• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Energi

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 22-44)

Olahraga merupakan serangkaian gerak yang terstruktur dan sistematis serta memiliki tujuan. Dalam aktivitas gerak akan memerlukan energi. Energi adalah sumber utama terjadinya gerak. Semakin tinggi aktivitasnya maka transfer energi juga akan meningkat. Dalam pemenuhan kebutuhan dan penyediaan energi selalu dapat terpenuhi karena dalam tubuh manusia ada cadangan untuk penyediaan energi di dalam otot. Menurut Sukadiyanto ( 2011:35) bahwa dalam keadaan istirahat otot mendapat energi sebesar 2/3 metabolisme aerobik asam lemak dan hanya 1/3 energi yang bersumber dari karbohidrat. Lebih lanjut di jelaskan pada saat beraktivitas sumber energi utamanya berasal dari glikogen otot, glukosa darah, dan asam laktat dalam taraf ambang tertentu (di bawah 4 mmol). Energi yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan makanan tidak dapat secara langsung digunakan untuk proses kontraksi otot atau proses-proses yang lainnya. Energi ini terlebih dahulu diubah menjadi senyawa kimia berenergi tinggi yaitu Adenosine Tri Phosphate (ATP). Energi tersebut dibentuk oleh bahan-bahan pangan penghasil energi (karbohidrat, protein, dan lemak). ATP sendiri di bentuk oleh satu molekul adenosin dan tiga molekul phosphate, dibebaskan dengan merubah ATP bertenaga tinggi menjadi ADP + P (Adenosine diphosphate + Phosphate). Sewaktu satu molekul phosphate dipecah, maka ADP + P dibentuk dari ATP dan energi dilepaskan (Bompa, 1994:28). Walaupu demikian penyediaan ATP harus secara berkesinambungan diganti untuk memudahkan aktivitas fisik secara berkelanjutan yang berdasar pada jenis kegiatan atau aktivitas yang dilakukan. Inti dari semua proses metabolisme energi di dalam tubuh adalah untuk meresintesis molekul ATP dimana prosesnya

akan dapat berjalan secara aerobik maupun anearobik. Di dalam jaringan otot, hidrolisis 1 mol ATP akan menghasilkan energi sebesar 31 kJ (7.3 kkal) serta akan menghasilkan produk lain berupa ADP (adenosine diphospate) dan Pi (inorganik fosfat).

a. Jenis Sistem Energi

Menurut Sukadiyanto (2011:36), pada dasarnya ada dua macam sistem metabolisme energi yang diperlukan dalam setiap aktivitas gerak manusia yaitu: (1) sistem energi anaerob; dan (2) sistem energi aerobik. Kedua sistem tersebut tidak dapat dipisahkan secara mutlak selama aktivitas kerja otot berlangsung. Oleh karena sistem energi merupakan serangkaian proses pemenuhan kebutuhan tenaga yang secara terus menerus berkesinambungan dan saling silih berganti. Perbedaan di antara kedua sistem energi tersebut adalah pada ada dan tidaknya bantuan oksigen (O2) selama proses pemenuhan kebutuhan energi berlangsung.

Lebih lanjut dijelaskan dalam sistem metabolisme anaerob dibedakan menjadi dua sistem, yaitu: (1) anaerob alaktik; dan (2) anaerob laktik (Sukadiyanto, 2011:37). Menurut MCArdle dkk (1986) dalam Sukadiyanto (2012:37), sistem energi anaerob alaktik adalah sistem ATP – PC dan sistem anaerob laktik adalah sistem glikolisis (asam laktat).

Dalam Bompa (1994:28) dijelaskan bahwa ada tiga sistem energi yaitu: (1) sistem ATP – PC; (2) sistem asam laktat; dan (3) sistem O2 atau oksigen. Kedua sistem pertama mengganti ATP dengan sistem tanpa oksigen dan dikenal sebagai sistem anaerobik sedangkan sistem ketiga menghasilkan ATP melalui bantuan oksigen (O2) atau lebih dikenal dengan sistem aerobik. 1) Sistem ATP – PC

Pada setiap awal kerja otot kebutuhan energi dipenuhi oleh persediaan ATP yang terdapat di dalam sel otot. Karena ATP yang tersimpan di dalam sel otot sangat sedikit sekali, maka kehilangan energi terjadi sangat cepat apabila seseorang memulai latihan fisik yang cukup berat. ATP (Adenoshin Triphosphate) hanya mampu menopang

kerja selama 5 detik bila tidak ada sistem energi yang lain (Sukadiyanto, 2011:37).

