• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

11

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Asam Laktat

a. Asam Laktat dan Latihan

Laktat merupakan intermediate product dari metabolisme glukosa. Laktat merupakan produk akhir dari metabolisme anaerobik, proses ini berlangsung tanpa adanya oksigen. Dalam tubuh asam laktat diproduksi secara terus menerus dalam sitoplasma. Meskipun demikian jumlah asam laktat dalam tubuh relatif tetap. Kadar laktat darah orang sehat dalam keadaan istirahat sekitar 1-2 mM/L (Jensen, 1989:14, fox 1993 dalam Mochamad, 2011:161). Pada latihan fisik intensitas tinggi otot berkontraksi dalam keadaan anaerobik, sehingga penyediaan ATP terjadi melalui proses glikolisis anaerobik. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar asam laktat dalam darah maupun otot.

Berbagai bentuk latihan fisik yang dilakukan dengan menggunakan intensitas tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar asam laktat dalam otot maupun dalam darah (Fox, 1993 dalam Purnomo, 2013:182). Pada latihan fisik dengan intensitas tinggi otot berkontraksi dalam keadaan anaerobik, sehingga penyediaan ATP terjadi melalui proses glikolisis anaerobik. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kadar lakat dalam darah maupun otot. Menurut Mochamad (2011:156) bahwa terbentuknya asam laktat merupakan akibat aktivitas latihan dengan intensitas tinggi dan latihan dalam waktu yang lama (prolonged exercise). Tetapi otot yang terlatih tetap dapat berkontraksi dengan baik pada konsentrasi asam laktat yang cukup tinggi. Segera setelah mendapat oksigen, asam laktat diubah kembali menjadi asam piruvat dan selanjutnya diubah menjadi energi, karbon

(2)

dioksida, dan air. Jadi, asam laktat merupakan sumber energi yang akan dikonversi menjadi piruvat, piruvat masuk dalam Siklus Kreb’s dan Sistem Transport Electron sehingga menghasilkan energi, H2O, dan CO2 (Soekarman, 1987:10).

Konsentrasi maksimal asam laktat pada otot dan darah selama melakukan aktivitas latihan fisik tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, toleransi kadar asam laktat pada manusia diperkirakan mencapai di atas 20 mM/L darah dan 25 mM/1 kg berat otot basah dan bahkan bisa mencapai di atas 30 mM pada latihan dinamis dengan intensitas tinggi (Mochamad, 2011:161).

b. Efek Penumpukan Asam Laktat

Latihan anaerobik dengan pemenuhan energi yang berlangsung secara glikolisis anaerobik akan meningkatkan konsentrasi asam laktat dalam sel otot. Peningkatan asam laktat tersebut akan menurunkan pH dari sel (tingkat keasaman dalam sel lebih tinggi dibandingkan di luar sel). Enzim-enzim di dalam sel sangat peka terhadap pH. Penurunan pH menyebabkan penurunan kecepatan reaksi dari enzim-enzim di dalam sel sehingga menurunkan kemampuan metabolisme dan produksi ATP.

Keberadaan asam di dalam otot akan mengganggu berbagai mekanisme sel otot yaitu: (1) menghambat enzim aerobik dan anaerobik sehingga menurunkan kapasitas ketahanan aerobik (endurance aerobic

capacity) dan kapasitas ketahanan anaerobik (endurance anaerobic capacity); (2) menghambat terbentuknya creatin phospat (CP) dan akan

mengganggu koordinasi gerak; (3) menghambat enzim fosfofruktokinase; (4) menghambat pelepasan ion Ca++ pada troponin C mengalami penurunan dan mengakibatkan gangguan atau terhentinya kontraksi serabut otot; (5) menghambat aktivasi mATPase terutama pada serabut otot cepat karena mATPase pada serabut otot cepat peka terhadap asam.

Pada latihan dengan intensitas tinggi akan meningkatkan penumpukan asam laktat sehingga dapat menurunkan pH. Pada latihan maksimal

(3)

diperkirakan terjadi penumpukan H+ yang berpengaruh terhadap perubahan pH. Dalam keadaan istirahat tubuh memiliki pH darah normal 7,4 dan pada latihan fisik pH dapat menurun menjadi 7.0 serta pada latihan fisik yang maksimal pH darah dapat turun hingga 6,5. Penurunan pH darah dan otot dapat menyebabkan produksi asam laktat pada jaringan hypoxia dan menurunkan penggusuran asam laktat oleh hati karena terhambatnya glikolisis.

Penimbunan asam laktat dalam darah menjadi masalah mendasar dalam kinerja fisik karena menimbulkan kelelahan yang kronis dan menurunkan kinerja fisik (Ahmaidi, 1996:450). Penggusuran laktat yang lambat menyebabkan sindroma latihan yang berlebih (overtraining

syndrome) pada atlet sehingga mengakibatkan peningkatan insiden cedera

yang dapat menyebabkan kecacatan baik sementara maupun menetap. Bentuk aktivitas yang dapat mempercepat pemulihan laktat adalah meningkatkan proses oksidasi, glukoneogenesis, banyak melibatkan serabut otot merah, dan mempercepat distribusi laktat dari otot aktif ke otot yang kurang aktif (Falks, 1995:7).

Sejumlah besar asam laktat yang diproduksi oleh otot selama latihan dirubah menjadi asam piruvat kemudian dipecah menjadi karbon dioksida dan air di dalam mitokondria. Bagaimanapun juga, asam laktat dapat berdifusi keluar dari otot dan masuk ke dalam darah, diambil kembali, dan digradasi untuk energi oleh otot yang lain. Cara lain tentang penggunaan asam laktat sebagai energi adalah asam laktat dikeluarkan oleh darah ke hati, di hati asam laktat dirubah menjadi glikogen hati melalui glukoneogenesis. Glikogen hati kemudian dipecah menjadi glukosa yang masuk ke dalam darah dan diangkut kembali ke otot untuk dipergunakan di dalam glikolisis atau disimpan sebagai glikogen. Daur dari otot ke hati dinamakan Daur Cori. Daur Cori terutama berguna selama latihan yang lama dan pulih asal karena keduanya membantu untuk mengangkut asam laktat sebagai zat yang

(4)

mempercepat kelelahan. Daur Cori mengisi glukosa untuk kontinuitas suplai energi ke otot sehingga latihan dapat diteruskan (Hairy, 1989:84).

c. Asam Laktat dan Kelelahan

Kelelahan (fatigue) adalah suatu fenomena fisiologis, suatu proses terjadinya keadaan penurunan toleransi terhadap kerja fisik. Penyebabnya sangat spesifik bergantung pada karakteristik kerja tersebut. Penyebab kelelahan dapat ditinjau dari aspek anatomi berupa kelelahan sistem saraf pusat, neuromuskular dan otot rangka, serta dari aspek fungsi berupa kelelahan elektrokimia, metabolik, berkurangnya substrat energi, hiper/hipotermia, dan dehidrasi (Septiani et al, 2010:179).

Kelelahan otot didefenisikan sebagai kegagalan mempertahankan kekuatan atau daya yang keluar selama kontraksi yang berkelanjutan atau berulang (Zuhal, 2006:376). Kelelahan juga membatasi kinerja, menimbulkan perasaan tidak nyaman, dan frustasi.

Kelelahan otot membatasi kinerja otot. Kelelahan otot dapat bersifat lokal maupun menyeluruh. Dapat menyertai olahraga endurance maupun olahraga yang berintensitas tinggi yang berlangsung singkat (Sarifin, 2010:59).

Kelelahan otot lokal (local muscular fatigue) mengikuti latihan fisik berintensitas tinggi dan berlangsung singkat disebabkan oleh akumulasi produksi asam laktat di dalam otot dan darah. Hal ini berhubungan dengan mekanisme resintesa energi (ATP) selama proses kontraksi otot di dalam serabut otot FT (fast-twitch) yang lebih banyak berperan pada aktivitas fisik atau olahraga yang berintensitas tinggi. Sebagaimana diketahui bahwa serabut otot FT lebih cepat mengalami kelelahan dibandingkan dengan serabut otot ST (slow-twitch) karena serabut otot FT mempunyai kemampuan sistem anaerobik yang tinggi dengan sistem aerobik yang rendah sehingga cepat terbentuk asam laktat. Hal ini akan menyebabkan kelelahan otot lebih cepat terjadi (Sarifin, 2010:59).

(5)

Kelelahan yang mengikuti olahraga atau latihan endurance tidak disebabkan oleh karena akumulasi produksi asam laktat. Kelelahan ini disebabkan selain oleh karena terjadinya kelelahan pada otot (komponen lokal) juga karena faktor di luar otot (komponen tubuh lainnya). Kelelahan karena faktor komponen lokal disebabkan terkurasnya cadangan glikogen otot baik pada serabut otot FT maupun ST, sedangkan kelelahan karena komponen tubuh lainnya mungkin disebabkan oleh: (1) hipoglikemia; (2) penipisan glikogen hati; (3) dehidrasi; (4) kehilangan elektrolit; (5) hipertermia; (6) kebosanan (psikologis). Jadi kelelahan yang menyertai olahraga endurance merupakan kelelahan yang bersifat menyeluruh (Sarifin, 2010:60).

Ciri adanya penimbunan asam laktat (acidosis) adalah rasa sakit pada tungkai (untuk pembalap sepeda atau pelari) atau rasa sakit pada lengan (untuk dayung), rasa sakit pada kaki, tungkai atas, dan tungkai bawah (pada pesilat). Produksi energi yang sejalan dengan nilai laktat yang tinggi tidak lebih dari sebuah solusi darurat (Janssen Peter G.J.M, 1993:13 dalam Purnomo 2013:182).

