• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN RUTH DEBORA MARBUN NIM: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN RUTH DEBORA MARBUN NIM: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2014"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

PARTAGANING PEREMPUAN DALAM TRADISI GONDANG SABANGUNAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA:

STUDI KASUS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, KECAMATAN PARANGINAN, DESA LUMBAN BARAT

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H

RUTH DEBORA MARBUN NIM: 100707033

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

PARTAGANING PEREMPUAN DALAM TRADISI GONDANG SABANGUNAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA:

STUDI KASUS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, KECAMATAN PARANGINAN, DESA LUMBAN BARAT

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H

RUTH DEBORA MARBUN NIM: 100707033

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Drs. Mauly Purba M.A.,Ph.D Drs. Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D NIP. 1961 0829 1989 031003 NIP. 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam

bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk

melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin

Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara,

Medan

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU,

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A.

NIP

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1

2.

3

4.

(4)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 2014

Ruth Debora Marbun Nim 100707033

(6)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul: Partaganing Perempuan Dalam Tradisi Gondang Sabangunan Pada Masyarakat Batak Toba: Studi Kasus di Kabupaten

Humbang Hasundutan, Kecamatan Paranginan, Desa Lumban Barat. Adapun

tujuan penelitian ini adalah mengetahui alasan partaganing perempuan memilih menjadi seorang musisi yang memainkan taganing dan menjelaskan proses belajarnya, di tengah-tengah dominasi partaganing laki-laki. Hal lainnya yaitu untuk mengetahui tanggapan masyarakat di Desa Lumban Barat mengenai partaganing perempuan tersebut.

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dibantu oleh data-data responden yang bersifat kuantitatif, yang diperoleh dari penelitian lapangan. Teori yang digunakan adalah teori perubahan oleh Merriam (1964).

Hasil yang didapatkan adalah, perubahan yang terjadi dalam tradisi

margondang pada masyarakat Batak Toba. Yang dulunya pargonsi adalah laki-laki,

namun sekarang sudah hadir pargonsi perempuan. Hal tersebut mendapat tanggapan dari berbagai lapisan masyarakat. Ada yang memberikan tanggapan positif, namun ada juga yang memberi tanggapan negatif. Pembahasan skripsi ini terfokus terhadap keberadaan partaganing perempuan dalam tradisi margondang pada masyarakat Batak Toba di Desa Lumban Barat. Partaganing perempuan yang penulis maksud bernama Hari Anita Nainggolan.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat yang senantiasa diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PARTAGANING PEREMPUAN DALAM TRADISI

MARGONDANG SABANGUNAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA:

STUDI KASUS DI KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN,

KECAMATAN PARANGINAN, DESA LUMBAN BARAT. Skripsi ini

merupakan hasil serta perjuangan dari ilmu yang telah penulis dapatkan selama menjalani kuliah di Departeman Etnomusikologi, Universitas Sumatera Utara kurang lebih lima tahun ini. Terwujudnya skripsi ini juga tidak terlepas dari doa serta dukungan dari orang-orang yang penulis kasihi, yaitu;

Kepada kedua orang tua yang sangat-sangat penulis sayangi yaitu Pdt. Mangapoi Marbun M.Th dan Pdt. Lina Nainggolan. Saya mengucapkan terimakasih banyak atas doa yang senantiasa kalian panjatkan, dan untuk kesabaran serta dukungan baik moril maupun materil. Kasih kalian tiada batasnya yang membuat saya tetap sabar dalam menghadapi semua masalah yang ada.

Kepada saudara saya, Pdp. Yabes Yafet Marbun M.Th dan Natanael Marbun S.Kom, saya mengucapkan banyak terimakasih buat perhatian kalian yang begitu besar selama ini yang selalu mendoakan, memberi semangat dan juga mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Kepada teman-teman yang saya sayangi, Deby, Ayu, Riska, Kezia, dan Miduk, terimakasih buat kalian. Kalian adalah teman terbaik yang selalu mendukung saya dalam penyelesaian skripsi ini. Dan begitu juga kepada yang saya sayangi dan

(8)

kasihi Ranto Sitompul Amd, yang selalu memotivasi saya hingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Saya ucapkan terimakasih atas doa, dukungan, kesabaran, motivasi kalian semua. Dan buat semua teman-teman Etnomusikologi lainnya senang rasanya mengenal kalian semua dan terima kasih teman-teman buat semangat yang selalu diberikan kepada saya untuk tetap sabar dan berjuang menyelesaikan skripsi ini.

Kepada Ketua dan Sekretaris Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D dan Ibu Dra. Heristina Dewi, M. Pd, saya mengucapkan banyak terimakasih untuk perhatian dan bantuannya selama menjalani proses penulisan skripsi saya hingga selesai.

Kepada Pembimbing I Bapak Prof. Mauly Purba M.A.,Ph.D, dan Pembimbing II saya Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D, saya mengucapkan banyak terimakasih atas bimbingan yang telah Bapak berikan selama proses penulisan skripsi saya ini sehingga skripsi ini dapat saya selesaikan.

Kepada Seluruh Dosen Departemen Etnomusikologi yaitu Bapak Drs. Torang Naiborhu M.Hum selaku Dosen akademik, Drs. Bapak Kumalo Tarigan M.A, Ibu Dra. Rita Hutajulu M.A, Bapak Drs. Bebas Sembiring M.Si, Bapak Drs. Irwansyah Harahap M.A, Bapak Drs. Fadlin M.A, Bapak Drs. Dermawan Purba M.Si, Ibu Arifni Netriroza STT, dan Ibu Dra. Frida Deliana Harahap M.Si, serta seluruh Dosen lainnya saya mengucapkan banyak trimakasih atas ilmu yang telah diberikan selama menduduki bangku perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

Kepada staf/tata usaha di Departemen Etnomusikolgi Ibu Adri saya mengucapkan terimakasih untuk kerjasama dan bantuannya selama ini.

Dan kepada informan serta narasumber saya Hari Anita Nainggolan, Alister Nainggolan, Marcius Sitohang, Tiurma Nainggolan, saya ucapkan terimakasih banyak atas bantuan dan informasi yang telah diberikan kepada penulis. Terimakasih

(9)

juga karena bapak dan ibu selalu sabar dalam membantu saya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Hormat saya,

Ruth Debora Marbun

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... ABSTRAK ...

(10)

KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR TABEL ...

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1.2 Pokok Permasalahan ... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian ……… 1.3.2 Manfaat Penelitian ………... 1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep ………. 1.4.2 Teori ……….……… 1.5 Metode Penelitian ………...

1.5.1 Studi Kepustakaan ……… 1.5.2 Penelitian Lapangan (Observasi) ……… 1.5.2.1 Wawancara ……… 1.5.2.1 Perekaman Di Lapangan ……….. 1.5.3 Kerja Laboratorium ……….. 1.6 Lokasi Penelitian ………....

BAB II ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT DESA LUMBAN BARAT, KECAMATAN PARANGINAN, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

2.1 Lokasi Penelitian ………... 2.2 Masyarakat Batak Toba di Desa Lumban Barat ………...

2.2.1 Mata Pencaharian ………... 2.2.2 Sistem Bahasa ………... 2.2.3 Sistem Kepercayaan ………... 2.2.4 Sistem Kekerabatan

2.2.4.1 Dalihan Na Tolu………... 2.2.4.2 Kedudukan Perempuan dalam

Kebudayaan Batak Toba ………... 2.2.4.3 Hula-hula (Tulang/Paman)………... 2.2.5 Kesenian ………...

2.2.5.1 Seni Musik ………... 2.2.5.2 Seni Sastra ………... 2.2.5.3 Seni Tari ………...… 2.2.5.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran ………...

2.2.5.5 Seni Kerajinan Tangan (Ulos) …………..

BAB III TRADISI MARGONDANG SABANGUNAN

3.1 Pengertian Gondang ………... 3.2 Margondang ……… 3.3 Alat Musik Dalam Ansambel Gondang Sabangunan

(11)

3.3.2 Taganing ………. 3.3.3 Gordang ………. 3.3.4 Odap ……….. 3.3.5 Ogung ……… 3.3.6 Hesek ………. 3.4 Peran Musikal Instrumen dalam

Ansambel Gondang Sabangunan ……….. 3.4.1 Peran Taganing Dalam

Ansambel Gondang Sabangunan ……….. 3.5 Reportoar ………. 3.6 Adat ……….

