• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sintesis Hasil Analisis 1. Makro

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 58-66)

B. Tata Niaga Sayuran

5.3. Sintesis Hasil Analisis 1. Makro

Peran hortikultura terhadap perekonomian wilayah dapat diketahui persentase PDRB sektor-sektor hortikultura terhadap total PDRB, persentase output total sektor-sektor hortikultura terhadap keseluruhan output total, keterkaitan sektor hortikultura dengan sektor-sektor lainnya dan nilai multiplier. Kontribusi PDRB sayur-sayuran dan buah-buahan masing masing terhadap sektor pertanian berturut-turut adalah adalah : 0,067% dan 0,025%, sementara untuk kontribusi total PDRB sayur-sayuran dan buah-buahan memberikan sumbangan sebesar : 0,04% dan 0,015%. Berdasarkan kontribusi output total, maka peran kedua sektor menunjukkan kontribusi yang rendah terhadap pembentukan output total.

Dari hasil analisis Nilai keterkaitan ke depan (DFL) dan keterkaitan ke belakang (DBL) sektor-sektor hortikultura dengan sektor-sektor lainnya terlihat bahwa sektor sayur- sayuran dan buah-buahan memiliki nilai DFL yang lebih kecil dibandingkan nilai DBL. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan output kedua sektor tersebut lebih besar oleh sektornya sendiri dibandingkan dengan penggunaan oleh sektor lainnya.

Nilai Indeks Penyebaran (IDP) sayur- sayuran lebih dari satu menunjukkan bahwa sektor tersebut memiliki kemampuan untuk meningkatkan pertumbuhan sektor hulunya atau meningkatkan output sektor lainnya yang digunakan sebagai input oleh sektor tersebut. Sedangkan buah-buahan memiliki nilai yang kurang dari satu, menunjukkan bahwa sektor tersebut kurang mampu dalam menarik sektor hulunya.

Nilai Indeks Kepekaan (IDK) sektor-sayur-sayuran dan buah-buahan kurang dari satu, menunjukkan bahwa sektor tersebut tidak memiliki kemampuan untuk mendorong pertumbuhan produksi sektor hilir yang memakai input dari sektor tersebut. Hal ini berarti bahwa sektor sayur-sayuran dan buah-buahan kurang memiliki kemampuan untuk mendorong sektor-sektor hilir yang menggunakan outputnya sebagai input produksi.

Berdasarkan hasil kajian terlihat bahwa ke dua sektor tersebut memiliki keterkaitan yang lemah dengan sektor hilirnya. Keterkaitan sektor hortikultura

dengan sektor hulunya lebih kuat bila dibandingkan dengan sektor hulunya. Hal ini dicirikan dengan lebih kuatnya keterkaitan sektor hortikultura dengan sektor-sektor lain ke belakang dibandingkan dengan keterkaitan ke depan.

Keterkaitan ke depan sektor sayuran dan buah-buahan dengan sektor pengolahan (industri bukan migas) sangat kecil yaitu 0,00087 untuk sektor sayur-sayuran dan 0,00235 untuk sektor buah-buahan. Berdasarkan analisis terhadap sistem agribisnis, maka industri pengolahan khusus untuk sektor tersebut masih relatif sedikit dan berada di luar wilayah produksi. Hal ini merupakan salah satu indikasi terjadinya kebocoran wilayah, apabila kegiatan pengolahan tersebut dilakukan di dalam wilayah maka tentu saja akan lebih bermanfaat bagi masyarakat di dalam wilayah dan juga bagi wilayah itu sendiri. Oleh karena itu, industri pengolahan yang dikembangkan dapat berupa industri skala kecil maupun menengah sehingga dapat dikelola oleh petani maupun kelompok tani. Industri skala kecil dan menengah dikembangkan dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan petani dan penyerapan tenaga kerja. Dengan pengembangan subsistem hilir dalam bentuk industri pengolahan skala kecil dan menengah oleh petani/kelompok tani diharapkan nilai tambah subsistem hilir dapat diperoleh oleh petani/kelompok tani.

