STUDI DESKRIPTIF TEKNIK PEMBUATAN DAN PERMAINAN DOAL- DOAL BULU PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DUSUN SIPANGE, DESA CINTA DAMAI, KECAMATAN NASSAU, KABUPATEN TOBA SAMOSIR
SKRIPSI SARJANA
O L E H
NAMA : AKIM SAGALA NIM : 140707066
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
2019
STUDI DESKRIPTIF TEKNIK PEMBUATAN DAN PERMAINAN DOAL-DOAL BULU PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DUSUN SIPANGE, DESA CINTA DAMAI, KECAMATAN NASSAU, KABUPATEN TOBA SAMOSIR
SKRIPSI SARJANA
Nama : Akim Sagala N I M : 140707066
Disetujui oleh Pembimbing I,
Drs. Fadlin , M.A.
NIP: 196102201989031003
Pembimbing II,
Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
NIP: 196605271994032010
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN 2019
salah satu syarat ujian Sarjana Seni (S.Sn) dalam bidang Etnomusikologi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Hari : Tanggal :
Panitia Ujian: Tanda Tangan
1. Drs.Fadlin,M.A. ( )
2. Dra.Heristina Dewi,M..Pd ( )
3. Drs. Perikuten Tarigan, M.Si. ( )
4. Arifninetrirosa,SST.,M.A. ( )
DISETUJUI OLEH :
Program Studi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Medan
Medan
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 2019
Akim Sagala NIM 140707066
ABSTRAK
Tulisan ini berjudul “STUDI DESKRIPTIF TEKNIK PEMBUATAN DAN TEKNIK MEMAINKAN DOAL-DOAL BULU PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI DUSUN SIPANGE, DESA CINTA DAMAI, KECAMATAN NASSAU, KABUPATEN TOBA SAMOSIR”.
Doal-doal Bulu adalah salah satu alat musik tradisional Batak Toba yang masuk dalam klasifikasi alat musik idiochord, alat musik tunggal yang dipetik dan dipukul pakai tangan, yang terbuat dari bambu. Bunyi doal-doal bulu ini dihasilkan dari empat buah senar yang diambil dari kulit bambu itu sendiri (bambu idiochord) dan satu lubang resonator yang tipis dan memanjang. Disebut doal-doal bulu karena peran musikal dan warna bunyinya menyerupai ogung (gong) dalam gondang bolon. Bunyi musik yang dihasilkan doal-doal bulu merupakan gabungan dari alat-alat musik pengiring gondang bolon (kecuali taganing, gondang dan sarume). Karena pola permainan doal-doal bulu ini menghasilkan bunyi pada pola ritem, yaitu ogung (gong) panggora, doal, ihutan dan oloan, dan lubang resonator yang dipukul pakai telapak tangan sebagai hesek (tempo) yang dimainkan oleh hanya seorang pemain doal-doal bulu. Doal-doal bulu ini pada dulunya dimainkan oleh pengiring alat musik arbab, sebagai hiburan maupun sebagai musik menenangkan anak kecil yang rewel dapat dijadikan sebagai musik lullaby.
Tujuan penulisan ilmiah ini adalah untuk mengetahui organologi doal-doal bulu yaitu bagaimana proses teknik pembuatan, teknik memainkan, dan fungsi dari doal-doal bulu. Dalam penelitian ini penulis melakukan pendekatan deskriptif dan kualitatif sehingga menghasilkan teknik pembuatan dan teknik memainkan yang didapat dari pernyataan informan maupun narasumber.
Penulis juga menggunakan beberapa teori untuk menganalisa teknik pembuatan dan teknik memainkan doal-doal bulu ini di antaranya adalah teori Kashima Shusumu yaitu pendekatan structural dan pendekatan fungsional pada laporan berjudul “Asia Performing Traditional Art (APTA)” yang diterjemahkan oleh Rizaldi Siagian, Teori Curt Such (1961) yaitu berkaitan dengan sistem klasifikasi alat musik.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan meneliti doal-doal bulu dan akan dituangkan ke dalam bentuk skripsi.
Kata kunci: Doal-doal bulu, Batak Toba, teknik pembuatan, memainkan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tidak terhingga penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat merampungkan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul, Studi Deskriptif Teknik Pembuatan dan Teknik Memainkan Doal-Doal Bulu pada Masyarakat Batak Toba Dusun Sipange, Desa Cinta Damai, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba Samosir. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan atau penyusunan skripsi ini juga tidak luput dari rasa kebosanan dan jenuh yang penulis rasakan, namun dengan adanya dorongan dari orang-orang terdekat penulis maka penulis bisa bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., sebagai rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Agustono, M.S., Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Arifninetrirosa, S.ST., M.A., Ketua Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra.Heristina Dewi,M.Pd., Wakil Dekan IIFakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang juga selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan kepada penulis, dan saran yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini dan semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kesehatan.
5. Bapak Drs. Fadlin, M.A., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan arahan kepada penulis, dan saran yang sangat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini dan semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kesehatan.
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara,Bapak Prof.Drs.Mauly Purba, M.A., Ph.D., Ibu Rithaony Hutajulu,M.A., Bapak Drs. Irwansyah, M.A., Ibu Dra.Frida Deliana, M.Si, Bapak Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si. dan Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.A. Drs. Kumalo Tarigan, M.A. Drs. Torang Naiborhu, M.Hum.
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Drs. Bebas Sembiring, M.Si. yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama bertahun- tahun mengikuti perkuliahan. Semoga doa dan berkat dari Bapak Ibu Dosen menyertai penulis sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang diterima ke tengah-tengah masyarakat nnantinya.
7. Secara khusus, dengan kerendahan hati dan ucapan syukur penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya untuk orang tua yang penulis hormati dan sayangi yaitu Ibu Haidah Tamba juga kepada Kakak Tynorma Sagala, Kakak Bennyta Sagala, Bang Poltak Sagala dan Kakak
Deslina Sagala.Terimakasih atas segala doa,ketabahan, kasih sayang, kerja keras, semangat, dukungan moral dan materi yang diberikan kepada penulis selama ini sampai penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
8. Terimakasih penulis ucapkan kepada kekasih penulis Monica Uli Chatrine Sitanggang, S.Pd., mami penulis Ibu Sannur Sinaga, M.Sn., dan juga amangboru penulis Berhamin Siagian untuk segala motivasi, bantuan, dorongan, serta doa yang diberikan sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini.
9. Bapak Kepala Desa Desa Cinta Damai Purba Nababan, Turman Sagala, Apoi Sagala, Nurdin Tambunan dan Pare Sagala selaku informan penulis terimakasih buat segala informasi yang sudah penulis terima sehingga penulisan skripsi ini dapat di selesaikan
10. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman kuliah penulis yang mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini dan semua rekan stambuk 2014 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terimakasih untuk empat tahun yang kita lewati baik suka maupun duka. Kita semua bisa sukses dan saling mengingat satu sama lain.