3.6.1 Adat dalam Konsep Kepercayaan

Masa Pra-Kristen: Hasipelebeguon ………. 3.6.2 Adat Batak Toba Pada Masa Sekarang ……… 3.7 Pargonsi ………. 3.8 Marguru (proses belajar taganing) ……….

BAB IV HARI ANITA NAINGGOLAN SEBAGAI PARTAGANING PEREMPUAN

4.1 Biografi Singkat Hari Anita Nainggolan ……… 4.1.1 Masa kecil ……… 4.1.2 Pendidikan ……… 4.1.3 Latar Belakang Keluarga ………. 4.2 Hari Anita Nainggolan Sebagai Partaganing Perempuan ……….

4.2.1 Awal Perkenalan Hari Anita Nainggolan

dengan Alat Musik Taganing ………. 4.2.2 Proses Perjalanan Hari Anita Nainggolan

Sebagai Partaganing Perempuan ………... 4.2.3 Eksistensi Hari Anita Nainggolan

Sebagai Partaganing Perempuan ……… 4.3 Alasan Hari Anita Nainggolan Menjadi

Seorang Partaganing Perempuan ……… 4.3.1 Faktor Talenta ………... 4.3.2 Faktor Keturunan ………. 4.3.3 Faktor Ekonomi ………... 4.4 Wawancara dengan Hari Anita Nainggolan ………..

4.4.1 Wawancara Verbatim ………..

BAB V TANGGAPAN TERHADAP HADIRNYA PARTAGANING PEREMPUAN

5.1 Partaganing Perempuan ……….. 5.2 Berbagai Tanggapan Terhadap Kehadiran

Partaganing Perempuan ……….. 5.2.1 Tanggapan Orang Tua ………. 5.2.2 Tanggapan Suami ………

(12)

5.2.3 Tanggapan Masyarakat ……… 5.2.4 Tanggapan Musisi Tradisi Batak Toba ……….. 5.3 Kuesioner ……….. 5.3.1 Pertanyaan Kuesioner ………. 5.3.2 Hasil Jawaban Kuesioner ……… 5.3.3 Penjelasan Kuesioner ………. BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ……… 6.2 Saran ……….. DAFTAR PUSTAKA ... DAFTAR INFORMAN ... LAMPIRAN ...

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Dalihan Na Tolu

Gambar 4.1 Hari Anita Nainggolan 1 Gambar 4.2 Hari Anita Nainggolan 2

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Laporan Kependudukan Kecamatan Paranginan Tahun 2014 Tabel 3.1 Pengertian Kata Gondang Pada Masyarakat Batak Toba Tabel 3.2 Peran Musikal Dalam Ansambel Gondang Sabangunan

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melalui skripsi ini, penulis akan membahas tradisi margondang1 pada

masyarakat Batak Toba. Tradisi margondang tersebut melibatkan permainan dan penyajian seperangkat ansambel musik yang dimainkan sesuai dengan aturan penggunaannya. Ansambel yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu ansambel

gondang sabangunan dan gondang hasapi.2 Kedua ansambel ini dimainkan dalam upacara adat Batak Toba baik upacara sukacita maupun upacara dukacita. Ansambel gondang sabangunan biasanya menggunakan alat-alat musik: sarune (shawm idiophone) sebagai pembawa melodi, ogung (suspended gongs) yang terdiri dari 4 buah yaitu dari yang besar ke yang kecil adalah: oloan, ihutan,

panggora, dan doal, fungsi musikalnya adalah membawa siklus metrik dan

memainkan ritmik. Kemudian ada pula alat musik hesek (bisa berupa dua keping logam atau botol yang dipukul dengan logam) sebagai pembawa ketukan dasar.3 Di antara kedua ansambel yang terdapat dalam tradisi tersebut, salah satu alat musik yang menjadi fokus penelitian penulis yaitu taganing yang terdapat dalam ansambel gondang sabangunan.

Taganing terdiri dari lima anak ni taganing dan ditambah satu gordang. Taganing ini berbentuk tabung melengkung (barrel) dan terkadang berbentuk

1

Margondang adalah aktifitas musikal yang digunakan dalam upacara adat dan ritual di masyarakat

Batak Toba. Margondang berfungsi sebagai pembuat musik yang memainkan komposisi gondang untuk mengiringi tari-tarian (tortor) Batak Toba pada setiap upacara-upacara yang berkaitan dengan religi maupun adat yang sedang berlangsung.

2

Dalam kebudayaan etnis Batak Toba ada dua jenis perangkat musik tradisional. Perangkat musik yang pertama yaitu gondang sabangunan dan perangkat musik yang kedua yaitu gondang hasapi. Perangkat musik tradisional tersebut secara umum disebut sebagai uning-uningan. Ansambel Gondang Hasapi terdiri dari masing-masing satu buah sarune etek, sulim, garantung, dan dua buah hasapi yang disebut dengan hasapi ende (fungsi musikalnya adalah sebagai pembawa melodi) dan hasapi doal, yang fungsi musikalnya adalah membawakan fungtuasi ritme dan melodi (wawancara dengan Marsius Sitohang).

3

(15)

2

tabung lurus (cylindrical). Adapun nama dari masing-masing gendang tersebut dari yang terkecil sampai yang terbesar yaitu: ting-ting, paidua ting-ting, painonga,

paidua odap, dan odap-odap. Kelima gendang tersebut disusun dan digantung pada

sebuah alat penyangga. Alat musik taganing ini diklasifikasikan ke dalam alat musik single-headed braced drum (Sitohang, 2009). Alat musik ini juga menghasilkan nada, dan dihubungkan dengan melodi. Oleh karena itu, alat musik

taganing4 selalu digolongkan kepada drum chimes (gendang yang menghasilkan nada dan membawa melodi).5 Sebutan untuk pemain taganing yaitu partaganing. Dalam konteks budaya Batak Toba, partaganing ini sangat dihormati kedudukannya. Ia disebut dengan Debata Guru Na Humumndul. Peran sosial dan budayanya sangat tinggi, sebagai “penjelmaan” dari dewa.

Semua pemain musik gondang sabangunan disebut pargonci. Dalam tradisi

margondang, pargonsi semuanya adalah laki-laki. Ini merupakan adat ni gondang.6 Adat ni gondang artinya adat yang berlaku pada tradisi gondang. Purba

menjelaskan bahwa adat ni gondang adalah aturan-aturan yang berhubungan dengan norma-norma tradisi memainkan gondang. Aturan-aturan tersebutlah yang mengatur permainan dan penyajian gondang.

4

Taganing mempunyai peranan ganda dalam sebuah komposisi gondang. Peranan tersebut antara

lain, pada saat penyajian komposisi gondang, alat musik taganing tersebut dapat memainkan ritmis dan dapat juga memainkan melodi. Dalam setiap pertunjukan gondang sabangunan, yang memainkan melodi tidak hanya

sarune saja, namun bersama-sama dengan taganing. Hal tersebut dikarenakan dalam konsep yang terdapat pada

masyarakat Batak Toba, nada masing-masing gendang pada taganing mengacu pada nada yang terdapat pada

sarune bolon. 5

Dalam memainkan alat musik taganing ini, proses penyajiannya adalah dengan menggunakan

palu-palu (stik pemukul). Jumlah pemain dalam memainkan alat musik taganing terdiri dari dua orang dan tugas dari

masing-masing pemain pun berbeda-beda. Pemain pertama dipanggil dengan sebutan panggordangi5 memainkan gendang yang ukurannya terbesar yaitu gordang dan dimainkan oleh satu orang pemain. Dalam komposisi musik, gordang berperan sebagai instrumen ritmis. Sementara lima gendang lainnya yang disebut

anak ni taganing berperan sebagai instrumen melodi. Lima gendang yang disebut dengan anak ni taganing

tersebut dimainkan oleh satu orang

6Purba menjelaskan bahwa adat adalah rangkaian atau tatanan norma-norma sosial dan religius yang

mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia dengan leluhurnya, hubungan vertikal kepada Pencipta, serta pelaksanaan upacara-upacara ritual keagamaan.