Keterkaitan yang terjadi antara sektor sayur-sayuran dan buah-buahan dengan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan keterkaitan ke belakang, bukan merupakan keterkaitan ke depan. Transaksi antara elemen tataniaga juga terjadi di luar wilayah kabupaten Karo. Keterkaitan ke depan antara ke dua sektor ini dengan perdagangan besar dan eceran tidak ada. Bila dikoreksi dengan marjin tata niaga, maka pihak yang lebih banyak mendapatkan keuntungan dalam transaksi adalah pengumpul atau pedagang besar dan transaksi tersebut di dalam wilayah. Dalam analisis ini, nilai transaksi ekspor tidak dirinci dan hanya masuk dalam permintaan akhir. Kemungkinan tidak terkaitnya ke dua sektor tersebut dengan sektor perdagangan besar dan eceran adalah karena komoditas hortikultura lebih banyak di perdagangkan di luar wilayah. Bila hal ini terjadi, maka ada indikasi telah terjadinya kebocoran wilayah di dalam perdagangan.

Keterkaitan ke belakang dengan sektor perdagangan besar dan eceran berhubungan dengan perdagangan input produksi sektor hortikultura. Hal ini

menunjukkan perkembangan di subsistem hulu. Subsistem hulu merupakan susbistem yang menyediakan sarana produksi pertanian primer bagi subsistem budidaya, baik industri maupun perdagangannya. Bila dihubungkan, maka keterkaitan sektor hortikultura ke belakang dengan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan keterkaitan perdagangan sarana produksi pertanian primer. Sebagai contoh adalah keterkaitan dengan kios sarana produksi yang menyediakan sarana produksi pertanian primer untuk kegiatan budidaya seperti polybag, pupuk kimia, pestisida dan lain-lain.

Keterkaitan lain yang perlu diperhatikan adalah keterkaitan yang terjadi di dalam masing-masing subsistem agribisnis itu sendiri. Sebagai contoh dalam subsistem budidaya menghasilkan limbah tanaman yang dapat digunakan sebagai pupuk organik. Perbanyakan tanaman juga dapat dilakukan dari bagian tanaman itu sendiri.

Keterkaitan di dalam subsistem hulu dapat dilakukan melalui kegiatan produksi dan perdagangan dari sarana produksi pertanian primer yang dilakukan di dalam suatu kelembagaan, seperti kelompok tani. Kelompok tani dapat berperan dalam penyediaan sarana produksi, baik kegiatan produksi pupuk organik dari limbah tanaman yang ada, sedangkan kegiatan perdagangan dapat dilakukan melalui penjualan sarana produksi pertanian primer seperti benih, pupuk, pestisida, polybag dan lain-lain.

Suatu sektor dengan keterkaitan ke depan dan belakang lebih besar dengan sektor-sektor lainnya, memiliki potensi kebocoran wilayah yang lebih kecil dibandingkan apabila sektor tersebut memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang lebih kecil dengan sektor-sektor lainnya. Efek pengganda dari sektor ini lebih tinggi bila keterkaitan menyebar dalam suatu perekonomian (Reis dan Rua, 2006).

5.3.2 Mikro

Sistem agribisnis sebagai suatu sistem yang terdiri dari subsistem hulu, usahatani, hilir dan jasa layanan pendukung merupakan suatu sistem yang secara keseluruhan memerlukan keterkaitan antar subsistem-subsistem tersebut.

Keterkaitan antar subsistem tersebut dapat menggambarkan perekonomian di suatu wilayah.

Keterkaitan antar subsistem tersebut didukung pula oleh kelengkapan sarana prasarana yang dimiliki oleh suatu wilayah baik sarana prasarana wilayah maupun sarana prasarana agribisnis itu sendiri. Kelengkapan sarana prasana tersebut juga dapat menggambarkan tingkat perkembangan wilayah. Dalam kajian ini kelengkapan sarana prasarana tersebut dikaji menggunakan data Potensi Desa (Podes) tahun 2008 dan kondisi lapang yang ditemui pada saat melakukan kajian.

