• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE ELECTROSPINNING

Pendahuluan

Latar Belakang

Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa yang melibatkan proses pembentukan material, struktur fungsional, dan molekul dalam skala nanometer. Perkembangan material nano akhir-akhir ini mengalami perkembangan sangat pesat dan mencakup berbagai bidang bahkan nanoteknologi telah menjadi tren riset dunia khususnya di negara-negara maju. Namun, nanoteknologi di Indonesia masih dalam proses pengembangan dan masih sulit menembus berbagai industri. Pada dasarnya, nanoteknologi terletak pada kenyataan bahwa benda berukuran nano akan dapat menghasilkan sifat fisik dan kimia berbeda secara signifikan dibandingkan benda yang memiliki ukuran yang lebih besar (bulk). Penerapan nanoteknologi dalam berbagai bidang tidak dapat disangkal lagi diantaranya di bidang elektronik, pertanian, medis, pangan, tekstil dan biomaterial. Aplikasi nanoteknologi dalam berbagai industri dapat menghasilkan produk yang lebih fungsional. Salah satu material yang dihasilkan melalui prinsip nanoteknologi adalah serat nano (nanofiber).

Nanofiber tergolong jenis serat yang berskala nanometer. Serat nano dalam dunia tekstil didefenisikan sebagai serat yang memiliki diameter 100-500 nm. Serat nano dapat menimbulkan sifat yang unik dibandingkan morfologi lain. Selain itu, serat nano juga memiliki keunggulan dibanding serat berukuran bulk

yaitu permukaan yang luas, struktur berpori, modulus elastisitas yang tinggi, dan daya reaksi kimia yang lebih tinggi. Keunggulan tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai membran, serat optik, sistem penghantaran obat dalam dunia farmasi, tissue scaffolds dalam dunia medis, dan pakaian/tekstil pelindung (Subbiah et al. 2005).

Pembentukan nanofiber dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti teknik pemintalan serat multikomponen, melt blowing, high pressure,

homogenizer, gelombang ultrasonik dan electrospinning. Dari beberapa metode pembuatan nanofiber, untuk saat ini electrospinning merupakan teknik yang cukup sederhana dan kontinu dan mampu menghasilkan serat berukuran 0.04 sampai 2 mikron. Selain itu, proses pembuatan nanofiber lebih fleksibel, efisien dan mudah dikontrol. Nanofiber dapat diperoleh dari berbagai jenis polimer baik polimer yang berasal dari alam maupun sintesis. Nanofiber yang berasal dari polimer alam seperti selulosa telah banyak dibuat dan diteliti oleh para peneliti di Indonesia, diantaranya selulosa ampas tapioka (Wicaksono et al. 2013), serat sisal dan bambu betung (Subyakto et al. 2009).

Selulosa pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan utama dalam industri pembuatan kertas tetapi seiring perkembangan teknologi pemanfaatan selulosa mulai dimanfaatkan dalam berbagai bidang industri seperti tekstil, material, bioenergi dan lain-lain. Pemanfaatan selulosa dan turunannya sebagai bahan baku sintesis nanofiber akan memberikan peluang besar untuk dikembangkan menjadi produk baru. Namun, sintesis nanofiber dari selulosa menggunakan

mengungkapkan bahwa proses sintesis nanofiber dari selulosa terdapat keterbatasan dalam pelarut yang khas dan kecendrungan hasilnya akan membentuk gel. Electrospinning selulosa dapat dilakukan dengan menggunakan produk turunan selulosa yaitu selulosa asetat yang diperoleh dari proses asetilasi selulosa. Selulosa asetat mudah diproses dengan melarutkan dalam pelarut non- polar, seperti aseton, diklorometan, kloroform dan metil asetat.