Menurut Giriwijoyo dan Sidik (2013:51), kelelahan dibagi dalam 2 tipe, yaitu kelelahan mental dan kelelahan fisik. Kelelahan mental adalah kelelahan yang merupakan akibat dari kerja mental. Kelelahan ini sering disebabkan oleh kejemuan sebab kurangnya minat dan hal ini lebih merupakan masalah bagi para ahli psikologi, psikiatri, sosiologi, termasuk pula para ahli ilmu faal.

Lebih lanjut Giriwijoyo dan Sidik (2013:52) mengemukakan bahwa kelelahan fisik disebabkan oleh karena kerja fisik atau kerja otot dan menjadi masalah yang sangat menarik minat para ahli ilmu faal. Perlu dipahami bahwa kelahan fisik adalah kelelahan dari Ergosistema (ES-I) dan dari ES-I yang berfungsi secara aktif adalah sistem nevorum dan sistem muscular. Gabungan dari keduanya lebih dikenal sebagai sistem neuromuscular sehingga kelelahan hakikatnya dapat terjadi pada salah satu dari keduanya

(6)

atau keduanya. Faktor – faktor penyebab pertama kelelahan fisik maupun mental haruslah berupa kegiatan yang menggunakan daya (energi) karena tidak akan terjadi kelelahan bila sama sekali tidak ada penggunaan daya. 1) Faktor-Faktor Penyebab Kelelahan Otot

Telah diketahui bahwa kelelahan otot merupakan ketidak mampuan otot untuk berkontraksi secara cepat dan kuat. Ada banyak faktor yang mempengaruhi kelelahan otot. Berikut adalah penyebab dari kelelahan otot:

a) Pengosongan ATP-PC

ATP merupakan sumber energi kontraksi otot dan PC untuk resintesa ATP secepatnya. Jika ATP dan PC digunakan untuk kontraksi terus maka terjadi pengosongan fosfagen intraselular sehingga mengakibatkan kelelahan. Selain itu ada peningkatan konsentrasi ion H+ di dalam intraselular yang diakibatkan penumpukan asam laktat.

b) Pengosongan Simpanan Glikogen Otot

Pengosongan glikogen terjadi karena proses latihan yang lama (30 menit – 4 jam). Karena pengosongan glikogen demikian hebat, maka menyebabkan kelelahan kontraktil. Faktor lain penyebab kelelahan antara lain rendahnya tingkat glukosa darah yang menyebabkan pengosongan glikogen hati, pengosongan cadangan glikogen otot yang menyebabkan kelelahan otot lokal, dehidrasi, dan kurangnya elektrolit yang menyebabkan temperatur meningkat. c) Akumulasi Asam Laktat

Akumulasi asam laktat akan menumpuk di otot dan di pembuluh darah. Menyebabkan konsentrasi H+ meningkat dan pH menurun. Ion H+ menghalangi proses eksitasi yaitu menurunnya Ca2+ yang dikeluarkan dari retikulum sarkoplasmik. Ion H+ juga mengganggu kapasitas mengikat Ca2+ oleh troponin. Ion H+ juga akan menghambat kegiatan fosfo-fruktokinase.

(7)

2) Mekanisme Kelelahan Otot

Kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi kelelahan yang berlokasi di sistem saraf pusat yang dikenal dengan kelelahan pusat dan kelelahan yang berlokasi di luar sistem saraf pusat yang dikenal dengan kelelahan perifer (Almuktabar, 2009:97).

a) Kelelahan Pusat

Kelelahan pusat disebabkan karena kegagalan sistem saraf pusat merekrut jumlah dan mengaktifkan motor unit yang dilibatkan dalam kontraksi otot. Padahal kedua hal tersebut berperan dalam besarnya potensial yang dihasilkan selama kontraksi otot. Dengan demikian, berkurangnya jumlah motor unit dan frekuensi pengaktifan motor unit menyebabkan berkurangnya kemampuan kontraksi otot. Rekruitmen jumlah motor unit juga dipengaruhi oleh motivasi. Pada perangsangan elektrik pada otot yang lelah masih dapat mengembangkan kekuatan kontraksi otot. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan kekuatan otot tersebut dapat dipengaruhi oleh aspek psikologis (Robert, 1999 dalam Almuktabar, 2009:97). Selain itu ada penelitan lain mengenai pengaruh motivasi terhadap performance. Seseorang yang memiliki motivasi yang rendah akan mudah lelah dibandingkan dengan seseorang yang memiliki motivasi tinggi (Robert, 1999 dalam Almuktabar, 2009:97). Dengan demikian, diyakini bahwa rendahnya motivasi pada sistem saraf pusat akan menurunkan rekruitmen jumlah motor unit sehingga terjadi kelelahan pusat. b) Kelelahan Perifer

Otot dalam berkontraksi membutuhkan energi berupa ATP. ATP tersebut dapat diproduksi secara anaerobik (sistem ATP-PC dan glikolisis laktasid) dan aerobik. Sistem ATP-PC merupakan produksi ATP yang cepat melalui pemecahan PC. Phospocreatin (PC) merupakan senyawa yang mengandung fosfat dan tertimbun di

(8)

otot. Sistem glikolisis laktasid merupakan produksi ATP dari rangkaian glikolisis anaerobik yang menghasilkan asam laktat. Sedangkan sistem aerobik merupakan produksi ATP dari sumber energi glukosa/glikogen dan asam lemak dengan bantuan oksigen. Dengan demikian, sumber energi yang dominan digunakan untuk memproduksi ATP adalah glikogen/glukosa dan asam lemak. Rendahnya cadangan glikogen otot akan mengurangi kemampuan otot untuk memproduksi ATP melalui glikolisis sehingga mengganggu kontraksi otot. Cadangan glikogen otot kurang dari 20 mmol/kgBB yang akan mengganggu kontraksi otot. Kemudian rendahnya mobilisasi asam lemak juga akan mengganggu pembentukan ATP secara aerobik. Produksi ATP secara aerobik melibatkan bantuan oksigen. Suplai oksigen tergantung dari VO2max yang melibatkan peran ventilasi, kardiovaskular, dan respirasi otot. Bila suplai oksigen tidak terpenuhi akan mengakibatkan produksi ATP secara anaerobik (sistem glikolisis laktasid) yang berdampak pada penumpukan asam laktat. Kelelahan karena gangguan perambatan impuls, mekanik kontraksi otot, dan suplai energi akan menyebabkan kelelahan perifer.

3) Kemungkinan Tempat-tempat Kelelahan

Giriwijoyo dan Sidik (2013:56) mengemukakan bahwa ada enam yang mungkin menjadi tempat terjadinya kelelahan bila ditinjau dari anatomi sistema neuromuscular yaitu:

a) Serabut otot.

b) Keping ujung saraf motor (motor nerve endplate) di dalam otot. c) Serabut saraf motorik itu sendiri.

d) Synaps di dalam ganglion saraf dan di susunan saraf pusat. e) Badan sel saraf.

(9)

Perlu diingat juga bahwa terjadinya penimbunan asam laktat dalam otot oleh karena pembentukan asam laktat lebih cepat daripada pembuangannya. Hal ini berkaitan dengan tidak adekuatnya sistem sirkulasi dalam otot yang bersangkutan dan tidak adekuatnya pasokan oksigen (O2) baik secara absolut maupun relatif. Pasokan oksigen (O2) yang secara absolut tidak kuat disebabkan oleh rendahnya kapasitas aerobik yang dimiliki seseorang sedangkan pasokan oksigen (O2) yang secara relatif tidak adekuat disebabkan oleh tingginya intensitas kerja yang dilakukan. Salah satu cara untuk pulih kembali dari kelelahan yaitu dengan pemulihan atau recovery.

Untuk mengurangi kelelahan yang terjadi, maka kadar asam laktat dalam darah maupun otot harus segera dibersihkan sampai pada batas ambang normal (Purnomo 2013:182). Penimbunan laktat dalam darah menjadi masalah mendasar dalam kinerja fisik karena menimbulkan kelelahan dan menurunkan kinerja fisik. Mekanisme pemulihan laktat dari darah dan otot sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang dilakukan setelah aktivitas maksimalnya (Golnick, 1990 dalam Purnomo 2013:182).

2. Latihan

a. Pengertian Latihan

Istilah latihan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yang dapat mengandung beberapa makna seperti practice, exercise, dan training (Sukadiyanto, 2011:5). Pada prinsipnya latihan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik yaitu untuk meningkatkan kualitas fisik, kemampuan fungsional organ tubuh, dan kualitas psikis seseorang. Latihan yang berasal dari kata practice adalah aktivitas untuk meningkatkan keterampilan berolahraga dengan menggunakan peralatan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan olahraga tersebut. Selama dalam kegiatan proses latihan agar dapat menguasai keterampilan gerak cabang olahraganya selalu

(10)

dibantu dengan menggunakan berbagai peralatan pendukung.

Latihan yang berasal dari kata exercise adalah latihan harian untuk meningkatkan kualitas fungsi sistem organ tubuh manusia sehingga mempermudah olahragawan dalam penyempurnaan geraknya (Sukadiyanto, 2011:5). Latihan (exercise) merupakan materi latihan yang dirancang dan disusun oleh pelatih untuk satu sesi latihan atau satu kali tatap muka.

Pengertian latihan yang berasal dari kata training adalah suatu perencanaan untuk meningkatkan kemampuan berolahraga yang berisikan materi teori, praktek, dan metode serta aturan pelaksanaannya (Martin, 1982 dalam Sukadiyanto, 2011:6). Sedangkan Menurut Harre dan Nossek (1982) dalam Sukadiyanto (2011:6) bahwa latihan yang berasal dari kata training adalah suatu proses penyempurnaan kemampuan berolahraga dengan pendekatan ilmiah, memakai prinsip pendidikan yang terencana dan teratur sehingga dapat meningkatkan kesiapan dan kemampuan olahragawan.