(16)

3

Dewasa ini, perkembangan sosial budaya di Indonesia sangat cepat pergerakannya. Adapun di antara faktor-faktor pemicunya adalah pesatnya perkembangan teknologi informasi, proses globalisasi, keterbukaan di era demokratisasi, pembentukan perekonomian yang berdasar kepada kepentingan sejumlah negara, perkembangan pendidikan, dan aspek-aspek lainnya. Perkembangan yang terjadi saat ini, menimbulkan banyak dampak terhadap kehidupan dan pergaulan sosial bagi masyarakat. Dampak yang ditimbulkan ada yang bersifat positif dan juga bersifat negatif. Disadari sepenuhnya bahwa perkembangan yang terjadi merupakan pengaruh dari berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain seperti kemajuan pendidikan, komunikasi yang sudah luas, internet, dan jejaring sosial. Perkembangan tersebut juga terjadi pada kebudayaan masyarakat Batak Toba7 di Indonesia khususnya Sumatera Utara. Faktor-faktor dan dampak perkembangan kebudayaan tersebut mempengaruhi sikap dan cara berpikir masyarakat Batak Toba.

Pada masa sekarang ini, pemahaman dan pelaksanaan suku Batak Toba tentang adat-istiadatnya sendiri semakin lama semakin tidak mengenal identitasnya dan pelaksanaannya pun sudah banyak yang menyimpang dari Ruhut Ni Adat.8 Kalau diperhatikan dengan seksama, pelaksanaan adat di zaman sekarang ini kelihatannya sudah beragam dan sudah jarang mengikuti aturan adat.9 Akibat dari kondisi adat yang sudah demikian, maka generasi penerus tidak mengetahui pelaksanaan adat yang sebenarnya. Selain daripada itu, generasi penerus tidak

7

Apabila kata Batak Toba muncul dalam penulisan skripsi ini, yang penulis maksud yaitu Batak Toba yang berada di Sumatera Utara, khususnya di daerah penelitian penulis yaitu di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kecamatan Paranginan, Desa Lumban Barat.

8

Ruhut Ni Adat artinya aturan adat. 9

Adat merupakan warisan dari leluhur yaitu hukum, aturan, dan tata cara yang mengatur hubungan manusia dengan manusia. Warisan tersebut kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Adat inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang dengan memberikan pengetahuan tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Menurut Batak Toba, adat merupakan pemberian Mula Jadi Na Bolon yang harus dituruti makhluk ciptaannya. Apabila adat diikuti dan dilaksanakan maka orang tersebut akan mendapatkan berkah dan orang yang tidak peduli dengan adat akan mendapat bala.

(17)

4

begitu antusias lagi terhadap adat-istiadatnya sendiri karena mereka menganggap kegiatan adat istiadat pada masa sekarang ini hanya sebagai simbol dalam kebudayaannya (Siahaan, 2012:10).

Perkembangan sosial budaya juga terjadi dalam kebudayaan masyarakat di daerah penelitian penulis. Alister mengatakan bahwa pada saat beliau masih pemuda sekitar tahun 1960, pekerjaan wanita pada saat itu dikenal hanyalah sebagai parorot (menjaga anak), mengurus rumah tangga, dan mengerjakan sawah. Wanita tidak diperkenankan sembarangan melakukan pekerjaan lain selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurusi anak-anaknya dan menjaga agar rumah tetap teratur.10 Namun, fakta yang penulis temukan di lapangan yaitu bahwa ternyata ada wanita yang memainkan taganing pada upacara adat Batak Toba. Hal tersebut tentu merupakan perubahan dalam kebudayaan. Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, pargonsi semuanya adalah laki-laki, namun fakta di lapangan ternyata ada wanita yang bekerja sebagai partaganing perempuan.

Ketika penulis melihat fakta tersebut, maka penulis tertarik ingin mengungkapkan apakah ini adalah sesuatu yang baru. Dengan rasa ketertarikan tentang hal tersebut, penulis kemudian mencari informasi-informasi yang terkait. Kemudian penulis berhubungan langsung dan menjumpai seorang musisi perempuan yang sampai sekarang ini masih aktif dalam kegiatannya sebagai pemain taganing. Musisi yang penulis maksud bernama Hari Anita Nainggolan. Hari Anita Nainggolan adalah seorang partaganing perempuan yang berkediaman di Lumban Barat yang sudah berpengalaman dibidang musik tradisional Batak Toba. Beliau semenjak kecil sudah mulai mempelajari alat musik taganing yaitu pada usia ±10 tahun. Hari Anita sudah dikenal masyarakat sebagai partaganing

10

(18)

5

perempuan, mulai dari Dolok Sanggul sampai ke berbagai daerah, bahkan beliau sudah mencapai kariernya sampai ke luar negeri. Beliau bersama grup musiknya “Lia Gemilang” sangat dikenal oleh masyarakat karena keunikan dari grup musik tersebut. Dalam kesehariannya, Hari Anita Nainggolan juga bekerja sebagai

Pangula11.

Melihat kenyataan tersebut, penulis tertarik untuk melihat lebih jauh lagi bahwasanya apakah kehadiran partaganing perempuan ini merupakan sebuah pengayaan atau perlawanan terhadap tradisi12. Selain itu, penulis ingin mengungkapkan apakah seorang partaganing perempuan tersebut memiliki alasan tertentu mengapa dia memilih menjadi seorang partaganing perempuan. Hal tersebut akan penulis telusuri lebih jauh lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang dituturkan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam lagi tentang keberadaan partaganing perempuan dalam tradisi gondang sabangunan dengan memperoleh data dari berbagai narasumber yang terkait. Oleh karena itu, penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: Partaganing Perempuan dalam Tradisi Gondang

Sabangunan pada Masyarakat Batak Toba: Studi Kasus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kecamatan Paranginan, Desa Lumban Barat.

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan penulis di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tulisan ini adalah:

11

Pangula artinya pekerja diladang atau disawah. Hari Anita bekerja sebagai pangula yang menanam

cabai di daerah Sampean Aek Bottar Dolok Sanggul.

12

Untuk mempersempit daerah penelitian, penulis memfokuskan menanyakan pertanyaan tersebut di daerah penelitian penulis yaitu di Desa Lumban Barat.

(19)

6

1. Mengapa partaganing perempuan memilih menjadi seorang musisi yang memainkan taganing dan bagaimana proses belajarnya?

2. Bagaimana tanggapan masyarakat di Desa Lumban Barat mengenai

partaganing perempuan tersebut, apakah sebuah pengayaan atau

perlawanan terhadap tradisi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui alasan informan memilih menjadi seorang musisi yang memainkan taganing dan menjelaskan proses belajarnya

partaganing perempuan tersebut.

2. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat di Desa Lumban Barat mengenai partaganing perempuan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang keberadaan partaganing perempuan dalam tradisi margondang pada masyarakat Batak Toba di Desa Lumban Barat, Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan.

2. Sebagai salah satu bahan referensi dan acuan bagi peneliti berikutnya yang memiliki keterkaitan dengan topik penelitian. 3. Sebagai perbendaharaan dan dokumentasi musik Batak Toba.

(20)

7

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Partaganing dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba berasal dari kata “par” dan “taganing”. Kata “par” dalam terjemahan bahasa Batak Toba artinya

adalah “orang yang”. Kata “par” tersebut diletakkan pada awalan kata taganing yang menunjukkan “orang yang memainkan taganing”.

Dalam tulisan ini, apabila penulis menggunakan kata “partaganing perempuan”, itu adalah untuk mengatakan bahwa taganing tersebut dimainkan oleh perempuan. Dalam pembahasan ini, partaganing perempuan adalah sesuatu yang baru dan tidak bisa hanya mengatakan partaganing saja, karena pemahaman masyarakat secara umum mengartikan bahwa partaganing merupakan orang yang memainkan taganing dan berjenis kelamin laki-laki. Namun, ketika penulis menggunakan kata “partaganing” saja, itu menunjukkan partaganing secara umum yaitu laki-laki.

Ada beberapa partaganing perempuan yang penulis ketahui, tetapi yang menjadi fokus penulisan ini adalah partaganing perempuan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan, Desa Lumban Barat, Kecamatan Paranginan yang bernama Hari Anita Nainggolan.

