• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI DISUSUN O L E H NAMA : JUNANDREMA SITEPU NIM : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI DISUSUN O L E H NAMA : JUNANDREMA SITEPU NIM : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI 2020"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI PEMBUATAN DAN TEKNIK PERMAINAN GENDANG ANAK PADA KEBUDAYAAN KARO LANGKAT BUATAN BAPAK RAJIN SEMBIRING DI DESA BELINTENG, KECAMATAN SEI BINGAI, KABUPATEN LANGKAT

SKRIPSI DISUSUN O

L E H

NAMA : JUNANDREMA SITEPU NIM : 160707065

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI 2020

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya nyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan,

Junandrema Sitepu

NIM.160707065

(6)

ABSTRAK

Gendang anak salah satu alat musik tradisional masyarakat Karo di Langkat yang tergolong kedalam (Memberanofon). Alat musik ini di sajikan dalam ensambel gendang binge yang terdiri dari beberapa alat musik lainnya, gendang indung, sarune, gong dan penganak. Gendang anak dalam permainanya merupakan dua buah gendang, yang digabungkan menjadi satu bahagian dan dimainkan oleh satu orang. untuk menganalisis yaitu manggunakan teori dikemukakan oleh Susumu Khasima yaitu dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni teori struktural dan fungsional. Secara struktural yaitu: aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Secara fungsional, yaitu fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuata suara. Selanjutnya untuk mendeskripsikan alat musik ini menggunakan teori dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yaitu: sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menggunakan tiga format, yakni deskriptif, verifikasi, dan grounded research, dengan karakteristik cenderung melakukan kajian yang cermat terhadap berbagai gejala sosial dalam masyarakat, baik secara individu ataupun dalam kelompok sosial. Koentjaraningrat (1993). Metode penelitian kualitatif cara kerja untuk mengumpulkan data dengan cara: 1, studi lapangan (field work) mencakup observasi, wawancara, prekaman dan pemotretan. 2, desk work, kerja di atas meja menganalisis data untuk membuat laporan akhir. Adapun hasil yang di harapkan dari penelitian ini yaitu, untuk menegetahui dan mendeskripsikan bagaimana proses pembuatan, teknik permainan dan fungsi dari gendang anak. Penulisan ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan keberadaan instrumen dendang anak dan sekaligus mendorong masyarakat karo langkat mengenal dan mempelajari alat musik ini.

Kata Kunci : Karo Langkat, organologi, gendang anak, gendang binge

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaukum Wr. Wb Segala pujian dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang Maha Kuasa, atas kasih dan kemurahan-Nya yang begitu besar, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul

“Deskripsi Pembuatan Dan Teknik Permainan Gendang Anak Pada Kebudayaan Karo Langkat Buatan Bapak Rajin Sembiring Di Desa Belinteng, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Oleh karena itu, terlebih dahulu penulis minta maaf kepada para pembaca dan dapat memakluminya.

Dalam proses penyelesaian tulisan ini, banyak pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik dalam bentuk doa, semangat serta materi agar proses penyelesaian serta hal-hal yang dibutuhkan dapat terlaksana dengan baik. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini.

Penulis mengucapakan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Dr.Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan. Begitu juga segenap jajaran Dekanat.

Kepada Ibu Arifninetrirosa, SST.,M.A selaku ketua program studi Etnomusikologi sekaligus dosen pembimbing II yang telah banyak membimbing dan memberikan arahan selama proses penyelesaian tulisan ini.

(8)

Kepada Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., selaku dosen pembimbing I yang telah sabar dalam membimbing penulis, memberikan arahan, ilmu, serta saran-saran kepada penulis hingga tulisan ini bisa selesai.

Kepada seluruh dosen di program studi Entomusikologi, Bapak Prof.

Mauly Purba, M.A.,Ph.D., Bapak Drs. Fadlin, M.A., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M. Si. Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., Bapak Alm Drs.

Muhammad Takari, M.Hum.,Ph.D., Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd., Ibu Dra.

Frida Deliana, M.Si., Bapak Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si., terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian. Sungguh ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu sekalian.

Kepada staf/pegawai program studi etnomusikologi Ibu Siti Nurhawani yang telah membantu proses administrasi penulis hingga bisa selesai dengan baik.

Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua saya Samson Sitepu dan Mayam Br Prangin-angin atas cinta, kasih sayang, motivasi dan doa-doa yang tiada henti kepada penulis serta kebutuhan-kebutuhan yang telah dipenuhi selama proses penyelesaian tulisan ini.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada bapak dan mamak sebagai hadiah yang membuat mereka bangga.

Kepada kakak dan abang tercinta Hermina br Sitepu, Heriani br Sitepu, Pera Jadinta dan abang Berema Sitepu. Terimakasih atas semangat, dukungan, arahan, motivasi, serta doa-doanya kepada penulis. Mereka adalah orang-orang

(9)

yang juga selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis. Ketika penulis mengalami saat-saat sulit, kalian selalu ada dan memberikan semangat untuk penulis

Kepada semua narasumber khususnya kepada Bapak Rajin Sembiring yang telah memberikan informasi mengenai gendang anak, juga pengalaman yang tidak tehingga bapak berikan kepada penulis.

Kepada teman-teman seperjuangan setambuk 2016 yang penulis sayangi.

Terimakasih buat setiap kebaikan, perhatian, semangat dan pertolongan yang diberikan kepada penulis. Terimakasih juga buat setiap hal yang boleh kita lalui di sepanjang masa perkuliahan. Kiranya persahabatan kita tetap terjalin baik dan kita akan menjadi orang-orang yang sukses.

Kepada adik-adik stembuk 2017 yang memberikan semangat, motivasi dan doa-doa kepada penulis. Terimakasih kalian yang membuat penulis menjadi semangat. Juga kepada seluruh alumni, senior dan junior, dan pihak-pihak yang telah membantu yang tidak penulis sebutkan satu-persatu.

Terima kasih untuk semua yang telah membantu dalam terselesainya skripsi ini, akhir kata penulis ucapkan Assalamualaikum Wr. Wb.

Medan, Desember 2020

Junandrema Sitepu Nim : 160707065

(10)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL... xii

BAB I ... 1

PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan penelitian ... 3

1.3.2 Manfaat penelitian ... 3

1.4 Konsep dan Teori ... 4

1.4.1 Konsep ... 4

1.4.2 Landasan Teori ... 6

1.5 Tinjauan Pustaka ... 7

1.6 Metode Penelitian ... 8

1.6.1 Wawancara ... 10

1.6.2 Observasi ... 11

1.6.3 Kerja Laboratorium... 11

1.7 Lokasi Penelitian ... 12

BAB II ... 13

ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU KARO LANGKAT ... 13

DI DESA BELINTENG KECAMATAN SEI BINGAI KABUPATEN LANGKAT DAN BIOGRAFI BAPAK RAJIN SEMBIRING ... 13

2.1 Luas dan Batas Wilayah Administratif... 13

2.2 Letak Lokasi Penelitian ... 17

2.3 Bahasa... 18

2.4 Sistem Kekerabatan ... 18

2.4.1 Kalimbubu ... 21

(11)