Gambar 1. ATP dipecah menjadi ADP dan P. Energi yang dilepaskan dari hasil pemecahan ATP digunakan untuk kerja biologis.

(Richard W.Bowers 1992 dalam Shadiqin, 2012:23).

Respon dari hal tersebut untuk membuat otot bekerja lebih lama

Creatin Phosphate (CP) atau Phospho Creatin (PC) yang tersimpan di

dalam otot dipecah menjadi creatin dan phosphate. Proses ini akan menghasilkan energi yang akan meresintesis ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya akan dirubah sekali lagi menjadi ADP + P yang menyebabkan terjadinya pelepasan energi yang dibutukan untuk kontraksi otot. Perubahan CP menjadi C + P tidak menghasilkan energi yang dapat dipakai langsung untuk kontraksi otot, melainkan digunakan untuk meresintesis ADP + P menjadi ATP. Menurut Sukadiyanto (2011:37) bahwa di dalam seluruh otot menyimpan ATP dan PC dalam jumlah sedikit secara kolektif yang disebut dengan phosphagen yang akan memperpanjang kerja otot kira-kira sampai dengan 10 detik. Jumlah ATP – PC di dalam otot perempuan sebesar 0.3 mol dan untuk otot laki – laki sebesar 0.6 mol (Bowers dan Fox, 1992 dalam Sukadiyanto, 2011:37). Dalam olahraga pasokan energi utama ATP-PC sangat penting pada saat sprint (100 m), lompat dan berbagai keterampilan dengan waktu dalam hitungan detik.

Gambar 2. Sintesis ATP yang berasal dari PC di sel otot. (Richard W.Bowers, 1992 dalam Shadiqin, 2012:25).

2) Sistem Asam Laktat

Sistem asam laktat ini disebut juga dengan istilah glikolisis anaerobik (anaerobic glycolysis) yang berarti penguraian glikogen tanpa oksigen. Dalam beberapa referensi dijelaskan juga bahwa glikolisis anaerobik berarti metabolisme karbohidrat yang tidak sempurna. Oleh karena dalam proses ini menghasilkan produk samping berupa asam laktat (lactic acid) maka disebut juga sistem asam laktat. Secara umum produk akhir dari karbohidrat yang dikonsumsi dalam saluran pencernaan hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa, fruktosa, dan galaktosa dengan glukosa yang mewakili rata – rata sekitar 80 persen dari produk akhir tersebut (Guyton dan Hall, 2014:878). Setelah absorpsi dari saluran pencernaan banyak fruktosa dan hampir semua galaktosa diubah secara cepat menjadi glukosa dalam hati. Glukosa kemudian menjadi jalur umum akhir untuk mentranspor hampir semua karbohidrat ke sel jaringan.

Menurut Guyton dan Hall (2014:880) bahwa cara terpenting untuk melepaskan energi dari molekul glukosa dimulai dengan proses glikolisis. Produk akhir glikolisis selanjutnya dioksidasi untuk menghasilkan energi. Glikolisis berarti memecah molekul glukosa untuk membentuk dua molekul asam piruvat. Glikolisis terjadi melalui 10

reaksi kimia yang berurutan seperti yang ditunjukkan pada gambar. Masing-masing langkah dikatalisis oleh enzim-enzim yang spesifik.

Gambar 3. Urutan reaksi kimia yang bertanggung jawab pada glikolisis. (Guyton dan Hall, 2014:880)

Oleh karena dalam proses glikolisis anaerobik pemenuhan oksigen tidak cukup atau tidak tersedia maka asam piruvat akan diubah menjadi asam laktat. Proses ini juga dikatakan sangat mubazir untuk glukosa sebab hanya menghasilkan 2 ATP.