Medan, Juli 2019 Penulis
Akim Sagala 140707066
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Pokok Permasalahan ... 5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5
1.3.2. Manfaat Penelitian ... 5
1.4. Konsep dan Teori ... 6
1.4.1. Konsep ... 6
1.4.2. Teori ... 7
1.5. Metode Penelitian ... 10
1.5.1. Studi Kepustakaan ... 11
1.5.2. Kerja Lapangan ... 11
1.5.2.1. Wawancara ... 12
1.5.3. Kerja Laboratorium ... 13
1.5.4. Lokasi Penelitian ... 13
BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA ... 14
2.1. Identifikasi Geografis dan Kependudukan ... 14
2.2. Asal-Usul Masyarakat Batak Toba ... 15
2.2.1. Pengertian Batak ... 15
2.2.2. Catatan Sejarah Mengenai Batak ... 16
2.2.3. Mitologi Tentang Lahirnya Suku Batak Toba ... 19
2.2.4. Wilayah Pemakaian Bahasa Batak Toba ... 21
2.2.5. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba ... 22
2.2.5.1. Hula-Hula ... 25
2.2.5.2. Dongan Sabutuha ... 26
2.2.5.3. Boru ... 28
2.2.5.4. Sistem Sapaan ... 29
2.2.6. Kampung dan Desa ... 32
2.2.7. Agama dan Kepercayaan ... 34
2.3. Kesenian Masyarakat Batak Toba ... 38
2.3.1 Seni Tari ... 38
2.3.2. Seni Rupa ... 38
2.3.3. Seni Sastra ... 39
2.3.4. Seni Musik ... 41
BAB III TEKNIK PEMBUATAN DOAL-DOAL BULU BATAK TOBA . 45 3.1. Klasifikasi Doal-Doal Bulu ... 45
3.2. Bahan Pembuatan Alat Musik Doal-Doal Bulu ... 47
3.3. Konstruksi Doal-Doal Bulu ... 51
3.4. Proses Pembuatan Doal-Doal Bulu ... 58
BAB IV TEKNIK PERMAINAN DOAL-DOAL BULU ... 67
4.1. Kegunaan dan Fungsi Alat Musik Doal-Doal Bulu Pada Masyarakat Batak Toba ... 67
4.1.1. Arti Gondang ... 67
4.1.2. Doal-Doal Bulu Sebagai Bunyi Ogung Dalam Ensambel Gondang Sabangunan ... 71
4.2. Teknik Memainkan Doal-Doal Bulu ... 73
4.2.1. Posisi dan Peranan Tangan Kanan ... 74
4.2.2. Posisi dan Peranan Tangan Kiri ... 77
4.2.3. Teknik Memproduksi Bunyi Atau Suara Doal-Doal Bulu…... ... 82
4.2.3.1. Teknik Memukul Senar atau Dawai ... 82
4.2.3.2. Teknik Memukul Hesek ... 83
4.2.4. Pola atau Style Permainan Doal-doal Bulu ... 83
4.2.4.1. Pola Permainan Cepat (Nahojot) ... 84
4.2.4.2. Pola Permainan Lambat (Nalambat) ... 85
4.2.4.3. Pola Permainan Lebih Lambat (Sigale-Gale) 86 4.3. Transkripsi dan Analisis ... 87
4.3.1. Lagu Yang Dimainkan Serta Sistem Penotasian ... 87
4.3.2. Sistem-Sistem dan Pelarasan Senar ... 88
4.3.3. Bentuk Ritmis ... 91
4.4. Alat Musik Doal-Doal Bulu ... 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100
5.1. Kesimpulan ... 100
5.2. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN
LAMPIRAN TRANSKRIP LAGU
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Rimbunan Pohon Bambu ... 50
Gambar 3.2. Batang Pohon Bambu ... 51
Gambar 3.3. Bambu Yang Digunakan Sedang Diangin-Anginkan ... 52
Gambar 3.4. Bagian Depan Doal-Doal Bulu ... 54
Gambar 3.5. Bagian Belakang Doal-Doal Bulu ... 55
Gambar 3.6. Sketsa Alat Musik Doal-Doal Bulu ... 56
Gambar 3.7. Proses Pemotongan Bambu ... 59
Gambar 3.8. Mengukur Letak Senar dan Hesek Pada Ruas Bambu Doal- Doal Bulu ... 60
Gambar 3.9. Proses Pembuatan Senar atau Dawai ... 63
Gambar 3.10. Alat-Alat Yang Dipergunakan Untuk Membuat Alat Musik Doal-Doal Bulu (Ki-Ka : Pisau Pangarik, Gergaji, Palu, Pahat, Pisau Pangukir) ... 64
Gambar 3.11. Hatik-hatik dan Letaknya ... 65
Gambar 3.12. Alat Musik Doal-Doal Bulu ... 66
Gambar 4.1. Posisi tangan kanan sebelum memetik senar (ogung panggora) ... 74
Gambar 4.2. Posisi tangan kanan memetik senar (ogung panggora) ... 75
Gambar 4.3. Posisi tangan kanan setelah memetik senar (ogung panggora) ... 75
Gambar 4.4. Posisi tangan kanan sebelum dan sesudah memukul hesek pada lubang resonator ... 76
Gambar 4.5. Posisi tangan kanan saat memukul hesek pada lubang resonator ... 76
Gambar 4.6. Posisi jempol sebelum memetik senar (ogung ihutan) ... 77
Gambar 4.7. Posisi jempol memetik senar (ogung ihutan) ... 78
Gambar 4.8. Posisi jempol setelah memetik senar (ogung ihutan) ... 78
Gambar 4.9. Posisi jempol sebelum memetik senar (ogung oloan) ... 79
Gambar 4.10. Posisi jempol saat memetik senar (ogung oloan) ... 79
Gambar 4.11. Posisi jempol setelah memetik senar (ogung oloan) ... 80
Gambar 4.12. Posisi jari telunjuk sebelum memetik senar doal (ogung doal) ... 80
Gambar 4.13. Posisi jari telunjuk saat memetik senar doal (ogung doal) ... 81
Gambar 4.14. Posisi jari telunjuk setelah memetik senar doal (ogung doal) ... 81
Gambar 4.15. Alat Musik Doal-Doal Bulu ... 98
Gambar 4.16. Posisi Memainkan Alat Musik Doal-Doal Bulu ... 99
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Siklus Ogung Batak Toba ... 89 Tabel 4.2. Siklus Doal-Doal Bulu ... 90
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap suku dan etnis yang ada di Indonesia memiliki ciri khas adat istiadat maupun budaya masing-masing, sehingga bangsa Indonesia mempunyai keberagaman suku maupun etnisnya. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewariskan kepada setiap generasi. Bentuk-bentuk kesenian yang diwariskan tersebut berupa seni musik, seni tari, seni ukir, seni patung, seni lukis dan sebagainya. Wilayah Provinsi Sumatera Utara didiami oleh beragam etnis Batak Toba, etnis Simalungun, etnis Karo, etnis Pakpak, etnis Melayu, etnis Melayu Pesisir Sibolga dan etnis Nias.
Salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara adalah Etnis Batak Toba yang mendiami sekitar Danau Toba seperti daerah Toba Samosir, Samosir, Tapanuli Utara, maupun Humbang Hasundutan.
Bagi masyarakat Batak Toba musik tidak terlepas dari unsur adat dan budaya yang mereka anut, dan merupakan kebutuhan dalam kehidupan adat istiadat mereka. Musik biasa digunakan untuk hiburan, ritual, upacara adat maupun upacara keagamaan.
Musik dalam kehidupan masyarakat Batak Toba disebut sebagai Gondang.
Gondang dalam kehidupan masyarakat Batak Toba terbagi atas Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi.
Gondang (secara harfiah) memiliki banyak pengertian, antara lain mengandung arti sebagai: 1) Seperangkat alat musik, 2) Ensambel musik, 3) Komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), (Pasaribu, 1987). Makna lain dari kata ini berarti juga sebagai (1) menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia, atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung (Irwansyah, 1990).