2.4.2 Senina/Sembuyak ... 23

2.4.3 Anak Beru ... 25

2.5 Mata Pencaharian ... 29

2.6 Sistem Kesenian Musik Tradisional Masyarakat Karo ... 30

2.6.1 Penggunaan musik vokal tradisional Karo ... 31

2.6.2 Ensambel musik tradisional Karo ... 32

2.7 Biografi Bapak Rajin Sembiring Pada Budaya Karo Langkat ... 42

2.8 Alasan Dipilihnya Bapak Rajin Sembiring ... 43

2.9 Biografi Bapak Rajin Sembiring ... 44

2.10 Latar Belakang Keluarga ... 45

2.11 Latar Belakang Pendidikan... 45

2.12 Berumah Tangga ... 45

2.13 Bapak Rajin Sembiring Sebagai Pembuat Alat Musik ... 46

2.14 Bapak Rajin Sembiring sebagai pemusik tradisional ... 46

BAB III ... 48

PROSES PEMBUATAN GENDANG ANAK ... 48

3.1 Klasifikasi Gendang Anak ... 48

3.2 Bahan Baku Yang Digunakan ... 49

3.2.1 Kayu Nangka ... 49

3.2.2 Bambu (buluh belangke) ... 49

3.2.3 Kulit lembu untuk tali gendang (nali gendang) ... 50

3.2.4 Kulit Napuh (sejenis kancil) ... 51

3.2.5 Batang Jeruk Purut (Rimo Mukur) ... 52

3.3 Konstruksi gendang ... 53

3.4 Peralatan Yang Digunakan ... 55

3.4.1 Parang dan Pisau ... 55

3.4.2 Kelut ... 55

3.4.3 Pahat... 56

3.4.4 Kertas Pasir ... 57

3.4.5 Alat ukur ... 57

3.4.6 Spidol dan Pulpen ... 58

3.4.7 Pengukur lubang ... 58

3.5 Pembuatan badan gendang ... 58

3.5.1 Proses pahat pada gendang ... 59

3.5.2 Menghaluskan baloh gendang ... 60

(12)

3.6.1 Hasil akhir pembuatan bingke tutup ... 61

3.7 Proses pengolahan kulit napuh (sejenis kancil) ... 62

3.7.1 Proses pengikisan kulit napuh (sejenis kancil) ... 63

3.7.2 Merapikan pinggiran kulit napuh (sejenis kancil) ... 63

3.7.3 Kulit napuh (sejenis kancil) dibentuk membuat bingke tutup ... 64

3.7.4 Pemasangan kulit napuh (sejenis kancil) ... 65

3.7.5 Hasil akhir dari pembuatan tutup gendang ... 65

3.7.6 Membuat tanda lubang pada tutup gendang ... 66

3.8 Pembuatan lubang tali ... 67

3.8.1 Proses memasukkan nali gendang ke bingke tutup ... 67

3.8.2 Proses pemasangan bingke... 68

3.8.3 Merekatkan nali ke baloh gendang ... 69

3.9 Proses pembuatan palu-palu... 69

3.9.1 Proses penghalusan palu-palu ... 70

BAB IV ... 71

TEKNIK MEMAINKAN DAN FUNGSI MUSIK GENDANG ANAK PADA MASYARAKAT KARO LANGKAT ... 71

4.1 Posisi Memainkan Gendang Anak... 71

4.2 Warna Bunyi ... 72

4.3 Pola Ritem Gendang Anak ... 72

4.4 Peranan Gendang Anak dalam ensambel Gendang Binge ... 76

4.5 Nilai Ekonomi Pada Alat Musik Gendang anak ... 77

BAB V ... 78

PENUTUP ... 78

5.1 Kesimpulan ... 78

5.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

DAFTAR INFORMAN PENELITIAN ... 82

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Peta Desa Belinteng ... 17

Gambar 2. 2 Bapak Rajin Sembiring ... 44

Gambar 3. 1 Bagian-bagian Gendang………...54

Gambar 3. 2Ukuran – ukuran Gendang ... 54

Gambar 3. 3Alat Pukul Gendang ... 54

Gambar 3. 4 Kayu Nangka dan Proses Pengambilannya ... 49

Gambar 3. 5 Bambu (buluh belangke ) ... 50

Gambar 3. 6 Kulit Lembu untuk tali (nali gendang) ... 51

Gambar 3. 7 Kulit Napuh (sejenis kancil) ... 52

Gambar 3. 8 Batang Jeruk Purut(rimo mukur)... 52

Gambar 3. 9 Parang dan Pisau (rawit) ... 55

Gambar 3. 10 Kelut ... 56

Gambar 3. 11 Pahat ... 56

Gambar 3. 12 Kertas Pasir ... 57

Gambar 3. 13 Meteran dan Rol ... 57

Gambar 3. 14 Pengukur Lubang ... 58

Gambar 3. 15 Pembuatan badan gendang ... 59

Gambar 3. 16 Proses pemahatan lubang resonator ... 59

Gambar 3. 17 Menghaluskan baloh gendang ... 60

Gambar 3. 18 Proses pembuatan bingke tutup ... 61

Gambar 3. 19 Hasil akhir pembuatan bingke ... 62

Gambar 3. 20 Proses Pengolahan / Prendaman kulit napuh (sejenis kancil) ... 62

Gambar 3. 21 Proses pengikisan kulit napuh (sejenis kancil) ... 63

Gambar 3. 22 Merapikan Pinggiran kulit napuh ... 64

Gambar 3. 23 Pemasangan Kulit Napuh pada bingke... 64

Gambar 3. 24 Pemasangan kulit napuh (sejenis kancil) ... 65

Gambar 3. 25 Proses pembuatan bingke tutup ... 66

Gambar 3. 26 Membuat Tanda Lubang pada babah gendang ... 66

Gambar 3. 27 Pembuatan Lubang Tali ... 67

Gambar 3. 28 Proses memasukkan nali gendangke bingke tutup ... 68

Gambar 3. 29 Proses Pemasangan Bingke ... 68

Gambar 3. 30 Merekatkan nali ke badan gendang ... 69

Gambar 3. 31 Memotong batang jeruk purut (rimo mukur) ... 70

Gambar 3. 32 Proses penghalusan palu-palu ... 70

Gambar 4. 1 Posisi Memainkan Gendang………..71

(14)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 2,1 : Pembagian Wilayah Administrasi dan Luas Wilayah

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Suku Karo merupakan salah satu suku yang berada di Sumatera Utara.

Salah satu wilayahnya penyebaran Masyarakat Karo yaitu Kabupaten Langkat.

Masyarakat di Kabupaten Langkat sering disebut juga Karo Langkat. Karo Langkat merupakan kelompok masyarakat suku Karo yang tinggal di kabupaten Langkat yang tersebar di hampir seluruh kecamatan yang ada di kabupaten Langkat, salah satunya pada Kecamatan Sei Bingai.

Sama halnya dengan masyarakat Karo pada umumnya, Karo Langkat memiliki kebudayaan yang diturunkan secara turun temurun oleh nenek moyangnya, baik itu dari upacara adat, kesenian, arsitektur, musik, dan yang lainnya. Masyarakat Karo sangat menghargai warisan kebudayaan terutama dalam berkesenian musik.

Pada umumnya musik dikenal sebagai pengiring dalam berbagai upacara adat, hiburan, dan pertunjukan seni. Ruang lingkup musik mencakup beberapa aspek yaitu kemampuan untuk menguasai olah vokal, serta kemampuan memainkan alat musik.

Menurut Rajin Sembiring1, dalam kebudayaan musik Karo Langkat terdapat sebuah ansembel alat musik yang disebut gendang binge atau gendang galang. Secara harfiah gendang galang artinya besar dalam bahasa, Penamaan gendang galang di sebabkan apabila gendang ini dibandingkan dengan gendang yang digunakan di Kabupaten Karo lebih besar. Gendang binge atau gendang

(16)

galang merupakan sebuah nama ensambel musik masyarakat Karo Langkat.