Sarana dan parasarana yang dikaji dikelompokkan dalam tiga kategori yakni permodalan, pasar dan umum. Sarana dan prasarana permodalan dan berperan juga dalam penyedia saprodi yang dikaji adalah KUD/ koperasi, sarana dan prasarana pasar yang dikaji adalah ketersediaan pasar di tiap-tiap kecamatan dan untuk kategori umum adalah pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Sarana prasarana permodalan dan pasar dikaji untuk menjawab perkembangan usaha agribisnis, sementara kategori umum dikaji untuk melihat kesiapan SDM dalam pelaksanaan agribisnis hortikultura. Wilayah dengan kelengkapan sarana prasarana yang tertinggi berdasarkan analisis skalogram dimasukkan dalam kelompok hirarki satu.

Sarana produksi pertanian primer yang diperlukan oleh petani sudah dapat disediakan oleh kios saprodi dan beberapa Koperasi. Berdasarkan analisis skalogram dengan menggunakan data PODES diketahui bahwa kios sarana produksi yang ada di tiga kecamatan tersebut adalah koperasi yang berbentuk KUD.

Perkembangan subsistem budidaya dicirikan oleh teknologi budidaya yang dilakukan petani. Petani juga sudah mulai menyadari adanya penerapan Good Agricultural Practices (GAP) dan pengendalian hama penyakit tanaman dengan menggunakan tenknik Pengelolaan Hama Terpadu (PHT). Perkembangan subsistem budidaya juga didukung dengan fasilitas budidaya yang baik seperti sudah mulai terlihat penggunaan mulsa dan screen house di beberapa pertanaman.

Subsistem hilir merupakan subsistem yang memiliki nilai tambah besar dibandingkan dengan subsistem budidaya. Nilai tambah hortikultura merupakan nilai tambah yang diperoleh melalui penanganan pasca panen. Kebanyakan

produk hortikultura merupakan produk yang dijual dalam bentuk segar. Oleh karena itu keterkaitan dengan industri pengolahan tidaklah besar. Berdasarkan hasil deskripsi sistem agrbisnis, penanganan pada bagian hilir masih terbatas pada kegiatan sortasi dan packing belum menyentuh pada arah pengolahan, sehingga pada saat panen raya dan harga tidak terlalu tinggi ditambah lagi dengan upah tenaga kerja yang besar mengakibatkan banyak pertanaman yang tidak dipanen, petani membiarkan tanamannya begitu saja. Semestinya hal ini dapat diatasi jika sudah ada kegiatan pengolahan terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh petani.

Aspek lain dari subsistem hilir adalah pemasaran. Produk hortikultura di Kabupaten Karo lebih banyak yang dipasarkan ke luar wilayah dibanding dengan pemasaran di dalam wilayah. Komoditas hortikultura yang dihasilkan kebanyakan dipasarkan secara segarke pasar di luar wilayah kabupaten Karo seperti Kota Medan, Jakarta, Pekan Baru dan wilayah di sekitarnya.

Petani juga sudah dapat mengakses informasi mengenai teknologi budidaya dari luar. Peran penyuluh dalam subsistem jasa pendukung adalah sebagai pendamping, karena petani sudah terlihat lebih mandiri. Kelembagaan sebagai penunjang juga berkembang di ketiga kecamatan tersebut. Kelompok tani yang ada di ketiga kecamatan cukup banyak. Jumlah kelembagan kelompok tani yang ada di ketiga wilayah tersebut adalah sebagai berikut: Kecamatan Simpang Empat 223 kelompok tani, Kecamatan Tiga Panah 277 kelompok tani dan Kecamatan Barusjahe 217 kelompok tani.

