkonversi setelah 130 jam dengan yield produk campuran terdiri dari 80% amida dan 20% turunan monoester. Jika reaksi dijalankan pada 90 oC dan tekanan atmosfir, 100 % konversi asam oleat akan dicapai hanya dalam waktu 50 jam dan yield konversi amida sebesar 97 % akan diperoleh. Pada kondisi ini akan diperoleh 3% produk samping dari diasilasi amida-ester. Produk ini terbentuk dari mono ester yang merupakan produk antara yang akan seluruhnya habis pada akhir reaksi. Jika reaksi dijalankan pada 90 oC dan tekanan 500 mbar, 100 % konversi asam oleat akan diperoleh dalam 12 jam, akan tetapi campuran akhir mengandung 75 % amida, 10 % amida-ester, 5% ester dan 10 % amina yang tidak bereaksi. Substrat amina tidak seluruhnya bertransformasi pada kondisi seperti itu. Penelitian lanjutan yang dilakukannya mencoba untuk membatasi terbentuknya sejumlah ko-produk dan menemukan bahwa trigliserida cukup baik untuk digunakan sebagai ester asam lemak. Rasio asam lemak/amina tidak hanya menentukan jumlah amin yang terlarut di dalam fasa organik akan tetapi juga keselektifan dari reaksi enzimatik.

Maugard, dkk. (1998) mengamati bahwa dengan adanya asam lemak, n-metil- glukamina akan dilarutkan dengan membentuk pasangan ion.

Gambar 2.4 N-Metil Glukamida Membentuk Pasangan Ion

dengan Adanya Asam Lemak (Sumber: Maugard, dkk. (1998))

Lebih lanjut Maugard, dkk. (1998) menambahkan bahwa jika digunakan imobil lipase dari Rhizomucor Miehei (Lipozym) sebagai katalis pada sintesis asam oleat dengan N-metil-glukamina, kemoselektivitas reaksi akan bervariasi bergantung pada rasio asam/amina. Untuk rasio asam/amin 8 (asam berlebih), maka sebahagian besar

CH2OH OH H H OH H H H OH H H NH CH3 OH O CH3 n NH2 CH2OH OH H H OH H H H OH CH3 O O n

akan membentuk ester. Sebanyak 100% N-metil glukamina akan bertransformasi menjadi 6-O-oleoiyl-N-metil-glukamina. Jika rasio adalah lebih kecil dari 1 (amina berlebih), maka hanya akan terbentuk oleoil-N-metil glukamida. Hasil ini menunjukkan bahwa pentingnya menjaga kondisi asam-basa terutama jika molekul subtrat mengandung gugus ionik, karena kondisi asam-basa menentukan tempat ionik kedua substrat dan katalis enzim, dan kemudian juga efisiensi dan kemoselektivitas dari sintesis yang dilakukan.

Maugard, dkk. (1998) juga menyelidiki perubahan komposisi produk disepanjang reaksi dan menemukan bahwa berkurangnya metil ester asam lemak sejalan dengan terbentuknya amida dan ester di awal reaksi. Pada awal reaksi, baik amida maupun ester telah terbentuk, dan setelah 3 jam ester yang terbentuk berubah menjadi amida ester. Diakhir reaksi ester yang terbentuk menghilang dan bersamaan dengan itu diperoleh produk baru sebesar 10% yang diidentifikasi sebagai amida ester, yang kemungkinan terbentuk dari ester. Setelah 10 jam reaksi, 100% metil ester asam lemak akan terkonversi secara sempurna dan yield amida mencapai 80%. Kondisi optimum yang diperoleh untuk produksi amida adalah pada tekanan atmosfir, temperatur 90oC menggunakan rasio Metil Ester Asam Lemak:N-metil-glukamina 1:1. Pada kondisi ini campuran surfaktan yang diperoleh mengandung 80% (b:b) amida, 15% amida ester dan 5% N-metil-glukamina. Pada komposisi ini, untuk bahan baku industri, tidak diperlukan pemisahan campuran dan dapat langsung digunakan untuk formulasi kosmetika.