Dalam ensambel gendang binge terdapat alat musik sebagai berikut : sarune (aerofon), gendang indung (memberanofon), gendang anak (memberanofon), penganak (idiofon), gung (idiofon).

Gendang anak adalah salah satu alat musik dalam ansembel gendang binge yang berperan sebagai pembawa pola ritem yang lebih konstan yang berguna untuk penanda pulsa dasar bagi gendang indung.

Dalam proses pembuatan instrumen gendang anak masih di lakukan secara manual dengan ala-alat yang sering digunakan dalam kehidupan sehari hari. Sekarang ini, alat musik gendang anak sudah jarang ditemui dan tidak banyak yang mengetahuinya bahkan masyarakat di Desa Belinteng Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat dikarenakan sudah tidak digunakan dalam upacara adat masyarakat Karo Langkat, perannya sudah digantikan dengan alat musik keyboard. Padahal alat musik ini merupakan hasil karya dari leluhur masyarakat Karo Langkat.

Berdasarkan uraian yang telah di sampaikan di atas mengenai alat musik gendang anak, maka penulis merasa perlu untuk mendeskripsikan alat musik ini agar tidak hilang oleh perkembangan zaman, serta penulis juga menyusunnya ke dalam bentuk skripsi dangan judul : “Deskripsi Pembuatan dan Teknik Permainan Gendang Anak Pada Kebudayaan Karo Langkat Buatan Bapak Rajin Sembiring Di Desa Belinteng Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat”.

(17)

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pembuatan alat musik gendang anak buatan Bapak Rajin Sembiring ?

2. Bagaimana teknik permainan gendang anak ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan pokok permasalah, maka tujuan dan manfaat utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang alat musik gendang anak baik secara organologinya maupun tehnik permainan sebagai salah satu ekspresi kultural masyarakat Karo Langkat.

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan proses pembuatan alat musik gendang anak.

2. Untuk mendeskripsikan teknik permainan gendang anak.

1.3.2 Manfaat penelitian

Setelah melihat dan membaca tujuan diatas maka manfaat yang ingin dicapai dari tulisan ini adalah:

(18)

1. Menjadi salah satu sarana dalam memperluas ilmu pengetahuan tentang instrumen tradisional yang merupakan kearifan lokal pada masyarakat Karo, khususnya pada Karo Langkat.

2. Menjadi bahan dokumentasi tambahan tentang informasi dari alat musik gendang

anak yang sudah dilupakan dan kemungkinan akan mengalami kepunahan.

3. Sebagai motifasi bagi setiap pembaca khususnya generasi muda masyarakat suku

Karo untuk melestarikan keberadaan alat musik tradisionalnya.

4. Sebagai proses pengaplikasian atau pengembangan ilmu yang diperoleh peneliti selama mengikuti perkuliahan di program studi Etnomusikologi.

5. Untuk peneliti, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Agar mendapat pemahaman dalam tulisan ini, perlu untuk diuraikan kerangka konsep yang digunakan sebagai landasan. Konsep merupakan rangkaian ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991:431). Gendang dalam konteks tulisan ini dapat diartikan sebagai musik, sebagai alat musik dan disebut sebagai ansembel.

Pengertian musik menurut M. Soeharto adalah pengungkapa gagasan melalui bunyi, yang unsur dasarnya berupa melodi, irama, dan harmoni dengan

(19)

unsur pendukung berupa gagasan, sifat dan warna bunyi. Musik dianggap sebagai salah satu cermin dari masyarakat tertentu karena melalui musik terlihat ritual dan budaya sehari-hari. Dari pengertian musik ini, dapat dikatakan bahwa musik merupakan suatu ungkapan dari ekspresi manusia.

Instrumen atau alat musik merupakan alat untuk menghasilkan musik, dimana secara umum instrument seni musik dibagi kedalam empat bagian, yaitu:

1. insturmen pembawa melodi 2. instrumen pembawa ritem, dan

3. Gabungan dari instrumen melodi dan instrumen ritem 4. Penanda

Dalam membicarakan alat musik pasti tidak terlepas pada organologinya atau bagian-bagian dari alat musik tersebut. Tentang kajian organologi, aspek yang dibahas adalah ukuran dan bentuk fisiknya termasuk hiasannya, bahan dan prinsip pembuatannya, metode dan teknik memainkan, bunyi dan wilayah yang dihasilkan, serta aspek sosial budaya yang berkaitan dengan alat musik tersebut.

Seperti yang dikemukakan oleh Mantle Hood (1982:124) Menurut beliau Organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskripsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat musik itu sendiri antara lain : teknik pertunjukan, fungsi musikal, dekoratif, dan variasi sosial budaya. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa kajian organologis gendang anak buatan Bapak Rajin Sembiring yaitu penelitian secara mendalam deskripsi instrumen, juga mengenai cara pembuatannya, tehnik memainkan, dan fungsi dari alat musik tersebut.

(20)

Musik ensambel adalah bermain musik secara bersama-sama dengan menggunakan beberapa alat musik dan kemudian memainkan lagu dengan aransemen yang sederhana. Kata ensambel sendiri berasal dari Bahasa Perancis yang mempunyai arti rombongan musik dan ensambel dalam kamus musik mempunyai definisi kelompok kegiatan musik. Musik sendiri digunakan banyak orang saat sedang belajar karena dipercayai sebagai salah satu cara menghindari stress saat belajar.2 Menurut Sanjaya dkk (2019), ensambel adalah sekelompok orang yang memainkan instrumen musik baik instrumen sejenis maupun yang berbeda, dan dimainkan secara bersama-sama.

1.4.2 Landasan Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan pemikiran. Di dalam hal itu suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan kepadanya terhadap fakta-fakta kongret yang tak terbilang banyaknya dalam kenyataan kehidupan masyarakat, yang harus diperhatikan. koentjaraningrat (1997 : 11) Berdasarkan itu, maka peneliti mempergunakan beberapa teori utama yang digunakan dalam penelitian.

Teori yang digunakan untuk menganalisis yaitu manggunakan teori dikemukakan oleh Khasima Susumu di dalam APTA (Asia Performing Traditional Art, 1978 :74), yaitu dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk membahas alat musik, yakni teori struktural dan fungsional. Secara struktural yaitu: aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang

(21)

dipakai. Secara fungsional, memperhatikan fungsi dari alat musik dan komponen yang menghasilkan suara, antara lain: membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut, metode pelarasan dan keras lembutnya suara bunyi, nada, warna nada, dan kualitas suara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut. Peneliti juga menganalisis dan mendeskripsikan alat musik gendang anak dari pola ritem yang dihasilkan dengan pendekatan teori musik barat.

Sedangkan mengenai klasifikasi alat musik gendang anak dalam penulisan ini penulis mengacu pada teori yang di kemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu: 1.Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri, 2. Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara, 3. Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit, 4. Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.

1.5 Tinjauan Pustaka

Narasumber merupakan bagian penting sebagai sumber data dari penulisan ini. Selain itu penulis juga mempelajari dari bahan tertulis lain dengan tujuan untuk mencari kesesuaian antara teori yang akan digunakan dengan permasalahan yang akan diteliti, serta untuk menjaga keaslian hasil penelitian. Artinya bahwa kajian yang dilakukan penulis bukanlah plagiarisme/plagiat dari penelitian lain.