Tradisi dalam bahasa latin disebut dengan tradition yang artinya diteruskan atau kebiasaan. Dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya nilai, norma, dan kearifan lokal yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. (Bruno Netll dan Gerald Behague,

(21)

8

1991:4). Dalam pembahasan tulisan ini, tradisi yang dimaksudkan adalah tradisi

Gondang Sabangunan pada masyarakat Batak Toba.

Koentjaraningrat (2002:146-147) menjelaskan masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat (society dalam bahasa inggris) adalah sebagai suatu organisme, pada mana bagian-bagiannya adalah bagian-bagian yang hidup di dalam kesatuan (misalnya: bahasa, kebudayaan, adat) dengan yang lainnya (Moh Koesnoe, 1979). Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu sub-etnik Batak yang ada di Indonesia di samping Batak Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing. Masyarakat Batak Toba mempunyai sistem adat istiadat tertentu yang menjadi dasar hidup masyarakat yang strukturnya didasarkan pada Daliha Na Tolu yaitu “tungku yang berkaki tiga” disingkat “tungku nan tiga”. Tiga unsur Dalihan Na Tolu yaitu hulahula (pemberi istri), dongan sabutuha/dongan tubu (kerabat semarga), dan boru (penerima istri). Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang saling berinteraksi dalam setiap kegiatan adat ataupun ritual masyarakat tersebut. Masyarakat Batak Toba menganut sistem

patrilinear yang mengikuti garis keturunan laki-laki. Oleh karena itu, laki-laki pada

masyarakat Batak Toba mempunyai hak mewarisi harta dari orangtuanya, sedangkan perempuan hanya bisa menerima hadiah pada waktu pernikahannya yang disebut dengan pauseang.

Menurut Depdikbud (1997: 2), studi kasus adalah suatu studi atau analisa yang komprehensif dengan menggunakan berbagai teknik, bahan dan alat mengenai gejala atau ciri-ciri karakteristik berbagai jenis masalah atau tingkah laku menyimpang baik individu maupun kelompok. Menurut Suryabrata (2003:80), tujuan studi kasus adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang

(22)

9

keadaan sekarang dan interaksi lingkungan, individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat. Konsep studi kasus dalam tulisan ini dimaksudkan untuk membuat pembahasan mengenai partaganing perempuan ini lebih terarah, karena

partaganing perempuan yang penulis maksudkan berada di daerah tertentu yaitu di

Desa Lumban Barat, Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), pengayaan adalah proses, cara, perbuatan mengayakan, memperkaya, memperbanyak. Kata pengayaan dalam penulisan ini akan menjelaskan apakah partaganing perempuan dalam tradisi

gondang sabangunan pada masyarakat Batak Toba merupakan sebuah pengayaan

yaitu memperkaya khazanah kebudayaannya. Kata pengayaan ini akan dipakai untuk menjawab pokok permasalahan yang terdapat dalam tulisan ini.

Sementara itu, kata perlawanan yang berasal dari kata lawan mempunyai arti menentang dan menyalahi. Dalam tulisan ini, kata perlawanan dipakai untuk menjelaskan apakah kehadiran partaganing perempuan dalam upacara-upacara yang menggunakan gondang sabangunan pada masyarakat Batak Toba melawan atau menentang tradisi dalam kebudayaannya.

1.4.2 Teori

Alan P. Merriam (1964:303) dalam bukunya The Antropology of Music mengatakan, “Culture change begins with the processes of innovation. Type of

innovation is variation, invention, tentation, dan culture borrowing.” Maksudnya

adalah bahwa perubahan budaya diawali dengan proses inovasi. Jenis dari inovasi yaitu variasi, penemuan, uji coba (eksperimen), dan meminjam budaya.

Lebih jauh Alan P. Merriam mengemukakan bahwa perubahan kebudayaan timbul dari dalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, hal itu

(23)

10

disebut dengan inovasi. Inovasi tersebut antara lain, membuat variasi dalam budaya tersebut, melakukan penemuan-penemuan baru dalam budaya, dan menciptakan budaya baru dengan memasukkan unsur-unsur dari kebudayaan lain. Inovasi tersebut timbul dari sistem ide dan pikiran manusia itu sendiri.

Demikian juga pada masyarakat Batak Toba, kebudayaan pada masyarakat tersebut juga mengalami perubahan. Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba timbul dari dalam (masyarakat itu sendiri) dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri. Kehadiran partaganing perempuan menjadi sebuah perubahan dalam kebudayaan Batak Toba, yang pada dasarnya selalu menggunakan partaganing laki-laki dalam memainkan taganing pada tradisi margondang sabangunan, namun pada masa sekarang ini sudah ada beberapa perempuan yang bergabung dalam pargonci sebagai partaganing perempuan. Oleh sebab itu, perubahan dalam kebudayaan tersebut dilakukan dan dialami oleh masyarakat Batak Toba itu sendiri. Yang dilakukannya yaitu berupa inovasi yang mengacu kepada variasi, penemuan baru, dan eksperimen dari

partaganing perempuan itu sendiri.

Pada dasarnya kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis dan bukan stabil karena kalau kebudayaan itu stabil, kebudayaan tersebut akan stagnasi (terhenti). Bisa diartikan juga bahwa perubahan adalah nafas dari kebudayaan, yaitu kalau kebudayaan tidak dinamis maka kebudayaan itu akan mati. Hal itu tidak mungkin terjadi karena zaman terus berubah, kondisi ekonomi berubah, pola pikir masyarakat juga berubah. Seperti yang dikemukakan Carol R. Ember (1987:32), suatu kebudayaan tidaklah pernah bersifat statis, melainkan selalu berubah. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi, serta perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat.

(24)

11

Seorang etnomusikolog yang bernama David Harnish juga mengatakan bahwa ketika suatu masyarakat itu sudah mengalami perubahan, antara lain: perubahan orientasi agama, perubahan perekonomian dan juga pendidikan, maka mereka juga akan menginterpretasikan kembali keseniannya termasuk dalam hal merubah bagaimana persepsi masyarakat yang kalau dulunya tidak boleh perempuan, sekarang sudah bisa dan itu adalah bagian dari perubahan.13

Keterlibatan perempuan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat bukanlah masalah baru. Ada banyak masyarakat-masyarakat yang memberikan batasan-batasan kepada perempuan. Salah satunya pada masyarakat Batak Toba. Namun, gerakan feminisme memberikan pencerahan secara tidak langsung bahwa hal tersebut bisa berpengaruh kepada masyarakat yang memberikan batasan-batasan kepada perempuan. Sekitar tahun 1960-an, gerakan feminisme berkembang di negara Barat. Gerakan feminisme ini dikenal sebagai gerakan kaum suffrage (hak pilih). Ini adalah gerakan yang bertujuan untuk memajukan kaum perempuan, baik mengenai kondisi kehidupannya maupun status perannya. Teori feminisme menurut Saparinah Sadli (2010:72) mengemukakan:

… bahwasanya perempuan perlu diterima dan dihargai sebagai sesama manusia yang mempunyai potensi (kemampuan) untuk berkembang; bahwasanya kaum perempuan juga mempunyai kemampuan untuk mengembangkan kondisi lingkungan hidupnya dan sangat mungkin untuk ikut memberikan arah kepada pengembangan sosial, ekonomi, politik, dan pribadi; bahwasanya kaum perempuan juga memiliki berbagai macam kualitas manusia untuk meningkatkan mutu hidup secara umum seperti yang dimiliki kaum pria; serta bahwasanya apabila pengaruh-pengaruh sosio-budaya merugikan perkembangan status dan diri perempuan, itu dapat diubah atau dihilangkan.

Pemikiran yang dikemukakan Sadli sudah banyak diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pemikiran di atas juga dapat dihubungkan terhadap

13

Lihat tulisan ini dalamMauly Purba (2000:26) yang bertajuk “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan dan Tortor.”