Bompa (1999:48) mengatakan bahwa latihan merupakan aktivitas olahraga yang sistematis dalam waktu yang lama, ditingkatkan secara progresif dan individual yang mengarah kepada ciri-ciri fungsi psikologis dan fisiologis manusia untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Menurut Harsono (1988) dalam Roesdiyanto dan Budiwanto (2008:17) latihan adalah suatu proses berlatih yang sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang dan kian hari jumlah beban latihannya kian bertambah. Latihan juga dapat didefenisikan sebagai peran serta yang sistematis dalam latihan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fungsional fisik dan daya tahan dalam latihan (Russel, 1993:317).

Latihan akan berjalan sesuai dengan tujuan apabila diprogram sesuai dengan kaidah-kaidah latihan yang benar. Program latihan tersebut mencakup segala hal mengenai takaran latihan, frekuensi latihan, waktu latihan, dan prinsip-prinsip latihan lainnya. Program latihan ini disusun secara sistematis, terukur, dan disesuaikan dengan tujuan latihan yang dibutuhkan.

(11)

Dalam istilah Indonesia kata practice, exercise, dan training secara umum dianggap mempunyai arti yang sama yaitu latihan. Salah satu ciri dari latihan baik yang berasal dari kata practice, exercise, maupun trainng adalah adanya beban latihan. Oleh karena diperlukannya beban latihan selama proses latihan agar hasil latihan dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas fisik, psikis, sikap, dan sosial olahragawan sehingga puncak prestasi dapat dicapai dalam waktu yang singkat dan dapat bertahan relatif lebih lama.

Pada dasarnya dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa latihan merupakan suatu proses yang sangat kompleks yang melibatkan variabel-variabel internal dan eksternal antara lain motivasi dan ambisi atlet, kuantitas dan kualitas latihan, volume dan intensitas latihan, serta pengalaman bertanding. Dalam proses latihan juga diperlukan berbagai pengetahuan pendukung agar proses latihan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan sehingga dimaksudkan untuk proses yang sistematis dari berlatih atau bekerja secara berulang-ulang dengan kian hari menambah jumlah beban latihan atau pekerjaannya memperbaiki penguasan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci, dan rutin. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa latihan digunakan untuk menyiapkan diri agar hasil latihan selalu positif dan optimal.

b. Komponen – komponen Latihan

Setiap kegiatan fisik yang dilakukan atlet akan mengarah kepada sejumlah perubahan yang bersifat anatomis, fisiologis, biokimia, dan psikologis. Menurut Bompa (1994:81) bahwa efisiensi dari suatu kegiatan merupakan akibat dari waktu yang dipakai, jarak yang di tempuh dan jumlah pengulangan (volume), beban dan kecepatannya (intensitas), serta frekuensi penampilannya (densitas). Menurut Sukadiyanto (2011:26), ada beberapa komponen latihan, yaitu: (1) intensitas; (2) volume; (3) recovery; (4) interval; (5) repetisi; (6) set; (7) seri atau sirkuit; (8) durasi; (9) densitas; (10) irama; (11) frekuensi; dan (13) sesi atau unit. Semua komponen di atas

(12)

tersebut harus diperhatikan dalam penerapan latihan. Semua komponen dibuat sedemikian rupa dalam berbagai model yang sesuai dengan karakteristik fungsional dan ciri suatu pertandingan. Semua komponen latihan harus ditingkatkan sesuai dengan perbaikan atau kemajuan yang dicapai atlet secara keseluruhan.

1) Volume Latihan

Volume latihan adalah jangka waktu yang dipakai selama sesion latihan yang melibatkan beberapa bagian yang integral seperti jangka waktu, jumlah tegangan, dan jumlah pengulangan yang dipakai dalam latihan (Bompa, 1994:82). Volume adalah komponen utama pelatihan, volume adalah prasyarat kuantitatif untuk prestasi teknis, taktis, dan fisik yang tinggi (Bompa, 1999:80). Volume latihan kadang-kadang tidak akurat disebut durasi pelatihan karena yang disebut volume adalah sebagai berikut:

a) Waktu atau durasi pelatihan.

b) Jarak yang ditempuh atau berat angkatan per unit waktu.

c) Pengulangan dari latihan atau elemen teknis atlet melakukan dalam waktu tertentu.

Jadi, volume latihan adalah keseluruhan waktu atau total waktu aktivitas dalam latihan. Artinya bahwa jumlah aktivitas yang dihitung dari durasi, jarak tempuh maupun pengulangan dalam latihan. Dalam pencapaian prestasi yang tinggi kita tidak boleh berpikir untuk melakukan jalan pintas untuk meningkatkan kuantitas dalam volume latihan secara cepat. Volume latihan harus ditingatkan secara bertahap dan berkelanjutan. Terlalu tinggi peningkatan volume latihan dapat merusak atlet. Here (1981) dalam Bompa (1994:83) menyatakan bahwa peningkatan volume latihan yang kurang bijaksana dapat mengakibatkan kelelahan, efisiensi latihan rendah, kerja otot tidak ekonomis, dan meningkatkan kemungkinan cedera. Ada dua jenis volume latihan yang

(13)

harus diperhitungkan yaitu volume relatif dan volume absolut. Volume relatif adalah jumlah total waktu yang dipakai dalam latihan oleh seorang atlet sewaktu melakukan latihan yang khusus atau tahap latihan sedangkan volume absolut adalah ukuran jumlah kerja yang dilakukan setiap atlet per satuan waktu, biasanya dalam menit (Bompa, 1994:84). 2) Intensitas Latihan

Intensitas latihan adalah fungsi dari kekuatan rangsangan saraf yang dilakukan dalam latihan yang tergantung dari beban, kecepatan gerakannya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya (Bompa 1994:84). Kejiwaan juga merupakan elemen penting dalam latihan. Intensitas tidak semata-mata diukur dari usaha yang dilakukan otot saja, tetapi juga pengeluaran tenaga pada saraf selama melakukan latihan atau pertandingan. Penting sekali untuk mengetahui kejiwaan seseorang dalam latihan. Dengan demikian dapat diterima bahwa cabang olahraga yang menuntut tingkat usaha fisik yang rendah seperti menembak, panahan, dan catur juga memiliki komponen intensitas. Untuk mengukur besarnya intensitas dapat menggunakan cara 1 RM (Repetisi Maximum), denyut jantung per menit, kecepatan, jarak tempuh, jumlah repetisi, dan pemberian waktu recovery dan interval (Sukadiyanto, 2011:26).

a) 1 RM ( Repetisi Maximum)

1 RM adalah satu ukuran intensitas yang bentuknya mengukur kemampuan otot atau sekelompok otot untuk melawan beban secara maksimal dalam satu kali kerja. 1 RM seringkali digunakan dalam hal menentukan beban latihan dengan ukuran berat dan jumlah repetisi maksimal yang dapat dilakukan dalam waktu tertentu.

Cara mencari beban latihan dengan metode trial and error, mencoba mengangkat beban hingga tidak mampu mengangkat lagi (satu kali angkatan kuat kemudian yang kedua tidak kuat inilah yang dikatakan 1 RM). Metode ini tidak dianjurkan bagi mereka

(14)

yang belum terlatih, hal ini disebabkan karena otot-otot mereka belum kuat atau belum biasa menerima beban berat sehingga dikhawatirkan dapat mengalami cedera.

b) Denyut Jantung Per Menit

Denyut jantung per menit sebagai ukuran intensitas dihitung berdasarkan denyut jantung maksimal. Denyut jantung maksimal seseorang biasanya menggunakan rumus 220 - usia. Namun untuk mengukur denyut jantung untuk olahraga prestasi terutama yang memiliki denyut jantung sedikit, penggunaan rumus tersebut kurang sesuai. Namun secara sederhana rumus tersebut masih tetap dapat digunakan.

Tabel 1.Prediksi Rumus Menghitung Denyut Jantung Maksimal

Kategori Denyut Jantung Istirahat

Denyut Jantung Maksimal Orang Awam ≥ 60x/ Menit 220 – usia Terlatih 51 s.d 59x/Menit 210 – usia Sangat Terlatih ≤ 50x/Menit 200 - usia

(Sukadiyanto, 2011:27) c) Kecepatan

Kecepatan dapat dijadikan sebagai ukuran intensitas, yaitu lamanya waktu tempuh yang digunakan untuk mencapai jarak tertentu. Misalnya seorang atlet lari dapat menempuh jarak 100 meter dengan waktu 12:50 detik, untuk menentukan intensitas latihannya dengan cara jarak tempuh dibagi waktu tempuh yaitu 100/12:50 detik = 8 meter/detik. Sehingga ukuran intensitas latihannya adalah 8 meter per detik.

d) Jarak Tempuh

Jarak tempuh dapat dijadikan sebagai ukuran intensitas, yaitu kemampuan seseorang dalam menempuh jarak tertentu dalam

(15)

waktu tertentu. Kebalikan dari kecepatan di atas, intensitas latihan dengan menggunakan jarak tempuh 8 meter per detik diartikan bahwa setiap satu detik atlet tersebut mampu lari menempuh jarak 8 meter.

e) Jumlah Repetisi

Jumlah repetisi dapat sebagai ukuran intensitas, yaitu dengan cara melakukan aktivitas dalam waktu tertentu dan mampu melakukannya dalam beberapa ulangan.

f) Pemberian Waktu Repetisi dan Interval

Cara lain untuk menentukan intensitas latihan adalah dengan lama singkatnya pemberian waktu recovery dan interval. Semakin singkat pemberian waktu recovery dan interval selama latihan berarti semakin tinggi intensitas latihannya. Sebaliknya semakin lama pemberian waktu recovery dan waktu interval selama latihan berarti semakin rendah intensitasnya.

Dalam Bompa (1994:85) bahwa tingkat intensitas dapat diukur sesuai dengan jenis latihannya. Untuk latihan yang melibatkan kecepatan diukur dalam meter per detik, untuk kegiatan yang melawan tahanan dapat diukur dalam kg, sedangkan untuk olahraga beregu ritme permainan dapat membantu untuk mengukur intensitasnya. Lebih lanjut dijelaskan alternatif lain untuk menentukan intensitas adalah berdasarkan sistem energi yang dipakai dalam kegiatan tertentu. Klasifikasi ini lebih tepat untuk cabang olahraga yang siklik (Bompa, 1994:86). Cyclic sendiri artinya adalah suatu gerakan yang sama dan diulang-ulang, biasanya yang paling mudah diingat yang termasuk olahraga kategori cyclic salah satunya adalah lari.