Selulosa asetat baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan nanofiber

karena memiliki sifat yang tahan terhadap proses kimia dan panas, stabil pada suhu termal dan kekuatan tarik yang tinggi. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa selulosa asetat dapat dibentuk menjadi nanofiber dengan metode electrospinning. Kuzmenko (2012) melakukan sintesis carbon nanofiber

dengan metode electrospinning dari selulosa asetat komersial (Sigma Aldrich). Selulosa asetat komersial diperoleh dari selulosa kayu. Penggunaan kayu yang berlebihan akan berdampak negatif pada kestabilan lingkungan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dimanfaatkan selulosa asetat yang diproduksi dari biomassa yang kurang termanfaatkan yaitu tandan kosong sawit. Agar diperoleh serat berukuran nano maka dilakukan variasi perlakuan dengan parameter konsentrasi larutan selulosa asetat dan jarak spinneret-kolektor.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh nanofiber selulosa asetat berukuran nanometer dengan menggunakan metode electrospinning. Tujuan spesifiknya adalah menentukan perlakuan terbaik dengan melihat pengaruh variasi jarak spinneret-kolektor dan konsentrasi larutan terhadap ukuran diameter yang dihasilkan.

Hipotesis

Dengan metode electrospinning diduga dapat menghasilkan nanofiber

selulosa asetat berukuran 100-300 nm yang dihasilkan dari kondisi proses yang terbaik dengan variasi perlakuan jarak spinneret-kolektor dan konsentrasi larutan. Variasi perlakuan tersebut diduga berpengaruh terhadap diameter nanofiber

selulosa asetat yang akan dihasilkan.

Metodologi

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah selulosa asetat dengan kadar asetil 40.108%, pelarut aseton 99%, dimethylacetamide, tissue dan aquadest.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu magnetic stirrer, stirrer, erlenmeyer dan peralatan utama perangkat electrospinning sederhana yang dilengkapi dengan syringe pump (model NE-1000 Multi-Phaser), syringe 5 ml,

high voltage power supply (Merk PASCO SF-9586) 6 kV, plat alumunium 20x15

cm. Alat karakterisasi nanofiber selulosa asetat yaitu Scanning Microscope Electron (SEM) dan X-Ray Diffraction (XRD).

Metode

Secara garis besar, penelitian ini terdiri dari (i) pembuatan larutan selulosa asetat, (ii) pembuatan nanofiber, dan (iii) karakterisasi sampel dengan SEM dan XRD

1. Pembuatan larutan selulosa asetat

Selulosa asetat yang digunakan pada penelitian ini adalah selulosa asetat dengan kadar asetil 40.11% yang diperoleh dari kondisi perlakuan terbaik (BAB III). Larutan selulosa asetat dibuat pada konsentrasi yang berbeda yaitu 5, 10, dan 15 %. Selulosa asetat ditimbang sebanyak 5, 10, dan 15 g kemudian dilarutkan dalam 100 ml pelarut aseton:dimethylacetamide (2:1) (Tsioptsias et al. 2010) sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer pada suhu ruangan secara perlahan hingga selulosa asetat larut sempurna.

2. Pembuatan nanofiber selulosa asetat dengan metode electrospinning

Proses pembuatan nano selulosa asetat menggunakan peralatan

electrospun (Gambar 13). Tahap awal proses adalah larutan polimer dimasukkan ke dalam syringe bervolume 5 ml kemudian ditempatkan diatas

syringe pump. Larutan dialirkan melalui syringe menuju spinneret. Ujung logam spinneret kemudian dihubungkan dengan kutub positif sumber listrik tegangan tinggi. Lembaran plat alumunium dihubungkan dengan kutub negatif yang digunakan sebagai kolektor nanofiber yang terbentuk selama proses

electrospinning berlangsung. Tegangan listrik yang digunakan dalam penelitian ini 6 kV dan jarak antara spinneret dengan kolektor 6, 8, dan 10 cm. Proses

electrospinning dilakukan pada temperatur ruangan selama 2.5 jam hingga terbentuk lapisan serat nano pada plat alumunium.

Gambar 13 Rangkaian alat electrospun

3. Karakterisasi nanofiber selulosa asetat

Terhadap nanofiber selulosa asetat, struktur polimer dianalisis menggunakan XRD dan morfologi menggunakan SEM perbesaran 5000x (Lampiran 1).