(25)

12

munculnya partaganing perempuan pada masa sekarang ini. Kalau pada zaman dulu perempuan Batak Toba mempunyai batasan-batasan, sekarang sudah tidak berlaku lagi karena ternyata kaum perempuan mempunyai potensi yang berkualitas. Potensi yang dimiliki dalam pembahasan ini yaitu perempuan juga bisa memainkan

taganing untuk mengembangkan kondisi ekonomi, kebudayaan, dan sosialnya.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif yang besifat kualitatif. Kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3). Dalam melakukan penelitian terhadap bahan tulisan ini, penulis melakukan beberapa tahapan kerja yang terdiri dari studi kepustakaan, pengumpulan data di lapangan, dan bimbingan secara formal ataupun nonformal dengan dosen pembimbing dan kerja laboratorium.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Untuk mendukung informasi yang penulis peroleh tentang partaganing perempuan, pertama-tama penulis mencari buku-buku yang relevan terhadap masalah-masalah yang dibahas. Dalam hal ini juga penulis menggunakan referensi dari internet yang relevan dengan objek yang diteliti. Selain itu juga penulis menggunakan studi kepustakaan untuk mengumpulkan bahan-bahan berupa teori yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada kebudayaan dan untuk mencari metode pengumpulan data di lapangan.

(26)

13

1.5.2 Penelitian Lapangan (Observasi)

Penulis memulai penelitian ini pada bulan Maret 2014, dengan melakukan observasi yang meliputi peninjauan dan pengamatan lokasi penelitian serta melihat pertunjukan dari partaganing perempuan secara langsung. Penulis melakukan penelitian lapangan ke Paranginan tepatnya di Lumban Barat. Ternyata di Lumban Barat ada seorang partaganing perempuan dan beliau sudah banyak dikenal oleh masyarakat Dolok Sanggul dan sekitarnya. Partaganing perempuan tersebut bernama Hari Anita Nainggolan. Penulis juga melihat permainan taganing beliau pada sebuah upacara adat pernikahan di Jalan Simpang Sipitu Huta 3C Dolok Sanggul.

Untuk menambah referensi mengenai partaganing perempuan, penulis juga menemui dan melihat pertujukan dari partaganing perempuan yang berada di Medan14. Tujuannya adalah untuk melihat lebih luas fenomena yang terjadi di tempat lainnya. Namun demikian, focus studi kasus ini adalah terhadap

partaganing perempuan Hari Anita Nainggolan.

Adapun dua teknik pengumpulan data yang penulis gunakan di lapangan yaitu:

1.5.2.1 Wawancara

Setelah penulis melakukan observasi di lapangan, kemudian penulis menentukan narasumber yang akan menjadi objek wawancara. Terkait dengan pembahasan mengenai partaganing perempuan, penulis memilih beberapa narasumber yang akan menjadi objek wawancara yaitu Tiurma Nainggolan dan Hari Anita Nainggolan (kedua-duanya adalah partaganing perempuan), Marcius

14

Partaganing perempuan yang penulis temui bertempat tinggal di Jalan Saudara No 30, Simpang

(27)

14

Sitohang, Alister Nainggolan, dan beberapa informan lainnya termasuk masyarakat sekitar yang berada di daerah partaganing perempuan tersebut tinggal.

Penulis melakukan wawancara dengan para narasumber tersebut adalah untuk memperoleh data yaitu mengenai tanggapan-tanggapan mereka terhadap munculnya partaganing perempuan dalam tradisi Batak Toba tersebut. Hasil wawancara tersebut kemudian akan diolah dalam kerja laboratorium. Dalam melakukan wawancara, beberapa informan mempergunakan bahasa daerah Batak Toba. Namun, penulis tidak mengalami kesulitan dalam mengerti bahasa Batak Toba, karena penulis merupakan insider (orang dalam) pada kebudayaan Batak Toba.

1.5.2.2 Perekaman di Lapangan

Pada pelaksanaan kegiatan penelitian ini, penulis menggunakan satu unit kamera digital Panasonic yang dipergunakan untuk pengambilan foto dan perekaman video. Pengambilan foto dan perekaman video pada saat di lapangan dilakukan untuk mendokumentasikan hal-hal yang penulis anggap penting dalam penelitian lapangan. Terutama pada saat partaganing perempuan tersebut memainkan taganing pada upacara adat yang sedang berlangsung, perekaman video merupakan hal yang sangat penting dalam pengumpulan data dalam penelitian ini.

Untuk merekam wawancara, penulis menggunakan handphone Samsung

GT-B5330. Wawancara yang direkam tersebut akan diolah dalam kerja

(28)

15

1.5.3 Kerja Laboratorium

Semua data yang diperoleh yaitu hasil wawancara dan hasil pengamatan kemudian diolah dalam kerja laboratorium dengan pendekatan-pendekatan etnomusikologis. Namun, sebelum diolah dalam kerja laboratorium, data-data yang sudah diperoleh oleh penulis terlebih dahulu dipisahkan satu-persatu agar tidak terjadi masalah dalam pengerjaannya.

1.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan, Desa Lumban Barat, Kecamatan Paranginan. Daerah ini merupakan daerah tempat tinggal Hari Anita Nainggolan yang menjadi informan dari penulis.

(29)

16

BAB II

ETNOGRAFI UMUM MASYARAKAT DESA LUMBAN BARAT,

KECAMATAN PARANGINAN, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

Pada Bab II ini, saya akan menguraikan gambaran umum bagian dari wilayah objek penelitian penulis. Gambaran umum tersebut meliputi, lokasi penelitian, masyarakat Batak Toba di Desa Lumban Barat, mata pencaharian, sistem bahasa, serta etnografi umum masyarakat Desa Lumban Barat seperti, sistem kepercayaan, sistem kekerabatan maupun sistem keseniannya. Dan yang lebih penting yaitu mengenai kedudukan perempuan dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba secara umum karena mengingat pembahasan penulis mengenai partaganing perempuan. Dan aspek-aspek lainnya dalam tulisan ini menurut penulis juga penting dijelaskan, karena pembahasan mengenai

partaganing perempuan ini juga berhubungan dengan aspek mata pencaharian,

sistem kekerabatan dan sistem keseniannya. Berikut ini akan dijelaskan uraian tersebut secara umum.

2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dalam tulisan ini berada di rumah informan penulis yaitu Hari Anita Nainggolan yang terletak di Desa Lumban Barat, Kecamatan Paranginan, Kabupaten Humbang Hasundutan. Untuk menemukan daerah ini, harus melewati Bandara Udara Silangit dan memerlukan waktu ± 30 menit lagi untuk mendapatkan daerah Desa Lumban Barat.

(30)

17

Adapun letak Kabupaten Humbang Hasundutan secara geografis yaitu terletak antara 2°1’- 2° 28’ LU, 98°10 - 98°58’ BT. Dan berdasarkan posisi geografisnya memiliki batas:

 Sebelah Utara: Kabupaten Samosir,

 Sebelah Timur: Kabupaten Tapanuli Utara,

 Sebelah Selatan: Kabupaten Tapanuli Tengah, dan  Sebelah Barat: Kabupaten Pakpak Barat.

Ada 10 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Humbang Hasundutan, antara lain: Kecamatan Dolok Sanggul, Kecamatan Bakti Raja, Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Pakkat, Kecamatan Paranginan, Kecamatan Parlilitan, Kecamatan Pollung, Kecamatan Sijama Polang, Kecamatan Tarabintang, Kecamatan Onan Ganjang. Dan yang menjadi lokasi penelitian penulis yaitu di Kecamatan Paranginan. Luas Kecamatan Paranginan ± 2.297,20 km2.

Di sebagian daerah Desa Lumban Barat ada yang di sebut dengan Tano

Raja yaitu tanah yang bukan menjadi hak milik masyarakat, tetapi boleh

dipergunakan. Masyarakat desa yang bertempat tinggal di tano raja tersebut hanya mempunyai hak menempati saja dan tidak boleh menuntut hak untuk memiliki tanah tersebut. Oleh karena itu, walaupun mereka membangun rumah di tano raja tersebut, itu tidak bisa dikatakan rumahnya, itu tetap disebut tano raja.

2.2 Masyarakat Toba di Desa Lumban Barat

Masyarakat yang mendiami desa Lumban Barat merupakan mayoritas suku Batak Toba. Suku-suku lain seperti suku Nias, suku Simalungun hanya sedikit popolasinya dan mereka hanya sebagai pendatang dalam desa tersebut. Walaupun

(31)

18

ada suku-suku yang lain datang, itu tidak menjadi perbedaan di dalam masyarakat untuk melakukan segala tindak aktifitas yang ada di masyarakatnya.