Secara umum fungsi kedua jenis ensambel ini hampir tidak memiliki perbedaan karena keduanya yang berkaitan dengan religi, adat, maupun upacara- upacara seremonial lainnya. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada pemakaian alat musik yang berbeda pada gondang sabangunan alat musik yang dipakai adalah gondang (taganing), gordang, sarune bolon, ogung panggora, doal, ihutan, oloan dan hesek. Sedangkan pada gondang hasapi alat musik yang dipakai adalah sarune etek, hasapi ende, hasapi doal, garantung, dan hesek.
Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dikenal juga beberapa alat musik yang dimainkan secara solo (tunggal) yang fungsinya sebagai hiburan pribadi, menidurkan/menenangkan anak maupun hiburan pada saat ke sawah/ladang yang dikenal dengan sebutan marsiadapari. Alat musik solo (tunggal) ini dinamakan doal-doal bulu.
Doal-doal bulu adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang terdapat di daerah Batak Toba, dan diklasifikasikan kedalam alat musik idiochord. Alat musik ini dimainkan sebagai alat musik tunggal dengan cara dipetik dan dipukul menggunakan tangan. Sebagai sumber bunyi dari alat musik ini adalah berasal dari empat buah senar yang diambil/dikorek dari kulit bambu itu sendiri atau dari
badan alat musik itu sendiri. Kemudian terdapat satu buah lubang resonator yang tipis dan memanjang yang di pukul dengan telapak tangan sebagai hesek (tempo) pada bagian tubuh dari alat musik yang terbuat dari bambu tersebut.
Doal-doal bulu menghasilkan bunyi yang menyerupai ogung (gong) dalam permainan alat musik Gondang Sabangunan.
1. Idiochord adalah alat musik yang sumber penghasil bunyinya berasal dari alat/badan alat musik itu sendiri dan sebagai senar diambil dari kulit badan alat musik itu sendiri.
2. Ogung adalah salah satu alat musik berbentuk gong yang terbuat dari besi/plat seng sebagai alat musik pembawa ritmik dalam ansambel gondang sabangunan.
3. Gondang Sabangunan adalah ansambel musik dari Batak Toba yang di dalamnya terdapat satu set alat musik Batak Toba yang terdiri dari Taganing, Gordang, Ogung panggora, Doal, Ihutan dan Oloan, Sarune bolon, dan Hesek.
Bunyi musikal yang dihasilkan doal-doal bulu merupakan bentuk pola permainan ritem dari ogung (gong). Ogung (gong) ini terdiri dari panggora, doal, ihutan dan oloan. Lobang resonator yang dipukul menggunakan tangan atau telapak tangan merupakan tempat stabil yang dinamakan hesek. Alat musik ini dimainkan secara tunggal. Menurut informasi yang didapat penulis bahwa permainan alat musik doal-doal bulu ini merupakan alat musik pengiring alat musik arbab. Namun pada saat sekarang ini alat musik arbab ini sudah sangat jarang ditemukan dan dimainkan di daerah Batak Toba. Arbab adalah alat musik
petik yang terbuat dan kayu dan dimainkan secara digesek yang terdapat pada masyarakat Batak Toba.
Di samping untuk mengiringi alat musik arbab, bahwa doal-doal bulu dimainkan sebagai alat musik hiburan, maupun sebagai alat musik untuk menenangkan anak kecil yang lagi rewel (dapat dijadikan sebagai musik lullaby).
Lagu-lagu yang biasa dimainkan menggunakan alat musik ini adalah lagu- lagu opera Batak dengan judul Si Doli Pargitar, Tinitip Sanggar, Harambir Ni Silindung dan lain-lain. Di samping itu dapat mengiringi lagu untuk menidurkan anak, hiburan di sawah, di ladang maupun pada saat sendiri.
Kemudian ada salah satu judul lagu yang sering diiringi oleh informan sendiri yang berjudul Tubu Bayon Sipon, yang diciptakan oleh Op. Roida (almarhum) teman sepermainan informan itu sendiri sebelum Op. Roida meninggal. Dimana lagu Tubu Bayon Sipon ini sampai sekarang masih sering dinyanyikan oleh para orangtua di Dusun Sipange tersebut.
Doal-doal bulu ini digunakan untuk mengiringi orang bernyanyi. Alat musik ini juga digunakan untuk mengiringi lagu-lagu opera Batak.
Untuk menulis pembahasan lebih terarah maka ditentukan permasalahan.
Dalam skripsi nantinya, masalah yang akan dibahas adalah (1) Bagaimana teknik pembuatan doal-doal bulu; (2) sejauh mana penggunaan doal-doal bulu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
1.2. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana proses dan teknik pembuatan alat musik doal-doal bulu?
2. Bagaimana teknik memainkan alat musik doal-doal bulu ini dalam kehidupan tradisi masyarakat pendukungnya?
3. Bagaimana guna dan fungsi alat musik doal-doal bulu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proses dan teknik pembuatan alat musik doal-doal bulu ditinjau dari segi struktur dan fungsional yang terdapat pada doal-doal bulu.
2. Mengetahui teknik memainkan alat musik doal-doal bulu Batak Toba dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
3. Mengetahui guna dan fungsi alat musik doal-doal bulu dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan dokumentasi doal-doal bulu Batak Toba di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan informasi maupun perbandingan bagi penelitian alat-alat musik yang berkaitan selanjutnya.
3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama perkuliahan di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
4. Suatu upaya untuk melestarikan salah satu alat musik tradisional Batak Toba.
5. Sebagai salah satu syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Program studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.4. Konsep dan Teori 1.4.1. Konsep
Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991: 431).
Kajian merupakan kata jadian dari kata “kaji” yang berarti mengkaji, memeriksa, mempelajari, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa pengertian kata “kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan teliti. (Badudu 1982: 132).
Sedangkan organologi adalah ilmu tentang instrumen musik (alat musik) yang seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan desknpsi instrumen saja, tetapi juga sama pentingnya, walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam
“ilmu” instrumen musik, seperti teknik-teknik tertentu dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan (yang dibedakan dari konstruksi) dan berbagai pendekatan tentang sosial budaya. (Hood 1982: 124).
Dari kedua konsep di atas dapat disimpulkan bahwa kajian organologis doal-doal bulu Batak Toba di Dusun Sipange, Desa Cintai Damai, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba Samosir, adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrumen, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari instrumen doal-doal bulu Batak Toba
1.4.2. Teori
Dalam rangka penelitian ini, teori yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut: untuk mengkaji tentang deskriptif penulis mengacu pada tulisan Hidayat Syah bahwa penelitian deskriptif adalah metode penelitian terhadap objek penelitian pada suatu masa tertentu. (2010). Sedangkan menurut Sukmadinata (2006: 72), bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendiskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia. Sedangkan teknik menurut L. James Havery adalah prosedur logis dan rasional untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.
Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan the ways musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bagian dari pelaksanaan adat
istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas- aktivitas lain.
Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut:
Music is used in certain situation and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to who his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-à-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment an particularly the broader purpose which it serves. (Alan P. Merriam, Anthropology of Music, Blomington Indiana: UniversityPress, 1964: 210).
Dalam kutipan di atas Merriam membedakan defenisi guna dan fungsi musik berasaskan kepada proses dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat.