(16)

Tabel 2. Lima Daerah Intensitas Untuk Olahraga Siklik No Zona Waktu Kerja Tingkat Intensitas Sistem Energi Ergogenesis % Anaerobik Aerobik 1 1 – 15 detik s.d batas kemampuan ATP – PC 100 – 95 0 – 5 2 15 – 60 detik Maksimal ATP – PC dan LA 90 – 80 10 – 20 3 1 – 6 menit Sub. Maksimal LA + Aerobik 70 – (40 – 30) 30 – ( 60 – 70) 4 6 – 30

menit Menengah Aerobik

(40 – 30) – 10

(60 – 70) – 90

5 > 30

menit Rendah Aerobik 5 95

(Bompa, 1994:86)

Lima zona intensitas ini mempunyai arti sendiri-sendiri sesuai dengan tingkatan latihannya, karena itu detail waktunya juga disebutkan. Untuk lebih jelasnya bisa dijelaskan sebagai berikut:

Zona pertama merupakan kerja yang tinggi yang harus dilakukan oleh para atlet, dimana kerja yang dilakukan adalah jangka pendek sampai l5 detik yang dilakukan sangat dinamik dan dengan frekwensi gerak yang sangat tinggi dan mobilitas saraf yang tinggi. Pada sistem kerja ini sering dilakukan oleh para sprinter 100 meter yang membutuhkan oksigen yang tinggi yang tidak dapat dipenuhi oleh organisme tubuh manusia. Menurut Gandelsman dan Smirnov (1970) dalam Devi (2012:94) bahwa selama melakukan lari sprint l00 meter, tuntutan O2 adalah 66 - 80 liter per menit dan selama cadangan O2 pada jaringan tidak mampu memenuhi kebutuhan maka akan terjadi hutang oksigen sampai 80% - 90% dari kebutuhan oksigen yang dipakai pada pacuan yang cepat. Hutang oksigen (O2) ini akan dibayar setelah

(17)

aktivitas berakhir, artinya saat kegiatan sprint berakhir maka kegiatannya dilakukan dengan bantuan O2. Dengan adanya kegiatan yang menggunakan oksigen juga akan memberikan kesempatan mengganti cadangan ATP-PC yang habis selama aktivitas yang tinggi. Jadi bahwa kegiatan yang dilakukan dengan intensitas yang tinggi dengan waktu sampai 15 detik menggunakan sistem energi yang pertama kali digunakan datam tubuh yaitu ATP-PC.

Zona lntensitas yang ke dua atau zona maksimal dimana jenis kegiatan yang dilakukan antara 15 - 60 detik dan jenis kegiatan ini antara lain 200 m dan 400 m sprint atletik juga l00 m sprint renang dan lain sebagainya. Intensitas dan kecepatannya adalah maksimal yang akan memberikan tekanan terhadap sistem saraf pusat dan sistem lokomotor yang akan menghambat kemampuan seseorang untuk mempertahankan kecepatan tinggi lebih dari 60 detik. Kebutuhan energi seseorang untuk jarak yang termasuk zona ini (400 meter) adalah kebutuhan tertinggi diantara cabang olahraga. Seseorang membutuhkan 4.500% di atas kebutuhan normal biologinya (dalam keadaan istirahat) (Ghircoiasu, 1979 dalam Devi, 2012:94).

Zona yang ketiga disebut juga sub - maksimal yang melibatkan sejumlah aktivitas yang berjangka waktu 1 – 6 menit. Pada zona ini kecepatan dan daya tahan menjadi demikian dominan dalam keberhasilan olahraga seseorang. Aktivitas yang benar-benar kompleks pada cabang olahraga dimana fisiologisnya berubah secara mendadak (denyut nadi mencapai 200 denyut per menit dan tekanan darah maksimal mencapai sekitar 200 mm.hg), membuat sangat sulit untuk melakukan aktivitas lebih lama dari 6 menit. Melihat dari waktu intensitasnya, atlet akan mengumpulkan hutang oksigen sebanyak 20 liter/menit dan asam laktat mendekati 250 mg (Gandelsman & Smirnov, 1970 dalam Devi, 2012:95).

(18)

Pada zona ke empat ini intensitas menengah, ini menunjukan adanya tantangan yang tinggi terhadap organisme tubuh karena harus berusaha melakukan kegiatan sampai jangka waktu 30 menit. Termasuk dalam olahraga ini misalnya lari 1.500 meter, 5.000 meter dan lain - lain. Sistem peredaran darah benar-benar dipercepat dan otot-otot jantung mendapatkan tekanan. Sebagai klasifikasi akhir dari intensitas berdasarkan atas denyut jantung berikut ini dikemukakan oleh Nikoforov (1974) yaitu:

Tabel 3. Daerah Intensitas Berdasarkan Reaksi Denyut Jantung Terhadap Beban Latihan

Jenis intensitas Denyut Jantung Per Menit

Rendah 120 – 150

Menengah 150 – 170

Tinggi 170 – 185

Maksimal Lebih dari 185

(Dalam Bompa, 1994:91, Devi, 2012:96)

Menurut Suharmo (1985) dalam Budiwanto (2012:61), intensitas latihan dikategorikan menjadi lima tingkatan, yaitu super maksimal lebih dari 101%, maksimal 100%, submaksimal 80%-99%, medium 60%-79%, dan low kurang dari 59% dari denyut jantung maksimal.

3) Densitas Latihan

Suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah rangsangan persatuan waktu disebut dengan densitas latihan (Bompa, 1994:105). Menurut Sukadiyanto (2011:31), densitas adalah ukuran yang menunjukkan padatnya waktu perangsangan (lamanya pembebanan). Jadi dentisitas berkaitan dengan waktu kerja dan pemulihan. Semakin pendek waktu pemulihan maka semakin tinggi

(19)

densitas latihannya begitupula dengan sebaliknya, semakin lama waktu pemulihan yang diberikan maka semakin rendah densitas latihannya. Densitas yang mencukupi akan menjamin efisiensi latihan, jadi menghindarkan atlet dari kelelahan yang kritis. Suatu densitas yang seimbang akan mengarah pada pencapaian rasio antara ransangan latihan dan pemulihan yang optimal. Ada beberapa cara untuk mengukur densitas latihan diantaranya dengan menggunakan rumus Densitas Nisbi (RD) dan Densitas Mutlak (AD).

a) Densitas Nisbi

Densitas nisbi adalah persentase volume keseluruhan per satuan latihan. RD = Keterangan: RD = densitas nisbi AV = volume latihan RV = volume nisbi (Bompa, 1994:107) b) Densitas Mutlak

Densitas mutlak adalah rasio antara efektifitas kerja yang dilakukan atlet, volume latihan, dan volume interval.

( ) Keterangan:

AD = densitas mutlak AV = volume latihan

VRI= volume interval istirahat (Bompa, 1994:107).

(20)

4) Kompleksitas Latihan

Kompleksitas dikaitkan kepada kerumitan bentuk latihan yang dilaksanakan dalam latihan. Kompleksitas dalam suatu keterampilan membutuhkan koordinasi. Keterampilan teknik yang rumit atau sulit mungkin akan menimbulkan permasalahan dan akhirnya akan menyebabkan tekanan tambahan terhadap otot. Suatu gambaran kelompok individu terhadap keterampilan yang kompleks dapat menjadi pembeda yang cepat, mana yang memiliki koordinasi yang baik dan jelek sepanjang kelompok individu tersebut belum pernah melakukan keterampilan sebelumnya. Astran dan Rodahl dalam Bompa (1994:108) menyatakan bahwa semakin sulit bentuk latihan semakin besar juga perbedaan individu serta efisiensi mekanismenya.

Penguasaan keterampilan dengan tingkat yang tinggi dapat menjadi sumber tekanan. Reaksi pemain terhadap taktik yang sulit dapat dilihat melalui peningkatan denyut nadi sekitar 20 - 30 denyut per menit. Oleh karena itu, di dalam proses perencanaan latihan pelatih harus memperhatikan tingkat kesulitan suatu bentuk latihan sehingga atlet tidak menderita kelebihan kerja. Pada kondisi tertentu pelatih harus memberikan kesempatan untuk waktu pemulihan menjelang latihan atau kompetisis berikutnya.

5) Recovery

Istilah recovery selalu terikat erat dengan interval sebab kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama yaitu pemberian waktu istrahat. Recovery adalah pemberian waktu istirahat antar repetisi (ulangan). Ada dua macam recovery dan interval yaitu recovery lengkap lebih dari 90 detik dan recovery tidak lengkap kurang dari 90 detik. Namun jenis recovery tersebut kurang cocok digunakan pada saat latihan kecepatan sehingga sering dijumpai jenis recovery dan interval menggunakan perbandingan antara waktu kerja dan istirahat. Dalam sesi latihan biasa tertulis t.r =1:5 yang berarti recovery yang diberikan 5 kali

(21)

lebih lama dari waktu kerja. Misalnya, lari 30 meter dengan waktu tempuh 4 detik, maka waktu recovery yang diberikan selama 20 detik. 6) Interval

Interval adalah waktu istirahat yang diberikan pada saat antar sesi, sirkuit atau antar sesi per unit latihan. Prinsip pemberian waktu recovery selalu lebih singkat dari pada pemberian waktu interval.

7) Repetisi

Repetisi adalah jumlah ulangan yang dilakukan untuk setiap item latihan. Dalam satu sesi latihan biasanya terdapat beberapa item latihan yang harus dilakukan berulang-ulang.