Hasil dan Pembahasan

Preparasi Larutan Selulosa Asetat

Pada penelitian ini dilakukan sintesis nanofiber dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 5, 10 dan 15% (b/v). Pada konsentrasi lebih tinggi dari perlakuan dapat menyebabkan larutan sulit mengalir dalam spinneret. Hal ini disebabkan aseton sebagai pelarut selulosa asetat memiliki suhu penguapan yang sangat rendah. Ketika proses electrospinning berlangsung, larutan yang seharusnya membentuk taylor cone dan bergerak menuju kolektor membentuk nanofiber

justru mengalami pengeringan dan tertinggal pada ujung spinneret sehingga kesulitan mempertahankan aliran konstan dan menghambat keluarnya larutan dari

spinneret. Hal ini juga sesuai pendapat Khairurijal et al. (2009) bahwa larutan Keterangan : 1. Syringe Pump 2. Syiringe 5 ml 3. Spinneret 4. Plat Alumunium/Kolektor 5. Power Supply 6 kV 6. Larutan Selulosa Asetat 7. Kabel 1 2 3 4 5 6 7

yang digunakan tidak boleh terlalu kental karena jika terlalu kental pada saat proses pemintalan elektrik, larutan tersebut akan cepat kering dan menghalangi aliran di dalam ujung lubang jarum tersumbat. Penyumbatan menyebabkan kerucut jet tidak stabil sehingga mempengaruhi kualitas serat yang dihasilkan.

Alat electrospinning (Gambar 13) yang digunakan memiliki sistem horizontal, dimana kolektor berada sejajar dengan syringe pump sebagai pendorong larutan selulosa asetat yang terdapat dalam syringe. Electrospinning

dioperasikan dengan tegangan 6 kV dan jarak spinneret sesuai perlakuan (6, 8, dan 10 cm) dengan kecepatan 2.5 ml/jam. Jarak spinneret-kolektor yang lebih jauh tidak dapat dilakukan karena jet yang terbentuk dari ujung spinneret tidak dapat mencapai kolektor sehingga menyebabkan jet cenderung jatuh dan melemah. Hasil electrospinning menghasilkan nanofiber yang secara visual berbentuk selaput tipis berwarna putih yang melekat pada kolektor (Lampiran 6).

Karakteristik Morfologi

Selama proses electrospinning telah dilakukan pengamatan pengaruh variabel yaitu konsentrasi larutan (5, 10, dan 15 %) dan jarak spinneret-kolektor (6, 8, dan 10 cm) terhadap diameter, morfologi, dan struktur nanofiber yang dihasilkan. Hasil pengujian SEM nanofiber dari variabel tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.

Citra SEM yang ditampilkan pada Gambar 14 (a-c) adalah nanofiber yang dihasilkan dari electrospinning selulosa asetat dengan konsentrasi 5% dan jarak

spinneret-kolektor 6, 8, dan 10 cm. Pada Gambar tersebut terlihat jelas bahwa kondisi perlakuan ini tidak dapat membentuk nanofiber selulosa asetat. Tingkat konsentrasi yang sangat rendah dan tegangan listrik yang rendah diduga mempengaruhi tidak terbentuknya nanofiber. Konsentrasi selulosa asetat yang rendah menyebabkan larutan yang keluar dari spinneret tidak mengalami pemintalan menuju kolektor tetapi cenderung membentuk tetesan yang menempel pada kolektor. Hal ini sesuai pernyataan Mutia dan Eriningsih (2012) bahwa viskositas dan tegangan permukaan larutan berhubungan dengan konsentrasi larutan polimer. Viskositas larutan yang rendah cenderung membentuk tetesan, sedangkan viskositas larutan yang terlalu tinggi menyebabkan serat menjadi sukar terbentuk.