Menurut hasil wawancara dengan masyarakat yaitu bapak Siburian, bahwa masyarakat yang tinggal di desa Lumban Barat ini sangat memegang teguh kebersamaan dari dulu sampai sekarang seperti gotong-royong. Misalnya apabila ada masyarakat yang mengalami kemalangan, maka masyarakat yang ada di desa tersebut langsung membantu untuk pelaksaan upacara seperti membuat peti, bersama-sama memasak untuk upacara yang berlangsung, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan bagian dari tradisi seperti yang dikemukakan oleh Bruno Netll dan Gerald Behague, bahwa tradisi mempunyai sebuah nilai, norma, dan kearifan lokal.

Menurut data yang penulis dapat dari Kantor Kecamatan Paranginan mengenai Laporan Kependudukan bulan Maret 2014, adapun nama-nama desa dan jumlah penduduk tiap-tiap desa adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Laporan Kependudukan

No. Nama Desa Laki-laki/L Perempuan/P L+P

1. SIHONONGAN 1.162 1.187 2.349 2. PARANGINAN SELATAN 545 643 1.188 3. LUMBAN BARAT 969 963 1932 4. LUMBAN SIALAMAN 309 341 650 5. LOBUTOLONG 544 542 1.086 6. PEARUNG 436 440 876 7. PARANGINAN UTARA 923 927 1.850

(32)

19 8. SIBORUTOROP 695 701 1.396 9. LUMBAN SIANTURI 283 280 563 10. LABUTOLONG HABINSARAN 531 577 1.108 11. PEARUNG SILALAHI 398 407 805 JUMLAH 6.795 7.008 13.803

Sumber: Kantor Kecamatan Paranginan, 2014.

Dari tabel di atas, tercatat jumlah penduduk desa Lumban Barat berjumlah 1.932 orang, laki-laki 969 orang dan perempuan 963 orang.

Dalam satu tahun sekali, masyarakat yang berada di Kabupaten Humbang Hasundutan mengadakan sebuah acara bersama dengan seluruh masyarakatnya yang disebut dengan Pesta Hasundutan. Pesta tersebut dilakukan adalah untuk menjalin kekerabatan antar kecamatan dan desa. Menurut hasil wawancara dengan informan penulis yaitu Hari Anita Nainggolan bahwa, dalam kegiatan Pesta Hasundutan biasanya pemerintah Kabupaten Hasundutan mengundang partaganing perempuan beserta grupnya untuk mengisi acara pesta Hasundutan tersebut.

2.2.1 Mata Pencaharian

Sebagian besar masyarakat di Lumban Barat dalam memenuhi kebutuhannya adalah dengan cara bertani, berladang, beternak dan markombat. Mereka menanam padi di sawah di sekitar desa dan tentunya mereka membuat sawahnya di dekat perairan agar airnya mengalir langsung ke persawahan. Ada juga masyarakat yang berkerja di ladang. Mereka menanam cabai, kemenyan, dan sayur-sayuran. Hasil dari bertani dan berladang sebagian mereka pergunakan untuk persediaan makanan di rumah mereka dan sebagian dijual pada saat maronan (pasar setiap hari kamis) di pasar.

(33)

20

Masyarakat Lumban Barat juga sebagaian menanam kopi. Penulis mengamati sebagian besar mereka menanamnya di pinggiran dekat pasar (jalan raya). Hasil panen dari tanaman kopi mentah tersebut kemudian dijual ke penampungan kopi mentah dengan harga yang cukup tinggi.

Selain bertani dan berladang, sebagian masyarakat ada yang markombat.

Markombat merupakan pengambilan kayu dari hutan. Kayu dari hutan yang sudah

dipotong-potong oleh pekerja di hutan, itulah yang dibawa oleh masyarakat. Kayu-kayu tersebut dibawa dengan cara dijinjing di kepala, dipapah di punggung, ataupun dipegang dengan tangan diletakkan di dada. Kayu-kayu dari hutan tersebut dibawa ke rumah masing-masing dan tinggal menunggu toke (agen) yang akan membeli kayu-kayu mereka. Selain dari pada itu, sebagian kecil masyarakat Lumban Barat memiliki mata pencaharian tambahan seperti beternak kerbau. Dan ada juga yang bekerja sebagai pegawai negri dan tukang bangunan.

2.2.2 Sistem Bahasa

Desa Lumban Barat merupakan salah satu daerah di Kabupaten Humbang Hasundutan yang penduduknya adalah mayoritas suku Batak Toba. Oleh karena itu, hampir seluruh masyarakat Batak toba menggunakan bahasa Batak Toba sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak ditutup kemungkinan juga suku-suku pendatang dalam desa tersebut mengerti dan ikut menggunakan bahasa Batak Toba.

Dalam proses penelitian penulis di desa tersebut, penulis melakukan wawancara dengan para informan juga dengan menggunakan bahasa setempat. Dan terkadang sesekali penulis menggunakan bahasa Indonesia ketika menjumpai masyarakat dan pemerintah setempat yang mengerti bahasa Indonesia.

(34)

21

Pada saat wawancara dengan partaganing perempuan Hari Anita Nainggolan, beliau menggunakan bahasa Batak Toba dan juga bahasa Indonesia karena beliau mengerti kedua bahasa tersebut. Hal itu memudahkan penulis untuk berkomunikasi dengan beliau, serta apabila hasil wawancara akan dipindahkan ke dalam tulisan dalam proses kerja laboratorium, pengerjaanya akan lebih mudah.

2.2.3 Sistem Kepercayaan

Sebagian besar masyarakat Lumban Barat menganut Agama Kristen. Tetapi ada juga sebagian kecil masyarakat menganut Agama Islam. Sistem kepercayaan dengan debata mula jadi na bolon15 sudah tidak ditemukan lagi pengikutnya di desa tersebut, tetapi dulu kepercayaan yang dianut masyarakat batak toba adalah kepercayaan terhadap mula jadi na bolon yang dipercayai oleh orang batak sebagai dewa tertinggi mereka yaitu pencipta tiga dunia yaitu: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga), dan dunia bawah (banua toru).

2.2.4 Sistem Kekerabatan

2.2.4.1 Dalihan Na Tolu

Kebudayaan pada masyarakat Batak Toba berakar pada sistem kekerabatan patrilineal16 dan mengikat anggota-anggotanya dalam hubungan triadik, yang disebut dalihan na tolu, yaitu hubungan yang berasal dari kelompok kekerabatan tertentu dalam satu clan (marga). Dalam berhubungan dengan orang lain, orang

15

Debata Mula Jadi Na Bolon dipercaya memiliki kekuasaan di atas langit yang menyangkut jiwa dan

roh yaitu: tondi, sahala dan begu. Tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan. Oleh karena itu tondi memberikan nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka untuk itu diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon (roh jahat) yang menawannya. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi tetapi tidak semua orang memiliki sahala.

Sahala sama dengan kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. Begu adalah tondi orang telah meninggal

yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

16

(35)

22

Batak menempatkan dirinya dalam susunan dalihan na tolu tersebut, sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan adanya hubungan kekerabatan diantara sesamanya (martutur, martarombo17).

Dalam terjemahan bahasa Batak Toba, dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu. Na artinya yang. Tolu artinya tiga. Jadi Dalihan Na Tolu artinya tungku yang tiga tiang. Dalihan dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi bulat panjang. Ujungnya yang satu tumpul dan ujungnya yang lain agak bersegi empat sebagai kaki dalihan, lebih kurang 10 cm yang akan ditanam dan selebihnya yang mencuat dengan panjang lebih kurang 12 cm. Ditanamkan berdekatan sedemikian rupa, ditempatkan di dapur yang sudah disediakan terbuat dari papan empat persegi panjang, berisi tanah yang dikeraskan. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan tadi berfungsi sebagai tungku tempat alat masak dijerangkan. Bentuk dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama yang lain, dengan tinggi yang sama dan harmonis.

Gambar 2.1. Dalihan Na Tolu

17

Martutur ataupun martarombo bisa diartikan sebagai interaksi antar sesama masyarakat Batak Toba yang gunanya untuk mengetahui hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga ketika sudah mengetahui hubungan kekerabatan, mereka secara langsung dapat memanggil sebutan yang sesuai dengan hubungan kekerabatan mereka. Misalnya, ito (sebutan antara laki-laki dan perempuan yang satu marga), pariban (sebutan untuk anak laki-laki dari adik perempuannya ayah), dll.