8) Set

Set dan repetisi memiliki pengertian yang sama yaitu pengulangan. Perbedaannya set adalah pengulangan untuk satu jenis item latihan.

9) Seri atau Sirkuit

Seri atau sirkuit adalah ukuran keberhasilan dalam menyelesaikan beberapa rangkaian item latihan yang berbeda-beda. Artinya dalam satu seri terdiri dari beberapa macam latihan yang semuanya harus diselesaikan dalam satu rangkaian.

10) Durasi

Durasi adalah ukuran yang menunjukkan lamanya waktu pemberian rangsangan (lamanya waktu latihan). Tiap satu sesi latihan (tiap satu kali tatap muka).

11) Irama

Irama latihan adalah ukuran yang menunjukkan kecepatan pelaksanaan suatu perangsangan atau pembebanan. Ada tiga macam irama latihan, yaitu: irama cepat, sedang, dan lambat.

12) Frekuensi

Frekuensi adalah jumlah latihan yang dilakukan dalam periode waktu tertentu (dalam satu minggu). Atlet yang berlatih 10 kali setiap

(22)

minggu, dari hari senin-jumat, pagi dan sore, berarti frekuensi latihannya adalah 10 kali.

13) Sesi atau Unit

Sesi atau unit adalah jumlah materi program latihan yang disusun dan yang harus dilakukan dalam satu kali pertemuan (tatap muka).

3. Sistem Energi

Olahraga merupakan serangkaian gerak yang terstruktur dan sistematis serta memiliki tujuan. Dalam aktivitas gerak akan memerlukan energi. Energi adalah sumber utama terjadinya gerak. Semakin tinggi aktivitasnya maka transfer energi juga akan meningkat. Dalam pemenuhan kebutuhan dan penyediaan energi selalu dapat terpenuhi karena dalam tubuh manusia ada cadangan untuk penyediaan energi di dalam otot. Menurut Sukadiyanto ( 2011:35) bahwa dalam keadaan istirahat otot mendapat energi sebesar 2/3 metabolisme aerobik asam lemak dan hanya 1/3 energi yang bersumber dari karbohidrat. Lebih lanjut di jelaskan pada saat beraktivitas sumber energi utamanya berasal dari glikogen otot, glukosa darah, dan asam laktat dalam taraf ambang tertentu (di bawah 4 mmol). Energi yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan makanan tidak dapat secara langsung digunakan untuk proses kontraksi otot atau proses-proses yang lainnya. Energi ini terlebih dahulu diubah menjadi senyawa kimia berenergi tinggi yaitu Adenosine Tri Phosphate (ATP). Energi tersebut dibentuk oleh bahan-bahan pangan penghasil energi (karbohidrat, protein, dan lemak). ATP sendiri di bentuk oleh satu molekul adenosin dan tiga molekul phosphate, dibebaskan dengan merubah ATP bertenaga tinggi menjadi ADP + P (Adenosine diphosphate + Phosphate). Sewaktu satu molekul phosphate dipecah, maka ADP + P dibentuk dari ATP dan energi dilepaskan (Bompa, 1994:28). Walaupu demikian penyediaan ATP harus secara berkesinambungan diganti untuk memudahkan aktivitas fisik secara berkelanjutan yang berdasar pada jenis kegiatan atau aktivitas yang dilakukan. Inti dari semua proses metabolisme energi di dalam tubuh adalah untuk meresintesis molekul ATP dimana prosesnya

(23)

akan dapat berjalan secara aerobik maupun anearobik. Di dalam jaringan otot, hidrolisis 1 mol ATP akan menghasilkan energi sebesar 31 kJ (7.3 kkal) serta akan menghasilkan produk lain berupa ADP (adenosine diphospate) dan Pi (inorganik fosfat).

a. Jenis Sistem Energi

Menurut Sukadiyanto (2011:36), pada dasarnya ada dua macam sistem metabolisme energi yang diperlukan dalam setiap aktivitas gerak manusia yaitu: (1) sistem energi anaerob; dan (2) sistem energi aerobik. Kedua sistem tersebut tidak dapat dipisahkan secara mutlak selama aktivitas kerja otot berlangsung. Oleh karena sistem energi merupakan serangkaian proses pemenuhan kebutuhan tenaga yang secara terus menerus berkesinambungan dan saling silih berganti. Perbedaan di antara kedua sistem energi tersebut adalah pada ada dan tidaknya bantuan oksigen (O2) selama proses pemenuhan kebutuhan energi berlangsung.

Lebih lanjut dijelaskan dalam sistem metabolisme anaerob dibedakan menjadi dua sistem, yaitu: (1) anaerob alaktik; dan (2) anaerob laktik (Sukadiyanto, 2011:37). Menurut MCArdle dkk (1986) dalam Sukadiyanto (2012:37), sistem energi anaerob alaktik adalah sistem ATP – PC dan sistem anaerob laktik adalah sistem glikolisis (asam laktat).

Dalam Bompa (1994:28) dijelaskan bahwa ada tiga sistem energi yaitu: (1) sistem ATP – PC; (2) sistem asam laktat; dan (3) sistem O2 atau oksigen. Kedua sistem pertama mengganti ATP dengan sistem tanpa oksigen dan dikenal sebagai sistem anaerobik sedangkan sistem ketiga menghasilkan ATP melalui bantuan oksigen (O2) atau lebih dikenal dengan sistem aerobik. 1) Sistem ATP – PC

Pada setiap awal kerja otot kebutuhan energi dipenuhi oleh persediaan ATP yang terdapat di dalam sel otot. Karena ATP yang tersimpan di dalam sel otot sangat sedikit sekali, maka kehilangan energi terjadi sangat cepat apabila seseorang memulai latihan fisik yang cukup berat. ATP (Adenoshin Triphosphate) hanya mampu menopang

(24)

kerja selama 5 detik bila tidak ada sistem energi yang lain (Sukadiyanto, 2011:37).

Gambar 1. ATP dipecah menjadi ADP dan P. Energi yang dilepaskan dari hasil pemecahan ATP digunakan untuk kerja biologis.

(Richard W.Bowers 1992 dalam Shadiqin, 2012:23).

Respon dari hal tersebut untuk membuat otot bekerja lebih lama

Creatin Phosphate (CP) atau Phospho Creatin (PC) yang tersimpan di

dalam otot dipecah menjadi creatin dan phosphate. Proses ini akan menghasilkan energi yang akan meresintesis ADP + P menjadi ATP dan selanjutnya akan dirubah sekali lagi menjadi ADP + P yang menyebabkan terjadinya pelepasan energi yang dibutukan untuk kontraksi otot. Perubahan CP menjadi C + P tidak menghasilkan energi yang dapat dipakai langsung untuk kontraksi otot, melainkan digunakan untuk meresintesis ADP + P menjadi ATP. Menurut Sukadiyanto (2011:37) bahwa di dalam seluruh otot menyimpan ATP dan PC dalam jumlah sedikit secara kolektif yang disebut dengan phosphagen yang akan memperpanjang kerja otot kira-kira sampai dengan 10 detik. Jumlah ATP – PC di dalam otot perempuan sebesar 0.3 mol dan untuk otot laki – laki sebesar 0.6 mol (Bowers dan Fox, 1992 dalam Sukadiyanto, 2011:37). Dalam olahraga pasokan energi utama ATP-PC sangat penting pada saat sprint (100 m), lompat dan berbagai keterampilan dengan waktu dalam hitungan detik.

(25)

Gambar 2. Sintesis ATP yang berasal dari PC di sel otot. (Richard W.Bowers, 1992 dalam Shadiqin, 2012:25).

2) Sistem Asam Laktat

Sistem asam laktat ini disebut juga dengan istilah glikolisis anaerobik (anaerobic glycolysis) yang berarti penguraian glikogen tanpa oksigen. Dalam beberapa referensi dijelaskan juga bahwa glikolisis anaerobik berarti metabolisme karbohidrat yang tidak sempurna. Oleh karena dalam proses ini menghasilkan produk samping berupa asam laktat (lactic acid) maka disebut juga sistem asam laktat. Secara umum produk akhir dari karbohidrat yang dikonsumsi dalam saluran pencernaan hampir seluruhnya dalam bentuk glukosa, fruktosa, dan galaktosa dengan glukosa yang mewakili rata – rata sekitar 80 persen dari produk akhir tersebut (Guyton dan Hall, 2014:878). Setelah absorpsi dari saluran pencernaan banyak fruktosa dan hampir semua galaktosa diubah secara cepat menjadi glukosa dalam hati. Glukosa kemudian menjadi jalur umum akhir untuk mentranspor hampir semua karbohidrat ke sel jaringan.

Menurut Guyton dan Hall (2014:880) bahwa cara terpenting untuk melepaskan energi dari molekul glukosa dimulai dengan proses glikolisis. Produk akhir glikolisis selanjutnya dioksidasi untuk menghasilkan energi. Glikolisis berarti memecah molekul glukosa untuk membentuk dua molekul asam piruvat. Glikolisis terjadi melalui 10

(26)

reaksi kimia yang berurutan seperti yang ditunjukkan pada gambar. Masing-masing langkah dikatalisis oleh enzim-enzim yang spesifik.

Gambar 3. Urutan reaksi kimia yang bertanggung jawab pada glikolisis. (Guyton dan Hall, 2014:880)

Oleh karena dalam proses glikolisis anaerobik pemenuhan oksigen tidak cukup atau tidak tersedia maka asam piruvat akan diubah menjadi asam laktat. Proses ini juga dikatakan sangat mubazir untuk glukosa sebab hanya menghasilkan 2 ATP.