Hukum kerja massa (the law of massa action) menyatakan bahwa sewaktu terbentuk dua hasil akhir reaksi kimia dalam medium reaksi, maka kecepatan reaksi akan menurun yang mendekati nol (Guyton dan Hall, 2014:884). Dua hasil akhir dari reaksi glikolisis adalah asam piruvat dan atom hidrogen yang dikombinasikan dengan NAD+ untuk membentuk NADH dan H+. Menurut Guyton dan Hall (2014:884) hasil pembentukan salah satu atau keduanya akan menghentikan proses glikolisis dan mencegah pembentukan ATP lebih lanjut. Bila jumlah

keduanya mulai berlebihan, kedua hasil akhir ini akan bereaksi satu sama lain untuk membentuk asam laktat. Asam laktat yang terakumulasi sangat tinggi dalam darah dan otot dapat menyebabkan kelelahan otot. Hal ini terjadi karena oksigen tidak mencukupi lagi (insufficient) dalam memenuhi kebutuhan oksigen dalam sirkulasi. Reaksi ganda pada sistem ini dapat dituliskan sebagai berikut:

a) (C6H12O6) n 2 C3H6O3 + Energi (glycogen) (lactic acid) b) Energi + 2 Pi + 2ADP 2 ATP

Gambar 4. Glikolisis anaerobik (anaerobic glycolysis) dalam sel otot. (Brown & Benchmark, 1993 dalam Shadiqin, 2012:26).

Seperti halnya sistem fosfagen, glikolisis anaerobik merupakan faktor sangat penting dalam aktivitas olahraga terutama dalam fungsinya memberikan energi (ATP) secara cepat. Menurut Sukadiyanto (2011:38), sistem glikolisis anaerob akan mampu memperpanjang kerja selama kira-kira sampai dengan 120 detik. Sebagai contoh: aktivitas olahraga seperti lari 400 m, 800 m energi yang digunakan tergantung pada sistem ini. Demikian juga saat menjelang akhir pada lomba lari 1.500 m, sistem ini berperan untuk kinerja maksimal sampai melewati garis finish.

Kelelahan yang diderita akibat penumpukan asam laktat bukan merupakan petaka bagi atlet sebab asam laktat merupakan sumber

energi kimia yang sangat bermanfaat. Jika oksigen sudah cukup kembali (melalui pertukaran gas) seperti pada saat pulih asal (recovery) atau pada saat intensitas latihan diturunkan atau dikurangi, maka hidrogen akan terikat ke asam laktat dan diangkut oleh NAD+ selanjutnya terjadilah oksidasi. Akibat dari mekanisme oksidasi ini maka asam laktat akan dikonversi menjadi asam piruvat dan dipergunakan sebagai sumber energi.

3) Sistem Aerobik

Aerobik berarti ada bantuan oksigen, sehingga metabolisme aerobik adalah menyangkut serentetan reaksi kimiawi yang memerlukan bantuan adanya oksigen (Sukadiyanto, 2012:39). Oksigen (O2) diperoleh melalui sistem pernapasan. Oksigen (O2) yang masuk melalui sistem pernapasan digunakan untuk membantu memecah glikogen dan karbohidrat (Bowers dan fox et al, 1992 dalam Sukadiyanto, 2011:39). Rangkaian reaksi pada sistem ini berlangsung di dalam mitokondria.

Ada tiga rangkaian reaksi utama dalam sistem aerobik yaitu: (1) Glikolisis aerobik; (2) siklus Krebs; dan (3) Sistem Transport Elektron (STE) (Shadiqin, 2012:27).

a) Glikolisis Aerobik

Dengan hadirnya oksigen berarti glikogen akan diurai secara sempurna. Perbedaan antara glikolisis anaerobik dan glikolisis aerobik terletak pada pembentukan asam laktat. Pada glikolisis aerobik asam piruvat tidak akan terkonvensi menjadi asam laktat karena hadirnya oksigen. Hal ini dikarenakan oleh adanya degradasi komplit dari glukosa menjadi CO2 dan H2O melalui proses oksidasi dalam Siklus Krebs dan Sistem Transport Elektron (STE). Dua asam piruvat yang terbentuk dari 1 mol glukosa selanjutnya akan masuk dalam siklus krebs.