Oleh sebab itu, peneliti mencantumkan semua sumber yang digunakan sebagai bahan referensi dalam studi ini. Studi kepustakaan/literatur yang penulis lakukan

(22)

di antaranya mengkaji sumber data yang berupa tulisan hasil karya ilmiah, hasil skripsi, laporan penelitian, artikel dan lain-lain.

Beberapa sumber bacaan terdahulu yang dikaji oleh peneliti, yang temanya mengenai deskripsi alat musik seperti Kajian Organologis Gendang Singanaki Buatan Bapak Hasan Barus di Jalan Tali Air Lingkungan IV Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan ditulis oleh Octica Tampubolon (2015), tulisan ini digunakan penulis sebagai panduan dalam membicarakan konstruksi dari gendang. Studi Organologis Keteng Keteng Pada Masyarakat Karo Buatan Bapak Bangun Tarigan yang ditulis oleh Rano Pranata Virgo Sitepu (2016), penulis gunakan sebagai bahan bacaan tentang pola ritem. Kajian Organologis Alat Musik Gambus Buatan Bapak Syahrial Felani ditulis oleh Jackry Oktora Tobing (2014), dan beberapa tulisan lainnya yang penulis gunakan dalam tulisan ini, penulis cantumkan pada daftar pustaka.

1.6 Metode Penelitian

Bentuk penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan pada melakukan penelitian yang berorientasi pada fenomena atau gejala yang bersifat alami. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang memperdulikan produk atau hasil, pada penelitian kualitatif keperduliannya adalah pada proses. Penelitian kualitatif tidak berupaya mencari bukti-bukti untuk pengujian hipotesis yang diturunkan dari teori, seperti halnya pada pendekatan kuantitatif. Akan tetapi, peneliti berangkat ke lapangan untuk mengumpulkan berbagai bukti melalui penelaahan terhadap fenomena.

Meskipun demikian, bukan berarti peneliti berangkat ke lapangan tanpa pegangan

(23)

atau perencanaan. Sebagai pegangan peneliti saat mengumpulkan data dari lapangan, peneliti memiliki kerangka kerja atau kerangka acuan yang bersifat asumsi teoritis sebagai pengorganisasian kegiatan pengumpulan data. Penelitian kualitatif sangat tepat digunakan untuk studi ini karena seperti yang dijelaskan di atas, bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mencari tahu bagaimana proses pembuatan Gendang Anak di Desa Belinteng, cara memainkannya dan fungsi dari instrumen musik.

Metode adalah cara yang digunakan dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar hasil dari pekerjaan tersebut sesuai dengan yang diharapkan dan dikehendaki melalui cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka 2005). Metode Penelitian, tata cara yang di lakukan peneliti yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang menjadi sasaran ilmunya atau data serta melakukan investigasi terhadap data yang telah didapatkan tersebut.

Untuk memperoleh data secara sistematis, maka peneliti menggunakan metode penelitian dengan pendekatan analisis deskriptif.

Untuk memperoleh data tersebut sesuai dengan metode kerja lapangan, dipergunakan kerangka kerja Nettl (1964:29-30) meliputi:

(1) Wawancara mendalam, dengan tujuan agar informan dapat memberikan pandangan-pandangan tentang kebudayaan secara luas dan terbuka.

(2) Observasi budaya, meliputi proses dokumentasi audio dan visual, data statistik, dan sumber-sumber tertulis lainnya.

(3) Pengamatan berperan-serta, yaitu pengamatan dimana peneliti berperan-serta dalam aktifitas masyarakat.

(24)

Penelitian ini adalah penelitian dekriptif, dengan lebih banyak bersifat uraian dari hasil obeservasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang telah diperoleh dianalisi secara kualitatif diuraikan dalam bentuk deskriptif. Teknik analisis data dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan data yang ada. Tahapan- tahapan analisis data untuk menginterpretasi data secara spesifik dengan cara sebagai berikut: Reduksi data, Penyajian data, Penarikan simpulan dan verifikasi.

Di lapangan, penulis mengumpulkan data langsung. Untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin, penulis menggunakan peralatan perekam dalam bentuk foto maupun video beserta buku catatan. Selanjutnya, peneliti melakukan rekonstruksi ulang terhadap pembuatan dan cara memainkan alat musik ini.

Peneliti melakukan rekonstruksi ulang di Desa Belinteng Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat.

1.6.1 Wawancara

Wawancara merupakan bagian dari metode kualitatif. Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan- keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada si peneliti (Mardalis 2006:64). Dalam penelitian ini, Wawancara juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data dan keterangan-keterangan untuk melengkapi data yang diperoleh oleh peneliti.

Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan pada saat wawancara secara bebas ataupun tertuju dari satu topik ke topik lain dan materinya tetap berkaitan dengan topik penelitian.

(25)

Sebelum seorang peneliti dapat memulai wawancara, artinya sebelum ia dapat berhadapan muka dengan seseorang dan mendapat keterangan lisan dari dia, maka ada beberapa soal mengenai persiapan untuk wawancara yang harus dipecahkan lebih dahulu. Koentjaraningrat (1997 : 130) soal itu mengenai:

1. Seleksi individu untuk diwawancara

2. Pendekatan orang yang telah diseleksi untuk diwawancara

3. Pengembangan suasana lancar dalam wawancara, serta usaha untuk menimbulkan pengertian dari bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancara.

Dalam bentuk wawancara, peneliti menetapkan Bapak Rajin Sembiring sebagai informan kunci dalam penelitian. Selain itu, penulis juga mewawancarai beberapa pemain musik tradisional lain dan juga tokoh masyarakat yang peneliti rasa berkaitan dengan tulisan dan yang dianggap dapat memberi informasi tambahan mengenai instrumen gendang anak untuk pengembangan penelitian skripsi ini.

1.6.2 Observasi

Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki (Sutrisno Hadi:1995). Observasi dapat dilakukan dengan cara tes, kusioner, rekaman gambar, dan rekaman suara.

1.6.3 Kerja Laboratorium

Pada kerja laboratorium, peneliti akan mengumpulkan data, dimulai dari wawancara, dokumentasi, dan perekaman yang akan di uraikan secara rinci.

(26)

Seluruh data yang peneliti peroleh berasal dari hasil observasi di lapangan. Data perekaman menjadi objek yang diteliti oleh peneliti dengan cara mentranskripsikan bagaimana pola ritem yang di hasilkan gendang anak dengan pendekatan musik Barat.

Selanjutnya, Setelah peneliti melakukan kerja laboratorium, peneliti membuatnya menjadi sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sesuai dengan aturan penelitian sebuah karya ilmiah. Maka dengan demikian, tulisan ini diharapkan memiliki manfaat dan dapat menambah wawasan pengetahuan di bidang Etnomusikologi dan bermanfaat untuk seluruh kalangan.

1.7 Lokasi Penelitian

Penulis memilih daerah yang menjadi lokasi penelitian adalah Desa Belinteng Kecamatan Sei bingai Kabupaten langkat. lokasi yang merupakan tempat tinggal Bapak Rajin Sembiring sebagai narasumber yang beralamat di dusun Belinteng. Sehingga siapa saja yang menginginkan informasi tentang gendang anak dapat menghubungi bapak tersebut.

Untuk menuju lokasi tersebut, di butuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan yang dilakukan dari kota Medan. Transportasi yang digunakan menuju lokasi tersebut dapat dengan menaiki angkutan umum yang mengarah ke kota Binjai dan di sambung kembali dengan menaiki angkutan umum yang mengarah ke Belinteng.