Hukum kerja massa (the law of massa action) menyatakan bahwa sewaktu terbentuk dua hasil akhir reaksi kimia dalam medium reaksi, maka kecepatan reaksi akan menurun yang mendekati nol (Guyton dan Hall, 2014:884). Dua hasil akhir dari reaksi glikolisis adalah asam piruvat dan atom hidrogen yang dikombinasikan dengan NAD+ untuk membentuk NADH dan H+. Menurut Guyton dan Hall (2014:884) hasil pembentukan salah satu atau keduanya akan menghentikan proses glikolisis dan mencegah pembentukan ATP lebih lanjut. Bila jumlah

(27)

keduanya mulai berlebihan, kedua hasil akhir ini akan bereaksi satu sama lain untuk membentuk asam laktat. Asam laktat yang terakumulasi sangat tinggi dalam darah dan otot dapat menyebabkan kelelahan otot. Hal ini terjadi karena oksigen tidak mencukupi lagi (insufficient) dalam memenuhi kebutuhan oksigen dalam sirkulasi. Reaksi ganda pada sistem ini dapat dituliskan sebagai berikut:

a) (C6H12O6) n 2 C3H6O3 + Energi (glycogen) (lactic acid) b) Energi + 2 Pi + 2ADP 2 ATP

Gambar 4. Glikolisis anaerobik (anaerobic glycolysis) dalam sel otot. (Brown & Benchmark, 1993 dalam Shadiqin, 2012:26).

Seperti halnya sistem fosfagen, glikolisis anaerobik merupakan faktor sangat penting dalam aktivitas olahraga terutama dalam fungsinya memberikan energi (ATP) secara cepat. Menurut Sukadiyanto (2011:38), sistem glikolisis anaerob akan mampu memperpanjang kerja selama kira-kira sampai dengan 120 detik. Sebagai contoh: aktivitas olahraga seperti lari 400 m, 800 m energi yang digunakan tergantung pada sistem ini. Demikian juga saat menjelang akhir pada lomba lari 1.500 m, sistem ini berperan untuk kinerja maksimal sampai melewati garis finish.

Kelelahan yang diderita akibat penumpukan asam laktat bukan merupakan petaka bagi atlet sebab asam laktat merupakan sumber

(28)

energi kimia yang sangat bermanfaat. Jika oksigen sudah cukup kembali (melalui pertukaran gas) seperti pada saat pulih asal (recovery) atau pada saat intensitas latihan diturunkan atau dikurangi, maka hidrogen akan terikat ke asam laktat dan diangkut oleh NAD+ selanjutnya terjadilah oksidasi. Akibat dari mekanisme oksidasi ini maka asam laktat akan dikonversi menjadi asam piruvat dan dipergunakan sebagai sumber energi.

3) Sistem Aerobik

Aerobik berarti ada bantuan oksigen, sehingga metabolisme aerobik adalah menyangkut serentetan reaksi kimiawi yang memerlukan bantuan adanya oksigen (Sukadiyanto, 2012:39). Oksigen (O2) diperoleh melalui sistem pernapasan. Oksigen (O2) yang masuk melalui sistem pernapasan digunakan untuk membantu memecah glikogen dan karbohidrat (Bowers dan fox et al, 1992 dalam Sukadiyanto, 2011:39). Rangkaian reaksi pada sistem ini berlangsung di dalam mitokondria.

Ada tiga rangkaian reaksi utama dalam sistem aerobik yaitu: (1) Glikolisis aerobik; (2) siklus Krebs; dan (3) Sistem Transport Elektron (STE) (Shadiqin, 2012:27).

a) Glikolisis Aerobik

Dengan hadirnya oksigen berarti glikogen akan diurai secara sempurna. Perbedaan antara glikolisis anaerobik dan glikolisis aerobik terletak pada pembentukan asam laktat. Pada glikolisis aerobik asam piruvat tidak akan terkonvensi menjadi asam laktat karena hadirnya oksigen. Hal ini dikarenakan oleh adanya degradasi komplit dari glukosa menjadi CO2 dan H2O melalui proses oksidasi dalam Siklus Krebs dan Sistem Transport Elektron (STE). Dua asam piruvat yang terbentuk dari 1 mol glukosa selanjutnya akan masuk dalam siklus krebs.

(29)

b) Siklus Krebs

Dua molekul asam piruvat yang terbentuk dalam proses glikolisis aerobik akan dikonversi menjadi dua molekul asetil

koenzim A (asetil-KoA). Pada tahap awal asetil-KoA bergabung

dengan asam oksaloasetat untuk membentuk asam sitrat, itulah mengapa siklus krebs disebut juga siklus asam sitrat. Proses perubahan dari asam piruvat menjadi asetil-KoA ini akan berjalan dengan ketersediaan oksigen serta akan menghasilkan produk samping berupa NADH yang juga dapat menghasilkan 2-3 molekul ATP (Irawan, 2007:5). Untuk memenuhi kebutuhan energi bagi sel-sel tubuh, asetil – KoA hasil konversi asam piruvat ini kemudian masuk ke dalam siklus asam sitrat untuk kemudian diubah menjadi karbon dioksida, ATP, NADH, dan FADH2 melalui tahapan reaksi yang kompleks. Setelah melewati berbagai tahapan proses reaksi di dalam siklus asam sitrat, metabolisme energi dari glukosa kemudian akan dilanjutkan kembali melalui proses reaksi yang disebut sebagai proses fosforilasi oksidatif. Dalam proses ini molekul NADH dan juga FADH yang dihasilkan dalam siklus asam sitrat akan diubah menjadi molekul ATP dan H2O. Dari 1 molekul NADH akan dapat dihasilkan 3 buah molekul ATP dan dari 1 buah molekul FADH2 akan dapat menghasilkan 2 buah molekul ATP. Proses metabolisme energi secara aerobik melalui pembakaran glukosa/glikogen secara total menghasilkan 36 buah molekul ATP dan juga akan menghasilkan produk samping berupa karbon dioksida dan air (Irawan, 2007:5).

c) Sistem Transport Elektron (STE)

Kelanjutan dari penguraian glikogen, produk akhir (H20) terbentuk dari ion hidrogen dan elektron yang telah dihilangkan di dalam siklus krebs serta oksigen yang kita hirup. Rangkaian spesifik atas berbagai reaksi dimana H20 terbentuk disebut sistem

(30)

transport elektron atau rantai respiratori. Intinya, apa yang terjadi di dalam sistem transport elektron adalah bahwa ion hidrogen dan elektron "ditransport" menuju oksigen oleh "pengangkut elektron" melalui serangkaian reaksi enzymatic, yang mana produk ahkirnya adalah air (Shadiqin, 2012:28). Dengan kata lain:

4H+ + 4e- + O2 2H2O

Dimana 4 ion hidrogen (4H+) ditambah 4 elektron (4e-) ditambah 1 mol oksigen (O2) menghasilkan 2 mol air (2H20). Ketika elektron melewati rantai respirasi, energi akan dilepaskan dan ATP akan di-resintesis melalui reaksi berpasangan. Untuk setiap pasang elektron (2e-) yang melewati rantai tersebut, sejumlah energi dilepaskan untuk resintesis sekitar 2 mol ATP.

Keseluruhannya 12 pasang elektron dihilangkan dari penguraian glikogen dan oleh karena itu 36 mol ATP dapat dibentuk. Maka selama metabolisme aerobik kebanyakan dari total 38 mol ATP di-resintesis di dalam sistem transport elektron bersamaan dengan terbentuknya air.

b. Sistem Energi Predominan dalam Olahraga

Pada dasarnya setiap aktivitas olahraga tidak menggunakan salah satu sistem saja, yaitu aerobik atau anaerobik, melainkan menggunakan keduanya dengan proporsi yang berbeda-beda atau dikenal dengan sistem energi predominan dalam olahraga. Istilah predominan sistem energi ini dipakai sehubungan dengan pemakaian energi selama penampilan. Kalau seseorang dalam penampilannya baik sesaat ataupun lama relatif memakai energi aerobik maka dikatakan memakai predominan energi aerobik. Tujuan dari predominan sistem energi ini ialah mencari metode melatih yang paling baik. Menurut Sukadiyanto (2011:41) menjelaskan bahwa setiap cabang olahraga memiliki karakteristik kebutuhan kebugaran otot dan kebugaran energi yang berbeda-beda dimana perbedaan kebutuhan predominan sumber energi

(31)

tersebut berpengaruh terhadap penyususnan program, penentu sasaran, dan pemilihan metode latihan. Berikut cabang olahraga dan perkiraan predominan sumber energi yang digunakan:

Tabel 4. Prediksi Predominan Sumber Energi Cabang Olahraga

Cabang Olahraga Predominan Sistem Energi

ATP-PC-LA LA-O2 O2

Baseball 80 20 -

Bolabasket 85 15 -

Anggar 90 10 -

Hoki Lapangan 60 20 20

Football (sepakbola ala Amerika 90 10 -

Golf 95 5 -

Senam 90 10 -

Hoki Es : Pemain depan dan belakang 80 20 -

Penjaga Gawang 95 5 -

Olahraga Rekreatif 5 5 90

Dayung 20 30 50

Sepakbola : keeper, pemain sayap, penyerang 80 20 - Pemain belakang dan gelandang 60 20 20

Softball 80 20 -

Renang dan Loncat Indah -

50 m gaya bebas dan indah 98 2 -

100 m semua gaya, 100 yd 80 15 5

200 m semua gaya, 220 yd 30 65 5

400 m semua gaya, 440 yd, 500 yd 20 55 25 Gaya bebas 1500 m, 1.650 yd 10 20 70

Tenis lapangan 70 20 10

Atletik : sprint 100 m, 100 yd ; 200 m, 220 yd 95 5 - Nomor lompat, loncat, lempar, tolak 98 2 -

400 m, 440 yd 80 15 5

800 m, 880 yd 30 65 5

1.500 m, 1 mile 15 55 30

2 mile 15 20 65

3 mil, 5.000 m 10 20 70

6 mile (lari lintas alam), 10.000 m 5 15 80

Marathon - 2 98

Bolavoli 85 10 5

Gulat 90 10 -

Ski : slalom, jumping, turunn bukit 90 20 -

Sky lintas alam - 5 95

(32)

4. Recovery (Pemulihan)

Ketika kita melakukan program latihan fisik yang berat, hal yang perlu diperhatikan selain terus menerus menggenjot latihan fisik adalah fase recovery (pemulihan) bagi atlet. Salah satu faktor peningkatan prestasi seorang atlet adalah penyediaan recovery yang memadai sehingga efek latihan dapat dimaksimalkan.