b) Siklus Krebs

Dua molekul asam piruvat yang terbentuk dalam proses glikolisis aerobik akan dikonversi menjadi dua molekul asetil

koenzim A (asetil-KoA). Pada tahap awal asetil-KoA bergabung

dengan asam oksaloasetat untuk membentuk asam sitrat, itulah mengapa siklus krebs disebut juga siklus asam sitrat. Proses perubahan dari asam piruvat menjadi asetil-KoA ini akan berjalan dengan ketersediaan oksigen serta akan menghasilkan produk samping berupa NADH yang juga dapat menghasilkan 2-3 molekul ATP (Irawan, 2007:5). Untuk memenuhi kebutuhan energi bagi sel-sel tubuh, asetil – KoA hasil konversi asam piruvat ini kemudian masuk ke dalam siklus asam sitrat untuk kemudian diubah menjadi karbon dioksida, ATP, NADH, dan FADH2 melalui tahapan reaksi yang kompleks. Setelah melewati berbagai tahapan proses reaksi di dalam siklus asam sitrat, metabolisme energi dari glukosa kemudian akan dilanjutkan kembali melalui proses reaksi yang disebut sebagai proses fosforilasi oksidatif. Dalam proses ini molekul NADH dan juga FADH yang dihasilkan dalam siklus asam sitrat akan diubah menjadi molekul ATP dan H2O. Dari 1 molekul NADH akan dapat dihasilkan 3 buah molekul ATP dan dari 1 buah molekul FADH2 akan dapat menghasilkan 2 buah molekul ATP. Proses metabolisme energi secara aerobik melalui pembakaran glukosa/glikogen secara total menghasilkan 36 buah molekul ATP dan juga akan menghasilkan produk samping berupa karbon dioksida dan air (Irawan, 2007:5).

c) Sistem Transport Elektron (STE)

Kelanjutan dari penguraian glikogen, produk akhir (H20) terbentuk dari ion hidrogen dan elektron yang telah dihilangkan di dalam siklus krebs serta oksigen yang kita hirup. Rangkaian spesifik atas berbagai reaksi dimana H20 terbentuk disebut sistem

transport elektron atau rantai respiratori. Intinya, apa yang terjadi di dalam sistem transport elektron adalah bahwa ion hidrogen dan elektron "ditransport" menuju oksigen oleh "pengangkut elektron" melalui serangkaian reaksi enzymatic, yang mana produk ahkirnya adalah air (Shadiqin, 2012:28). Dengan kata lain:

4H+ + 4e- + O2 2H2O

Dimana 4 ion hidrogen (4H+) ditambah 4 elektron (4e-) ditambah 1 mol oksigen (O2) menghasilkan 2 mol air (2H20). Ketika elektron melewati rantai respirasi, energi akan dilepaskan dan ATP akan di-resintesis melalui reaksi berpasangan. Untuk setiap pasang elektron (2e-) yang melewati rantai tersebut, sejumlah energi dilepaskan untuk resintesis sekitar 2 mol ATP.

Keseluruhannya 12 pasang elektron dihilangkan dari penguraian glikogen dan oleh karena itu 36 mol ATP dapat dibentuk. Maka selama metabolisme aerobik kebanyakan dari total 38 mol ATP di-resintesis di dalam sistem transport elektron bersamaan dengan terbentuknya air.

b. Sistem Energi Predominan dalam Olahraga

Pada dasarnya setiap aktivitas olahraga tidak menggunakan salah satu sistem saja, yaitu aerobik atau anaerobik, melainkan menggunakan keduanya dengan proporsi yang berbeda-beda atau dikenal dengan sistem energi predominan dalam olahraga. Istilah predominan sistem energi ini dipakai sehubungan dengan pemakaian energi selama penampilan. Kalau seseorang dalam penampilannya baik sesaat ataupun lama relatif memakai energi aerobik maka dikatakan memakai predominan energi aerobik. Tujuan dari predominan sistem energi ini ialah mencari metode melatih yang paling baik. Menurut Sukadiyanto (2011:41) menjelaskan bahwa setiap cabang olahraga memiliki karakteristik kebutuhan kebugaran otot dan kebugaran energi yang berbeda-beda dimana perbedaan kebutuhan predominan sumber energi

tersebut berpengaruh terhadap penyususnan program, penentu sasaran, dan pemilihan metode latihan. Berikut cabang olahraga dan perkiraan predominan sumber energi yang digunakan:

Tabel 4. Prediksi Predominan Sumber Energi Cabang Olahraga

Cabang Olahraga Predominan Sistem Energi

ATP-PC-LA LA-O2 O2

Baseball 80 20 -

Bolabasket 85 15 -

Anggar 90 10 -

Hoki Lapangan 60 20 20

Football (sepakbola ala Amerika 90 10 -

Golf 95 5 -

Senam 90 10 -

Hoki Es : Pemain depan dan belakang 80 20 -

Penjaga Gawang 95 5 -

Olahraga Rekreatif 5 5 90

Dayung 20 30 50

Sepakbola : keeper, pemain sayap, penyerang 80 20 - Pemain belakang dan gelandang 60 20 20