(27)

BAB II

ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU KARO LANGKAT DI DESA BELINTENG KECAMATAN SEI BINGAI KABUPATEN

LANGKAT DAN BIOGRAFI BAPAK RAJIN SEMBIRING

2.1 Luas dan Batas Wilayah Administratif

Kabupaten Langkat merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Utara. Jarak rata-ratanya dari Kota Medan sekitar 60 km ke arah barat laut, dan berbatasan langsung dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kabupaten Langkat beribukota di Stabat. Luas wilayah Kabupaten Langkat adalah 6.263,29 km² atau 626.329 Ha, sekitar 8,74% dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Langkat terbagi dalam 3 Wilayah Pembangunan (WP) yaitu ;

1. Langkat Hulu seluas 211.029 ha., wilayah ini meliputi Kecamatan Bahorok, Kutambaru, Salapian, Sirapit, Kuala, Sei Bingai, Selesai dan Binjai.

2. Langkat Hilir seluas 250.761 ha. wilayah ini meliputi Kecamatan Stabat, Wampu, Secanggang, Hinai, Batang Serangan, Sawit Seberang, Padang Tualang dan Tanjung Pura.

3. Teluk Aru seluas 164.539 ha. wilayah ini meliputi Kecamatan Gebang, Babalan, Sei Lepan, Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang dan Pematang Jaya.

Secara administratif, Kabupaten Langkat terdiri atas 23 wilayah kecamatan, 240 desa, dan 37 kelurahan. Kecamatan dengan wilayah paling luas adalah Kecamatan Batang Serangan (93,490 ha), dan yang paling sempit adalah

(28)

Kecamatan Binjai (4,955 ha). Kecamatan dengan Desa terbanyak adalah Kecamatan Bahorok dan Kecamatan Tanjung Pura (19 desa/kelurahan) sedangkan kecamatan dengan desa/kelurahan paling sedikit adalah Kecamatan Sawit Seberang, Brandan Barat dan Binjai (7 Desa/Kelurahan).

Tabel 2,1 : Pembagian Wilayah Administrasi dan Luas Wilayah.

No. Kecama

tan Ibu

Kecamata n

Banyaknya Luas

De

sa Kel

ura han

Km² %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Bahorok Pkn

Bahorok 18 1 1.101,83 17,59

2 Sirapit Sidorejo 10 0 98,5 1,57

3 Salapian Minta Kasih 16 1 221,73 3,54

4 Kutambar

u Kutambaru 8 0 234,84 3,78

5 Sei Bingei Namu Ukur

Sltn 15 1 333,17 5,32

6 Kuala Pkn Kuala 14 2 206,23 3,29

7 Selesai Pkn Selesai 13 1 167,73 2,68

8 Binjai Kwala

Begumit 6 1 42,05 0.67

9. Stabat Stabat Baru 6 6 108,85 1,74

10. Sei

Wampu Bingai 13 1 194,21 3,10

11 Batang

Serangan Batang

Serangan 7 1 899,38 14,36

12 Sawit

Seberang Sawit

Seberang 6 1 209,10 3,34

13 Padang

Tualang Tjg.

Selamat 11 1 221,14 3,53

14 Hinai Kebun Lada 12 1 105,26 1,68

15 Secanggan

g Hinai Kiri 16 1 231,19 3,69

16 Tanjung

Pura Pkn.

Tanjung Pura

18 1 179,61 2,87

17 Gebang Pkn Gebang 10 1 178,49 2,85

18 Babalan Pelawi

Utara 4 4 76,41 1,22

19 Sei Lepan Alur Dua 9 5 280,68 4,48

20 Brandan

Barat Tangkahan

Durian 5 2 89,80 1,43

21 Besitang Pkn

Besitang 6 3 720,74 11,51

22 Pangkalan

Susu Bukit

Jengkol 9 2 151,35 2,42

(29)

Jaya Mungkur

JUMLAH 240 37 6.263,29 100

Sumber : Kabupaten Langkat Dalam Angka tahun 2015

Wilayah Kabupaten Langkat terletak pada koordinat 3°14‟ - 4°13‟ LU dan 97°52‟ - 98°45‟ BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD)

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo

c. Sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Tanah Alas

d. Sebeleh timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai.

Luas keseluruhan Kabupaten Langkat adalah 6,263.29 km² atau 626.329 Ha.

Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Langkat, secara administratif terdapat dua puluh tiga Kecamatan yang ada di Kabupaten Langkat . Kecamatan-kecamatan yang terdapat di Kabupaten Langkat :

1. Kecamatan Kuala 2. Kecamatan Sei Bingai 3. Kecamatan Salapian 4. Kecamatan Bahorok 5. Kecamatan Serapit 6. Kecamatan Kutambaru 7. Kecamatan Selesai

(30)

9. Kecamatan Stabat 10. Kecamatan Wampu 11. Kecamatan Secanggang 12. Kecamatan Hinai

13. Kecamatan Padang Tualang 14. Kecamatan Batang Serangan 15. Kecamatan Sawit Seberang 16. Kecamatan Tanjung Pura 17. Kecamatan Babalan 18. Kecamatan Gebang 19. Kecamatan Brandan Barat 20. Kecamatan Sei Lepan 21. Kecamatan Pangkalan Susu 22. Kecamatan Besitang

23. Kecamatan Pematang Jaya

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2012, penduduk Kabupaten Langkat mayoritas bersuku bangsa Melayu (70,87 persen), diikuti dengan suku Jawa (9,93 persen), Karo (7,22 persen), Tapanuli/ Toba (2 persen), Madina (2 persen) dan lainnya (5,94 persen). Sedangkan agama yang dianut penduduk Kabupaten Langkat mayoritas agama Islam (90,00 persen), Kristen 7,56 persen), Katolik (1,06 persen), Budha (0,95 persen) dan lainnya (0,34 persen).

(31)

2.2 Letak Lokasi Penelitian

Sei Bingai adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Indonesia. Ibu kotanya terletak di Namu Ukur. Sebagiaan besar penduduk kecamatan ini adalah suku Karo 60%, disusul suku Melayu 20% dan Jawa 8%, selebihnya suku-suku lain yang ada di kabupaten Langkat. Terdapat 1 kelurahan dan 15 desa di antaranya : Kelurahan Namu Ukur Selatan dan Desa Belinteng, Durian Lingga, Gunung Ambat, Kwala Mencirim, Mekar Jaya, Namu Ukur, UtaraPasar, IV Namu Terasi, Pasar VI Kwala Mencirim, Pasar VIII Namu Terasi, Pekan Sawah, Purwobinangun, Rumah Galuh, Simpang Kuta Buluh, Tanjung Gunung, Telaga.

Gambar 2. 1 Peta Desa Belinteng

Desa Belinteng terletak di wilayah Kecamatan Sei Bingai Kabupaten Langkat. Desa Belinteng terbagi dalam 21 dusun, memiliki 1234 KK kurang lebih

(32)

Bujur Timur 98,4671000. Terletak 123 meter di atas permukaan laut dan luas wilayah 998 Ha.

Berbatasan dengan:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Mekar jaya

• Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Kabupaten Karo

• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Simpang Kuta Buluh

• Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pekan Sawah

Di Desa Belinteng ini lah Bapak Rajin Sembiring sebagai narasumber dari penulis bertempat tinggal.

2.3 Bahasa

Bahasa Karo Langkat adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Belinteng sehari-hari sebagai bahasa lisan untuk menyampaikan maksud dan tujuan di rumah maupun di luar rumah dan dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa karo yang digunakan sudah dipengaruhi dengan kebudayaan Melayu, sehingga didaerah tersebut berbahasa Karo tetapi berdialeg Melayu . Peranan bahasa Karo Langkat menunjukkan keberadaanya di tangah-tengah masyarakat, di sekolah, upacara adat istiadat dan upacara agama.