Recovery atau pemulihan adalah proses pemulihan otot dan bagian tubuh lainnya

ke kondisi sebelum latihan fisik. Selama pemulihan (termasuk pengisisan cadangan energi yang terkuras dan penggusuran/perubahan asam laktat yang terkumpul selama latihan fisik) memerlukan energi berupa ATP. Hal yang kadang tidak diketahui adalah pendapat bahwa dengan terus menerus menggenjot fisik tanpa memperhitungkan istirahat dengan tujuan untuk mendapat kualitas fisik yang tinggi adalah hal yang salah besar. Tubuh manusia itu memiliki batas kemampuan maksimal dan membutuhkan waktu untuk beristirahat selain untuk mengembalikan kekuatan otot, juga untuk meregenerasi otot-otot yang telah dirusak selama latihan sehingga terbentuk otot baru yang memiliki kualitas yang lebih bagus dari sebelumnya.

Dalam pelatihan tanpa adanya recovery yang memadai tidak akan memberikan manfaat apapun bagi atlet, atlet hanya diajarkan untuk mengatasi kelelahan dibandingkan meningkatkan aspek kemampuan tertentu (Rushall dan Pyke, 1992:60). Berlatih merupakan kewajiban bagi seorang atlet, setidaknya dua kali sehari. Menurut Bompa (1994:138), pada umumnya atlet membutuhkan 2-3 kali latihan setiap harinya. Rutinitas ini berdampak kepada atlet baik fisiologis maupun psikologis. Disini dituntut suatu pengaturan keseimbangan antara latihan, gaya hidup, dan istirahat dari seorang atlet. Faktor pemulihan sangat penting terhadap keberhasilan atlet. Karena pemulihan berkaitan dengan pembentukan cadangan energi dan kesegaran otot untuk menghadapi suatu latihan atau pertandingan berikutnya. Jika antara pelatihan dengan recovery tidak memadai maka akan terjadi penumpukan kelelahan. Hal ini menyebabkan proses adaptasi terhadap latihan akan tertunda, penurunan penampilan, dan peningkatan resiko cedera dan penyakit (Rushall dan Pyke, 1992:61). Manfaat dari pelatihan

(33)

dan kompetisi tidak tercapai kecuali pelatih menekankan proses pemulihan dengan penekanan yang sama dengan proses pelatihan dan kompetisi.

a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Recovery

Proses recovery adalah proses yang multidimensional serta tergantung dari berbagai faktor, diantaranya: (1) umur; (2) pengalaman; (3) derajat latihan; (4) jenis kelamin; dan (5) cuaca (Bompa 1994:41).

1) Umur berpengaruh terhadap kecepatan recovery. Atlet yang lebih muda (18-22 tahun) membutuhkan sedikit waktu untuk pemulihan setelah latihan yang intensif atau pertandingan karena memiliki cadangan biologis yang lebih banyak.

2) Pengalaman memainkan peranan yang penting, semakin berpengalaman seorang atlet semakin dapat menyesuaikan dan mengatur lebih cepat terhadap rangsangan yang diberikan. Seperti atlet yang memiliki dasar pengalaman latihan yang lama dan kuat dapat menanggulangi tekanan dengan lebih baik, artinya memiliki kemampuan recovery yang lebih efektif.

3) Derajat latihan bentuk olahraga mempengaruhi percepatan recovery. Seorang atlet yang berada pada status latihan yang tinggi, memiliki reaksi fungsional yang kurang dramatis terhadap rangsangan latihan yang diberikan. Konsekuensinya atlet memerlukan sedikit waktu untuk menyesuaikan.

4) Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi kapasitas recovery. Atlet perempuan cenderung memiliki kecepatan recovery yang lebih lambat dibandingkan dengan laki-laki, khususnya setelah latihan yang intensif. Ini terutama disebabkan adanya perbedaan sistem vegetatif endokrin. 5) Faktor cuaca, ketinggian tempat berlatih dan perbedaan waktu latihan

(34)

Demeter (1972 dalam Bompa 1994:42) juga menyebutkan bahwa

recovery fisiologis tergantung beberpa faktor, yaitu:

1) Kecepatan penggantian zat-zat tenaga pada tingkat sel (sintesis ATP-PC).

2) Pencapaian homeostatis atau sistem biologis yang normal dan fungsi tubuh utama (sirkulasi, respirasi, endokrin, dan sistem syaraf).

3) Keterbatasan produk metabolisme.

Dinamika recovery tidak membentuk suatu kurva yang linear, melainkan suatu kurva yang secara cepat turun pada sepertiga pertama (70%) dan semakin berkurang drastis selama sepertiga kedua (20%) dan sepertiga ketiga (10%) (Florescu et al, 1969 dalam Bompa, 1994:142). Pengembangan teknik recovery pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan adaptasi atlet terhadap stress fisik maupun mental baik pada fase kompetisi maupun latihan (Murray, 2007. Rajan et al, 2011 dalam Alim

et al, 2012:2). Loading – recovery merupakan titik kunci dari proses latihan.

Selain istirahat murni dengan pemuliahan pasif, beberapa strategi dan metode telah diusulkan bagi olahragawan untuk meningkatkan pemulihan fungsi otot setelah latihan maupun kompetisi. Optimalisasi masa recovery sejalan dengan kajian teoritik yang menyatakan bahwa pengkondisian fisiologis atlet tidak hanya dilakukan pada masa latihan tapi juga pada masa

recovery latihan, masa pertandingan, dan masa recovery antara pertandingan.

Optimalisasi teknik recovery penting untuk dilakukan mengingat kualitas

recovery yang baik dapat menurunkan kelelahan baik secara obyektif (indeks

kelelahan ) maupun subyektif (rating of perceived exertion), meningkatkan adaptasi fisiologis tubuh terhadap latihan fisik serta mengurangi resiko cedera (Depont et al, 2004 dalam Parwata, 2015:9). Pada akhirnya, tantangan kurang optimalnya masa recovery pada saat pertandingan harus dijawab dengan menemukan formulasi strategi recovery yang paling optimal. Pelatihan yang efektif memerlukan penanganan yang terus menerus,

(35)

makna yang permanen dari recovery. Recovery mempercepat proses.

Recovery setelah latihan dan pertandingan untuk mempertahankan kondisi

fisik dan psikologis dalam status tertinggi. Maka recovery harus mengikuti kaidah – kaidah sebagai berikut:

1) Pertukaran yang rasional antara kerja dengan fase regenerasi. 2) Berusaha untuk dapat membatasi tekanan sosial.

3) Membuat suasana kelompok yang menyenangkan. Percaya serta penuh suasana optimis dari para pemain.

4) Diet yang rasional dan bervariasi sesuai dengan cabang olahraga dan fase latihan.

5) Pemantauan yang terus menerus terhadap kondisi kesehatan atlet. b. Proses Recovery

Proses recovery adalah proses multidimensi yang tergantung pada faktor intrinsik dan ekstrinsik. Dalam latihan atau masa pertandingan faktor pemulihan memegang peranan yang sangat penting. Dalam hal pengisian atau pemulihan energi memerlukan waktu. Waktu mutlak untuk pemulihan tergantung pada individu, tingkat kelelahan yang timbul, dan sistem energi yang terlibat (Rushall dan Pyke, 1992:61). Pemulihan atau recovery adalah mengembalikan kondisi tubuh untuk siap melakukan suatu aktivitas berikutnya.

Dalam proses recovery kita perlu membahas utang oksigen atau dikenal dengan istilah oxygen debt. Tubuh normalnya mengandung kira-kira 2 L oksigen cadangan yang dapat digunakan untuk metabolisme meskipun tanpa menghirup oksigen baru. Cadangan oksigen terdiri atas: (1) 0,5 L dalam udara paru-paru; (2) 0,25 L larut dalam cairan tubuh; (3) 1 L berikatan dengan hemoglobin darah; dan (4) 0,3 L tersimpan dalam serat otot, berikatan terutama dengan mioglobin, suatu bahan kimia pengikat oksigen yang serupa dengan hemoglobin (Guyton dan Hall, 2014:1120). Pada kerja fisik yang berat, hampir semua cadangan oksigen ini digunakan. Setelah kerja fisik selesai, cadangan oksigen ini harus dilengkapi kembali dengan

(36)

menghirup sejumlah tambahan oksigen melebihi kebutuhan normal. Disamping itu, sekitar 9 L oksigen lagi harus dikonsumsi untuk memenuhi penyusunan kembali sistem fosfagen maupun asam laktat. Semua tambahan oksigen ini harus dibayar kembali kira-kira 11 L yang disebut dengan utang oksigen atau oksigen debt.

1) Pemulihan Cadangan Energi

Ada dua cadangan energi yang berkurang atau habis pada saat latihan yaitu: ATP dan PC (adenosine triphosphate dan phosphocreatine) yang disimpan dalam sel otot dan glikogen yang tersimpan dalam otot maupun hati (Soekarman, 1989:39). Dalam hal ini lemak juga berkurang, tetapi tidak dimasukkan dalam proses recovery oleh karena lemak tidak diganti secara langsung pada waktu proses

recovery tetapi dibangun kembali secara tidak langsung melalui

pengisian kembali karbohidrat (glikogen dan glukosa). Sebagaian besar ATP dan PC yang dikuras dari otot sewaktu melakukan latihan fisik dapat dipulihkan dengan cepat dalam waktu beberapa menit setelah latihan dilakukan. Menurut Soekarman (1989:39), ATP dan PC di dalam otot dalam waktu 2-3 menit sudah dapat diganti pada waktu recovery. Untuk penggantian fosfagen (ATP dan PC) diperlukan ATP yang terbentuk dari oksidasi makanan dengan bantuan oksigen melalui sistem aerobik. Untuk restorasi PC diperlukan ATP yang akan mengubah kreatin menjadi fosfokreatin. Jadi yang mengalami penggantian terlebih dulu ialah persediaan ATP dalam otot. Lebih banyak fosfagen yang digunakan dalam latihan, lebih besar pula oksigen yang dibutuhkan untuk menggantinya. Dibutuhkan oksigen sebesar 3,45 liter untuk membentuk 1 mol ATP (Soekarman, 1989:39). Besarnya oksigen yang dibutuhkan dalam recovery dapat digunakan untuk menafsir kapasitas fosfagen dari atlet. Pada orang yang tidak terlatih untuk membentuk 1 mol ATP diperlukan waktu 10-15 menit sedangkan pada orang terlatih membutuhkan waktu sekitar 1 menit (Soekarman, 1989:40).

(37)

2) Resintesis Glikogen

Resintesis glikogen memerlukan waktu lebih lama sampai beberapa hari. Hal ini juga tergantung pada bentuk latihan yang dikerjakan. Menurut Soekarman (1989:40), olahraga yang menyebabkan berkurangnya kadar glikogen adalah:

a) Olahraga jangka lama dengan intensitas kecil seperti lari marathon. b) Olahraga yang berkala (intermitten) seperti tinju, badminton, dan

lain-lain.

Penggantian glikogen pada olahraga jangka lama dalam proses

recovery akan terlihat bahwa:

a) Dalam waktu 1-2 jam hanya sebagian kecil saja glikogen yang diganti.

b) Resintesis glikogen memerlukan waktu 2 hari.

c) Tanpa diet yang kaya karbohidrat hanya sebagian saja glikogen yang diganti meskipun 5 hari setelah sesi latihan.

d) Dengan diet kaya karbohidrat penggantian glikogen mencapai 60% dalam waktu 5 jam dan setelah itu dalam waktu 46 jam.

(Soekarman, 1989:40).

Penggantian glikogen pada latihan berat untuk jangka waktu pendek dan berkala (intermitten) terlihat bahwa:

a) Sejumlah glikogen otot telah diresintesis dalam waktu 30 menit sampai 2 jam tanpa makan.

b) Resintesis menyeluruh tidak membutuhkan hidrat arang lebih besar dari normal.

c) Resintesis menyeluruh memakan waktu 24 jam.

Pada olahraga kontinyu pengurangan persediaan glikogen lebih besar bila dibandingkan dengan olahraga berkala. Pada olahraga kontinyu yang bekerja adalah otot-otot lambat (slow twitch fibers)

(38)

sedangkan pada olahraga berat berkala yang bekerja adalah otot-otot cepat (fast twitch fibers). Sintesis glikogen dalam otot cepat memang lebih cepat dibandingkan dengan otot lambat. Kadar glikogen dapat ditingkatkan pada waktu latihan dan diet dan sintesis juga dapat dipercepat.

3) Removing Lactic Acid

Semakin tinggi intensitas latihan maka semakin bertambah pula kadar asam laktat dalam otot maupun darah. Dalam keadaan istirahat pun selalu didapatkan asam laktat dalam darah dan kadar ini akan bertambah pada saat latihan. Karena asam laktat juga merupakan penyebab timbulnya kelelahan maka sedapat mungkin kadar asam laktat dikembalikan ke keadaan sebelum latihan atau pertandingan. Dalam waktu recovery inilah terjadi perubahan asam laktat agar tingkat keasaman kembali ke keadaan semula atau pada keadaan normal.

a) Oksidasi asam laktat

Asam laktat dapat digunakan sebagai sumber energi dengan kehadiran oksigen. Metabolisme dengan jalan aerobik akan mengubah asam laktat menjadi asam piruvat yang kemudian akan masuk ke dalam siklus krebs sehingga dihasilkan H2O, C02, dan ATP (Soekarman, 1989:40). Dengan demikian, sejumlah besar asam laktat yang terbentuk selama proses anaerobik atau selama sesi latihan dengan intensitas tinggi tidak hilang dari tubuh. Karena begitu oksigen tersedia kembali, asam laktat dapat diubah lagi menjadi glukosa atau langsung dapat dipakai sebagai sumber energi. Sejauh ini sebagian besar dari proses pengubahan kembali ini terjadi di hati, tetapi sejumlah kecil dapat juga terjadi di dalam jaringan lainnya (Guyton dan Hall, 2014:885). Lebih lanjut Guyton dan Hall (2014:885) menjelaskan bahwa otot jantung mampu mengubah asam laktat menjadi asam piruvat dan kemudian

(39)

menggunakan asam piruvat sebagai sumber energi. Hal ini terjadi lebih hebat pada aktivitas berat.

b) Pembentukan glukosa dan glikogen dari asam laktat

Pembentukan glikogen dalam hati maupun otot itu berjalan perlahan dibandingkan dengan penurunan kadar asam laktat (Soekarman, 1989:41).

c) Pembuangan asam laktat lewat keringan dan urin

Hanya sedikit saja jumlah asam laktat yang dibuang melalui keringat maupun urine (Soekarman, 1989:41).

4) Restorasi Oksigen dalam Otot

Oksigen sebagai cadangan terdapat dalam otot, berikatan antara oksigen dan mioglobin. Menurut Soekarman (1989:43), cadangan ini sangat kecil yaitu sebesar 11,2 cc/kg otot. Tetapi cadangan ini sangat penting dalam latihan.

Table 5. Perkiraan Waktu Recovery

Proses Recovery Waktu Recovery

Minimum Maksimum Cadangan Fosfagen 3 menit 5 menit Cadangan Glikogen otot

5 jam (setelah latihan intermitten) 10 jam (setelah latihan kontinu) 24 jam 46 jam Cadangan

Glikogen hati Tidak diketahui 24 jam Pengangkutan Asam Laktat 30 menit (recovery kerja) 1 jam (recovery istirahat) 1 jam 2 jam Cadangan O2 10 – 15 detik (Soekarman, 1989:43).

(40)

c. Metode Recovery

Beban latihan hari ini yang begitu sangat ”menuntut” menyebabkan

recovery “alami” saja tidak bisa lagi memberikan pemulihan yang memadai.

Seorang atlet menjalani latihan yang keras melebihi batas-batas kemampuan fisiologi dan psikologis mereka. Di samping itu atlet mendapatkan tekanan baik secara professional dan dari lingkunggan sekitarnya, menjadikan tekanan yang kompleks dan mengarah menjadi stress. Atlet harus dapat untuk cepat bisa beradaptasi dengan program pelatihan yang sedang dilaksanakan atau program yang sedang diprogramkan. Dari aktivitas kerja maupun aktivitas berolahraga. Dengan pembebanan yang maksimal dalam jangka waktu yang lama, maka otot-otot tubuh pada titik tertentu tidak bisa merespon atau otot tidak mampu berkontraksi, otot mengalami kelelahan saat program pelatihan.

Ini adalah bagian dari pengetahuan pelatihan modern yang memerlukan suatu formulasi tertentu untuk mempercepat pemulihan. Percepatan recovery memungkinkan terjadinya lebih sering rangsangan dan tekanan dari pelatihan. Peningkatan volume dalam pelatihan berkualitas telah efektif dalam menghasilkan tingkat penampilan yang tinggi.

1) Active Recovery

Aktive recovery atau pemulihan aktif adalah cara dalam recovery

dan regenerasi. Mengacu kepada kecepatan menghilangkan kelelahan pada otot, dapat meningkatkan kecepatan recovery dan selanjutnya terhadap kapasitas kerja apabila selama istirahat otot yang lain melakukan kegiatan daripada tidak aktif (pasif) (Bompa, 1994:144). Pemulihan aktif adalah suatu metode pemulihan yang mengacu pada kecepatan menghilangkan kadar asam laktat. Aktivitas yang dilakukan secara umum berupa latihan aerobik ringan. Intensitas latihan aerobik Selama pemulihan aktif tidak lebih dari 60% dari denyut nadi maksimal. Aktivitas seperti jogging ringan akan menurunkan akumulasi asam laktat 62% dalam 10 menit pertama dan akan bertambah 26% pada

Gambar

Gambar  1.  ATP  dipecah  menjadi  ADP  dan  P.  Energi  yang  dilepaskan  dari hasil pemecahan ATP digunakan untuk kerja biologis
Gambar 2. Sintesis ATP yang berasal dari PC di sel otot.
Gambar 3. Urutan reaksi kimia yang bertanggung jawab pada glikolisis.
Gambar 4. Glikolisis anaerobik (anaerobic glycolysis) dalam sel otot.

Referensi

Dokumen terkait

Informan 100 berpendapat bahwa ia merasa percaya diri dengan merek telepon selulernya sekarang karena merek telepon selulernya banyak dimiliki orang, hanya saja fiturnya

Hasil analisis data terhadap validasi dan uji coba produk dapat disimpulkan bahwa produk instrumen layak digunakan sebagai pengukuran kemampuan penalaran

Sejauh ini, kita telah banyak membicarakan tentang cara – cara mengefisienkan waktu dan uang kita untuk membangun saluran – saluran pipa yang amat menguntungkan.

Halaman broken link dimodifikasi (cek dengan mengetik http://kemkes.go.id/error) agar menampilkan pemberitahuan kepada pengunjung kesalahan mereka sekaligus disediakan

Penatalaksanaan demam pada pasien sakit kritis dibutuhkan untuk meminimalkan stres metabolik dan meningkatkan oksigenasi jaringan. Penelitian ini bertujuan membandingkan pengaruh

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan

Penegakan s Penegakan sanksi anksi pidana pidana pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan pada pasal 157 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang paling efektif adalah dengan menggunakan perangkap Persegi dengan ketinggian 10 cm (P1T1) pada pengamatan 7