(36)

23

Demikian juga dengan keadaan kekerabatan suku Batak dan pandangan hidupnya, bahwa dongan sabutuha, hula-hula dan boru masing-masing memiliki pribadi dan harga diri, tahu akan hak dan kewajiban dalam pelaksanaan tanggung jawab di kedudukannya pada suatu saat. Setiap hula-hula hendaklah elek marboru, maksudnya agar hula-hula selalu dalam sikap membujuk sayang terhadap boru, karena dalam adat Batak, boru lah sebagai penanggung jawab kegiatan. Setiap boru hendaklah somba marhula-hula, maksudnya ialah agar boru hendaklah bersikap hormat terhadap hula-hula. Suhut dengan kawan semarganya na marsabutuha hendaklah bersikap manat mardongan tubu, maksudnya agar sesama semarga hendaklah bersikap prihatin, was-was dan hati-hati.

Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan hak dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba secara otomatis berlaku fungsi dalihan na tolu dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan kesadaran bermarga, selama itupula lah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya. Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu atau individu dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.

2.2.4.2 Kedudukan Perempuan dalam Kebudayaan Batak Toba

Peta genealogis dan sejarah orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki. Anak perempuan dan istri tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal, laki-laki dan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan (marga) mereka. Laki-laki sejak kecil sudah disadarkan

(37)

24

bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya. Kendati demikian dalam rangka hubungannya dengan kedua clan tersebut, posisi perempuan dalam kekerabatan adalah ambigu atau tidak jelas, karena meskipun berhubungan dengan keduanya, tetapi tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut.

Konsep kebudayaan Batak Toba mengenai anak mengacu hanya kepada laki-laki, dan bukan perempuan. Oleh karena itu, hanya laki-laki yang mempunyai hak waris tanah, dan perempuan tidak mempunyai hak semacam itu. Perempuan juga memang dianggap patut untuk meminta sebidang tanah kepada ayah atau saudara laki-lakinya, tetapi hal tersebut terjadi pada waktu tertentu misalnya ketika peristiwa yang sangat khusus yaitu perkawinan (pauseang18) atau meminta untuk anak laki-lakinya (indahan arian19).

Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan Batak Toba merupakan orang yang mandiri dan pekerja keras. Perempuan Batak mempunyai peran ganda bahwa selain sebagai ibu rumah tangga, ia juga harus bekerja keras untuk masa depan keluarganya dan mengabdi kepada masyarakat. Oleh sebab itu, perempuan dalam kebudayaan Batak Toba juga mempunyai peran untuk mewujudkan hamoraon,

hagabeon, dan hasangapon. Seperti yang dikemukakan oleh Brunette R Wolfman

(1989: 36), bahwa kaum wanita tidak hanya giat melaksanakan banyak tanggung jawab dan menghayati kehidupan penuh kegiatan, tetapi juga melakukan tugas-tugas itu demi kepentingan masyarakat. Mereka berasal dari kalangan keluarga

18

Akses perempuan kepada tanah secara tradisional adalah melalui pauseang, yaitu pemberian atau hadiah yang diberikan kepada anak perempuan ketika ia menikah. Hadiah ini dapat diperoleh perempuan karena ia meminta kepada ayahnya atau saudara laki-lakinya, dan disahkan secara adat. Namun karena sifatnya adalah pemberian atau hadiah, maka tidak dianggap sebagai hak waris.

19

(38)

25

yang menjunjung tinggi norma keutamaan demi anak-anak. Norma dilaksanakan dengan semboyan “apa saja yang dilakukan, patut diselesaikan dengan baik”.

Istilah sebutan “Boru Raja” dipakai oleh orang Batak Toba untuk meletakkan posisi seorang perempuan dalam setiap keluarga Batak lebih hormat. Sebutan “boru raja” adalah sebuah konsep “kehormatan” dan “penghormatan” untuk perempuan batak yang dimulai sejak ia lahir. “Raja” dalam filosofi Batak, berarti “yang dihormati”. Istri seorang lelaki batak sering dikatakan sebagai “boru

ni raja” atau “putri si raja”. Boru Raja adalah nilai yang melekat pada diri seorang

perempuan Batak, yang bila mau dijelaskan cukup satu kata saja, yakni “terhormat”.

2.2.4.3 Hula-hula (Tulang20/ Paman)

Peran dan fungsi tulang pada masyarakat Batak Toba sangat penting sehingga keberadaan tulang pada ulaon (acara) adat tidak boleh diabaikan atau disepelekan yang merupakan salah satu unsur dalihan na tolu yakni hula-hula21. Namun pada masa sekarang keberadaan tulang cenderung tidak begitu dipentingkan oleh sebahagian orang terlebih setelah berumah tangga/menikah (marhasohotan) dengan perempuan yang bukan anak perempuan dari tulang (Hutasoit, 2012:23)

Dalam perkumpulan marga (punguan marga) Batak Toba harus mengikutsertakan bere22 dalam perkumpulan tersebut sebab boru23 tidaklah berarti apa-apa bila tidak berketurunan. Arti penting boru terletak pada anak-anaknya sehingga apabila bere yaitu anak dari boru tidak dimasukkan ke dalam

20

Sebutan Tulang pada masyarakat Batak Toba ditujukan kepada saudara laki-laki dari ibu. Bisa juga dipakai untuk panggilan kepada laki-laki Batak yang semarga dengan ibu.

21

Hutasoit menjelaskan bahwa hula-hula terdiri dari hula-hula tulang, bona tulang, bonaniari, tulang

rorobot, hula-hula namarhaha-maranggi, hula-hula na poso/parsiat, hula-hula simanjungkot. 22

Bere artinya anak dari saudara perempuan ayah. 23

(39)

26

perkumpulan marga, maka punguan marga tersebut menjadi tidak sesuai dengan adat.

Ada beberapa peran dan fungsi tulang (hula-hula) dalam setiap tradisi dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba, antara lain:

1. Paabinghon bere tu tulangna (menggendongkan bere kepada tulangnya)

Ketika anak pertama lahir, maka setelah beberapa bulan kemudian orang tua si anak membawa makanan (sipanganon na tabo) ke rumah opung baonya (orangtua dari ibunya) karena baru pertama sekali si bayi tersebut datang ke rumah

opung baonya. Dan setelah sampai di rumah opung baonya maka orangtua si anak

memberikan bayi tersebut kepada tulangnya supaya digendong. Dan biasanya pada saat itulah tulangnya menggunting rambut berenya. Menggunting rambut (manimburi) bertujuan agar ubun-ubun si bayi menjadi kuat dan keras yang bermakna supaya si bayi sehat-sehat dan panjang umur. Dan selanjutnya, tulang memberikan ulos parompa (kain gendongan) kepada berenya. Tulang juga bisa menambahkan nama berenya.

Oleh sebab itu, paabinghon bere tu tulangna merupakan salah satu tradisi Batak Toba yang menggambarkan betapa pentingnya tulang pada masyarakat Batak Toba. Tetapi pada masa sekarang ini, tradisi tersebut sudah jarang dilakukan terutama di daerah perkotaan padahal tradisi tersebut merupakan penghormatan paling pertama dari seorang bere kepada tulangnya.

2. Tulang paborhat lao mangoli (tulang sebagai perantara ketika menikah)

Dalam tradisi ini dilakukan sebuah acara yang disebut dengan manulangi

tulang. Makna dari manulangi tulang adalah meghormati tulang sekaligus meminta

(40)

27

perempuan dari tulang) maupun kepada perempuan lain. Perkawinan anak perempuan dari tulang dengan anak laki-laki dari namboru24 pada masa-masa sekarang ini sudah makin jarang, karena pengaruh dari perkembangan zaman.25

3. Tulang pasahat ulos tintin marangkup (tulang memberikan ulos tintin

marangkup).

Ketika seorang bere melangsungkan pesta pernikahan dan masuk kedalam acara adat, maka tulang memberikan ulos tintin marangkup kepada bere tersebut. Maknanya yaitu pemberian restu kepada bere atas pernikahan yang sedang berlangsung.