2.4 Sistem Kekerabatan

Suku Karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Merga disebut untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan yang disebut beru. Merga atau beru ini disandang di

(33)

belakang nama seseorang. Merga dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima. Kelima merga tersebut adalah:

1. Karo-karo : Purba, Barus, Bukit, Gurusinga, Kaban, Kacaribu, Surbakti, Sinulingga, Sitepu, Sinuraya, Sinuhaji, Ketaren, kemit, jung, sinukaban, sinubulan, samura, sekali. (berjumlah 18)

2. Tarigan : bondong, gana-gana, gersang, gerneng, jampang, purba, pekan, sibero, tua, tegur, tambak, tambun, silangit, tendang. (berjumlah 14)

3. Ginting : anjartambun, babo, beras, cabap, gurupatih, garamata, jandibata, jawak, manik, munte, pase, seragih, suka, sugihen, sinusinga, tumangger, taling kuta. (berjumlah 17)

4. Sembiring : Sembiring si banci man biang (sembiring yang boleh makan anjing): Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung (Jumlah = 4);

Sembiring simantangken biang (sembiring yang tidak boleh makan Anjing): Brahmana, Depari, Meliala, Pelawi, busuk, colia, muham, maha, bunuaji, gurukinayan, pandia, keling, pandebayang, sinukapur, tekang.

(berjumlah 15)

5. Perangin-angin : Bangun, Keliat, Kacinambun, Namohaji, Mano, Benjerang, Uwir, Pinem, Pancawan, Penggarun, Ulun Jandi, Laksa, Perbesi, Sukatendel, Singarimbun, Sinurat, Sebayang, Tanjung. (berjumlah 18)

Keterangan: Total semua submerga adalah 85.

Kelima merga ini masih mempunyai submerga masing-masing. Setiap orang Karo mempunyai salah satu dari merga tersebut. Merga diperoleh secara turun termurun dari ayah. Merga ayah juga merga anak. Orang yang mempunyai

(34)

merga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut (b)ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga (b)ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Peranginangin ada yang dapat menikah di antara mereka.

Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo Langkat atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu = tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Unsur Daliken Sitelu ini adalah

1. Kalimbubu

2. Sembuyak/Senina 3. Anak Beru

Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak, anak beru, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.

(35)

2.4.1 Kalimbubu

Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam system kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anak beru (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anak beru tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain. Oleh Darwan Prints, kalimbubu diumpamakan sebagai legislatif, pembuat undang-undang. Kalimbubu dapat dibagi atas dua yaitu Kalimbubu berdasarkan tutur dan kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan).

1. Kalimbubu berdasarkan tutur

a) Kalimbubu Bena-Bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak dara awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara sekurang-kurangnya tiga generasi.

b) Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut

(36)

mendirikan kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun. Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga.

Kalimbubu ini selalu diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di Tanah Karo.

2. Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan)

a) Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah, atau pihak clan (semarga) dari ibu kandung ego (paman kandung ego). (Petra : ego maksudnya orang, objek yang dibicarakan).

b) Kalimbubu I Perdemui atau (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari mertua ego. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi wanita ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-Bena dan Kalimbubu Si Mada Dareh.

c) Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak subclan pemberi anak dara terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak subclan dari istri saudara laki-laki istri ego.

d) Kalimbubu Senina. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur senina dari kalimbubu ego. Dalam pesta-pesta adat, kedudukannya berada pada golongan kalimbubu ego, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok subclan kalimbubu ego.

e) Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon (akan dijelaskan pada halaman-halaman selanjutnya) pemilik pesta.

(37)

2.4.1.1 Ada pun hak kalimbubu ini dalam struktur masyarakat Karo : 1. Dihormati oleh anak berunya

2. Dapat memberikan perintah kepada pihak anak berunya 2.4.1.2 Tugas dan kewajiban dari kalimbubu :

1. Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anak berunya

2. Memerintahkan pendamaian kepada anak beru yang saling berselisih 3. Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga

4. Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di dalam acara-acara adat

5. Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang anggota anak berunya yang meninggal, yang menerima seperti ini disebut Kalimbubu Simada Dareh. Pada dasarnya setiap ego Karo, baik yang belum menikah pun mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada dareh. Kemudian bila ego (pria) menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang.

2.4.2 Senina/Sembuyak

Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua :

1. Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan (merga).

2. Senina berdasarkan kekerabatan : Senina Siparibanen, perkerabatan karena istri saling bersaudara.

(38)

a) Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama.

b) Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.

c) Senina Secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan (bersembuyak).

Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan.

Fungsinya adalah sebagai sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi friksi-friksi ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anak beru. Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya.

Peranan sembuyak adalah bertanggung jawab kepada setiap upacara adat sembuyak sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi

(39)

anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu clan. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu subclan sama dengan saudara kandung.

Sembuyak dapat dibagi dua bagian :

1. Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga).

2. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas:

a) Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung.

b) Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung.

c) Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.

2.4.3 Anak Beru

Anak beru adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints, anak beru ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anak beru disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut. Anak beru dapat dibagi atas 2:

2.4.3.1 Anak beru berdasarkan tutur :

1. Anak beru Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.

2. Anak beru Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.

(40)

2.4.3.2 Anak beru berdasarkan kekerabatan :

1. Anak beru Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka).

Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.

2. Anak beru Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anak beru ini disebut juga anak beru langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu.

Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah Anak beru Jabu.

3. Anak beru Menteri adalah anak beru dari anak beru. Fungsinya menjaga penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung.

Anak beru Menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubunya yaitu anak beru dari pemilik acara adat.

4. Anak beru Singikuri adalah anak beru dari anak beru menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.

(41)

Dalam pelaksanaan acara adat peran anak beru adalah yang paling penting. Anak beru lah yang pertama datang dan juga yang terakhir pada acara adat tersebut. Lebih lanjut tugastugasnya antara lain :

1. Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat.

2. Menyiapkan hidangan pada pesta.

3. Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta.

4. Menanggulangi sementara semua biaya pesta.

5. Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui harta benda kalimbubunya.

6. Menjadwal pertemuan keluarga.

7. Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya berduka cita.

8. Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi kalimbubunya.

9. Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya, Anak beru berhak untuk : Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak menolak.

10. Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia. Warisan ini berupa barang dan disebut morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan lainnya sebagai kenang-kenangan.

Selain itu juga karena pentingnya kedudukan anak beru, biasanya pihak kalimbubu menunjukkan kemurahan hati dengan :

11. Meminjamkan tanah perladangan secara cuma-cuma kepada anak berunya.

(42)

12. Memberikan hak untuk mengambil hasil hutan (dahulu karena pihak kalimbubu adalah pendiri kampung, mereka mempunyai hutan sendiri di sekeliling desanya).

13. Merasa bangga dan senang bila anak perempuannya dipinang oleh pihak anak berunya. Ini akan melanjutkan dan mempererat hubungan kekerabatan yang sudah terjalin.

14. Mengantarkan makanan kepada anak nya pada waktu tertentu misalnya pada waktu menanti kelahiran bayi atau lanjut usia.

15. Membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi anak berunya pada waktu pesta besar di dalam clan anak berunya. Adapun istilah-istilah yang diberikan kalimbubu, kepada anak berunya adalah : 16. Tumpak Perang, atau Lemba-lemba. Artinya adalah ujung tombak.