Kondisi berbeda diperlihatkan pada Gambar 14 (d-i) yang merupakan proses

electrospinning selulosa asetat dengan konsentrasi 10 dan 15% dan jarak

spinneret -kolektor 6, 8, dan 10 cm. Pada Gambar 14 (d-f) terlihat bahwa pada konsentrasi 10% menghasilkan nanofiber walaupun tidak kontinu dan masih terdapat beads (butiran-butiran polimer bukan serat). Namun, pada konsentrasi larutan 15%, beads yang terdapat diantara nanofiber berkurang. Hasil ini diduga pengaruh konsentrasi larutan yang rendah menyebabkan rantai polimer cukup terpisah, interaksi antar polimer diminimalkan dan tegangan permukaan semakin kuat sehingga pembentukan nanofiber tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut mempengaruhi pula ukuran diameter serat yang tidak seragam.

Selain berpengaruh terhadap morfologi serat, konsentrasi larutan juga berpengaruh terhadap diamater serat nanofiber. Gambar 14 menunjukkan

nanofiber dengan konsentrasi larutan 10% memiliki diameter serat pada kisaran 134-252.7 nm sedangkan nanofiber pada konsentrasi 15% memiliki diamater serat pada kisaran 248.9–644.3 nm. Hasil ini menunjukkan bahwa meningkatnya

diameter serat seiring dengan peningkatan konsentrasi larutan. Hal ini juga terjadi pada penelitian Jun et al. (2003), dimana peningkatan konsentrasi larutan poly-L- lactic-acid (PLLA) dari 1% menjadi 5% menyebabkan peningkatan diameter dari 100-300 nm menjadi 800-2400 nm. Begitu pula pada penelitian Zhang et al.

(2005), diamater serat polyvinyl alcohol (PVA) mengalami peningkatan dari 87 nm menjadi 246 nm seiring peningkatan konsentrasi larutan dari 6% menjadi 8%.

Gambar 14 Citra SEM nanofiber selulosa asetat perbesaran 5000x

Jarak spinneret-kolektor mempengaruhi kekuatan medan listrik dan waktu yang dibutuhkan pelarut untuk mengalami evaporasi sebelum serat mencapai kolektor. Peningkatan parameter ini pada umumnya akan mengurangi jari-jari serat. Sedangkan apabila jarak spinneret-kolektor yang terlalu kecil akan menghasilkan serat basah yang terkumpul pada kolektor (Andrady 2008).

Citra SEM pada Gambar 14 (d-f) memperlihatkan bahwa semakin jauh jarak

spinneret-kolektor semakin mengurangi beads yang terdapat diantara nanofiber. Menurut Wahyudi dan Sugiyana (2011), terbentuknya beads diduga karena tidak seimbangnya antara laju alir dengan tegangan listrik yang menyebabkan larutan terlalu cepat keluar dari lubang spinneret sehingga terjadi dorongan terhadap

taylor cone dan akhirnya memintal dalam bentuk tetesan ke kolektor. Secara (a) Kons. 5 % ; Jarak Spin-Kol 6 cm (b) Kons. 5 % ; Jarak Spin-Kol 8 cm (c) Kons. 5 % ; Jarak Spin-Kol 10 cm

(d) Kons. 10 % ; Jarak Spin-Kol 6 cm (e) Kons. 10 % ; Jarak Spin-Kol 8 cm (f) Kons. 10 % ;Jarak Spin-Kol 10 cm

umum, jarak spinneret-kolektor tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap morfologi dan diameter serat. Hal yang sama juga terjadi pada proses

electrospinning PVA (Zhang et al. 2005), gelatin (Ki et al. 2005), dan kitosan (Geng et al. 2005).