Burczyk, dkk. (2001) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan dari surfaktan nonionik N-alkil-n-metil gluconamida dan n-alkil-n-metil laktobionamida. Substrat yang digunakan adalah n-alkil-n-metil amin dengan d-D-glukolakton dan asam laktobionik. Pada penelitian ini digunakan suhu 20 oC dan diamati sifat-sifat permukaan seperti konsentrasi surfaktan berlebih, luas permukaan permolekul, efisiensi reduksi tegangan permukaan dan konsentrasi misel kritikal. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa masuknya gugus metil ke dalam nitrogen amida akan meningkatkan kelarutan surfaktan. Laktobionamida lebih mudah larut dibandingkan glukonamida. Dengan kata lain permukaan surfaktan n-alkil-N-metil glukonamida lebih aktif dibandingkan n-alkil- N-metil laktobionamida. Pengamatan ini didasarkan pada penentuan parameter adsorbsi dan miselisasi. Adanya satu ikatan rangkap dari rantai hidrokarbon seperti pada oleoil amida akan meningkatkan karakter hidrofiliknya dibandingkan dengan turunan C18 yang jenuh. Akan tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dari nilai Amin yang diperoleh dari kedua surfaktan yang disintesis. Surfaktan n-alkil-N-metil glukonamida yang disintesis mempunyai kemurnian 73 – 92%.

Maria dan Holmberg (2005) mengamati sintesis dan sifat-sifat permukaan dari surfaktan yang mempunyai ikatan amida, ester dan karbonat. Kestabilan surfaktan karbonat ini ditentukan dengan mengamati karakteristik hidrolisis dan biodegradabelnya. Hidrolisis dilakukan dengan katalis alkali atau enzim dan diamati menggunakan 1H NMR. Hasil pengamatan mereka menunjukkan bahwa kestabilan yang lebih tinggi diperoleh oleh surfaktan karbonat dibadingkan surfaktan yang mengandung ester sebagai ikatan yang lemah. Hasil uji biodegradasi menunjukkan bahwa surfaktan ini akan terurai lebih dari 60% setelah 28 hari untuk karbonat surfaktan. Sifat-sifat fisikomikia seperti konsentrasi misel kritikal, cloud point, luas permukaan permolekul dan tegangan permukaan.ditentukan dan dibandingkan dengan surfaktan yang mengandung ikatan ester, amida atau eter.

Pilakowska, dkk. (2004) mengamati sintesis N,N-di-n-alkilaldonamida dan sifat- sifat permukaan dari surfaktan ini pada permukaan udara/air. Substrat yang digunakan adalah d-D-glukonolakton dan a-D-glukoheptonik-g-lakton. Dasar dari penelitian ini adalah karena akhir-akhir ini aspek ekologi menjadi sangat penting bagi lingkungan manusia sehingga surfaktan yang biodegradabel dan sedikit efeknya terhadap lingkungan banyak dikembangkan. Ada dua grup komponen yang cukup menjanjikan, yang pertama komponen dengan asetal moiety yaitu turunan 1,3-dioksalan dan 1,3- dioksan, sedangkan komponen kedua adalah turunan sakarida. Turunan sakarida banyak diminati untuk diteliti karena jenisnya bervariasi dan dapat disintesis dengan biaya rendah karena berasal dari tumbuhan yang murah dan terbarukan. Surfaktan berbasis sugar ini banyak digunakan sebagai bagian dari kosmetik, bahan farmasi dan makanan, juga industri tekstil. Karena strukturnya yang mirip dengan komponen dalam tubuh manusia, surfaktan sakarida cukup menjanjikan untuk berfungsi dengan lebih baik pada antar muka.

Beberapa kajian mengenai sistesis surfaktan berbasis sugar dapat diperoleh dari literatur. Turunan sakarida yang digabungkan dengan gugus amida kebanyakan diperoleh dari reaksi asam aldonik atau aldolakton dengan amin atau turunan amin. Pada pengamatan Pilawoska, dkk. (2004) sintesis surfaktan berbasis sugar ini yang dipilih adalah yang mempunyai dua rantai n-alkil yang simetrik sebagai gugus hidrofobiknya. Surfaktan dengan dua residu rantai panjang alkil, yang dikenal dengan nama glikolipid, dapat diaplikasikan sebagai sel atau unit membran .