Berdasarkan kelengkapan sarana dan prasarana sistem pemukiman, desa-desa di kecamatan Barus Jahe, Tiga Panah dan Simpang Empat sudah dapat memenuhi persyaratan sarana dan prasarana dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Untuk fasilitas pendidikan dapat ditunjang dengan keberadaan sarana pendidikan di ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten. Prasarana penunjang pasar juga sudah berkembang baik untuk toko grosir, eceran, dan warung.

Berdasarkan kelengkapan jumlah fasiltas yang ada di ketiga wilayah tersebut yaitu dari fasilitas yang dianalisa, maka fasilitas yang terlengkap adalah fasiltas pelayanan kesehatan, para medis, pasar, KUD/Koperasi, Industri rumah tangga. Hirarki wilayah dengan hirarki terendah didominasi oleh hirarki 3 (tiga)

sebesar 74,14 % dari angka tersebut 31,03% berada di kecamatan Tiga Panah. Di setiap kecamatan, desa-desa dengan hirarki 3 (tiga) juga memiliki persentase tertinggi dibandingkan dengan desa-desa dengan hirarki 1 (satu) dan 2 (dua).

Berdasarkan persentase, di Kecamatan Simpang Empat desa dengan Hirarki 1(satu ) sebesar 11,775, Hiraki 2 (dua) sebesar 35,29% dan Hirarki 3 (tiga) sebesar 52,94 %, desa dengan hirarki 1 (satu) di Kecamatan Tiga Panah sebesar 9,09%, hiarki 2(dua) sebesar 9,09% dan hirarki 3 (tiga) sebesar 81,83%, di Kecamatan Barus Jahe untuk desa dengan hirarki 1 (satu),sebesar 5,26%, hirarki 2(dua) sebesar 10,54% dan hirarki 3 (tiga) sebesar 84,21%. Dari masing-masing kecamatan berdasarkan tiga kategori yang digunakan dalam analisis skalogram wilayah yang paling memiliki kesiapan dalam pengembangan agribisnis hortikultura adalah Kecamatan Simpang Empat meskipun Kecamatan tersebut berdasrkan data Podes tahun 2008 belum memiliki bangunan pasar yang permanen, namun dari kriteria permodalan dan SDM sudah dianggap lebih mampu dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya.

Alsin hortikultura terbagi menjadi 4 (empat) kategori yakni: (1) alsin budidaya pertanian, (2) alsin pasca panen, (3) alsin pengolahan dan (4) alsin pemasaran. Alsin budidaya terdiri dari shading net, perangkap serangga,power sprayer, mesin babat, tarktor mini dan screen house. Alsin pasca panen antara lain adalah timbangan, tangga pemanenan buah, wrapping, packing house dan alat pengepress paking plastik. Alsin pengolahan terdiri dari alat perajang, alat pembuka, blender pengolahan hasil, dan lain-lain namun untuk ketiga wilayah tersebut alsin pengolahan tersebut belum tersedia. Alsin pemasaran adalah truck dan sorong roda dua.

Berdasarkan sarana dan prasarana agribisnis yang tersedia di ketiga wilayah, kecuali alsin pengolahan, ketiga sarana dan prasarana tersebut menyebar secara merata di masing-masing kecamatan.Industri pengolahan belum berkembang. Banyak potensi hortikultura yang dapat dikembangkan menjadi olahan. Namun masih terdapat pola pikir bahwa bila dengan produk segar sudah dapat dijual, tidak perlu diolah menjadi produk olahan.

Untuk mengusahakan agar nilai tambah lebih banyak tinggal di tingkat petani, maka fasilitas penyimpanan yang ada diharapkan tidak hanya melayani

jasa penyimpanan saja, tetapi terkait dengan dengan kegiatan lainnya seperti sortasi, grading, packing dan packaging, pengolahan, maupun perdagangan. Kegiatan-kegiatan peningkatan nilai tambah tersebut umumnya tidak jatuh ke petani bahkan ke pemerintah daerah. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dikelola oleh petani, sehingga nilai tambah dapat dinikmati petani dan daerah untuk menggerakkan perekonomian daerah.