Maksudnya, bila kalimbubunya ingin pergi ke satu daerah, maka yang berada di depan sebagai pengaman jalan dan sebagai perisai dari bahaya adalah pihak anak beru. Dalam bahasa lain anak beru sebagai tim pengaman jalan.

17. Kuda Dalan (Kuda jalan/beban). Dahulu sebelum ada alat transportasi hanya kuda, untuk membawa barang-barang atau untuk menyampaikan informasi dari satu desa ke desa lain, dipergunakanlah kuda. Arti Kuda Dalam dalam istilah ini adalah alat atau kenderaan yang dipakai kemana saja, termasuk untuk berperang, untuk membawa barang-barang yang diperlukan pihak kalimbubunya atau untuk menyampaikan berita tentang kalimbubunya, dan sekaligus sebagai hiasan bagi kewibawaan martabat kalimbubunya.

(43)

18. Piso Entelap (pisau tajam). Dalam pesta adat atau pekerjaan adat pisau tajam dipergunakan untuk memotong daging atau kayu api atau untuk mendirikan teratak tempat berkumpul. Setiap anak beru harus memiliki pisau yang yang demikian agar tangkas dan sempurna mengerjakan pekerjaan yang diberikan kalimbubunya. Menjadi kebiasaan dalam tradisi Karo, pisau dari pihak kalimbubu yang meninggal dunia diserahkan kepada anak berunya. Pisau ini disebut maneh-maneh, pemberiannya bertujuan agar pekerjaan kalimbubu terus tetap dilanjutkan oleh penerimanya.

Dalam pengertian lain dalam acara-acara adat di dalam keluarga kalimbubu, anak beru lah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut, mulai dari menyediakan makanan sampai menyusun acaranya. Ketiga jenis pekerjaan di atas, dikerjakan tanpa mendapat imbalan materi apapun, maka anakberu yang selalu lupa kepada kalimbubunya dianggap tercela di mata masyarakat. Bahkan dipercayai bila terjadi sesuatu bencana di dalam lingkungan keluarga dari anak beru yang melupakan kalimbubunya, ini dianggap sebagai kutukan dari arwah nenek moyang mereka yang tetap melindungi kalimbubu.

2.5 Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Karo Langkat sangat beragam, disesuaikan dengan keahlian pribadi yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja. Banyak warga Karo Langkat yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil), guru, pegawai swasta, dan lain-lain. Dari hasil

(44)

wawancara dengan Bapak Rajin Sembiring, bahwa beliau selain sebagai seorang perajin dan Pemain gendang, juga sebagai seorang pekerja petani. Diakui oleh beliau, penghasilan menjadi seorang pemusik di Kabupaten Langkat tidaklah mencukupi jika dibanding dengan kebutuhan hidup saat ini, sehingga dengan dibantu dengan bercocok tanam mampu memenuhi beban ekonomi keluarganya.

2.6 Sistem Kesenian Musik Tradisional Masyarakat Karo

Musik tradisional adalah musik yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana hiburan maupun sarana ritual. Tiga komponen yang saling memengaruhi diantaranya adalah Seniman, musik itu sendiri dan masyarakat penikmatnya. Secara umum, proses belajar musik tradisional merupakan oral tradition (tradisi lisan). Tradisi lisan adalah sebuah tradisi yang proses belajarnya dengan cara melihat, mendengar, menghapal , dan meniru. Masyarakat Karo memiliki konsep tersendiri tentang musik. Musik dalam masyarakat Karo yaitu; musik instrumental, vokal, dan gabungan keduanya.

Dalam melakukan aktifitas bermusik masyarakat Karo memiliki dua konsep yaitu ergendang (bermain musik) dan rende (bernyanyi). Musik tradisional Karo yang akan dibahas penulis disini adalah adalah ensambel tradisional Karo, instrumen musik tradisional Karo non-ensambel, musik vokal tradisional Karo, dan instrumen keyboard dalam kebudayaan musik tradisional Karo. Untuk lebih jelas tentang musik pada masyarakat Karo tersebut, penulis akan memaparkannya sebagai berikut:

(45)

2.6.1 Penggunaan musik vokal tradisional Karo

Penggunaan musik vokal dalam masyarakat Karo dapat ditemukan di beberapa konteks upacara. Menurut Kumalo Tarigan (http://repository.usu.ac.id), musik vokal dalam musik tradisional Karo dapat disajikan berdasarkan beberapa konteks yaitu:

1. Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan

2. Musik vokal dalam konteks seni pertunjukan berupa nyanyian yang disebut ende- enden yaitu nyanyian yang biasanya dibawakan oleh perkolong-kolong dalam seni pertunjukan gendang guro-guro aron.

3. Musik vokal dalam konteks ritual Musik vokal dalam konteks ritual terdiri dari tujuh jenis nyanyian yaitu (1) didong doah, adalah nyanyian menidurkan anak, (2) ndilo wari udan, adalah nyanyian untuk mengundang atau mendatangkan hujan, (3) mangmang, adalah nyanyian untuk memanggil roh dan meminta kekuatan gaib untuk dapat menjalankan upacara ritual, (4) nendong, adalah nyanyian untuk meramal suatu kejadian, (5) ngeria, adalah nyanyian untuk menyadap atau mengambil nira dari pohon aren, (6) perumah begu, adalah nyanyian untuk berkomunikasi dengan arwah orang yang sudah meninggal dunia, dan (7) tabas, adalah nyanyian yang berisi mantra.

4. Musik vokal dalam konteks adat Musik vokal dalam konteks adat dapat dibagi menjadi dua yaitu katoneng katoneng pemasu-masun yaitu nyanyian bercerita yang disajikan dalam upacara perkawinan dan didong doah bibi serembah ku lau yaitu nyanyian yang disajikan dalam upacara perkawinan yang dinyanyikan oleh bibi dari pengantin wanita. Selain

(46)

dalam upacara perkawinan katoneng-katoneng juga disajikan pada upacara kematian.

5. Musik vokal dalam konteks hiburan pribadi Musik vokal untuk hiburan pribadi yaitu (1) doah-doah nyanyian spontan untuk diri sendiri, (2) tangis-tangis, adalah nyanyian ungkapan kesedihan, dan (3) io-io, adalah nyanyian kesedihan dalam percintaan.

2.6.2 Ensambel musik tradisional Karo

Alat musik tradisional Karo pada umumnya digunakan untuk mengiringi upacara adat, upacara ritual dan untuk hiburan. Musik tradisional Karo merupakan hasil/produk dari proses kebudayaan Karo itu sendiri. Oleh karena itu, musik tradisional Karo berkaitan erat dengan elemen- elemen kebudayaan lainnya seperti; adat istiadat Karo, sistem kepercayaan tradisional Karo, sistem mata pencaharian masyarakat Karo, dan juga menjadi hiburan bagi masyarakat Karo (Tarigan, 2004:119). Dalam penyebutan ensembel musiknya masyarakat Karo menggunakan kata „gendang‟. Ensambel musik Karo jika diklasifikasikan secara umum dan yang paling sering digunakan pada konteks upacara adat adalah gendang lima sedalanen dan gendang telu sedalanen. Pada masyarakat Karo Langkat terdapat ensambel gendang binge. Penjelasan mengenai ensambel musik tradisional Karo ini akan dijelaskan berikut ini.