Musik gunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Kemudian Merriam memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dapat dianalisis sebagai perwujudan dan kontinuitas dan kesinambungan dalam melanjutkan keturunan, yakni dengan memenuhi hasrat biologis, bercinta, kawin dan memiliki keturunan. Ketika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan”
menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan
“fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekadar apa yang dapat dilayaninya.
Merriam menekankan bahwa penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. Dari kerangka berpikir di atas, selanjutnya Merriam mendeskripsikan bahwa sampai tahun 1964, penelitian yang dilakukan para etnomusikologi tentang fungsi musik dalam kehidupan masyarakat, memperlihatkan adanya 10 fungsi. Kesepuluh fungsi musik itu adalah:
1. Sebagai pengungkapan emosional 2. Sebagai penghayatan estetika 3. Sebagai hiburan
4. Sebagai komunikasi 5. Sebagai perlambangan 6. Sebagai reaksi jasmani
7. Sebagai yang berkaitan dengan norma-norma sosial 8. Sebagai pengabsahan lembaga sosial dan upacara agama 9. Sebagai kesinambungan kebudayaan
10. Sebagai pengintegrasian masyarakat
Menurut Merriam bahwa fungsi musik terdiri dari sepuluh fungsi atau bisa saja lebih luas dari sepuluh. Tetapi kenyataannya secara akademis para peneliti ketika menganalisis fungsi musik sering memaksakan bahwa fungsi musik harus sepuluh ini, tidak fleksibel seperti yang ditawarkan Merriam. Namun
bagaimanapun fungsi yang dikemukakan Merriam ini semacam menjadi referensi wajib dalam mengkaji musik di bidang etnomusikologi.
Menurut Curt Sachs dan Horn Bostel bahwa alat musik dalam Etnomusikologi diklasifikasikan sesuai organologistnya (1913).
Susumu Khasima (1978) terjemahan Rizaldi menyatakan bahwa studi musik dapat dibagi ke dalam 2 sudut pandang yang mendasar yaitu studi struktural dan studi fungsional. Studi struktural adalah yang berkaitan dengan observasi (pengamatan), pengukuran, perekaman atau pencatatan bentuk ukuran, konstruksi serta bahan yang dipakai dalam pembuatan alat musik tersebut, sedangkan studi fungsional adalah studi yang melihat fungsi dari alat atau komponen yang memproduksi atau yang menghasilkan suara antara lain membuat pengukuran dan pencatatan terhadap metode memainkan alat musik tersebut dan kualitas secara yang dihasilkan oleh alat musik tersebut.
1.5. Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat 1997: 16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan doal-doal bulu Batak Toba.
Penulis juga menerapkan penelitian kualitatif, yaitu; Tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data, penulisan laporan, (Moleong, 2002: 109). Di samping itu, untuk mendukung penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan metode penelitian
lainnya, yaitu: disiplin lapangan (field) dan disiplin labaratorium (laboratory discipline). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study), (Merriam, 1964: 37).
Untuk memperoleh data dan keterangan dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data, umumnya ada dua macam, yakni:
menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires), menggunakan wawancara (interview).
Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun dengan wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian. (Djarwanto, 1984: 25).
1.5.1. Studi Kepustakaan
Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan) atau sebelum mengerjakan peneiitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku- buku, literatur, tulisan ilmiah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.
Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.
1.5.2. Kerja Lapangan
Dalam hal ini, penulis juga langsung melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah diketahui sebelumnya, dan langsung melakukan
wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru, yang menjadi bahan pertanyaan yang dirasa mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini dilakukan untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar, untuk mendukung proses penelitian.
1.5.2.1. Wawancara
Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985: 139), yaitu:
wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (free interview), wawancara sambil lalu (casual interview). Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas.
Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.
Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan telephone genggam bermerek Samsung Galaxy J7+. Sedangkan untuk pengambilan gambar (foto) digunakan kamera digital bermerk Canon GT3100, di samping tulisan atas setiap keterangan yang diberikan oleh informan.
1.5.3. Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya di proses dalam kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis seperlunya.
Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Merriam, 1995: 85).
1.5.4. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi yang penulis pilih adalah lokasi yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu Dusun Sipange, Desa Cinta Damai, Kecamatan Nassau, Kabupaten Toba Samosir.
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA
2.1. Identifikasi Geografis dan Kependudukan
Wilayah Batak Toba atau yang sering disebut dengan istilah tanah Batak, meliputi wilayah yang cukup luas, yang terdiri dari: daerah tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, Sibolga, dan Habincaran. Wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 Km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300m di atas permukaan laut. (Nalom Siahaan, Sejarah Perkembangan Marga-Marga Batak, (Tanpa nama penerbit, Balige.
Tanpa tahun: x)).
Dilihat dari segi persebaran penduduk, masyarakat Batak Toba telah tersebar luas di berbagai kabupaten/kota di propinsi Sumatera Utara, bahkan juga di daerah lain di nusantara serta mancanegara, jumlah yang pasti dari masyarakat Batak Toba juga tidak dapat dipastikan, tetapi jumlah masyarakat Batak Toba yang terdapat di Sumatera Utara lebih kurang 2.948.264 jiwa, jadi kira-kira 30%
dari jumlah penduduk Sumatera Utara yang berjumlah 10.250.027 jiwa, berdasarkan sensus penduduk 2001.(Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Angka, (Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, 2001: 12)).
Jumlah masyarakat Batak Toba yang berada di luar wilayah yang disebut tanah Batak lebih besar lagi, dibanding tanah asal ini. Dengan berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Batak Toba ada suatu kebiasaan untuk
merantau (meninggalkan tanah asal). Hal ini disebabkan berbagai faktor, diantaranya untuk mencari kehidupan yang lebih layak atau pendidikan.
Nalom Siahaan mengatakan di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Suku Batak mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi.
2.2. Asal-Usul Masyarakat Batak Toba
Dalam mengkaji asal-usul masyarakat Batak Toba, dapat ditinjau dari berbagai hal (disebabkan minimnya data-data yang tertulis). Dalam mengkaji tentang asal-usul masyarakat Batak Toba dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: (1) Pengertian Batak; (2) Catatan sejarah mengenai Batak, dan (3) Kisah/cerita yang berkembang di masyarakat, yang dalam penulisan ini disebut mitologi tentang lahirnya suku Batak.
2.2.1. Pengertian Batak
Pengertian kata Batak sampai sekarang belum dapat dijelaskan dengan pasti dan memuaskan. Menurut J. Warneck Batak berarti “penunggang kuda yang lincah” tetapi menurut H.N. Van Dier Tuuk, Batak berarti „kafir‟ dan ada juga yang mengartikannya „budak-budak yang bercap atau ditandai. (Andar, M.
Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, (RT. BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1996: 1)).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Batak mempunyai dua arti, yang pertama adalah orang-orang dari sub-etnis yang tinggal di Provinsi Sumatera Utara dan arti yang kedua adalah (sastra) petualang, pengembara, sedang membatak berarti berpetualang, pergi mengembara, menyamun, merampok, dan arti dari pembatak adalah perampok/penyamun. (Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988: 43)).
Keterangan tersebut di atas tidak memastikan yang mana arti Batak yang sesungguhnya. Jelasnya apabila orang mendengar kata Batak, tanggapannya adalah suatu etnis yang berdiam/berasal dari Sumatera Utara.