4. Tulang pasahat saput atau pasahat tujung (tulang memberikan ulos saput maupun ulos tujung).

Menurut adat Batak Toba, bila bere laki-laki meninggal dunia maka tulang akan memberikan Ulos Saput, sedangkan bila istri si bere meninggal dunia maka

tulang akan memberikan Ulos Tujung. Pemberian ulos tersebut menunjukkan

bahwa tulang akan memberikan kewajiban adat terakhir kepada bere tersebut.

5. Tulang manampin saring-saring/holi (tulang menampung tulang-belulang) Peran dan fungsi tulang pada acara adat mangongkal holi/saring-saring26 pada masyarakat Batak Toba merupakan hak dan kewajiban serta keharusan hukum adat sebab tulang-belulang orangtua laki-laki diangkat tanpa dilihat oleh tulangnya, maka hal itu disebut mencuri. Karena itu kehadiran tulang untuk manampin

24

Saudara perempuan ayah.

25

Anak perempuan dari tulang dan anak laki-laki dari namboru disebut dengan pariban. Keduanya boleh menikah sesuai dengan adat Batak Toba.

26Mangongkal holi/saring-saring merupakan acara adat pada masyarakat Batak Toba yaitu

mengangkat tulang-belulang orangtua, leluhur selanjutnya dimasukkan ke dalam tambak atau tugu. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati jasa-jasa orangtua.

(41)

28

saring/holi pada saat mangomgkal holi merupakan hukum wajib agar prosesi yang

sedang berlangsung tidak disebut mencuri.

2.2.5 Kesenian

Masyarakat Batak juga pecinta seni. Kesenian-kesenian tersebut meliputi seni musik, seni sastra, seni tari, seni bangunan dan seni kerajinan tangan. Berikut ini adalah kesenian-kesenian yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.

2.2.5.1 Seni Musik

Seni musik dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari dua bagian yaitu musik vocal (ende) dan musik instrumentalia (gondang). Musik instrumen yang disebut dengan gondang terdiri dari dua ansambel musik, yaitu ansambel gondang

sabangunan dan ansambel gondang hasapi.

Ansambel gondang sabangunan terdiri dari lima buah gendang yang disebut dengan taganing, satu gordang, satu sarune bolon, empat buah ogung yang terdiri dari ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora, dan doal. Dan yang paling penting yaitu hesek sebagai pembawa tempo. Sedangkan ansambel gondang hasapi terdiri dari satu buah sarune etek, sulim, garantung, dan dua buah hasapi yang disebut dengan hasapi ende dan hasapi doal.

Musik vokal (ende) tradisional Batak Toba pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu (1986:27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian yaitu:

1. Ende mandideng adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak.

(42)

29

2. Ende sipaingot adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan menikah dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut.

3. Ende pargaulan adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo-chorus” dan dinyanyikan oleh kaum muda mudi dalam waktu senggang biasanya malam hari.

4. Ende tumba adalah musik vokal yang khususnya dinyanyikan saat pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.

5. Ende sibaran adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi ditempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan adalah musik vokal yang berkenan dengan pemberkatan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.

7. Ende hata adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara “monoton” seperti metric speech. Liriknya berupa rangkain pantun dengan bentuk aabb yang memiliki jumlah suku kata yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipinpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orangtua.

8. Ende andung adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal dunia yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung melodinya datang secara spontan

(43)

30

sehingga penyanyinya haruslah 31 penyanyi yang cepat tanggap dan trampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.

2.2.5.2 Seni Sastra

Sastra batak khususnya cerita rakyat dalam bahasa Toba disebut turi-turi. Seni sastra ini diungkapkan berupa umpama (pantun). Bentuk dari umpama tersebut sama dengan pantun melayu yaitu berbaris empat, mengandung sampiran dan bersajak ab-ab. Pantun batak bermacam-macam jenisnya dan dapat dibedakan menurut isinya. Ada pantun yang biasa dipergunakan pada pidato-pidato dalam upacara-upacara hukum adat dan ada pula yang mengenai percintaan antar muda-mudi.

Tonggo-tonggo adalah ucapan yang disusun secara puitis dan biasanya

diungkapkan pada waktu mengadakan upacara-upacara ritual. Terkadang kalimatnya panjang dan isi kata-katanya penuh serta mengandung gaya bahasa yang indah. Pada umumnya jarang orang yang bisa mengucapkan hal tersebut dan hanya orang-orang tertentulah yang mampu mengucapkannya dengan indah.

Teka-teki yang singkat disebut dalam bahasa batak toba disebut

huling-hulingan. Kalau teka-teki itu memerlukan jawaban dan disampaikan berupa cerita,

maka hal tersebut dinamakan torkan-torkan. Hal ini adalah umpama oleh para orang tua terhadap anak-anak.

2.2.5.3 Seni Tari

Tor-tor merupakan tarian, namun makna yang paling dalam dari

(44)

31

1953:64). Tor-tor Batak Toba memiliki arti yang mendalam pada gerakannya, karena dulunya tor-tor digunakan sebagai media komunikasi bagi masyarakat Batak Toba.

Seni tari (tor-tor) adalah ekspresi gerakan tubuh yang diikuti dengan gerakan tangan dan diiringi oleh gondang. Tari tor-tor ini dapat dilakukan oleh perorangan, berpasangan ataupun berkelompok. Tarian perorangan misalnya yang berhubungan dengan ritus. Tarian seperti ini antara lain tarian tunggal panaluan, dimana sang dukun menari, berdoa dan sambil memegang tongkat sihir tersebut.

Tarian bersama dalam upacara-upacara adat menurut tradisinya merupakan tarian yang dilakukan bersama-sama dari masing-masing unsur dalihan natolu dan semua pelaku tor-tor ini mendukung upacaranya. Biasanya tarian yang melibatkan ketiga unsur dalihan natolu ini menunjuk seorang pemimpin tor-tor yang akan mengatur gerakan yang sesuai dan selaras dengan pola gerakan etika di dalam

tor-tor. Di dalam pola gerakan tor-tor Batak Toba ada sebuah gerakan berputar yang

berlawanan dengan jarum jam, hal ini dilakukan apabila orang-orang manortor (menari) menarikan tor-tor gondang mangaliat di upacara adat.

2.2.5.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran

Rumah adat tradisional Batak Toba terbuat dari kayu dengan tiang-tiang yang besar dan kokoh. Atapnya terbuat dari bahan ijuk dan bentuk atapnya adalah melengkung. Diujung atap bagian depan terdapat tanduk kerbau. Motif ornament pada rumah adat Batak biasanya diukur. Secara anatomis struktur bangunan rumah adat Batak toba dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

1. Bagian langit-langit (lambang dunia atas) 2. Bagian dinding/lantai (lambang dunia tengah)

Gambar

Tabel 2.1. Laporan Kependudukan
Gambar 2.1. Dalihan Na Tolu
Tabel 3.1. Pengertian Kata Gondang Pada Masyarakat Batak Toba
Tabel 3.2 Peran Musikal Dalam Ansambel Gondang Sabangunan  Nama Alat Musik dan Peran Musikal dalam Ansambel
+3

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul “Dari Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) hingga Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) Sejarah Perkebunan Teh Sidamanik 1968-2005” ini

Penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: “Kajian Makna Teks dan Struktur Melodi Lagu Onang-onang yang Disajikan Bapak Ridwan Aman

Hasil dari skripsi yang diperoleh oleh penulis adalah penulis akan mengetahui mengapa nangan tersebut diberikan kepada anak-anak saat menjelang tidur, dimana dalam nangan

Berdasarkan hukum Adat Batak Toba, masing-masing anak kandung menurut hukum waris ada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan karena perempuan bukan

Dalam keluarga dengan perkawinan campuran antara laki-laki suku Batak dan perempuan suku Minang di Sumatera Utara, sistem kekerabatan yang dianut secara formal

Lebih jauh, fungsi nandong smong adalah sebagai sarana penyelamatan diri dari bencana tsunami, kontinuitas generasi manusia, menjaga hubungan manusia dengan manusia,

Berbagai faktor yang membuat sebuah keluarga Batak Toba Kristen memutuskan untuk bercerai diantaranya : terjadinya konflik dimana dalam sebuah keluarga tersebut tidak dikaruniai

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul