• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIKERJAKAN. Nama : Velix Hardisaputra Sianipar NIM : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DIKERJAKAN. Nama : Velix Hardisaputra Sianipar NIM : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2020"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PEMBUATAN DAN MEMAINKAN OGUNG BULU BUATAN BAPAK TULUS SINAMBELA DI DESA PARARUNGAN, KECAMATAN HABINSARAN, KABUPATEN TOBA SAMOSIR

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

Nama : Velix Hardisaputra Sianipar NIM : 130707063

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2020

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka.

Medan, 30 Januari 2020

Velix Hardisaputra Sianipar NIM 130707063

(6)

ABSTRAK

TEKNIK PEMBUATAN DAN MEMAINKAN OGUNG BULU (BATAK TOBA) BUATAN BAPAK TULUS SINAMBELA DI DESA PARARUNGAN, KEC. HABINSARAN, KAB. TOBA SAMOSIR.

Ogung Bulu adalah alat musik etnis Batak Toba yang terbuat dari bahan bambu yang sudah punah keberadaannya. Pada masa lalu Ogung Bulu dipakai didalam ansambel musik Gondang Hasapi sebagai pembawa ritem. Penulis menggunakan teori yang dikemukakan oleh Khasima Shusumu yaitu terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni pendekatan struktural untuk membahas konstruksi alat musik dan fungsional untuk membahas produksi bunyi. Dan penulis juga menggunakan teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel yaitu tentang pengklasifikasian alat musik berdasarkan karakteristik dari alat musik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, melalui penelitian lapangan dengan melakukan rekonstruksi, observasi, wawancara dan juga mencatat, merekam, serta memfoto yang diperlukan sebagai data penelitian dalam penulisan ini. Hasil yang diharapkan penulis dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses pembuatan, teknik pembuatan, teknik memainkan, fungsi dari Ogung Bulu, dan untuk merekonstruksi kembali alat musik Toba yang sudah punah.

Kata kunci : Ogung Bulu, Batak Toba, Alat Musik Tradisional

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta alam semesta-Nya, yang selalu senantiasa memberikan kasih, kesabaran dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul : “TEKNIK PEMBUATAN DAN MEMAINKAN OGUNG BULU (BATAK TOBA) BUATAN BAPAK TULUS SINAMBELA

DI DESA PARARUNGAN, KEC. HABINSARAN, KAB. TOBA SAMOSIR”.

Skripsi ini merupakan syarat akhir untuk menyelesaikan perkuliahan dan memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua terkasih Bapak B. Sianipar dan Mama A. Siahaan yang sudah membesarkan penulis dengan kesabaran serta kasih sayang dan bersusah payah membiayai, mendoakan dan membimbing penulis dengan semangat yang luar biasa hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga doa kalian untukku menjadi tangga yang menghantarkan impian-impianku menjadi kenyataan. Dan semoga Bapak dan Mama senantiasi diberkati, dilindungi, diberi kesehatan dan umur yang panjang serta kebahagiaan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Terima kasih kepada Ketua Program Studi Etnomusikologi ibu Arifninetrirosa, SST, M.A. dan bapak Drs. Bebas Sembiring M.Si. selaku sekretaris Prodi Etnomusikologi yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam administrasi serta regristrasi perkuliahan untuk menyelesaikan tugas akhir penulis.

Terima kasih kepada bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum dan ibu Dra.

Frida Deliana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah sabar dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran dalam membimbing serta memberikan arahan, motivasi dan saran-saran yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun penulisan skripsi ini.

(8)

Terima kasih kepada bapak Dr. Budi Agustono, M.S. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya, yang telah mengesahkan secara resmi tugas akhir skripsi ini dan tak lupa kepada ibu Wawa yang telah banyak membantu penulis di kantor prodi, serta kepada seluruh staf pengajar prodi etnomusikologi yang sudah membimbing dan mengajarkan wawasan kepada penulis selama di perkuliahan.

Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih kepada Bapak Tulus Sinambela dan keluarga yang sudah sangat berbaik hati menerima penulis untuk tinggal dirumahnya dan memberikan motivasi, arahan, saran-saran, wawasan dan membimbing selama melakukan penelitian. Serta kepada seluruh jemaat Ugamo Malim Najumanghon Uras yang sudah memberikan pengetahuan tentang adat dan budaya batak asli serta mengizinkan penulis untuk ikut serta dalam upacara ritual yang dilaksanakan di Desa Pararungan.

Khusus untuk Black Canal Community dan IME, tempat dimana penulis belajar, memperoleh pengalaman-pengalaman seru, dukungan serta saran-saran yang membangun, penulis ucapkan banyak terima kasih.

Penulis sudah semaksimal mungkin melakukan yang terbaik sejauh ini tetapi penulis menyadari akan kekurangan pada setiap bab pembahasan dalam tulisan ini, banyak data yang belum penulis dapatkan untuk memenuhi dan menyempurnakan tulisan ini. Oleh karena itu penulis menerima dengan ikhlas segala bentuk kritik dan saran demi perbaikan tulisan ini. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

LEMBAR PENGESAHAN ...

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pokok Permasalahan... ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... ... 6

1.3.1 Tujuan penelitian... ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian... 6

1.4 Konsep dan Teori... ... 6

1.4.1 Konsep... ... 6

1.4.2 Teori... ... 10

1.5 Metode Penelitian... ... 10

1.5.1 Studi Kepustakaan... ... 10

1.5.2 Kerja Lapangan... ... 11

1.5.2.1 Wawancara... ... 12

1.5.2.2 Fotografi ... 12

1.5.3 Kerja Laboratorium... ... 12

1.5.4 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan... ... 13

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TOBA DI DESA PARARUNGAN 2.1 Letak Geografis Kabupaten Toba Samosir ... 13

2.2 Lokasi Penelitian ... 15

2.3 Pola Perkampungan dan Letak Rumah ... 18

2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Toba ... 19

2.4.1 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Darah ... 19

2.4.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan ... 21

2.5 Sistem Kepercayaan ... 25

2.6 Penduduk, Sistem Bahasa dan Mata Pencaharian ... 30

2.7. Sistem Kesenian ... 31

2.7.1 Seni Musik... 31

2.7.1.1 Musik Vokal ... 31

2.7.1.2 Ansambel Gondang Hasapi ... 33

2.7.1.3 Ansambel Gondang Sabangunan ... 34

2.7.1.4 Instrument Tunggal ... 35

2.7.2 Seni Tari (Tortor) ... 36

2.7.3 Seni Sastra ... 36

2.7.4 Seni Rupa ... 38

(10)

BAB III STUDI ORGANOLOGIS OGUNG BULU

3.1 Klasifikasi Ogung Bulu ... 39

3.2 Konstruksi Bagian-bagian Ogung Bulu ... 40

3.3 Ukuran Bagian-Bagian Ogung Bulu ... 40

3.4 Teknik Pembuatan ... 42

3.4.1 Bahan Baku Yang Digunakan ... 42

3.4.1.1 Bambu ... 43

3.4.2 Peralatan Yang Digunakan ... 44

3.4.2.1 Gergaji ... 44

3.4.2.2 Parang ... 45

3.4.2.3 Pisau... 46

3.4.2.4 Pahat ... 46

3.4.2.5 Penggaris/Tali Plastik ... 47

3.4.3 Proses Pembuatan Awal ... 47

3.4.3.1 Memilih dan Menebang Bambu ... 47

3.4.3.2 Memotong Satu Ruas Bambu ... 48

3.4.3.3 Mengikis Batas Ruas Pangkal Bambu ... 49

3.4.4 Proses Pembuatan Selanjutnya ... 50

3.4.4.1 Membuat Lubang Udara ... 51

3.4.4.2 Membuat Palu-palu ... 51

3.5 Kajian Fungsional ... 52

3.5.1 Proses Belajar ... 52

3.5.2 Teknik Penyetaman Tiap Ogung Bulu... 53

3.5.3 Cara Memainkan Ogung Bulu ... 54

3.5.3.1 Posisi Badan ... 54

3.5.3.2 Posisi Tangan Memainkan Panggora, Oloan dan Ihutan ... 54

3.5.3.3 Posisi Tangan Memainkkan Doal ... 56

3.5.4 Pola Ritem ... 57

BAB IV EKSISTENSI OGUNG BULU BATAK TOBA 4.1 Sejarah Ogung ... 59

4.1.1 Sub-etnis Toba ... 60

4.1.2 Sub-etnis Karo ... 62

4.1.3 Sub-etnis Mandailing dan Angkola ... 62

4.1.4 Sub-etnis Simalungun ... 62

4.1.5 Sub-etnis Pakpak ... 62

4.2 Fungsi Ogung Bulu Pada Masyarakat Toba ... 62

4.2.1 Fungsi Pengungkapan Emosional ... 63

4.2.2 Fungsi Hiburan ... 64

4.2.3 Fungsi Komunikasi ... 64

4.2.4 Reaksi Jasmani ... 64

4.2.5 Perlambangan ... 64

4.2.6 Fungsi Penghayatan Estetis ... 65

4.3 Eksistensi Ogung Bulu ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 68

5.2 Saran ... 70

(11)

DAFTAR PUSTAKA ... 72

DAFTAR GAMBAR Peta 1 : Wilayah Kecamatan Habinsaran

Gambar 1 : Ukuran bagian-bagian Ogung Bulu Panggora Gambar 2 : Ukuran bagian-bagian Ogung Bulu Oloan Gambar 3 : Ukuran bagian-bagian Ogung Bulu Ihutan Gambar 4 : Ukuran bagian-bagian Ogung Bulu Doal Gambar 5 : Bambu (bulu godang atau bulu bolon) Gambar 6 : Gergaji tangan

Gambar 7 : Parang ukuran sedang Gambar 8 : Pisau ukuran sedang Gambar 9 : Pahat

Gambar 10 : Tali plastik (rafia)

Gambar 11 : Memilih dan menebang bamboo Gambar 12 : Memotong 1 ruas bamboo Gambar 13 : Mengikis batas ruas bamboo Gambar 14 : Membuat lubang udara

Gambar 15 : Proses pembuatan lubang udara Gambar 16 : Palu-palu (stik pemukul ogung bulu) Gambar 17 : Teknik memainkan ogung bulu oloan Gambar 18 : Teknik memainkan ogung bulu ihutan Gambar 19 : Teknik memainkan ogung bulu panggora Gambar 20 : Teknik memainkan ogung bulu doal Gambar 21 : Transkripsi ritem tiap-tiap ogung bulu

(12)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia dikenal dengan keberagaman suku dan etnisnya, tiap suku dan etnis tentunya memiliki kekhasan adat istiadat dan budaya masing-masing.

Dalam setiap warisan budaya nenek moyang yang sudah ada sejak dahulu dan salah satunya kesenian yang turun-temurun diwariskan kepada generasinya walaupun pada setiap perkembangannya tidak bisa dijaga keutuhannya akibat modernisasi baik itu pada objeknya ataupun subjeknya.

Kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, dimana kebudayaan dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena di dalam kehidupan manusia selalu mencipta dan menggunakan kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan. Kebudayaan oleh para pakar diberi pengertian sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan di masyarakat dimana ia tinggal (Koentjaraningrat, dalam Pelly,1994:22). Sedangkan menurut Bastomi, (1985:3) kebudayaan merupakan unsur-unsur budi daya luhur yang indah, misalnya; kesenian, sopan santun, ilmu pengetahuan. Kebudayaan daerah terangkum di dalam kebudayaan nasional. Salah satu dari sekian banyak kebudayaan tersebut adalah kebudayaan suku Batak.

Suku Batak terdiri atas enam sub suku yaitu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Sebagian besar suku Batak masih memelihara kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Di antara keenam sub suku tersebut, terdapat persamaan dan perbedaan bahasa dan budaya, misalnya dalam

(13)

hal dialek bahasa, tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat kebiasaan. Struktur dan sistem hubungan sosial dari keenam sub suku tersebut pada dasarnya sama, yakni terdiri atas tiga unsur sosial (kekerabatan). Ketiga unsur sosial itu terdapat pada semua sub suku dengan istilah yang sedikit berbeda namun fungsi dari ketiga unsur tersebut adalah sama yaitu untuk mengatur tata hubungan sesama anggota masyarakat, baik yang merupakan kerabat dekat, k erabat luas, saudara semarga maupun beda marga serta masyarakat umum (Hutajulu dan Harahap,2005).

Dalam suatu kebudayaan pastilah ditemui unsur kesenian, yang didukung oleh musik dan tari, yang fungsinya adalah sebagai media pendukung terbentuknya suatu kebudayaan. Pada prinsipnya, musik terdiri dari wujud gagasan, seperti konsep tentang ruang: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, frekuensi nada, sebaran nada-nada, kontur, formula melodi, dan lain- lainnya. Dimensi ruang dalam musik ini merupakan organisasi suara. Sementara di sisi lain, musik juga dibangun oleh dimensi waktu, yang terdiri dari : metrum atau birama, nilai not (panjang pendeknya durasi not), kecepatan (seperti lambat, sedang, cepat, sangat cepat). Kedua dimensi pendukung musik ini, kadang juga berhubungan dengan seni tari yang diiringinya.

Pengertian Gondang pada masyarakat Batak Toba mempunyai makna yang berbeda-beda. Kata gondang dapat diartikan dengan ansambel musik, judul komposisi musik, sebuah upacara dan nama dari instrumen. Untuk itu perlu dipahami bahwa kata gondang berarti sesuatu yang fleksibel, tergantung ke konteks apa digunakan. Secara umum, terdapat dua ansambel gondang yang ada pada masyarakat Batak Toba yakni: Gondang Hasapi dan Gondang Sabangunan.

(14)

Namun ada 1 ansamble gondang yang jarang digunakan oleh masyarakat Toba yakni Gondang Bulu.

Dalam ansambel gondang bulu terdapat dua perangkat alat musik.

Perangkat yang pertama terdiri dari: empat buah ogung bulu, taganing bulu, sarune etek dan hesek. Perangkat yang kedua terdiri dari: empat buah ogung bulu, garantung, sulim atau sarune etek dan hesek (Maharani 1993:1-5). Ansambel gondang bulu memiliki beberapa instrumen yang dapat diklasifikasikan menurut sifatnya, yaitu:

1. Ogung bulu adalah alat musik perkusif yang terbuat dari bambu berbentuk silinder yang dipukul dengan stik (palu-palu). Alat musik ini masuk dalam klasifikasi Idiofon.

2. Taganing bulu adalah alat musik yang terbuat dari bambu dan terdiri dari lima buah gendang yang ditabuh dengan menggunakan stik (palu-palu). Alat musik ini masuk dalam klasifikasi membranofon.

3. Garantung adalah intrumen pembawa melodi yang terbuat dari bilah kayu yang mempunyai lima bilah. Klasifikasi alat musik ini termasuk kelompok xylofon. Memainkan alat musik ini dengan cara dipukul dengan kayu.

4. Sarune etek adalah alat musik yang terbuat dari kayu dan mempunyai sebuah reed (lidah) terbuat dari bambu. Alat musik ini masuk dalam klasifikasi aerofon.

5. Sulim adalah alat musik yang terbuat dari bambu dan mempunyai enam buah lubang nada. Alat musik ini masuk dalam klasifikasi aerofon.

(15)

6. Hesek adalah intrumen pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari botol atau pecahan logam. Alat musik ini masuk ke dalam klasfikasi idiofon.

Ogung Bulu termasuk dalam klasifikasi alat musik Idiofon, dan memiliki fungsi yang sama dengan Ogung (Gong) yaitu sebagai pembawa ritem konstan.

Ogung Bulu berjumlah 4 buah Ogung yakni Panggora, Oloan, Ihutan, dan Doal yang dimainkan oleh 4 orang. Ogung bulu terbuat dari bambu yang disebut Bulu Godang yang berbentuk silinder, mempunyai lubang udara (resonator) dibagian tengah badan bambu dan dimainkan dengan cara dipukul. Di jaman sekarang ini Ogung Bulu maupun Gondang Bulu sudah sangat sulit ditemukan, bisa dikatakan sudah punah.

Namun di Desa Pararungan yang merupakan pemekaran dari desa Panamparan Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir ada yang masih dapat membuat Ogung Bulu yang bernama Bapak Tulus Sinambela. Beliau seorang parsarune yang sebelumnya menjadi seorang partaganing. Bapak Tulus Sinambela masih memeluk kepercayaan Ugamo Malim Najumangkon Uras yang bermukim di Desa Pararungan Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir dan beliau merupakan Tokoh Adat di desa tersebut. Beliau mengetahui pembuatan Ogung Bulu dari almarhum orang tuanya yang juga seorang pargoci yang memainkan instrumen Taganing. Oleh karena itu penulis memilih beliau untuk menjadi informan.

Dalam hasil wawancara dengan Bapak Tulus Sinambela pada tanggal 23 Januari 2019, Ogung bulu ini dahulunya digunakan dalam ansamble Gondang Hasapi dan Gondang Bulu dahulunya sebagai musik hiburan dan ritual ditempat

(16)

peristirahatan dalam perjalanan masyarakat Toba , tetapi tidak banyak orang yang mengetahui ansamble musik tersebut dan mungkin hanya ada di desa Pararungan, Kecamatan Habinsaran. Penulis menduga Ogung Bulu sudah ada sebelum Ogung (Logam), karena dijaman dulu masih minimnya bahan untuk membuat Gong yang berbahan logam sehingga instrumen ini sempat digunakan oleh masyarakat Batak Toba didalam ansambel Gondang Hasapi dan Gondang Bulu yang digunakan untuk kebutuhan ritual, adat istiadat, serta dalam kebutuhan hiburan.

Dari latar belakang tersebut di atas maka penulis tertarik untuk meneliti, mengkaji serta menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah. Hal yang menarik dari penelitian ini ialah bagaimana Ogung Bulu tersebut dapat menghasilkan suara yang sama dengan 4 buah Gong yang kita kenal di etnik Batak Toba, bagaimana proses pemilihan bambu sampai dapat dibuat menjadi Ogung Bulu dan untuk merekonstruksi Ogung Bulu tersebut. Oeh karena itu penulis ingin mengkajinya dengan judul: Teknik Pembuatan Dan Memainkan Ogung Bulu Oleh Bapak Tulus Sinambela.

1.2. Pokok Permasalahan

Dari latar belakang yang penulis kemukakan di atas maka permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana struktur alat musik Ogung Bulu?

2. Bagaimana proses dan teknik pembuatan Ogung Bulu?

3. Bagaimana teknik memainkan Ogung Bulu?

(17)

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian terhadap Ogung Bulu adalah :

1. Untuk mendeskripsikan struktur dan teknik pembuatan Ogung Bulu.

2. Untuk mendeskripsikan teknik memainkan Ogung Bulu.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terhadap alat musik Ogung Bulu adalah :

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai Ogung Bulu.

2. Untuk membantu dalam suatu usaha melestarikan musik tradisional khususnya Toba.

3. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan dikemudian hari.

4. Sebagai panduan bagi siapa saja yang ingin membuat dan memainkan Ogung Bulu.

1.4. Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005). Konsep juga dapat diartikan suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang perlu dirumuskan (Mardalis 2003:46).

(18)

Teknik adalah cara membuat sesuatu atau melakukan sesuatu. Yang dimaksud dengan teknik pembuatan dan memainkan dalam tulisan ini adalah bagaimana cara membuat Ogung Bulu, cara memainkannya serta posisi memainkan dan memproduksi suara Ogung Bulu tersebut.

Sementara organologi merupakan bagian dari etnomusikologi yang meliputi semua aspek, diantaranya adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk pada pola biasanya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah nada yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut. Organologi juga tidak hanya membahas masalah teknik memainkan, fungsi musikal, dekorasi (pola hiasan) fisik, dan aspek sosial budaya, melainkan termasuk didalamnya sejarah dan deskripsi alat musik tersebut secara konstruksional, (Hood, 1982:124).

Dari konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik pembuatan dan memainkan ogung bulu oleh Bapak Tulus Sinambela di Desa Pararungan merupakan penelitian secara mendalam mengenai bagaimana struktur dan bagian- bagian ogung bulu, proses pembuatan instrumen ogung bulu, cara memainkan dan fungsi dari ogung bulu tersebut.

Ogung bulu merupakan sebuah alat musik dalam ansambel Gondang Hasapi dan Gondang Bulu yang sudah sangat sulit dijumpai lagi. Dikatakan sebagai ansambel karena alat musik tersebut mempunyai peran sebagai pembawa ritem dalam ansambel gondang hasapi dan gondang bulu. Untuk menentukan tinggi rendahnya nada dapat dilihat dari ukuran dan besar lubang suara ogung bulu tersebut.

(19)

1.4.2. Teori

Teori dianggap sebagai sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematik dalam gejala sosial yang ingin diteliti dan juga merupakan alat dari ilmu (tool of science). Tanpa teori, penemuan tersebut akan menjadi keterangan- keterangan empiris yang berpencar (Nazir, 1983:22-25).

Untuk mengkaji instrumen ogung bulu, penulis mengacu pada teori Oral Tradition yang dikemukakan oleh Jan Vansina yaitu tradisi lisan sebagai "pesan verbal berupa pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini" di mana "pesan itu haruslah berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik"; "Haruslah ada penyampaian melalui tutur kata dari mulut sekurang-kurangnya sejarak satu generasi". Dia mengemukakan bahwa "Definisi kami adalah definisi yang berfungsi bagi kalangan sejarawan.

Para sosiolog, bahasawan, atau sarjana seni verbal mengajukan pendekatannya masing-masing, yang untuk kasus khusus (sosiologi) mungkin saja menekankan pengetahuan umum, fitur kedua yaitu membedakan bahasa dari dialog (bahasawan) biasa, dan fitur terakhir adalah bentuk dan isi yang mendefinisi seni (pendongeng)”. Dan teori yang dikemukakan oleh Khasima Susumu di dalam APTA (Asia Performing Traditional Art, 1978:74), yaitu

“1. Structural and 2. Functional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument – observing, measuring, and recording the shape, size, construction and the materials used in making the instrument.

The second deals with its function as a sound-producing tool researching, measuring and recording the playing methods, tuning methods, sound producing uses and the loudness, pitch, timbre, and quality of the sound produced”(Susumu, 1978 : 174).

(20)

Secara struktural yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai.

Di sisi lain, secara fungsional, yaitu : fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara.

Berkaitan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Khasima Susumu dan dengan melihat kenyataan yang terjadi pada Batak Toba, maka penulis melakukan pembahasan baik secara struktural maupun fungsional dari instrument itu sendiri.

Mengenai klasifikasi alat musik ogung bulu dalam tulisan ini penulis mengacu pada teori yang di kemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu: ”Sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu: idiofon yang penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri, aerofon yang penggetar utama bunyinya adalah udara, membranofon yang penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran, kordofon yang penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai. Selain itu pula, setiap alat musik harus diukur, dideskripsikan, dan digambar dengan skala atau difoto; prinsip-prinsip pembuatan, bahan yang digunakan, motif dekorasi, metode dan teknik pertunjukan, menentukan nada-nada yang dihasilkan, dan masalah teoretis perlu pula dicatat.

(21)

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif (Kirk dan Miller dalam Moleong, 1990:3) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri serta berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan dalam peristilahannya.

Untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory work). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study) (Merriam, 1964 :37).

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, umumnya ada dua macam, menggunakan metode pertanyaan (questionnaires) dan menggunakan wawancara (interview).

1.5.1 Studi Kepustakaan

Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku- buku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian. Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

(22)

Beberapa bahan tertulis yang digunakan sebagai pendukung yang relevan dengan topik ini adalah :

1. Studi Deskriptif dan Musikologis Gondang Bulu yang Dimainkan Anak-anak Batak Toba di Desa Pasoburan Tengah, Kecamatan Habinsaran. Tulisan ini merupakan Skripsi yang ditulis oleh Maharani.

2. Perubahan Dan Kontinuitas Ritual Pembuatan Taganing Di Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir. Tulisan ini merupakan skripsi yang ditulis oleh Martahan Sitohang.

1.5.2 Kerja Lapangan

Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 108), bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (fieldwork) dengan menggunakan teknik observasi untuk melihat, mengamati objek penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan.

Dalam hal ini, penulis juga langsung melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah diketahui sebelumnya, dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru, yang menjadi bahan pertanyaan yang dirasa mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini dilakukan untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar, untuk mendukung proses penelitian.

(23)

1.5.2.1 Wawancara

Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985 : 139), yaitu:

Wawancara berfokus (Focused interview), Wawancara bebas (Free interview), Wawancara sambil lalu (Casual interview). Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas.

Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.

Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang.

1.5.2.2. Fotografi

Fotografi merupakan teknik yang digunakan untuk merekam suatu peristiwa/objek yang digunakan sebagai data penelitian atau menggambarkan dengan artistik kejadian faktual sebuah fenomena/kejadian sosial atau kultur (1969:8). (Kamus Webster).

1.5.3 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti

(24)

kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya.

Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi.

1.5.4 Pemilihan Lokasi Penelitian dan Informan

Yang menjadi tempat lokasi penelitian penulis adalah di Desa Pararungan, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir. Penulis memilh lokasi ini karena di desa ini masih mengenal Ogung Bulu dan sebagian penduduknya masih menganut aliran kepercayaan Batak Toba yakni Parmalim.

Mencari informan adalah suatu tindakan penting yang dibutuhkan penulis , karena dengan mendapatkan informasi yang sesuai, maka masalah yang akan penulis bahas dapat terungkap dengan jelas dengan bantuan informan tersebut.

Sebagai tindakan awal, penulis memilih satu informan pangkal yaitu Bapak Tulus Sinambela, dengan alasan beliau merupakan seorang Pargoci yang masih menganut aliran kepercayaan Malim dan anak dari seorang Pargoci.

Daftar Informan :

1. Nama : Tulus Sinambela (Op. Maya) Alamat : Desa Pararungan, Kec. Habinsaran

Umur : -

Pekerjaan : Pargonci, Petani

2. Nama : M. Simangunsong (Op. Jaya)

Alamat : Dusun Labu Jior, Desa Meranti Timur

Umur : -

Pekerjaan : Pargonci, Petani

(25)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA PARARUNGAN

Dalam Bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum masyarakat Batak Toba, yang meliputi Lokasi penelitian, Sistem kekerabatan, Sistem kepercayaan, Sistem mata pencaharian, Sistem kemasyarakatan, dan Sistem kesenian masyarakat yang tinggal di daerah Desa Pararungan Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir.

2.1 Letak Geografis Kabupaten Toba Samosir

Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Secara geografis, Kabupaten Toba Samosir berada pada 2003’ - 2040’

Lintang Utara dan 98056’ - 99040’ Bujur Timur, yang berada pada ketinggian 900 - 2.200 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Toba Samosir berada di antara lima kabupaten yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Timur berbatasan dengan Labuhan Batu dan Asahan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Kabupaten Toba Samosir terdiri dari 16 kecamatan yaitu Kecamatan Balige, Kecamatan Tampahan, Kecamatan Laguboti, Kecamatan Habinsaran, Kecamatan Borbor, Kecamatan Nassau, Kecamatan Silaen, Kecamatan Sigumpar, Kecamatan Porsea, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kecamatan Siantar Narumonda, Kecamatan Parmaksian,

(26)

Kecamatan Lumban Julu, Kecamatan Uluan, Kecamatan Ajibata, dan Kecamatan Bonatua Lunasi.

Luas wilayah Kabupaten Toba Samosir sekitar 202.180 Ha yang terdiri dari luas hutan sekitar 109.626 Ha. Dari 16 kecamatan yang ada, kecamatan yang paling luas di Kabupaten Toba Samosir adalah Kecamatan Habinsaran sekitar 408,70 km2 atau 20,21% dari luas kabupaten dan kecamatan terkecil luasnya yaitu Kecamatan Siantar Narumonda sekitar 22,20 km2 atau 1,10%.

2.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini berada di kediaman Bapak Tulus Sinambela selaku pembuat Ogung Bulu, yang letaknya berada di Desa Pararungan Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir.

Kecamatan Habinsaran merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Toba Samosir yang diapit oleh empat kecamatan, yaitu Borbor, Nassau, Silaen, dan Pintu Pohan Meranti. Memiliki luas wilayah 408,70 km2 yaitu 20,21% dari total luas Kabupaten Toba Samosir. Secara astronomis, Kecamatan Habinsaran terletak diantara 2006’ - 2022’ Lintang Utara dan antara 98035’ - 99010’ Bujur Timur.

Jarak dari Kecamatan Habinsaran ke Kantor Bupati Toba Samosir sejauh 52 Km.

Menilik luasan tersebut, daerah Habinsaran memang menjadi potensi sumberdaya penting untuk Tobasa. Sayangnya, Habinsaran tergolong daerah terpencil atau terisolir di Kabupaten Tobasa. Karena itu, bukan saja dia kurang dikenal, tapi arus pembangunan juga agak tersendat ke sana dan jalan akses desa yang masih menjadi masalah utama. Karena sulit dijangkau, maka daerah Habinsaran ini dikenal sebagai daerah tertinggal di Tapanuli Utara dulu, atau di Tobasa sekarang.

(27)

Daerah ini kurang dipromosikan dan kurang disentuh. Padahal potensinya besar.

Terutama potensi perkebunan. Habinsaran dikenal sebagai penghasil kopi, kemenyan, dan rempah andaliman. Disamping tergolong lumbung beras juga.

Tapi potensi perkebunan itulah yang paling menjanjikan untuk dikembangkan di sana.

Mengapa dinamai Habinsaran? Karena perspektif geografis orang Batak tempo dulu menetapkan daerah tepi timur Tanah Batak sebagai habinsaran, tempat matahari terbit (binsar = terbit matahari). Sedangkan tepi barat ditetapkan sebagai hasundutan, tempat matahari terbenam (sundut = terbenam matahari).

(Karena itu ada juga Kabupaten Humbang-Hasundutan, dengan ibukota Doloksanggul, pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara di wilayah tepi barat tahun 2003).

Sudah pasti mayoritas warga Habinsaran itu etnik Batak Toba. Tapi yang menarik, sebagian besar adalah orang Batak bermarga Pardosi. Pardosi adalah marga raja, pembuka huta (kampung) pertama, di Habinsaran khususnya Parsoburan. Istilah orang Batak, Pardosi adalah sisuan bulu (penanam bambu).

Dahulu kala, sebuah kampung Batak selalu dikelilingi oleh tanaman bambu sebagai "benteng hijau". Mencegah binatang buas masuk kampung.

Marga Pardosi itu sebenarnya marga Siagian. Tapi menurut hikayat, Raja Mardongan yang menjadi leluhur Pardosi, berselisih dengan saudaranya di kampung asal sekitar Balige. Karena sakit hati, Raja Mardongan pergi merantau ke timur, ke Habinsaran, lalu membuka "kerajaan" atau kampung baru di situ.

(28)

Sebagai ekspresi sakit hatinya, Raja Mardongan menanggalkan marga Siagian dan mengenakan marga baru Pardosi. (Sekarang disebut Siagian-Pardosi).

Di Habinsaran, Raja Mardongan menikah dengan Boru Doloksaribu dan beranakkan Raja Urang (Menurut satu versi cerita, sebenarnya Raja Mardongan tidak menikahi Boru Doloksaribu, tapi merawatnya sampai melahirkan setelah diselamatkan dari percobaan bunuh diri dalam keadaan hamil). Kemudian menikah juga dengan Boru Naiborhu dan beranakkan Raja Hujurbatu, Raja Pamahar, Raja Ledung, dan Raja Manorsa. Lima anak ini kemudian menjadi lima kelompok Pardosi yang menyebar di wilayah Habinsaran, termasuk Nassau dan Borbor. Jika berkunjung ke Parsoburan Tengah, maka di sana bisa disaksikan bangunan Tugu Raja Pardosi.

Tahun 2010 Kecamatan Habinsaran mengadakan pemekaran desa sebanyak 5 Desa yaitu Desa Pangujungan merupakan pemekaran dari Desa Lumban Rau Selatan, Desa Pararungan dan Desa Lumban Lintong merupakan pemekaran dari Desa Panamparan, Desa Aek Ulok merupakan pemekaran dari Desa Lumban Rau Barat, Desa Lumban Pinasa Saroha merupakan pemekaran dari Desa Lumban Pinasa. Desa yang paling jauh dari Ibukota Kecamatan yaitu berjarak sekitar 38 km dan juga merupakan desa yang paling sulit dijangkau dari ibukota kecamatan karena kondisi jalan yang rusak parah adalah Desa Sibuntuon dan Desa Pagar Batu.

Di Kecamatan Habinsaran sendiri terdapat 22 desa atau kelurahan yang salah satunya adalah Desa Pararungan yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Panamparan pada tahun 2010 yang menjadi lokasi penelitian dalam tulisan ini.

(29)

Desa ini memiliki luas wilayah yang masih tergabung dengan desa induk (Desa Panamparan) sekitar 58,95 km2 atau 14,42% luas Kecamatan Habinsaran dan berada pada ketinggian 1.600 m di atas permukaan laut. Jarak desa ke ibukota kecamatan sekitar 35 km.

Peta 2. Wilayah Kecamatan Habinsaran

2.3 Pola Perkampungan dan Letak Rumah

Berdasarkan pengamatan penulis bahwa pola perkampungan di desa Pararungan sama dengan pola perkampungan Batak Toba pada umumnya. Letak rumah selalu berhadapan menghadap jalan atau menghadap halaman umum membentuk sebuah perkampungan. Kebanyakan masyarakat di desa ini masih

(30)

Penduduk yang tinggal memiliki bentuk pola pemukiman yang berkelompok. Setiap rumah dibangun menghadap jalan dan sejajar mengikuti alur jalan desa yang berbeda dengan pemukiman yang ada di dusun-dusun. Biasanya jarak pusat desa dengan perkampungan lainnya sangat jauh, hal ini disebabkan banyak masyarakat yang mencari lahan pertanian yang bisa digarap. Mereka tinggal di dekat lahan tersebut dan kemudian membentuk komunitas sendiri yang menjadi cikal bakal sebuah perkampungan ataupun dusun. Karena kebanyakan dusun-dusun berada pada wilayah yang lebih rendah dari jalan desa atau berada di lembah, maka pola perkampungannya menjadi berbeda dengan yang ada di pusat desa.

2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Toba

Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba sangat erat kaitannya dengan istilah “marga” yang merupakan nama nenek moyang yang selalu diturunkan kepada keturunan dengan garis keturunan patrilineal. Kekerabatan adalah suatu tata cara yang mengatur hubungan sosial kemasyarakatan. Adanya system kekerabatan antara sesama manusia disebabkan oleh beberapa hal diantaranya akibat adanya hubungan darah (consaigual) dan dikarenakan adanya hubungan perkawinan (konjunal).

2.4.1 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan darah

Pada masyarakat Batak Toba hubungan kekerabatan atas dasar hubungan darah ditentukan oleh tarombo, dan posisi seseorang di dalam tarombo ditentukan marga yang dimiliki seseorang tersebut. Di dalam tarombo seseorang Batak dapat mengetahui jikalau dia berada pada urutan generasi keberapa, dan dengan

(31)

mengetahui itu maka dia dapat menentukan sebutan yang layak kepada seseorang Batak yang baru diajaknya berkenalan. Terdapat sebutan panggilan antara satu individu dengan individu lainnya yang masih tergolong dalam satu garis keturunan pada suku bangsa Batak Toba. Nama panggilan tersebut diantaranya adalah:

 Ompung Doli (Kakek), dibaca Oppung Doli adalah panggilan khusus kepada kakek yaitu ayah dari ayah/ibu.

 Ompung Boru (Nenek), dibaca Oppung Boru adalah panggilan khusus kepada nenek yaitu ibu dari ayah/ibu.

 Among, adalah nama panggilan anak-anak kepada ayahnya selaku kepala rumah tangga

 Inong, adalah nama panggilan untuk ibu yang melahirkan anak- anaknya.

 Gelleng, adalah sebutan untuk anak-anak (laki-laki dan perempuan) yang merupakan keturunan dari suami istri.

 Anaha/sinuan tunas, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada anaknya laki-laki.

 Boru/sinuaan beu, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada anak perempuannya.

 Ito/iboto, adalah adalah panggilan anak laki-laki kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya.

(32)

 Anggi, adalah nama panggilan antara anak laki-laki kepada adiknya

laki-laki, dan juga panggilan antara anak perempuan dengan adik perempuannya.

 Akkang, adalah nama panggilan kepada anak yang lebih muda

kepada anak yang lebih tua darinya, dalam konteks ini adalah mereka yang berjenis kelamin sama.

 Pahoppu, adalah nama panggilan kakek dan nenek kepada cucu- cucunya.

2.4.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan

Sebagai wilayah yang mayoritas Suku Batak Toba maka sistem kekerabatan ataupun tata cara kehidupan sosial masyarakat yang tinggal tercermin dalam sebuah konsep budaya yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Dalam setiap aktivitas, kekerabatan dan adat istiadat di desa ini diatur oleh tiga konsep yaitu Hula-hula (pihak keluarga pemberi istri); Anak boru (pihak keluarga penerima istri); dan Dongan tubu (sesama saudara lelaki dari induk marga yang sama).

Ketiga konsep ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiga hal ini mempunyai prestise dan tingkatan yang berbeda. Hula-hula berada pada status tertinggi baik secara sosial maupun dalam konteks spritual atau adat.

Ketiga konsep ini juga terungkap dalam sebuah pepatah Batak Toba yang menyatakan “Somba marhula-hula, elek marboru, mangat mardongan tubu.

Artinya setiap orang harus sopan dan hormat terhadap hula-hula, memberikan

(33)

perhatian terhadap anak boru, serta harus menjaga hubungan yang baik dengan dongan tubu.

Ketiga konsep ini memiliki peranan yang penting dan saling melengkapi dalam adat. Ketika dalam suatu pesta, hula-hula tidak begitu repot karena dianggap sebagai posisi yang paling dihormati menjadi pemberi berkat dan restu.

Dongan tubu berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam acara, dongan tubu menjadi tempat berdiskusi serta menjalankan acara. Biasanya istilah untuk dongan tubu dalam suatu acara adat disebut dengan dongan saulaon (Teman sekerja). Tidak kalah pentingnya juga peranan boru dalam suatu perayaan acara adat istiadat pada masyarakat Batak Toba. Dalam setiap upacara adat pihak boru bertanggung jawab dalam setiap hal yang sifatnya teknis pada upacara tersebut. Menyiapkan tempat, menyebarkan undangan, menyediakan kebutuhan acara, dan menyediakan konsumsi selama jalannya acara (marhobas).

Dapat disimpulkan bahwa dalam dalihan na tolu, hula-hula dianggap sebagai pihak yang kedudukannya paling tinggi, dongan tubu sebagai pihak yang sederajat dan boru merupakan pihak yang kedudukannya paling rendah.

Istimewanya, setiap orang dalam sistem kemasyarakatan Batak Toba akan berada dalam ketiga kedudukan tersebut, artinya seseorang itu akan pernah sebagai hula- hula, dongan tubu dan sebagai boru. Sehingga tidak akan pernah timbul perbedaan martabat dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba.

Disamping itu, masyarakat yang tinggal sangat menjunjung tinggi hubungan antara kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial lainnya

(34)

berdasarkan turunan marga. Ketika seseorang baru bertemu dengan yang lain, biasanya masing-masing individu akan menyebutkan marganya terlebih dahulu dan kemudian mencari posisi marganya tersebut dalam keluarga atau turunan marganya. Kemudian hal ini akan memunculkan posisi baru bagi setiap individu tersebut dalam konteks adat sesuai dengan konsep dalihan na tolu.

Selain sebutan kekerabatan yang terjadi akibat adanya hubungan darah, dalam tatanan dalihan na tolu juga terdapat sebutan yang ditujukan kepada orang- orang tertentu tergantung sebagaimana posisinya di dalam adat, adapun sebutan- sebutan itu antara lain:

 Amang simatua, adalah nama panggilan kepada mertua laki-laki.

 Inang simatua, adalah nama panggilan kepada mertua perempuannya.

 Tulang, adalah panggilan kepada saudara laki-laki dari ibu, atau laki- laki yang satu marga dengan Istri.

 Nantulang, panggilan kepada istri dari tulang.

 Amang Boru, adalah panggilan kepada suami dari adik perempuan ayah.

 Namboru, adalah nama panggilan kepada saudari perempuan dari ayah yang telah menikah ataupun belum.

 Hela, adalah panggilan kepada menantu laki-laki atau sebutan untuk suami dari anak perempuan abang/anak adik.

 Parumaen, adalan nama panggilan kepada menantu perempuan atau isteri dari anak laki-laki.

(35)

 Lae, adalah panggilan seorang laki-laki kepada anak laki-laki dari

tulangnya, dan juga panggilan seorang laki-laki kepada suami dari saudari perempuannya.

 Tunggane, adalah panggilan kepada semua saudara laki-laki dari isteri, atau semua anak laki-laki dari tulang.

 Eda, adalah panggilan yang ditujukan oleh seorang perempuan kepada

isteri dari saudaranya laki-laki dan isteri dari saudara laki-lakinya tersebut juga memanggil dengan panggilan yang sama kepada saudari perempuan dari suaminya.

 Amangbao/Bao, adalah nama panggilan kepada suami dari eda seorang perempuan.

 Inangbao, adalah nama panggilan kepada Isteri dari hula-hula atau

tunggane (abang/adik isteri).

 Pariban, adalah nama panggilan yang diucapakan seorang lelaki

kepada putri dari pihak tulang atau satu marga dengan tulang, juga sebutan yang diucapkan seorang perempuan kepada anak laki-laki dari namborunya.

Dapat kita lihat bahwa dalihan na tolu berfungsi mengatur setiap segi dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya diaantaranya mengatur hubungan social antar marga, mengatur ketertiban dalam pelaksanaan suatu upacara adat, menentukan kedudukan dalam struktur social masyarakat Batak, menentukan hak dan kewajiban seseorang di dalam adat, dan sebagai landasan dalam bermusyawarah dan bermufakat bagi suku bangsa Batak.

(36)

2.5 Sistem Kepercayaan

Masyarakat Batak jauh sebelum pra kemerdekaan dan penjajahan, memiliki kepercayaan akan adanya pencipta alam semesta dan mengenal beberapa konsep tentang roh dan jiwa, yaitu :

 Tondi, merupakan roh seseorang yang memiliki kekuatan sebagai

penggerak raganya, tondi dimiliki oleh manusia baik yang hidup maupun yang sudah meninggal bahkan tumbuhan serta hewan.

(Vergouven 1986 : 82) kepemilikan atas tondi telah diterima seorang manusia saat dia masih berada di dalam kandungan ibunya.

 Sahala, merupakan daya khusus dari tondi yang diperoleh dari

Mulajadi Na Bolon dalam kaulitas yang berbeda dari setiap orang.

Semua orang biasanya memiliki tondi, tetapi tidak semuanya memiliki sahala. Sahala biasanya dimiliki oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang penting serta yang memiliki kekuatan lebih. Memiliki sahala dapat diartikan di dalam Batak Toba sudah berhasil di duniawi.

Sahala juga merupakan sebuah kualitas dan dapat hilang, Sahala juga dipercaya dapat berpindah ke tubuh orang lain (Pederson 1970 :29- 30).

 Begu, merupakan perwujutan dari tondi seseorang yang telah

meninggal lalu mendiami suatu tempat, dimana tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia. Begu yang sangat ditakuti adalah begu dari orang yang mati mendadak, orang yang tidak mempunyai anak, perempuan yang meninggal saat melahirkan (begu ini diyakini sangat

(37)

jahat), dan begu penderita kusta yang bunuh diri. Beberapa begu yang diyakini oleh orang Batak Toba :

1. Homang, roh ini hidup di hutan, suka menculik anak-anak, dan kelakuannya jahat.

2. Solobean, roh ini hidup di air yang membuat pelayaran berbahaya

3. Sumangot, roh leluhur yang sudah meninggal menduduki tempat yang khusus, terutama mereka yang di waktu hidupnya tergolong orang kaya, mempunyai kekuasaan, dan keturunannya banyak.

4. Sombaon, roh yang bertempat tinggal di pegunungan, di hutan rimba yang gelap dan mengerikan, atau disebuah sungai besar.

5. Silan, roh dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga.

6. Begu ganjang, roh yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.

Penduduk yang ditinggal di Desa Pararungan secara mayoritas sudah menganut agama Kristen, namun masih ada sekitar 10 keluarga yang masih menganut aliran kepercayaan Ugamo Malim Najumanghon Uras.

Ugamo merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia yang bermakna agama, sedangkan kata malim berarti suci atau bersih. Dengan kata lain ugamo malim merupakan suatu agama yang berlandaskan prinsip kesucian dalam menjalani kehidupan bagi penganutnya. Parmalim merupakan sebutan yang

(38)

terbentuk dari imbuhan par- berarti yang melakukan dan malim yang berarti suci/bersih, bila disatukan membangun suatu definisi orang yang berlaku atau bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kesucian (Torang Naiborhu, 2008:73).

Ugamo Malim Najumanghon Uras adalah salah satu “sekte” dari kepercayaan Malim yang awalnya berasal dari daerah Habinsaran di pedalamam Kabupaten Tobasa. Kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di pinggiran Tobasa dan di sekitaran Kabupaten Asahan. Ugamo Malim Najumanghon Uras tersebar dari beberapa punguan (kelompok), yakni di Habinsaran Kecamatan Parsoburan Desa Panamparan dan Pararungan, di Desa Meranti Timur Dusun Lobu Jior, Lobu Rappa, Adian Baja, di Desa Meranti Tonga di Dusun Jambu Dolok dan Batu Rangin, di desa Meranti Utara di Dusun Batu Mamak.

Dalam peribadatannya Parmalim Najumanghon uras memiliki keyakinan kepada Mulajadi na Bolon sebagai awal dari segalanya, maha mutlak dan tidak terganggu gugat serta Raja Sisingamangaraja Patuan raja malim sebagai perantara yang mengajarkan ajaran dari Mulajadi na bolon kepada manusia di dunia. Terdapat kepercayaan mengenai tondi yang merupakan manifestasi dari kuasa yang dimiliki Debata Mulajadi na bolon. Secara fungsional Mulajadi Nabolon terbagi tiga yang disebut tri tunggal sebagai wujud kuasa Mulajadi Nabolon, yaitu :Batara Guru, Ompu Tuan Soripada dan Ompu Tuan Mangalabulan. Batara Guru merupakan dewa yang memberikan kepintaran, tempat bertanya dan pemberi talenta. Ompu tuan soripada merupakan sebagai dewa yang memberi mata pencaharian, kekayaan, kejayaan dan kesusahan bagi

(39)

manusia. Sedangkan Tuan Sori Mangaraja adalah dewa yang memberikan ilmu kedukunan, kesaktian, kekuatan dan ilmu keberanian (Tobing 1956:46-55).

Dari segi atribut yang dikenakan di dalam kegiatan keagamaan terdapat karakteristik dari ugamo malim Najumanghon Uras, contoh dari pakain yang dikenakan, Parmalim Najumanghon Uras mengenakan gotong gotong berwarna dan pakaian serba hitam. Dalam peribadatannya parmalim na Jumanghon uras memiliki keyakinan kepada Mulajadi na Bolon sebagai awal dari segalanya, sebagai yang Maha mutlak, dan tidak terganggu gugat dan raja Sisingamangaraja Patuan raja malim sebagai perantara doa-doa yang disampaikan, dan pujian- pujian itu disampaikan melalui gondang batak. Dan struktur yang diberi kepercayaan untuk mengatur jalanya ritual terdiri dari :

 Sesepuh

 Ulu Punguan

 Panitangi

 Raja Parbaringin

 Raja Partahi

Pada semua kegiatan ritual yang dilaksanakan parmalim najumanghon uras, doa atau tonggo yang diucapkan ditujukan kepada para tondi sahala melalui perantaraan jujungan raja Sisingamangaraja patuat raja malim, berikut ini tondi yang dipercaya dalam ugamo malim najumanghon uras.

 Debata mulajadi na bolon, merupakan Tuhan atas segala hal yang ada di alam semesta, pencipta alam semesta dan segala isinya,

(40)

 Debata na tolu Batara guru, Bane bulan, Bale sori: merupakan

representasi dari kekuatan mulajadi na bolon, sumber pengetahuan dan lain sebagainya,

 Si Boru Deak parujar: perancang tanah tempat manusia berpijak untuk hidup,

 Sisingamagaraja najomolo tubu: merupakan perantaraan yang

mengajarakan ajaran yang diberikan mulajadi na bolon untuk dianut manusia,

 Tuan saribu raja, martua raja rum, martua raja sinambur,

 Raja parhabinsaran,

 Boru Tolam banua, inang boru pormalima, inang si boru pinahot,

 Tuan saribu raja,

 Boru Saniang Naga Parmual sitiotio,

 Raja hasahatan, tu Raja hatorusan.

Masing-masing dari sahala tondi tersebut memiliki peranannya dalam kehidupan manusia yang berada di bumi ini menurut ajaran parmalim najumanghon uras, oleh sebab itu setiap dari sahala tondi tersebut selalu diucapkan di dalam tonggo yang disampaikan partamiang pada pelaksanaan suatu ritual.

Tujuan di bentuk organisasi agama suku ini untuk menyatukan orang Batak menentang masuknya agama wahyu seperti agama kristen yang dibawakan oleh misionaris ke Tanah Batak. Pada prinsipnya aliran kepercayaan ini juga berlandasan kepada Ompu Mulajadi Nabolon yang di akui sebagai pencipta (Situmorang 1993b:98-120).

(41)

2.6 Penduduk, Sistem Bahasa dan Mata Pencaharian

Penduduk yang mendiami wilayah Desa Pararungan adalah suku Batak Toba. Sangat jarang ditemukan suku lain yang mendiami wilayah desa tersebut.

Mayoritas marga-marga penduduk yang menempati desa ini yaitu Simangunsong, Sinambela, Simanjuntak, Siahaan, Panjaitan dan Pardosi. Jumlah penduduk yang terdapat di desa ini sekitar 140 (seratus empat puluh) jiwa dengan jumlah rumah tangga sekitar 33 (tiga puluh tiga) KK.

Sejak berabad-abad yang lampau suku-suku bangsa yang tinggal di berbagai kepulauan di Nusantara memiliki bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam pergaulan dan komunikasi antar sesama suku tersebut.

Bahasa itu dinamakan sebagai “bahasa daerah” yang disebutkan sesuai dengan suku bangsa yang memiliki bahasa tersebut. Misalnya bahasa Batak Toba dipergunakan oleh Batak Toba. Bahasa yang umum digunakan di desa ini adalah Batak Toba. Dalam percakapan sehari-hari karena sudah terbiasa dan turun temurun bahasa yang digunakan adalah Bahasa Batak Toba. Sementara Bahasa Indonesia digunakan dalam proses belajar mengajar di sekolah dan di dalam kegiatan yang bersifat formal dalam urusan administrasi pemerintahan meskipun sebenarnya karena terbiasa pada saat percakapan berlangsung juga menggunakan Bahasa Batak Toba.

Dengan kondisi alam yang berada pada wilayah ketinggian 1.600 di atas permukaan laut, mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani, berkebun, peternak. Adapun yang menjadi tanaman utama adalah padi, kopi, dan kemenyan. Selain itu, ternak yang dipelihara dan dibudidayakan diantaranya ialah

(42)

lembu, kambing, ternak unggas penghasil telur dan daging, ikan air tawar yang dipelihara disekitar persawahan. Beberapa dari penduduk Pararungan juga bermata pencaharian sebagai pedagang bahan sembako dan pegawai administratif desa.

2.7 Sistem Kesenian

Menurut Koentjaraningrat (1990:204) salah satu unsur kebudayaan manusia adalah kesenian. Dengan demikian berkesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi masyarakat untuk mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang, gembira maupun sedih. Begitu juga yang terdapat di Desa Pararungan, masyarakat di sana masih mempertahankan unsur- unsur kesenian peninggalan nenek moyang diantaranya :

2.7.1 Seni Musik

Seni musik yang masih terdapat dan hidup pada masyarakat Pararungan adalah musik vokal dan penggunaan ansamble Gondang Hasapi, Gondang Sabangunan dan instrument yang termasuk dalam kategori uning-uningan.

2.7.1.1 Musik Vokal

Musik vokal tradisional pembagiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu :

(43)

1. Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak (lullaby)

2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang akan menikah. Dinyanyikan pada saat senggang pada hari menjelang pernikahan tersebut.

3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan

“solo-chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dalam waktu senggang, biasanya malam hari.

4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan saat pengiring tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar.

Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh remaja di alaman (halaman kampung) pada malam terang bulan.

5. Ende sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan penderitaan yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita tersebut, yang menyanyi di tempat yang sepi.

6. Ende pasu-pasuan, adalah musik vokal yang berkenaan dengan pemberkatan. Berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari yang maha kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh orang-orang tua kepada keturunannya.

7. Ende hata, adalah musik vokal yang berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun dengan bentuk aabb yang memiliki jumlah suku kata

(44)

yang sama. Biasanya dimainkan oleh kumpulan kanak-kanak yang dipimpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orang tua.

8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal dunia, yang disajikan pada saat atau setelah disemayamkan. Dalam ende andung melodinya datang secara spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan trampil dalam sastra serta menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini.

Dari beberapa jenis musik vokal tersebut yang sering terdapat di Desa Pararungan adalah jenis ende andung dan ende sibaran, dimana saat terjadi peristiwa dukacita, maka akan ada ada beberapa pihak dari keluarga yang meninggal dunia tersebut yang mengandungi jenazah orang yang meninggal dunia tersebut sebelum dimakamkan.

2.7.1.2 Ansambel Gondang Hasapi

Beberapa instrument yang terdapat dalam ansambel gondang hasapi adalah sebagai berikut:

1. Hasapi ende (plucked lute dua senar) jenis chordophone yang berfungsi sebagai pembawa melodi, dimainkan dengan cara mamiltik (dipetik).

2. Hasapi doal (plucked lute dua senar), sama dengan hasapi ende, namun hasapi doal berfungsi sebagai pembawa ritem konstan, dan berukuran lebih besar dari hasapi ende.

(45)

3. Sarune etek (shawm), kelompok aerophone yang memiliki reed tunggal (single reed) dimainkan dengan mangombus marsiulak hosa (meniup dengan terus menerus/circular breath).

4. Garantung, kelompok xylophone, pembawa melodi juga sebagai pembawa ritem variabel pada lagu-lagu tertentu. Dimainkan dengan cara dipalu.

5. Hesek, instrument idiophone sebagai pembawa tempo (ketukan dasar).

2.7.1.3 Ansambel Gondang Sabangunan

Beberapa instrument yang terdapat dalam ansambel gondang sabangunan adalah sebagai berikut:

1. Taganing, kelompok membranophone, dari segi teknis, instrument taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune bolon. Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai “pengaba” atau

“dirigen” (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

2. Gordang (single headed drum) ini berfungsi sebagai instrument ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi.

(46)

3. Sarune (shawm) kelompok aerophone yang double reed berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing.

4. Ogung merupakan alat musik sekaligus alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat batak. Ogung itu sendiri berbentuk gong berpencu dengan ukuran yang bervariasi. Ogung terdiri dari Oloan, Ihutan, Panggora dan Doal.

5. Hesek ini berfungsi menuntun instrument lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrument akan terasa kurang lengkap. Walaupun bentuk instrument dan suaranya sederhana saja, namun peranannya penting dan menentukan sebagai pembawa tempo.

2.7.1.4 Instrument Tunggal

Instrument tunggal adalah alat musik yang dimainkan secara tunggal yang terlepas dari ansambel gondang hasapi dan gondang sabangunan. instrument yang termasuk instrument tunggal dan dapat dijumpai di Desa Pararungan antara lain :

1. Sulim (transverse flute), kelompok aerophone. Dimainkan dengan meniup dari samping (side blown flute), berfungsi membawa melodi.