2.2.2. Catatan Sejarah Mengenai Batak
Catatan sejarah mengenai asal-usul suku bangsa Batak tidak banyak ditemukan, sehingga sulit memperkirakan kapan sebenarnya suku bangsa Batak mulai mendiami wilayah Sumatera Utara sekarang. Beberapa catatan sejarah yang umumnya telah dikutip berbagai penulis, yang dapat membuat suatu prediksi tentang asal-usul masyarakat Batak akan dikemukakan sebagai berikut.
Sehubungan dengan asal-usul suku bangsa Batak, Brahma Putro mengemukakan bahwa pada zaman batu terjadi perpindahan bangsa dari Tiongkok Selatan ke Hindia Belakang, dan bangsa-bangsa Hindia Belakang terdesak dan banyak pindah ke selatan, antara lain Campa, Siam, Kamboja. Lalu bertebaran ke nusantara setelah melalui Malaya, dan sebahagian mereka-mereka ini masuk ke pulau Sumatera termasuk wilayah Sumatera Utara sekarang.
Berdasarkan pendapat dari Brahma Putro tersebut maka suku bangsa Batak adalah berasal dari bangsa-bangsa Hindia Belakang. (Brahma Putro, Karo Dari Zaman Ke Zaman, (Penerbit Ulih Saber, Medan: 1978): 20).
Berbagai pendapat yang berbeda dilihat berdasarkan tarombo (silsilah tertulis) orang Batak, yang mengatakan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah satu yaitu si Raja Batak. Dari si Raja Batak inilah berkembang sub-sub suku Batak yang mengembara ke wilayah-wilayah teritorial di atas sejalan dengan perkembangan pemukiman baru atau perkotaan yang semakin meluas. Setiap pembukaan kampung baru biasanya diiringi dengan penambalan marga baru terhadap orang yang membuka perkampungan tersebut. Cara ini terutama dilaksanakan di lingkungan sub-sub suku Batak Toba, sehingga dengan demikian jumlah marga di lingkungan suku Batak Toba adalah relatif lebih banyak. (Lothar Schreiner, Adat dan Injil, (PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta: 2002): 64).
Melihat pendapat di atas maka suku bangsa Batak sebenarnya masih tergolong baru mendiami wilayah Sumatera Utara apabila dibandingkan dengan pendapat yang mengatakan adanya perpindahan dua gelombang yaitu Proto Malay dan Deutro Malay yang telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Masehi. Hal ini apabila diurut dari tarombo Batak tersebut, Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke 19 (wafat 1907).
Mendukung pendapat yang berhubungan dengan Si Raja Batak ini, dari kalangan yang sudah mulai meninggalkan mitos, membuat suatu rekayasa sejarah dengan menggabungkan mitos dan data yang dibuat. Di antara pendapat yang ada
golongan ini mengemukakan bahwa Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula-Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, bahwa Si Raja Batak datang dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggiran Danau Toba. (Richard Sinaga, Leluhur Marga Batak Dalam Sejarah, Silsilah dan Legenda, (Jakarta: Dian Utama. Cet. Ke-2: 1997):
13).
Sejarawan Batak yang mengatakan bahwa Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari timur Danau Toba (Simalungun sekarang) atau dari selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus, yang terdesak akibat serangan Mojopahit. Hal ini diperkirakan berdasarkan Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) yang menjelaskan bahwa pada tahun 1204 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus. Pada Tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas.
Dilihat dari catatan sejarah bahwa sekitar tahun 1.400 kerajaan Nagur (Nakur) berkuasa di sebelah timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun-tahun dan kejadian di atas diperkirakan bahwa Si Raja Batak adalah salah seorang yang sudah beberapa generasi berdiam di wilayah timur atau selatan atau barat Danau Toba, namun dia mempunyai
kemampuan yang menonjol dalam berbagai hal sehingga mendapat simpati dari rakyat banyak, dan dapat dipastikan Si Raja Batak bukan langsung berasal dari Thailand atau India. Hal ini juga didukung pendapat yang mengatakan:
Sebutan raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku tarombo Bor-bor Marsada anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu: Guru Tatea Bulan, Raja Isumbaon dan Toga Laut. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-Marga Batak.
( J.C.Vergouwen 2004 : 214)
2.2.3. Mitologi Tentang Lahirnya Suku Batak Toba
Sebenarnya hampir semua suku bahkan marga memiliki kisah tentang asal-usulnya, yang begitu juga masyarakat Batak Toba, memiliki cerita yang berkembang di masyarakat tentang asal-usulnya. Namun sebagaimana sifat dari tradisi lisan, maka sering suatu cerita memiliki variasi di masyarakat, sehingga semakin lama dan semakin jauh terpisah dari sumber awalnya, semakin berbeda dengan cerita aslinya.
Berikut ini disampaikan salah satu ringkasan cerita tentang asal-usul masyarakat Batak yang dikutip dari tulisan Lumbantobing 1996 yang mengatakan bahwa:
Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk Manuk Hulambujati berbadan besar, mempunyai paruh yang terbuat dari besi dan taji yang terbuat dari tembaga, telurnya sebesar periuk tanah. Manuk Manuk Hulambujati memiliki 3 butir telur. Setelah menetas dia memberi nama yang pertama Tuan Batara Guru, yang kedua Ompu Soripada, dan yang ketiga Ompu Tuan Mangalabulan, ketiganya adalah lelaki.
Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. Manuk-Manuk Hulambujati kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik: Siboru Pareme untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki laki diberi nama Tuan Sori Muhammad, dan Datu Tantan Debata Guru Mulia dan 2 anak perempuan kembar bernama Si Boru Sorbajati dan Si Boru Deakparujar. Anak kedua Manuk-Manuk Hulambujati, Tuan Soripada diberi istri bernama Siboru Parorot yang melahirkan anak laki-laki bernama Sorimangaraja sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama Siboru Panuturi yang melahirkan Tuan Dipangat Tinggi Sabulan.
Si Boru Deakparujar anak dari Tuan Batara Guru lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi). Mulajadi Na Bolon mengutus Raja Odap Odap untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di Sianjur Mula Mula di kaki gunung Pusuk Buhit (pulau Samosir). Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar: Raja Ihat Manisia (Laki-laki) dan Boru Itam Manisia (Perempuan).
Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki-laki: Raja Miok Miok, Patundal Na Begu dan Aji Lapas Lapas. Raja Miok Miok tinggal di Sianjur Mula-Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.
Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama Engbanua, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu: Raja Ulung, Raja Bonang Bonang dan Raja Jau. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke 2) memiliki anak bernama Raja Tantan Debata, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut Si Raja Batak, yang menjadi leluhur orang Batak, dan berdiam di Sianjur Mula Mula, di kaki gunung Pusuk Buhit pulau Samosir. ( J.C. Vergouwen: 74)
Cerita di atas hanya merupakan salah satu dari mitologi tentang asal usul masyarakat Batak Toba meskipun banyak cerita dengan berbagai versi tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, dan semua cerita mengatakan bahwa Si Raja Bataklah yang dianggap merupakan nenek moyang suku bangsa Batak.
2.2.4. Wilayah Pemakaian Bahasa Batak Toba
Bahasa Batak Toba termasuk dalam kelompok bahasa Austronesia banyak mendapat pengaruh dan asimilasi dengan berbagai bahasa dari Asia Tenggara.