Meskipun pelarut organik memberi beberapa manfaat pada sintesis enzimatik, namun penggunaannya pada industri proses menjadi tidak diharapkan karena beberapa sebab. Diantara sebab-sebab tersebut adalah pelarut organik adalah komponen yang

mudah menguap sehingga mengakibatkan pencemaran udara, serta penggunaannya memerlukan tambahan biaya proses untuk menguapkan dan menggunakannya kembali. Selain itu, penggunaan pelarut organik memerlukan reaktor dan peralatan pendukung yang lebih banyak. Oleh sebab itu proses tanpa pelarut (solvent free process) merupakan alternatif sintesis yang memberikan manfaat bagi lingkungan dan efisiensi proses (Herawan, 2004).

Biaya enzim merupakan faktor yang penting dalam menentukan ekonomi proses. Enzim dengan kestabilan tinggi serta kemungkinan recycle yang tinggi menjadi sangat diharapkan. Penelitian tentang epoksidasi toluene menggunakan enzim mendapatkan bahwa efisiensi enzim menjadi 75% setelah 15 siklus reaksi (Warwel, dkk. 2001). Akan tetapi, jika enzim dioperasikan pada proses tanpa pelarut pada kondisi optimum, enzim ditemukan kehilangan banyak aktivitasnya, sehingga membatasi jumlah recycle. Karena itu pemilihan kondisi reaksi yang tepat merupakan hal yang sangat krusial dalam penggunaan kembali Novozym 435. Pengetahuan yang mendalam terhadap faktor- faktor yang menyebabkan enzim terdeaktivasi sangat diperlukan dalam menyiapkan lipase dengan stabilitas yang ditingkatkan untuk desain proses yang optimal.

Kondisi yang lunak, meminimalkan keperluan untuk memproteksi gugus-gugus, penguncian produk samping, regio dan enantio selektif yang tinggi, dan biaya sintesis yang rendah menjadikan sintesis amida secara enzimatik lebih disukai dibandingkan reaksi kimiawi. Selain dari lipase, protease seperti termolisin dan subti-lisin ada juga digunakan pada produksi amida skala besar, akan tetapi diketahui enzim tersebut spesifik untuk asam amino tertentu dan cukup sensitif untuk di inaktifkan oleh pelarut organik. Diantara asam hidrolase, lipase merupakan katalis yang menjanjikan untuk sintesis peptida, polimer dan surfaktan baru dengan biaya rendah, karena lipase telah dibuktikan, dapat mengkatalisa pembentukan ikatan amida dalam pelarut organik.

Dalam pembentukan ikatan amida terdapat dua cara yang dipertimbangkan dapat meningkatkan yield amida:

1) Kontrol termodinamika. Pada pendekatan termodinamika, kesetimbangan diarahkan kepada sintesisnya, kecuali hidrolisisnya dan ini dicapai dengan menvariasikan kondisi reaksi. Sebagai contoh, peningkatan konsentrasi dari material awal atau pengendapan dari produk, menunjukkan reaksi amidasi, dengan menggantikan molekul air dengan pelarut organik.

2) Kontrol kinetika. Pada pendekatan kinetika yang mengontrol reaksi, material awal adalah mengaktifkan komponen karboksil seperti ester. Ester diaktifkan oleh enzim melalu intermediet asil-enzim, dimana kemudian

dapat diserang oleh amina atau molekul air. Karena sistesis yang dikontrol secara kinetika memerlukan intermediet asil-enzim, hanya serine atau thiol hidrolase, seperti lipase, subtilisin dan papain yang dapat digunakan. Metalo protease seperti termolisin hanya sesuai untuk reaksi yang dikontrol secara termodinamika (Maria dan Holmberg, 2005).

Dokumen terkait