Softball 80 20 -

Renang dan Loncat Indah -

50 m gaya bebas dan indah 98 2 -

100 m semua gaya, 100 yd 80 15 5

200 m semua gaya, 220 yd 30 65 5

400 m semua gaya, 440 yd, 500 yd 20 55 25 Gaya bebas 1500 m, 1.650 yd 10 20 70

Tenis lapangan 70 20 10

Atletik : sprint 100 m, 100 yd ; 200 m, 220 yd 95 5 - Nomor lompat, loncat, lempar, tolak 98 2 -

400 m, 440 yd 80 15 5

800 m, 880 yd 30 65 5

1.500 m, 1 mile 15 55 30

2 mile 15 20 65

3 mil, 5.000 m 10 20 70

6 mile (lari lintas alam), 10.000 m 5 15 80

Marathon - 2 98

Bolavoli 85 10 5

Gulat 90 10 -

Ski : slalom, jumping, turunn bukit 90 20 -

Sky lintas alam - 5 95

4. Recovery (Pemulihan)

Ketika kita melakukan program latihan fisik yang berat, hal yang perlu diperhatikan selain terus menerus menggenjot latihan fisik adalah fase recovery (pemulihan) bagi atlet. Salah satu faktor peningkatan prestasi seorang atlet adalah penyediaan recovery yang memadai sehingga efek latihan dapat dimaksimalkan.

Recovery atau pemulihan adalah proses pemulihan otot dan bagian tubuh lainnya

ke kondisi sebelum latihan fisik. Selama pemulihan (termasuk pengisisan cadangan energi yang terkuras dan penggusuran/perubahan asam laktat yang terkumpul selama latihan fisik) memerlukan energi berupa ATP. Hal yang kadang tidak diketahui adalah pendapat bahwa dengan terus menerus menggenjot fisik tanpa memperhitungkan istirahat dengan tujuan untuk mendapat kualitas fisik yang tinggi adalah hal yang salah besar. Tubuh manusia itu memiliki batas kemampuan maksimal dan membutuhkan waktu untuk beristirahat selain untuk mengembalikan kekuatan otot, juga untuk meregenerasi otot-otot yang telah dirusak selama latihan sehingga terbentuk otot baru yang memiliki kualitas yang lebih bagus dari sebelumnya.

Dalam pelatihan tanpa adanya recovery yang memadai tidak akan memberikan manfaat apapun bagi atlet, atlet hanya diajarkan untuk mengatasi kelelahan dibandingkan meningkatkan aspek kemampuan tertentu (Rushall dan Pyke, 1992:60). Berlatih merupakan kewajiban bagi seorang atlet, setidaknya dua kali sehari. Menurut Bompa (1994:138), pada umumnya atlet membutuhkan 2-3 kali latihan setiap harinya. Rutinitas ini berdampak kepada atlet baik fisiologis maupun psikologis. Disini dituntut suatu pengaturan keseimbangan antara latihan, gaya hidup, dan istirahat dari seorang atlet. Faktor pemulihan sangat penting terhadap keberhasilan atlet. Karena pemulihan berkaitan dengan pembentukan cadangan energi dan kesegaran otot untuk menghadapi suatu latihan atau pertandingan berikutnya. Jika antara pelatihan dengan recovery tidak memadai maka akan terjadi penumpukan kelelahan. Hal ini menyebabkan proses adaptasi terhadap latihan akan tertunda, penurunan penampilan, dan peningkatan resiko cedera dan penyakit (Rushall dan Pyke, 1992:61). Manfaat dari pelatihan

dan kompetisi tidak tercapai kecuali pelatih menekankan proses pemulihan dengan penekanan yang sama dengan proses pelatihan dan kompetisi.

a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Recovery

Proses recovery adalah proses yang multidimensional serta tergantung dari berbagai faktor, diantaranya: (1) umur; (2) pengalaman; (3) derajat latihan; (4) jenis kelamin; dan (5) cuaca (Bompa 1994:41).