Akan tetapi dalam masa akhirnya, dengan keberadaannya, bahasa Batak merupakan salah satu bahasa yang dapat dikatakan kompleks di kawasan Asia Tenggara seperti bahasa Tagalog dari Filipina. (H. Kern, Berbagai-bagai Keterangan Berdasarkan Ilmu Bahasa Dipakai Untuk Menentukan Negeri Asal Bangsa Melayu-Polynesia, (Jakarta: Pustaka Rakjat, 1957): 41).
Bahasa Batak Toba merupakan bagian dari kelompok bahasa “selatan”
dalam kesatuan induk suku Batak, bersama-sama dengan bahasa Mandailing dan Angkola. Sedangkan yang tercakup dalam kelompok bahasa “utara” adalah bahasa Karo, Dairi dan Pak-Pak. (Uli Kozok, Warisan Leluhur, (Pustaka Grafindo, 1999): 16).
Secara umum pemakaian bahasa Batak Toba adalah oleh masyarakat Batak Toba terutama yang berada di wilayah Tanah Batak yang meliputi: Daerah Tepi Danau Toba, Pulau Samosir, Dataran Tinggi Toba, dan Silindung, Daerah Pegunungan Pahae, Sibolga dan Habincaran. Tetapi bagi masyarakat Batak Toba yang berada di perantauan juga umumnya tidak melupakan bahasa Batak. Hal ini dapat dilihat bagi masyarakat Batak Toba yang di pulau Jawa misalnya, di dalam komunikasi keluarga tetap memakai bahasa Batak. Bahkan banyak didapati dalam sebuah keluarga yang jauh dari daerah asal (Tanah Batak), si orang tua menyapa dan berkomunikasi kepada anaknya dengan bahasa Batak, tetapi anaknya menyahut dengan bahasa Indonesia.
Kuatnya identitas bahasa Batak bagi Masyarakat Batak yang di perantauan didukung oleh sikap sosial Masyarakat Batak, yaitu apabila sudah berada di perantauan biasanya akan membuka mendirikan suatu perkumpulan, berdasarkan marga, daerah asal atau suku, yang disebut dengan istilah punguan atau parsadaan.
Bahasa Batak Toba terdiri dari tiga jenis, bahasa hasomalan, bahasa harajaon, dan bahasa andung, memiliki penggunaan tersendiri. Bahasa hasomalan dipergunakan sebagai alat komunikasi sehari- hari, sedangkan bahasa harajaon lebih banyak dipergunakan dalam aktivitas dalam aktivitas adat. Bahasa andung dipergunakan pada saat melakukan aktivitas andung. (Wawancara dengan Sabam Simanjuntak, 9 Mei 2004, di Desa Onan Sampang Balige).
Selain untuk keperluan komunikasi sehari-hari, bahasa Batak Toba juga dipergunakan dalam seni seni sastra masyarakat Batak Toba, yang mencakup turi- turian, tonggo-tonggo, torsa-torsa, huling-huling. Kesemuanya disampaikan dalam beberapa bentuk penyajian sastra, yang berfungsi sebagai hiburan, bahagian dari adat, hukum dan religi.
2.2.5. Sistem Kekerabatan Masyarakat Batak Toba
Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yang disebut Dalihan Na Tolu. Dalam berbagai tulisan yang membicarakan masyarakat Toba – kini sudah lebih sering disebut Batak Toba – istilah Dalihan Na Tolu selalu diartikan
atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Tiga Tungku Sejerangan atau Tungku Nan Tiga.
Dalihan Na Tolu dianalogikan dengan tiga tungku masak di dapur tempat menjarangkan periuk. Maka adat Batak pun mempunyai tiga tiang penopang dalam kehidupan, yaitu (1) pihak semarga (in group); (2) pihak yang menerima istri (wife receving party); (3) pihak yang memberi istri (giving party). (Nalom Siahaan, Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Grafindo, 1982): 35).
Ketiga unsur atau posisi penting dalam kekerabatan masyarakat Batak tersebut yaitu: Hula-hula yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “di atas”, yang berasal dari keluarga marga pihak istri sebagai wujud penghormatan terhadap kelompok ini pada masyarakat Batak dikenal sebutan “Somba marhula- hula” yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Dongan Tubu yaitu kelompok orang-orang yang posisinya “sejajar”, yaitu teman/saudara semarga yang harus tetap akrab dan kompak, sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan yang mengatakan “manat mardongan tubu” artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan. Adapun unsur kekerabatan yang ketiga adalah Boru, yaitu kelompok penerima istri, yang dalam suatu acara adat posisinya adalah sebagai “pekerja” sehingga dalam masyarakat Batak Toba dikenal sebutan “elek marboru” yang artinya harus memperhatikan dan mengayomi kelompok penerima istri ini, karena merekalah yang akan bekerja apabila ada suatu acara adat/pesta.
Kedudukan ketiga hal tersebut di atas, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha pada upacara adat bisa menjadi berganti. Posisi hula-hula pada saat lain mungkin menjadi boru, demikian juga halnya dengan boru yang bisa menjadi hula-hula. Dengan demikian setiap kelompok masyarakat Batak Toba akan menduduki ketiga fungsi dalihan na tolu ini, yaitu hula-hula, boru dan dongan sabutuha.
Nilai kekerabatan atau keakraban berada di tempat yang tinggi bagi aturan kehidupan masyarakat Batak Toba. Nilai inti kekerabatan masyarakat Batak utamanya terwujud dalam pelaksanaan adat, selain itu terlihat pada tutur sapa dan bersikap.
Dengan perkawinan terjadilah ikatan dan integritas di antara tiga pihak yang disebut tadi, seolah-olah mereka bagai tiga tungku di dapur yang besar, gunanya dalam menjawab persoalan hidup sehari-hari. Cukup banyak fungsi adat ini bagi masyarakat pendukungnya, di antaranya patuduhon holong yang artinya menunjukkan kasih sayang di antara sesama yang penuh sopan santun/etik. Dari fungsinya yang penuh kehikmatan maka adat Dalihan Na Tolu dapat diterima oleh setiap masyarakat Batak Toba, sekali pun mereka berbeda-beda agama.
Mereka yang menganut Agama Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha kadang- kadang begitu erat ikatannya karena konsep adat telah terbentuk sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas sejak mulai lahirnya kelompok masyarakat yang identitas utamanya adalah adanya marga. Dengan marga itu orang Batak akan setia terhadap ketentuan adanya di manapun mereka berada.
Setiap warga Batak yang sudah berumah tangga otomatis menjadi anggota pemangku adat Dalihan Na Tolu. Tidak ada alasan bagi mereka yang telah berumah tangga untuk tidak ikut tampil dalam menyelesaikan urusan di tengah- tengah masyarakat secara Dalihan Na Tolu. Karena bila salah satu unsur dari adat Dalihan Na Tolu tidak hadir maka suatu pekerjaan adat dipandang tidak sah dan tidak kuat.
Berdasarkan gambar adat Dalihan Na Tolu diatas, dapat dimengerti bahwa adat Dalihan Na Tolu dapat dibentuk dalam mengatur mekanisme integritas dan identtias antar marga di suatu kampung. Akan tetapi meskipun telah berkembang melintas batas daerah Batak namun konsep dasar adat Dalihan Na Tolu berlaku sama di setiap wilayah dan tempat bagi masyarakat Batak Toba. Hal ini bisa terwujud karena tutur dalam Dalihan Na Tolu amat menjaga adanya etika. Dari luasnya hubungan kekerabatan dalam adat Batak Toba, maka dapat dilihat tumbuhnya harosuan dan nilai ini sangat mendasar dalam segala pergaulan. Nilai keakrabatan itu tidak sekedar teori, tapi diaplikasikan dalam bentuk mekanisme sosial adat Dalihan Na Tolu sampai sekarang.