2. Saga-saga (jew’s harp) klasifikasi idiophone. Dimainkan dengan menggetarkan lidah dan instrument tersebut di rongga mulut sebagai resonatornya.

(47)

3. Talatoit (transverse flute), sering juga disebut salohat atau tulila.

Dimainkan dengan meniup dari samping. Alat musik ini termasuk dalam klasifikasi aerophone.

4. Sordam (long flute) terbuat dari bambu, kelompok aerophone, dimainkan dengan ditiup dari ujung (end blown flute).

2.7.2 Seni Tari (Tortor)

Seni tari (Tortor) adalah ekspresi gerakan yang estetis dan artistik yang menjelma dalam gerakan yang teratur, sesuai dengan isi irama gondang yang sedang dimainkan. Gerakan teratur ini dapat dilakukan oleh perorangan, berpasangan ataupun berkelompok. Tortor yang terdapat dalam masyarakat Pararungan terbagi dalam dua konteks pelaksanaanya yaitu dalam adat dan ritual agama. Ada perbedaan-perbedaan yang tampak di antara kedua konteks tersebut.

Dalam konteks adat, tortor hanya ditarikan sebagai ungkapan jasmani, disebabkan bunyi gondang, dan gerakan yang terdapat di dalamnya cenderung bebas dan tanpa unsur estetis. Sedangkan dalam konteks ritual, tortor khusus dipersembahkan kepada tondi na marsahala yang terdapat dalam ajaran parmalim najumanghon uras, serta gerakannya yang memiliki aturan tersendiri.

2.7.3 Seni Sastra

Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah dapat dikatakan masih berkisar pada sastra lisan saja. Sastra itu sebagian tersimpan di

(48)

dalam ingatan orang-orang yang mempunyai keahlian khusus dalam menceritakan sastra tersebut yang jumlahnya semakin berkurang karena banyak hal. Salah satu bentuk sastra yang masih ada dalam masyarakat Batak Toba di Pararungan bisa dilihat dalam tonggo ritual parmalim najumanghon uras, yang pada umumnya selalu dipadukan dengan pengucapan umpasa dan umpama. Salah satu bentuk sastra yang masih ada dalam masyarakat batak toba di pararungan bisa dilihat dalam tonggo ritual parmalim na jumanghon uras, sebagai berikut:

Terjemahan :

“Jawablah tubuh kami jawablah jiwa kami, agar jernih bagai mulut mata air, bersinar bagai bulan purnama, terbit bagai matahari terbit, biarlah jelas memberi tondi mu, memberkati sahala mu dalam berkah yang kami kerjakan, baiklah ternak, cerahlah [mata] pencarian, bangkitlah raja panumpahi menolong langkah dari orang tua itu, agar terberkatilah kami pada yang suci, terberkatilah pada yang baik, horas lah kami pada hari yang akan dating wahai ibu terimakasih”

…. “alusi ma parbadanan nami alusi ma partondion nami, asa tio songon baba ni mual, poltak songon bulan marondang, binsar songon matani ari binsar, asa takkas manumpak tondim, mamasu masu sahala mi di gabe na ni ula, sinur pinahan, tiur dohot pancarian, hehema raja panumpahi jumolongi lakkani natua tua, asa manjakhon di nauli hami manjakhon di na denggan, horas ma hami tujoloan ari da inang mauliate ma”.

(49)

2.7.4 Seni Rupa

Seni rupa berupa gorga, ulos, serta ukir-ukiran batak tradisional masih dapat kita jumpai, baik dari bentuk fisiknya maupun si pembuatnya di desa Pararungan dan harganya memang sedikit mahal. Hal ini terlihat dari beberapa bangunan ruma/jabu bolon yang sudah lama tidak di renovasi bagian gorga dan ukir- ukirannya namun masih ditempati oleh masyarakat sebagai tempat tinggal.

Penggunaan ulos hanyalah pada saat-saat kegiatan adat dan ritual saja.

(50)

BAB III

STUDI ORGANOLOGIS OGUNG BULU 3.1 Klasifikasi Ogung Bulu

Dalam mengklasifikaskan Ogung Bulu, penulis mengacu kepada teori yang dikemukakan oleh Sachs dan Hornbostel (1914) yaitu :

“Sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyi. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang terdiri dari : idiofon (alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi, aerofon (udara sebagai sumber penggetar bunyi), membranofon (kulit sebagai penggetar utama bunyi), dan kordofon (senar sebagai penggetar utama bunyi).

Sesuai dengan tinjauan penelitian mengenai organologi alat musik Ogung bulu. Penulis mengklasifikasikan alat musik ini ke dalam Idiofon. Ogung bulu dikatakan sebagai Idiofon karena alat itu sendiri sebagai penggetar bunyi utamanya.

Dalam klasifikasi Curt Sahcs dan Hornbostel, idiofon berdasarkan metode memainkan suatu alat musik digolongkan menjadi empat bagian yaitu idiofon dipukul (struck idiophones), idiofon petik (plucked idiophones), idiofon gesek (friction idiophones) dan idiofon tiup (blown idiophones). Berdasarkan metode memainkan alat musik Ogung bulu digolongkan sebagai idiofon dipukul (struck idiophones). Ogung bulu sebagai idiofon pukul langsung (idiophones struck directly) dengan satu tongkat pemukul/tongkat perkusi tunggal (individual percussion sticks).

(51)

3.2 Konstruksi Bagian-Bagian Ogung Bulu

Konstruksi bagian Ogung Bulu adalah gambaran tentang nama yang terdapat pada bagian alat musik Ogung Bulu itu sendiri yang terdiri dari 2 bagian, yaitu :

1. Lubang udara (resonator) 2. Stik pemukul (palu-palu), 3. Tali.

3.3 Ukuran Bagian-Bagian Ogung Bulu

Ukuran bagian tiap-tiap ogung bulu yang penulis paparkan berikut ini adalah sesuai dengan ukuran ogung bulu buatan Bapak Tulus Sinambela, yang dibuat secara terpisah dapat dilihat dari gambar berikut ini :

 Ogung Bulu Panggora

Gambar 1. Ukuran bagian-bagian ogung bulu panggora (dokumentasi penulis 2019)

P = 51 cm

D = 10 cm 2,5 cm

4,5 cm

Gambar

Gambar 1. Ukuran bagian-bagian ogung bulu panggora  (dokumentasi penulis 2019)
Gambar 3. Ukuran bagian-bagian ogung bulu ihutan  (dokumentasi penulis 2019) P = 58 cm D = 11,5  cm5,5 cm5,5 cm P = 55 cm D = 13 cm5 cm5 cm
Gambar 4. Ukuran bagian-bagian ogung bulu doal  (dokumentasi penulis 2019)
Gambar 5. Bambu (bulu godang atau bulu bolon)  3.4.2 Peralatan Yang Digunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alasan penulis membahas Harimau Tapanuli dikarenakan Harimau Tapanuli merupakan salah satu tim sepak bola asal Sumatera Utara yang pernah berkiprah di dunia

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, nandong mencakup empat aspek yang menarik perhatian penulis, yakni: (1) latar belakang sejarah dan kebudayaan Etnik

Skripsi yang berjudul “Dari Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) hingga Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) Sejarah Perkebunan Teh Sidamanik 1968-2005” ini

Dari penghasilan yang diperoleh, kehidupan penduduk yang bekerja sebagai nelayan di Desa Sikapas sama seperti para petani yang hanya mampu memenuhi kebutuhan

Senar atau dawai yang membunyikan atau menyuarakan suara ogung disimbolkan juga dengan sistem notasi barat, karena yang penulis analisis adalah pola bunyi ritem yang dimainkan

Penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: “Kajian Makna Teks dan Struktur Melodi Lagu Onang-onang yang Disajikan Bapak Ridwan Aman

Lebih jauh, fungsi nandong smong adalah sebagai sarana penyelamatan diri dari bencana tsunami, kontinuitas generasi manusia, menjaga hubungan manusia dengan manusia,

Bapak Bosen Sipayung selaku informan mengatakan teknik-teknik yang ada pada permainan sarunei bolon Simalungun ialah teknik manguttong adalah teknik meniup secara