• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT DESA LUMBAN BARAT,

2.2 Masyarakat Batak Toba di Desa Lumban Barat

2.2.4 Sistem Kekerabatan

Pada saat wawancara dengan partaganing perempuan Hari Anita Nainggolan, beliau menggunakan bahasa Batak Toba dan juga bahasa Indonesia karena beliau mengerti kedua bahasa tersebut. Hal itu memudahkan penulis untuk berkomunikasi dengan beliau, serta apabila hasil wawancara akan dipindahkan ke dalam tulisan dalam proses kerja laboratorium, pengerjaanya akan lebih mudah.

2.2.3 Sistem Kepercayaan

Sebagian besar masyarakat Lumban Barat menganut Agama Kristen. Tetapi ada juga sebagian kecil masyarakat menganut Agama Islam. Sistem kepercayaan dengan debata mula jadi na bolon15 sudah tidak ditemukan lagi pengikutnya di desa tersebut, tetapi dulu kepercayaan yang dianut masyarakat batak toba adalah kepercayaan terhadap mula jadi na bolon yang dipercayai oleh orang batak sebagai dewa tertinggi mereka yaitu pencipta tiga dunia yaitu: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga), dan dunia bawah (banua toru).

2.2.4 Sistem Kekerabatan

2.2.4.1 Dalihan Na Tolu

Kebudayaan pada masyarakat Batak Toba berakar pada sistem kekerabatan patrilineal16 dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut dalihan na tolu, yaitu hubungan yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu clan (marga). Dalam berhubungan dengan orang lain, orang

15

Debata Mula Jadi Na Bolon dipercaya memiliki kekuasaan di atas langit yang menyangkut jiwa dan

roh yaitu: tondi, sahala dan begu. Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan. Oleh karena itu tondi memberikan nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka untuk itu diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon (roh jahat) yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi tetapi tidak semua orang memiliki sahala.

Sahala sama dengan kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal

yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

16

22

Batak menempatkan dirinya dalam susunan dalihan na tolu tersebut, sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan diantara sesamanya (martutur, martarombo17).

Dalam terjemahan bahasa Batak Toba, dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu. Na artinya yang. Tolu artinya tiga. Jadi Dalihan Na Tolu artinya tungku yang tiga tiang. Dalihan dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi bulat panjang. Ujungnya yang satu tumpul dan ujungnya yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, lebih kurang 10 cm yang akan ditanam dan selebihnya yang mencuat dengan panjang lebih kurang 12 cm. Ditanamkan berdekatan sedemikian rupa, ditempatkan di dapur yang sudah disediakan terbuat dari papan empat persegi panjang, berisi tanah yang dikeraskan. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan tadi berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Bentuk dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama yang lain, dengan tinggi yang sama dan harmonis.

Gambar 2.1. Dalihan Na Tolu

17

Martutur ataupun martarombo bisa diartikan sebagai interaksi antar sesama masyarakat Batak Toba yang gunanya untuk mengetahui hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga ketika sudah mengetahui hubungan kekerabatan, mereka secara langsung dapat memanggil sebutan yang sesuai dengan hubungan kekerabatan mereka. Misalnya, ito (sebutan antara laki-laki dan perempuan yang satu marga), pariban (sebutan untuk anak laki-laki dari adik perempuannya ayah), dll.

23

Demikian juga dengan keadaan kekerabatan suku Batak dan pandangan hidupnya, bahwa dongan sabutuha, hula-hula dan boru masing-masing memiliki pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan tanggung jawab di kedudukannya pada suatu saat. Setiap hula-hula hendaklah elek marboru, maksudnya agar hula-hula selalu dalam sikap membujuk sayang terhadap boru, karena dalam adat Batak, boru lah sebagai penanggung jawab kegiatan. Setiap boru hendaklah somba marhula-hula, maksudnya ialah agar boru hendaklah bersikap hormat terhadap hula-hula. Suhut dengan kawan semarganya na marsabutuha hendaklah bersikap manat mardongan tubu, maksudnya agar sesama semarga hendaklah bersikap prihatin, was-was dan hati-hati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itupula lah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya. Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.

2.2.4.2 Kedudukan Perempuan dalam Kebudayaan Batak Toba

Peta genealogis dan sejarah orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki. Anak perempuan dan istri tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal, laki-laki dan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan (marga) mereka. Laki-laki sejak kecil sudah disadarkan

24

bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya. Kendati demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut, posisi perempuan dalam kekerabatan adalah ambigu atau tidak jelas, karena meskipun berhubungan dengan keduanya, tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut.

Konsep kebudayaan Batak Toba mengenai anak mengacu hanya kepada laki-laki, dan bukan perempuan. Oleh karena itu, hanya laki-laki yang mempunyai hak waris tanah, dan perempuan tidak mempunyai hak semacam itu. Perempuan juga memang dianggap patut untuk meminta sebidang tanah kepada ayah atau saudara laki-lakinya, tetapi hal tersebut terjadi pada waktu tertentu misalnya ketika peristiwa yang sangat khusus yaitu perkawinan (pauseang18) atau meminta untuk anak laki-lakinya (indahan arian19).

Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan Batak Toba merupakan orang yang mandiri dan pekerja keras. Perempuan Batak mempunyai peran ganda bahwa selain sebagai ibu rumah tangga, ia juga harus bekerja keras untuk masa depan keluarganya dan mengabdi kepada masyarakat. Oleh sebab itu, perempuan dalam kebudayaan Batak Toba juga mempunyai peran untuk mewujudkan hamoraon,

hagabeon, dan hasangapon. Seperti yang dikemukakan oleh Brunette R Wolfman

(1989: 36), bahwa kaum wanita tidak hanya giat melaksanakan banyak tanggung jawab dan menghayati kehidupan penuh kegiatan, tetapi juga melakukan tugas-tugas itu demi kepentingan masyarakat. Mereka berasal dari kalangan keluarga

18

Akses perempuan kepada tanah secara tradisional adalah melalui pauseang, yaitu pemberian atau hadiah yang diberikan kepada anak perempuan ketika ia menikah. Hadiah ini dapat diperoleh perempuan karena ia meminta kepada ayahnya atau saudara laki-lakinya, dan disahkan secara adat. Namun karena sifatnya adalah pemberian atau hadiah, maka tidak dianggap sebagai hak waris.

19

25

yang menjunjung tinggi norma keutamaan demi anak-anak. Norma dilaksanakan dengan semboyan “apa saja yang dilakukan, patut diselesaikan dengan baik”.

Istilah sebutan “Boru Raja” dipakai oleh orang Batak Toba untuk meletakkan posisi seorang perempuan dalam setiap keluarga Batak lebih hormat. Sebutan “boru raja” adalah sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan” untuk perempuan batak yang dimulai sejak ia lahir. “Raja” dalam filosofi Batak, berarti “yang dihormati”. Istri seorang lelaki batak sering dikatakan sebagai “boru

ni raja” atau “putri si raja”. Boru Raja adalah nilai yang melekat pada diri seorang

perempuan Batak, yang bila mau dijelaskan cukup satu kata saja, yakni “terhormat”.

2.2.4.3 Hula-hula (Tulang20/ Paman)

Peran dan fungsi tulang pada masyarakat Batak Toba sangat penting sehingga keberadaan tulang pada ulaon (acara) adat tidak boleh diabaikan atau disepelekan yang merupakan salah satu unsur dalihan na tolu yakni hula-hula21. Namun pada masa sekarang keberadaan tulang cenderung tidak begitu dipentingkan oleh sebahagian orang terlebih setelah berumah tangga/menikah (marhasohotan) dengan perempuan yang bukan anak perempuan dari tulang (Hutasoit, 2012:23)

Dalam perkumpulan marga (punguan marga) Batak Toba harus mengikutsertakan bere22 dalam perkumpulan tersebut sebab boru23 tidaklah berarti apa-apa bila tidak berketurunan. Arti penting boru terletak pada anak-anaknya sehingga apabila bere yaitu anak dari boru tidak dimasukkan ke dalam

20

Sebutan Tulang pada masyarakat Batak Toba ditujukan kepada saudara laki-laki dari ibu. Bisa juga dipakai untuk panggilan kepada laki-laki Batak yang semarga dengan ibu.

21

Hutasoit menjelaskan bahwa hula-hula terdiri dari hula-hula tulang, bona tulang, bonaniari, tulang

rorobot, hula-hula namarhaha-maranggi, hula-hula na poso/parsiat, hula-hula simanjungkot. 22

Bere artinya anak dari saudara perempuan ayah. 23

26

perkumpulan marga, maka punguan marga tersebut menjadi tidak sesuai dengan adat.

Ada beberapa peran dan fungsi tulang (hula-hula) dalam setiap tradisi dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, antara lain:

1. Paabinghon bere tu tulangna (menggendongkan bere kepada tulangnya)

Ketika anak pertama lahir, maka setelah beberapa bulan kemudian orang tua si anak membawa makanan (sipanganon na tabo) ke rumah opung baonya (orangtua dari ibunya) karena baru pertama sekali si bayi tersebut datang ke rumah

opung baonya. Dan setelah sampai di rumah opung baonya maka orangtua si anak

memberikan bayi tersebut kepada tulangnya supaya digendong. Dan biasanya pada saat itulah tulangnya menggunting rambut berenya. Menggunting rambut (manimburi) bertujuan agar ubun-ubun si bayi menjadi kuat dan keras yang bermakna supaya si bayi sehat-sehat dan panjang umur. Dan selanjutnya, tulang memberikan ulos parompa (kain gendongan) kepada berenya. Tulang juga bisa menambahkan nama berenya.

Oleh sebab itu, paabinghon bere tu tulangna merupakan salah satu tradisi Batak Toba yang menggambarkan betapa pentingnya tulang pada masyarakat Batak Toba. Tetapi pada masa sekarang ini, tradisi tersebut sudah jarang dilakukan terutama di daerah perkotaan padahal tradisi tersebut merupakan penghormatan paling pertama dari seorang bere kepada tulangnya.

2. Tulang paborhat lao mangoli (tulang sebagai perantara ketika menikah)

Dalam tradisi ini dilakukan sebuah acara yang disebut dengan manulangi

tulang. Makna dari manulangi tulang adalah meghormati tulang sekaligus meminta

27

perempuan dari tulang) maupun kepada perempuan lain. Perkawinan anak perempuan dari tulang dengan anak laki-laki dari namboru24 pada masa-masa sekarang ini sudah makin jarang, karena pengaruh dari perkembangan zaman.25

3. Tulang pasahat ulos tintin marangkup (tulang memberikan ulos tintin

marangkup).

Ketika seorang bere melangsungkan pesta pernikahan dan masuk kedalam acara adat, maka tulang memberikan ulos tintin marangkup kepada bere tersebut. Maknanya yaitu pemberian restu kepada bere atas pernikahan yang sedang berlangsung.

4. Tulang pasahat saput atau pasahat tujung (tulang memberikan ulos saput maupun ulos tujung).

Menurut adat Batak Toba, bila bere laki-laki meninggal dunia maka tulang akan memberikan Ulos Saput, sedangkan bila istri si bere meninggal dunia maka

tulang akan memberikan Ulos Tujung. Pemberian ulos tersebut menunjukkan

bahwa tulang akan memberikan kewajiban adat terakhir kepada bere tersebut.

5. Tulang manampin saring-saring/holi (tulang menampung tulang-belulang) Peran dan fungsi tulang pada acara adat mangongkal holi/saring-saring26 pada masyarakat Batak Toba merupakan hak dan kewajiban serta keharusan hukum adat sebab tulang-belulang orangtua laki-laki diangkat tanpa dilihat oleh tulangnya, maka hal itu disebut mencuri. Karena itu kehadiran tulang untuk manampin

24

Saudara perempuan ayah.

25

Anak perempuan dari tulang dan anak laki-laki dari namboru disebut dengan pariban. Keduanya boleh menikah sesuai dengan adat Batak Toba.

26Mangongkal holi/saring-saring merupakan acara adat pada masyarakat Batak Toba yaitu

mengangkat tulang-belulang orangtua, leluhur selanjutnya dimasukkan ke dalam tambak atau tugu. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati jasa-jasa orangtua.

Dokumen terkait