Pada segmen pasar dan kualitas produk suatu agrbisnis hortikultura ditentukan oleh kemampuan agribisnis hortikutura tersebut dalam memproduksi dan memasarkan produk yang dihasilkan kepada konsumen dengan biaya serendah mungkin. Walaupun memiliki biaya produksi per unit cukup rendah, suatu agribisnis belum tentu berdaya saing tinggi jika biaya pemasaran yang dibutuhkan untuk menyampaikan produk kepada konsumen sangat tinggi. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan daya saing agribisnis seyogyanya tidak hanya ditempuh melalui peningkatan efisiensi produksi untuk menekan biaya produksi per unit produk, tetapi dilengkapi pula dengan upaya peningkatan efisiensi pemasaran dalam rangka menekan biaya pemasaran dari petani kpada konsumen. Produksi komoditas hortikultura pada umumnya terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu (sentra) sedangkan daerah konsumennya relatif tersebar. Kondisi demikian menyebabkan jarak pemasaran dari daerah produsen ke daerah konsumen relatif jauh. Salah satu konsekuensinya adalah marjin pemasaran hortikultura yang meliputi biaya sewa alat pengangkutan, biaya pengepakan, risiko kerusakan selama pengangkutan dan keuntungan pedagang relatif tinggi.

Petani berperan sebagai penerima harga. Karenanya untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan petani harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk. Hal ini berarti bahwa petani harus mampu mengatur pola penawarannya dengan mengatur kegiatan produksinya dan mengatur kegiatan pemasarannya yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar.Namun akibat berbagai faktor petani seringkali tidak mampu mengatur pola penawarannya pada pasar yang lebih menguntungkan, akibatnya share petani selalu lebih kecil dibandingkan dengan rantai pemasaran lainnya.

Rantai pemasaran hortikultura di Kabupaten Karo masih didominasi oleh pemasaran produk dalam bentuk segar. Belum terlihat adanya rantai pemasaran ke arah industri pengolahan. Petani masih tetap berada pada rantai produsen buah segar.

Struktur agribisnis yang hanya memberikan subsistem agribisnis usahatani sebagai porsi ekonomi petani, sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani. Dalam suatu sistem agribisnis, nilai tambah yang terbesar berada pada subsistem hulu dan hilir, sedangkan subsistem usahatani sangat kecil, sehingga petani yang berada pada subsistem ini akan selalu menerima pendapatan yang lebih rendah. Struktur agribisnis yang demikian menempatkan petani pada 2 (dua) kekuatan eksploitasi ekonomi, yaitu pada pasar faktor produksi, petani menghadapi kekuatan monopolistis, sedangkan pada pasar output petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Oleh karena itu petani akan selalu dirugikan (Saragih, 2001b). Oleh karena itu, kelembagaan yang ada sebaiknya dikembangkan agar tidak hanya bergerak di tataran budidaya, tetapi bergerak ke arah pengembangan pasca panen, pengolahan dan pemasaran.

Seperti yang terlihat dalam hasil kajian makro, bahwa di Kabupaten Karo belum terdapat suatu pola penghubung antara sektor sayur-sayuran dan buah- buahan dengan industri pengolahan. Demikian pula pala kajian mikro, pemasaran yang umumnya terjadi masih dalam bentuk pemasaran buah segar/ raw material. Hal ini mengindikasikan peluang terjadinya kebocoran wilayah, di mana dimungkinkan nilai tambah kedua sektor ini berada di luar Kabupaten Karo. Sehingga untuk meningkatkan harga yang diterima petani dan rantai pemasaran lainnya, serta untuk mencegah terjadinya kebocoran wilayah, selain dibutuhkan peningkatan efisiensi pemasaran dibutuhkan pula peningkatan daya saing agribisnis hortikultura. Hal tersebut dapat memberikan nilai tambah bagi Kabupaten Karo. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya keterkaitan antar kedua sektor ini dengan sektor industri pengolahan yang dapat memberikan nilai tambah kedua sektor tersebut.

Dalam dokumen V. HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 58-66)

Dokumen terkait