2.2.5.1. Hula-Hula
Kedudukan pemberi anak hula-hula dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur berkat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajoan, artinya dirajakan, dan mereka sangat dihormati oleh borunya. Rasa hormat terhadap hula-hula tercermin dalam falsafah Dalihan Na Tolu, bahwa somba marhula-hula artinya seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat
dan patuh kepada hula-hula walaupun kedudukannya dari segi jabatan dan kepangkatan di luar adat lebih tinggi, namun tetap harus menghormati hula- hulanya.
Penghormatan terhadap hula-hula itu karena mereka diangap sebagai tempat meminta berkat yang disebut pasu-pasu, sehingga hula-hula dalam masyarakat Batak Toba dianalogikan sebagai perwujudan “Allah yang kelihatan”.
Tidak jarang kita lihat Boru pergi mengunjungi Hula-hula yang tujuannya untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak Hula-hula. Keadaan ini seolah-olah memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu akan tercapai apabila hula-hula mendoakan borunya. Fungsi Hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba dapat dirinci atas 3 (tiga) yaitu:
1. Dalam suatu musyawarah dan mufakat untuk sebuah rencana, hula-hula adalah sebagi tempat meminta nasihat dan bantuan moral agar terlaksananya suatu upacara adat.
2. Pada saat upacara adat berlangsung, Hula-hula bertugas memimpin upacara memberkati dan berdoa, agar acara adat tidak mendapat hambatan.
3. Sebagai juru damai dalam suatu perselisihan, misalnya dalam hal pembagian harta warisan. Hula-hula yang bersusah payah untuk mendamaikan, tanpa memihak, sering menjadi pertimbangan untuk selesainya suatu permasalahan.
2.2.5.2. Dongan Sabutuha
Sehubungan dengan kekerabatan dongan sabutuha, Schreiner mengemukakan: golongan-golongan “seperut” ini menganggap dirinya sebagai
persekutuan-persekutuan pemujaan yang anggota-anggotanya secara berkala memperkuat kesatuan mereka dan ikatan persekutuan dengan bapa leluhur mereka melalui pesta-pesta perjamuan bersama. Ikatan mereka diteguhkan melalui musik gondang dan melalui pertukaran pemberian-pemberian. Kepada upacara-upacara pesta yang disertai pertukaran barang-barang antara golongan-golongan yang seketurunan semacam itu termasuk juga kawin dan mengawinkan, yang mempertahankan keselaran makrokosmos-makrokosmos. (Lothar Schreiner, Adat dan Injil (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2002): 42, “Seperut” adalah istilah Schreiner untuk semarga yang dalam bahasa batak toba disebut dengan istilah dongan sabutuha).
Dongan sabutuha adalah hubungan berdasarkan garis keturunan dari ayah.
Namun cakupannya dalam suatu pelaksanaan upacara adat lebih luas lagi, setiap marga yang dianggap satu nenek moyang juga termasuk dalam klasifikasi dongan sabutuha. Dari kata “dongan” yang artinya adalah teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sejajar. Sabutuha berarti satu perut yang apabila diartikan secara langsung “satu ayah” dan “satu ibu”. Dongan sabutuha itu haruslah seia sekata, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, sebagai keluarga kandung seibu-sebapak.
Fungsi dongan sabutuha di dalam pelaksanaan suatu upacara adat adalah sama dengan suhut. Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa supaya tetap langeng dan serasi yang didasari oleh falsafah manat mardongan tubu yang artinya hati-hati terhadap teman semarga, maksudnya adalah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam
berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.
2.2.5.3. Boru
Boru merupakan tiang beban pelaksana setiap horja dalam hubungan formal dan nonformal. Penerima boru dalam suatu horja berada pada posisi yang lebih rendah dari hula-hula. Dalam posisi ini kelompok hula-hula harus mengasihi dan bersikap menganyomi boru yang tercermin dari filasafat elek marboru. Pada upacara adat pihak boru bertindak sebagai parhobas yaitu orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta. Jika masyarakat Batak Toba, hendak melaksanakan suatu horja, pada saat musyawarah kelompok dongan sabutuha, pendapat dan pertimbangan dari boru juga diminta, terutama mengenai sanggup atau tidaknya rencana keputusan dilaksanakan. Pendapat boru ini sangat penting, karena apa saja keputusan sidang, pelaksananya adalah boru.
Jadi dapat dikatakan peranan utama dari boru dalam adat adalah memberi sumbangan tenaga, materi, dan pemikiran pada setiap upacara adat. Selain itu, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila terjadi perselisihan.
2.2.5.4. Sistem Sapaan
Fungsi lainnya dari adat Dalihan Na Tolu adalah pengenalan garis keturunan hingga jauh ke atas yang disebut tarombo. Kekuatan kekerabatan terwujud dalam pemakaian tutur. Tutur merupakan suatu aturan hubungan antar perorangan atau antar unsur dalam Dalihan Na Tolu. Tutur juga sekaligus menjadi perekat bagi hubungan kekerabatan. Tidak kurang dari lima puluh macam tutur dalam kekerabatan Batak Toba. Dengan menyebut tutur terhadap seseorang diketahuilah jalur hubungan kekerabatan diantara mereka yang menggunakannya.
Tutur kekerabatan itu sekaligus menentukan prilaku apa yang pantas dan tidak pantas diantara mereka yang bergaul.
S. De Jong mengatakan bahwa di bawah payung yang sama yaitu adat, manusia menjaga hak dan kewajiban tutur. Pada orang yang berbeda agama kadang terdapat sikap hidup yang sama.
Alasannya cukup sederhana, yakni karena mereka semua pertama-tama merupakan orang Jawa atau Batak yang berpegang pada adat. Hal ini berlaku bagi masyarakat Batak Toba, sehingga perbedaan-perbedaan agama, status sosial, jabatan dan lain-lain, namun dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam hal martutur mengesampingkan hal tersebut dan lebih mematuhi ketentuan adat. (S.
De Jong … Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, (Yayasan Kanisius, 1970): 7).
Dengan suatu tutur juga diketahui dan dilaksanakan suatu konsekuensi secara adat akan adanya hak dan kewajiban secara adat di antara mereka yang bertutur secara timbal balik. Jika seseorang memangil tutur tulang yaitu sapaan untuk bapak mertua dan saudara laki-laki dari ibu, maka sipemanggil adalah bere
yang artinya keponakan dari tulang tersebut. Konsekuensinya secara adat, yang memanggil tulang harus hormat kepada yang dipanggilnya karena posisinya menjadi hula-hula, sedang yang dipanggil tulang harus mengasihi, melindungi dan membimbing yang memanggilnya, karena dalam falsafah masyarakat Batak Toba dikenal istilah “amak do rere, anak do bere” yang artinya “keponakan adalah anak”. Jadi si bere tersebut harus diperlakukan sebagaimana anaknya oleh yang dipanggil tulang.
Tegaknya hak dan kewajiban antara mereka sekaligus menentukan etika yang harus mereka jaga. Mereka harus menjaga etika dalam bersenda gurau.