1) Umur berpengaruh terhadap kecepatan recovery. Atlet yang lebih muda (18-22 tahun) membutuhkan sedikit waktu untuk pemulihan setelah latihan yang intensif atau pertandingan karena memiliki cadangan biologis yang lebih banyak.

2) Pengalaman memainkan peranan yang penting, semakin berpengalaman seorang atlet semakin dapat menyesuaikan dan mengatur lebih cepat terhadap rangsangan yang diberikan. Seperti atlet yang memiliki dasar pengalaman latihan yang lama dan kuat dapat menanggulangi tekanan dengan lebih baik, artinya memiliki kemampuan recovery yang lebih efektif.

3) Derajat latihan bentuk olahraga mempengaruhi percepatan recovery. Seorang atlet yang berada pada status latihan yang tinggi, memiliki reaksi fungsional yang kurang dramatis terhadap rangsangan latihan yang diberikan. Konsekuensinya atlet memerlukan sedikit waktu untuk menyesuaikan.

4) Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi kapasitas recovery. Atlet perempuan cenderung memiliki kecepatan recovery yang lebih lambat dibandingkan dengan laki-laki, khususnya setelah latihan yang intensif. Ini terutama disebabkan adanya perbedaan sistem vegetatif endokrin. 5) Faktor cuaca, ketinggian tempat berlatih dan perbedaan waktu latihan

Demeter (1972 dalam Bompa 1994:42) juga menyebutkan bahwa

recovery fisiologis tergantung beberpa faktor, yaitu:

1) Kecepatan penggantian zat-zat tenaga pada tingkat sel (sintesis ATP-PC).

2) Pencapaian homeostatis atau sistem biologis yang normal dan fungsi tubuh utama (sirkulasi, respirasi, endokrin, dan sistem syaraf).

3) Keterbatasan produk metabolisme.

Dinamika recovery tidak membentuk suatu kurva yang linear, melainkan suatu kurva yang secara cepat turun pada sepertiga pertama (70%) dan semakin berkurang drastis selama sepertiga kedua (20%) dan sepertiga ketiga (10%) (Florescu et al, 1969 dalam Bompa, 1994:142). Pengembangan teknik recovery pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan adaptasi atlet terhadap stress fisik maupun mental baik pada fase kompetisi maupun latihan (Murray, 2007. Rajan et al, 2011 dalam Alim

et al, 2012:2). Loading – recovery merupakan titik kunci dari proses latihan.

Selain istirahat murni dengan pemuliahan pasif, beberapa strategi dan metode telah diusulkan bagi olahragawan untuk meningkatkan pemulihan fungsi otot setelah latihan maupun kompetisi. Optimalisasi masa recovery sejalan dengan kajian teoritik yang menyatakan bahwa pengkondisian fisiologis atlet tidak hanya dilakukan pada masa latihan tapi juga pada masa

recovery latihan, masa pertandingan, dan masa recovery antara pertandingan.

Optimalisasi teknik recovery penting untuk dilakukan mengingat kualitas

recovery yang baik dapat menurunkan kelelahan baik secara obyektif (indeks

kelelahan ) maupun subyektif (rating of perceived exertion), meningkatkan adaptasi fisiologis tubuh terhadap latihan fisik serta mengurangi resiko cedera (Depont et al, 2004 dalam Parwata, 2015:9). Pada akhirnya, tantangan kurang optimalnya masa recovery pada saat pertandingan harus dijawab dengan menemukan formulasi strategi recovery yang paling optimal. Pelatihan yang efektif memerlukan penanganan yang terus menerus,

makna yang permanen dari recovery. Recovery mempercepat proses.

Recovery setelah latihan dan pertandingan untuk mempertahankan kondisi

fisik dan psikologis dalam status tertinggi. Maka recovery harus mengikuti kaidah – kaidah sebagai berikut:

1) Pertukaran yang rasional antara kerja dengan fase regenerasi. 2) Berusaha untuk dapat membatasi tekanan sosial.

3) Membuat suasana kelompok yang menyenangkan. Percaya serta penuh suasana optimis dari para pemain.

4) Diet yang rasional dan bervariasi sesuai dengan cabang olahraga dan fase latihan.