1. Gendang Lima Sedalanen

Gendang lima sendalanen merupakan salah satu ensambel yang terdapat pada masyarakat Karo. Gendang lima sendalanen terdiri dari sarune (klasifikasi

(47)

aerofon) sebagai pembawa melodi, gendang singanaki dan gendang singindungi (klasifikasi membranofon) sebagai instrumen ritmis, serta gung dan penganak (klasifikasi idiofon) sebagai pengatur tempo. Kelima instrumen tersebut dimainkan secara bersama-sama sebagai sebuah ansambel. Orang yang memainkan kelima instrumen musik ini dalam gendang lima sendalenan disebut dengan nama “Sierjabaten” dan masing-masing memiliki sebutan sesuai dengan alat musik atau instrumen yang dimainkan. Untuk pemain sarune disebut sebagai penarune, pemain gendang Singanaki dan pemain gendang Singindungi disebut sebagai penggual, pemain gung disebut sebagai simalu gung dan pemain penganak disebut sebagai simalu penganak.

Di kalangan musisi tradisional Karo istilah Gendang Sarune lebih sering digunakan, sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih banyak menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Untuk konsistensi penulisan, dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Ini tidak berarti istilah Gendang Lima Sendalanen lebih mewakili dari pada Gendang Sarune karena memang kedua istilah tesebut selalu digunakan dalam masyarakat Karo. Sarune merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed), dan tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo (oboe). Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: (a) anak- anak sarune, (b) tongkeh, (c) ampang-ampang, (d) batang sarune, dan (e) gundal.

Gendang singanaki dan Gendang singindungi (double sided conical drums) merupakan dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka.

Pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis tersebut, terdapat membrane

(48)

yang terbuat dari kulit binatang. Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang.

Kedua alat musik ini memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, dengan diameter babah gendangnya sekitar 5 cm, sedangkan diameter pantil gendang sekitar 4 cm.

Penganak dan gung tergolong dalam jenis suspended idiophone/gong berpencu yang memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara.

Perbedaan keduanya (Penganak dan gung) adalah dari segi ukuran atau lebar diameternya. Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan Penganak ini terbuat dari kuningan, sedangkan palu-palu (pemukulnya) terbuat dari kayu dengan benda lunak yang sengaja dibuat di ujungnya untuk menghasilkan suara gung yang lebih enak didengar (palu-palu gung). Simalu gung dan simalu penganak juga bermain dalam posisi duduk, sementara itu kedua alat musiknya senantiasa digantung dengan seutas tali pada suatu tempat yang telah disediakan secara khusus. Dalam konteks upacara adat sierjabaten atau penggual yang memainkan gendang lima sedalanen / telu sedalanen diberikan tempat yang khusus dengan beralaskan amak mbentar (tikar anyaman berwana putih).

Walaupun sekarang gendang lima sedalanen/telu sedalanen sudah digantikan dengan alat elektronik modern yaitu gendang kibod, perlakuan terhadap sierjabaten tetap sama. Dalam hal memberi upah, dulu sierjabaten atau penggual diberi beras, garam, kelapa, dan ayam dalam mengiringi suatu acara adat, namun

(49)

sekarang sierjabaten atau penggual dibayar dengan uang sebagai ganti upah untuk mengiringi jalannya acara adat.

2. Gendang Telu Sedalanen

Sama halnya dengan gendang lima sendalenan, secara harafiah gendang telu sendalenan memiliki pengertian “tiga alat musik yang sejalan atau dimainkan bersamaan.” Ketiga alat musik tersebut adalah kulcapi/ balobat, keteng-keteng, dan mangkuk mbentar. Dalam ensambel ini ada dua instrumen yang bisa digunakan sebagai pembawa melodi yaitu kulcapi dan balobat. Sedangkan mangkuk dan keteng-keteng merupakan alat musik pengiring yang menghasilkan pola ritem-ritem yang bersifat konstan dan repetitif. Pemakaian kulcapi dan balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang berbeda tergantung kebutuhan. Prinsipnya sebenarnya sama hanya saja instrumen pembawa melodinya saja yang berbeda. Jika kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi maka disebut sebagai gendang kulcapi, dan jika menggunakan balobat sebagai pembawa melodi maka disebut sebagai gendang balobat.

3. Ensambel Gendang Binge

Pada masyarakat Karo Langkat terdapat ensambel musik tradisional, yaitu ansambel Gendang Binge. Ensemble ini digunakan baik dalam kaitannya dalam upacara adat, religi maupun sebagai hiburan.

Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gendang Binge adalah sebagai berikut:

1. Sarune, kelompok aerophone yang memiliki reed tunggal (single reed)

(50)

dimainkan dengan meniup terus menerus.

2. Gendang Indung, kelompok membranofone 3. Gendang Anak, kelompok membranofone

4. Gung, instrumen idiophone sebagai pembawa tempo (ketukan dasar).

5. Penganak, instrumen idiophone sebagai pembawa tempo

2.6.2.1 Penggunaan Ensambel Pada Acara Adat

Penggunaan ensambel musik tradisional dalam upacara-upacara adat masyarakat Karo akan dijelaskan berdasarkan konteks upacara masyarakat Karo secara umum, yaitu upacara perkawinan, upacara kematian, upacara erpangir ku lau, mengket rumah, dan gendang guro-guro aron.

1. Upacara adat perkawinan (Kerja nereh-empo)

Dalam upacara adat perkawinan musik memiliki peran yang cukup penting. Pada upacara adat perkawinan (kerja nereh-empo) yang menyertakan gendang lima sedalanen disebut kerja adat erkata gendang yang artinya kerja adat disertai musik tradisional (Tarigan, 2004:120). Kehadiran gendang (musik) dalam pesta adat perkawinan disajikan untuk mengiringi acara rende (menyanyi), landek (menari), dan juga penyampaian pesan atau pedah-pedah. Ensambel musik yang awalnya digunakan adalah gendang lima sedalanen. Pada upacara adat perkawinan, gendang lima sendalanen dimainkan untuk mengiringi sesi aturen menari/telah-telah (acara menari/memberikan wejangan dan ucapan selamat) yang diikuti dengan acara penyerahan luah (kado). Penyerahan luah (kado) diserahkan

Gambar

Gambar 2. 1 Peta Desa Belinteng
Gambar 2. 2 Bapak Rajin Sembiring
Gambar 3. 1 Kayu Nangka dan Proses Pengambilannya
Gambar 3. 2 Bambu (buluh belangke )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alasan penulis membahas Harimau Tapanuli dikarenakan Harimau Tapanuli merupakan salah satu tim sepak bola asal Sumatera Utara yang pernah berkiprah di dunia

Lokasi penelitian yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah berada di sebuah gudang bengkel instrumen tempat pembuatan gitar Sipoholon tersebut dekat dengan

Penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: “Kajian Makna Teks dan Struktur Melodi Lagu Onang-onang yang Disajikan Bapak Ridwan Aman

Langkah selanjutnya adalah memasang senar yang sudah disediakan,senar akan dimasukkan kedalam lubang yang sudah dibuat sebelumnya, setelah senar dimasukkan melalui bagian

Lebih jauh, fungsi nandong smong adalah sebagai sarana penyelamatan diri dari bencana tsunami, kontinuitas generasi manusia, menjaga hubungan manusia dengan manusia,

sebagai pemusik, dan kehidupan sebagai pembuat alat musik Kang Asep Permata.. Bunda, khususnya mengenai gendang buatan

Bapak Bosen Sipayung selaku informan mengatakan teknik-teknik yang ada pada permainan sarunei bolon Simalungun ialah teknik manguttong adalah teknik meniup secara

Berdasarkan hasil observasi, penulis memperhatikan hampir disemua upacara adat, masyarakat Karo pada umumnya memakai alat musik keyboard untuk mengiringi jalannya