Diameter nanofiber yang dihasilkan terlihat tidak merata karena dalam proses electrospinning, diameter nanofiber mengalami fluktuasi disebabkan adanya persaingan antara gaya Coulomb, gaya tegangan permukaan, gaya viskoelastik dan gaya oleh medan listrik (Saehana et al. (2011). Produksi

nanofiber oleh proses electrospinning dipengaruhi baik oleh gaya elektrostatik maupun perilaku viskoelastik polimer (Subbiah et al. 2005). Diameter terendah yang dihasilkan mencapai 134 nm pada konsentrasi larutan 10% dengan jarak

spinneret-kolektor 8 cm. Diameter yang dihasilkan memenuhi syarat perdagangan

nanofiber dunia yaitu diameter kurang dari 500 nm atau serat yang telah diproduksi dan diperdagangkan mempunyai diameter antara 50-300 nm (Fong dan Raneker1999).

Analisa perbandingan dilakukan antara nanofiber dari electrospinning

selulosa asetat komersial (Sigma Aldrich) pada konsentrasi 17%, jarak spinneret- kolektor 25 cm, tegangan 25 kV (Gambar 15a) dan nanofiber yang dihasilkan dari penelitian ini yaitu pada konsentrasi 10%, jarak spinneret-kolektor 8 cm, tegangan 6 kV (Gambar 15b). Nanofiber selulosa asetat komersial cenderung lebih padat dan ukuran diameter lebih merata pada kisaran 300-1500 nm dibandingkan

nanofiber pada penelitian ini yang kurang padat dan terdapat beads tetapi memiliki ukuran diameter lebih rendah yaitu 134 nm.

Gambar 15 Citra Nanofiber perbesaran 5000x pada selulosa asetat (a) komersial (Sigma Aldrich) (Kuzmenko 2012) (b) tandan kosong sawit

Karakteristik Kristanilitas

Difraksi sinar X dapat memberikan informasi tentang struktur polimer, termasuk tentang keadaan amorf dan kristalin. Polimer dapat mengandung daerah kristalin yang secara acak bercampur dengan daerah amorf. Difraktogram sinar-X polimer kristalin menghasilkan puncak-puncak yang tajam sedangan polimer amorf cenderung menghasilkan puncak yang melebar. Pola hamburan sinar-X juga dapat memberikan informasi tentang konfigurasi rantai dalam kristalin, perkiraan ukuran kristalin dan perbandingan daerah kristalin dengan daerah amorf (derajat kristanilitas) dalam sampel polimer (Rohaeti 2009).

Gambar 16 Karakterisasi XRD nanofiber selulosa asetat (a) tandan kosong sawit, (b) Selulosa asetat/DMAc/Aseton-selulosa/LiCl/DMAc fiber (Park 2009) Gambar 16a memperlihatkan profil XRD nanofiber dengan kondisi proses terbaik pada konsentrasi larutan 10% dan jarak spinneret-kolektor 8 cm. Pola grafik menunjukkan pola difraktogram XRD dari nanofiber selulosa asetat. Kurva

hubungan intensitas dan βθ memperlihatkan puncak yang lebar dan tidak terlihat

puncak yang sangat tinggi serta terlihat seperti noise. Hal ini menandakan bahwa sampel nanofiber selulosa asetat memiliki struktur yang amorf dan tidak memiliki struktur molekul yang teratur. Struktur amorf dari selulosa asetat juga ditunjukkan pada penelitian Park (2010), seperti yang terlihat pada Gambar 16b. Kurva tersebut tidak menunjukkan adanya puncak yang tajam sehingga dapat dikatakan struktur selulosa asetat bersifat amorf.

Simpulan

1. Proses electrospinning larutan selulosa asetat dengan konsentrasi 5% tidak menghasilkan nanofiber.

2. Peningkatan konsentrasi larutan selulosa asetat sampai 15% menyebabkan ukuran diameter nanofiber meningkat.

3. Jarak spinneret-kolektor tidak berpengaruh terhadap morfologi dan ukuran diameter nanofiber.

4. Proses electrospinning larutan selulosa asetat konsentrasi 10% dengan jarak

spinneret-kolektor 8 cm menghasilkan nanofiber dengan ukuran diameter terendah 134 nm.

5. Nanofiber selulosa asetat memiliki struktur yang amorf.

5 PENGARUH UKURAN SERAT

SELULOSA ASETAT DAN

Dokumen terkait