Misalnya seperti tutur antara, parumaen terhadap amang boru ada aturan adatnya yang masing-masing harus menjaganya. Si parumaen bila hendak mengungkapkan atau menyampaikan sesuatu kepada amang boru-nya biasanya melalui anaknya, hal ini juga berlaku sebaliknya, melalui cucunya, karena menurut pandangan masyarakat Batak Toba, janggal bila antara kedua tutur tersebut akrab.
Untuk masyarakat yang tidak tercakup dalam lingkungan keluarga yang dekat (masih diketahui hubungan kekerabatan yang jelas) tutur dapat juga dilaksanakan dengan acuan marga. Marga bagi masyarakat Batak Toba adalah asal mula nama nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama diri dari satu- satu garis keturunan. Melalui rentetan vertikal turunan marga itu sejak nama nenek moyang sampai saat sekarang ini menumbuhkan silsilah Batak Toba.
Marga dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Batak Toba memegang
peranan penting untuk menempatkan dirinya berkomunikasi terhadap sesama masyarakat sesuai dengan dalihan na tolu.
Marga dalam masyarakat batak membentuk keluarga dan menimbulkan ketentuan yang ketat dalam aturan perkawinan. Seseorang harus mengawini wanita dari marga di luar kelompok marganya. Garis keturunan yang patrilineal, mengakibatkan wanita harus meninggalkan marganya, dan anaknya langsung menyandang marga suaminya. Konsekuensinya adalah setiap keluarga secara langsung masuk kedalam tiga kelompok adat secara sekaligus; dongan sabutuha, hula-hula, dan boru, yang membentuk apa yang disebut dalihan na tolu.
Marga bagi orang Batak juga sekaligus merupakan identitas yang menunjukkan silsilah dari nenek moyang aslinya. Sebagaimana diketahui marga bagi orang Batak diturunkan secara patrinial artinya menurut garis ayah. Sebutan berdasarkan satu kakek dalam marga yang sama markahanggi/marampara. Orang Batak yang semarga merasa bersaudara kandung sekalipun mereka tidak se-ibu se-bapak. Mereka saling menjaga, saling melindungi, dan saling tolong-menolong.
Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaan harus selalu memelihara kekeluargaan. Rasa kekeluargaan tetap terpupuk bukan saja keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan seseorang adalah nama marganya bukan nama panggilannya. Jadi apabila orang Batak Toba bertemu di mana saja, terlebih-lebih ketika di perantauan, maka pertama sekali ditanyakan adalah nama marganya dan bukan nama atau tempat asal. Dengan mengetahui marga, mereka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan diantara mereka, dengan
demikian mereka mengetahui kedudukan masing – masing dan hal – hal tabu dapat dihindarkan, seperti ungkapan bahwa: “jalo tiniptip sanggar, asa binaen huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan”. Artinya untuk membuat sangkar burung haruslah terlebih dahulu disiapkan/dibuat bahan- bahannya, dan untuk mengetahui hubungan keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marga. Dengan demikian orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.
2.2.6. Kampung dan Desa
Dalam hal kemasyarakatan Batak Toba, urusan/masalah perkampungan/
desa memiliki hubungan yang erat dengan sistem marga. Pada mulanya setiap warga mendiami sendiri suatu area sebagai perkampungan yang disebut huta, yang kemungkinan juga merupakan suatu bahagian dari huta yang dihuni oleh sekelompok induk marga dari satu keturunan, yang disebut toga. Kesatuan masyarakat yang tercakup dalam suatu wilayah beberapa huta yang didiami unsur-unsur marga satu keturunan disebut bius. Misalnya marga Nainggolan dalam cakupan bius Onan Runggu, marga Simamora dalam cakupan bius Dolok Sanggul, marga Lumban Tobing dalam cakupan bius Tarutung, marga Sinambela dalam cakupan bius Balige, marga Pasaribu dalam cakupan bius Haunatas, dan sebagainya.
Huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol daripada kelompok suku. Daerah suatu kampung, kecil adanya batas-batas pasti. Lebih tegas lagi, dia
adalah sebidang tanah tempat kampung berdiri dengan tembok dan paritnya. Jika pendiri membangun di atas tanahnya sendiri, atau di atas tanah yang telah di duduki, maka parhutaan adalah bagian dari milik si pendiri serta keturunannya, dan akan terus begitu walaupun kampung itu pindah di kemudian hari ke lain tempat, dan parhutaan itu menjadi lobu yaitu huta yang ditinggalkan.
Daerah kampung adalah suatu lapangan kecil empat persegi dengan halaman bagus, keras dan kosong di tengah-tengahnya. Di satu sisi bidang empat persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah, biasanya berbaris, setiap rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang. Berhadapan dengan barisan rumah terdapat lumbung padi. Biasanya, adapula satu atau dua kubangan lumpur. Keseluruhan dikelilingi tembok yang ditumbuhi pohon-pohon bambu yang tinggi, kadang-kadang ada juga kampung dengan sebuah parit mengelilinginya.
Dalam hal pemerintahan komunitas suatu kampung masyarakat Batak Toba, belum sampai kepada tingkat pemerintahan yang mampu mencakup suatu daerah luas dibawah pemerintahan yang mantap. Tidak ada orang atau orang- orang yang memangku kekuasaan sentral.
Sepanjang untuk keamanan, kadang-kadang dianggap perlu memiliki suatu kampung sebagai pos tapal batas di tempat yang dianggap rawan, dari mana kelompok suku yang berdekatan diduga mungkin akan menyatu. Dalam hal demikian, setelah melalui perundingan antara wilayah-wilayah yang berdekatan, didirikanlah kampung, diisi dan dipelihara sebagai sumbangan penting untuk mencegah musuh berani mendekat.
2.2.7. Agama dan Kepercayaan
Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, diyakini adanya Tuhan Yang Maha Tinggi yang disebut Mula Jadi Nabolon. “Tuhan” itu secara fungsional terbagi atas tiga dalam prinsip yang tri tunggal, yaitu Tuan Bubi na Bolon, Ompu Silaon Na Bolon, dan Tuan Pane Na Bolon yang berurut menguasai wilayah atas:
langit yang disebut banua ginjang, wilayah tengah: bumi yang disebut banua tonga, dan wilayah bawah: laut dan cahaya yang disebut banua toru. Konsep
“Tuhan” yang demikian itu menurut para ahli anthropologi religi akibat dari pengaruh Hindu yang menyusup ke dalam konsep kepercayaan asli orang Batak.
(Hary Parkin, Batak Fruit Thought, (Madras: Cristian Literature Society, 1978):
253. Dalam Ben. Marojahan Pasaribu Pasaribu, Taganing Batak Toba :Suatu kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan (Universitas Sumatera Utara:Jurusan Etnomusikologi,1986): 46).
Sebelumnya, keagamaan orang Batak adalah suatu konsep totalitas, yaitu alam, komunitas, pribadi, dan sebagainya terjalin dalam suatu pandangan. Konsep totalitas itu juga yang tercermin dalam pembagian alam menjadi tiga bahagian dan Mulajadi na Bolon sebagai penguasa. Sejak masa sebelum ada pengaruh Hindu, orang Batak yakin akan adanya roh nenek moyang, penguasa tanah, dan roh-roh lain yang bermukim di tempat-tempat suci.
Diperkirakan agama Hindu lama cukup mempengaruhi perkembangan budaya Batak, seperti dapat dilihat dari kosa kata yang diserap dari bahasa Hindi dalam banyak kosa kata bahasa Batak seperti guru, batara, aditia, dan lain