5) Pemantauan yang terus menerus terhadap kondisi kesehatan atlet. b. Proses Recovery

Proses recovery adalah proses multidimensi yang tergantung pada faktor intrinsik dan ekstrinsik. Dalam latihan atau masa pertandingan faktor pemulihan memegang peranan yang sangat penting. Dalam hal pengisian atau pemulihan energi memerlukan waktu. Waktu mutlak untuk pemulihan tergantung pada individu, tingkat kelelahan yang timbul, dan sistem energi yang terlibat (Rushall dan Pyke, 1992:61). Pemulihan atau recovery adalah mengembalikan kondisi tubuh untuk siap melakukan suatu aktivitas berikutnya.

Dalam proses recovery kita perlu membahas utang oksigen atau dikenal dengan istilah oxygen debt. Tubuh normalnya mengandung kira-kira 2 L oksigen cadangan yang dapat digunakan untuk metabolisme meskipun tanpa menghirup oksigen baru. Cadangan oksigen terdiri atas: (1) 0,5 L dalam udara paru-paru; (2) 0,25 L larut dalam cairan tubuh; (3) 1 L berikatan dengan hemoglobin darah; dan (4) 0,3 L tersimpan dalam serat otot, berikatan terutama dengan mioglobin, suatu bahan kimia pengikat oksigen yang serupa dengan hemoglobin (Guyton dan Hall, 2014:1120). Pada kerja fisik yang berat, hampir semua cadangan oksigen ini digunakan. Setelah kerja fisik selesai, cadangan oksigen ini harus dilengkapi kembali dengan

menghirup sejumlah tambahan oksigen melebihi kebutuhan normal. Disamping itu, sekitar 9 L oksigen lagi harus dikonsumsi untuk memenuhi penyusunan kembali sistem fosfagen maupun asam laktat. Semua tambahan oksigen ini harus dibayar kembali kira-kira 11 L yang disebut dengan utang oksigen atau oksigen debt.

1) Pemulihan Cadangan Energi

Ada dua cadangan energi yang berkurang atau habis pada saat latihan yaitu: ATP dan PC (adenosine triphosphate dan phosphocreatine) yang disimpan dalam sel otot dan glikogen yang tersimpan dalam otot maupun hati (Soekarman, 1989:39). Dalam hal ini lemak juga berkurang, tetapi tidak dimasukkan dalam proses recovery oleh karena lemak tidak diganti secara langsung pada waktu proses

recovery tetapi dibangun kembali secara tidak langsung melalui

pengisian kembali karbohidrat (glikogen dan glukosa). Sebagaian besar ATP dan PC yang dikuras dari otot sewaktu melakukan latihan fisik dapat dipulihkan dengan cepat dalam waktu beberapa menit setelah latihan dilakukan. Menurut Soekarman (1989:39), ATP dan PC di dalam otot dalam waktu 2-3 menit sudah dapat diganti pada waktu recovery. Untuk penggantian fosfagen (ATP dan PC) diperlukan ATP yang terbentuk dari oksidasi makanan dengan bantuan oksigen melalui sistem aerobik. Untuk restorasi PC diperlukan ATP yang akan mengubah kreatin menjadi fosfokreatin. Jadi yang mengalami penggantian terlebih dulu ialah persediaan ATP dalam otot. Lebih banyak fosfagen yang digunakan dalam latihan, lebih besar pula oksigen yang dibutuhkan untuk menggantinya. Dibutuhkan oksigen sebesar 3,45 liter untuk membentuk 1 mol ATP (Soekarman, 1989:39). Besarnya oksigen yang dibutuhkan dalam recovery dapat digunakan untuk menafsir kapasitas fosfagen dari atlet. Pada orang yang tidak terlatih untuk membentuk 1 mol ATP diperlukan waktu 10-15 menit sedangkan pada orang terlatih membutuhkan waktu sekitar 1 menit (Soekarman, 1989:40).

2) Resintesis Glikogen

Resintesis glikogen memerlukan waktu lebih lama sampai beberapa hari. Hal ini juga tergantung pada bentuk latihan yang dikerjakan. Menurut Soekarman (1989:40), olahraga yang menyebabkan berkurangnya kadar glikogen adalah:

a) Olahraga jangka lama dengan intensitas kecil seperti lari marathon. b) Olahraga yang berkala (intermitten) seperti tinju, badminton, dan

lain-lain.

Penggantian glikogen pada olahraga jangka lama dalam proses

recovery akan terlihat bahwa:

a) Dalam waktu 1-2 jam hanya sebagian kecil saja glikogen yang

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 22-44)

Dokumen terkait