• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN NAMA: SUPRIADI TAMPUBOLON NIM : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN NAMA: SUPRIADI TAMPUBOLON NIM : UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK PERMAINAN BANSI OLEH BAPAK ZUL ALINUR DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA: SUPRIADI TAMPUBOLON

NIM : 100707063

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2016

(2)

TEKNIK PERMAINAN BANSI OLEH BAPAK ZUL ALINUR DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA: SUPRIADI TAMPUBOLON NIM : 100707063

Pembimbing I, Pembimbing II,

Arifni Netrirosa, SST., M.A. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196502191994032002 NIP 196512211991031001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

2016

(3)

DISETUJUI OLEH:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Medan, Juli 2016

Departemen Etnomusikologi Ketua,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001

(4)

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarja Seni dalam Jurusan Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Pada : Tanggal :

Hari :

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S NIP 196008051987031001

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan 1. Drs, Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. ( ) 2. Dra. Heristina Dewi, M. Pd ( )

3. Drs, Bebas Sembiring, M.Si ( )

4. Drs. Torang Naiborhu, M. Hum ( )

5. Arifninetrirosa, SST, M.A ( )

(5)

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul “Teknik Permainan Bansi” oleh Bapak Zul Alinur di Kota Medan.” Bansi adalah salah satu alat musik tradisional Minangkabau yang masuk dalam klasifikasi alat musik recorder aerophone, yang terbuat dari bambu, mempunyai 1 lubang hembusan udara, 1 lubang pembelah udara, dan 7 lobang nada yang menghasilkan bunyi yang melodis.

Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui teknik dasar permainan bansi oleh Bapak Zul Alinur sebagai pemain bansi yang lebih dikenal orang di Kota Medan. Selain itu juga dideskripsikan fungsi bansi tersebut bagi tradisi musik Minangkabau, dan menjadi sumber referensi bagi jurusan Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

Metode yang digunakan adalah metode kualitatif, dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan dan terlibat dalam mempelajari teknik permainan bansi. Penulis juga melakukan wawancara, rekaman audio dan video kepada narasumber yang dianggap paham oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, sehingga memudahkan penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah tersebut.

Teori yang digunakan adalah teori etnosains ditambah dengan struktural dan fungsional oleh Susumu Khasima.

Dari penelitian ini akan dapat diperoleh informasi tentang teknik dasar permainan bansi, dan menjadi sumber informasi bagi masyarakat yang ingin mengetahui tentang tehnik permainan alat musik tersebut. Teknik dasar tersebut adalah: teknik pernafasan yang menghembus terus menerus (circular breathing), penjarian dengan jari-jari tangan untuk menghasilkan nada, dan lima teknik menghasilkan bunyi yaitu: (1) gariniak (improvisasi estetis secara umum pada melodi termasuk bansi), (2) saik (cara menutup lubang nada perlaahan dan menghasilkan nada legato ke bawah), (3) kalorok (teknik memberi isi sambungan melodi), (4) pakok (pola menutup lagu), dan (5) langkiang (melengkingkan dengan nada oktaf)

Kata kunci: teknik, bansi, gariniak, saik, kalorok, pakok, langkiang

(6)

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan berkat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyajikan satu karya ilmiah berupa Skripsi Sarjana. Skripsi yang berjudul“ Teknik Permainan Bansi oleh Bapak Zul Alinur Di Kota Medan” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S.Sn) di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari kendala ataupun masalah yang dihadapi selama melakukan penelitian untuk penyelesaian skripsi ini, tapi berkat doa, motivasi, dan kerjasama dari semua pihak yang terlibat, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda J. Tampubolon dan Ibunda N.Br. Siagian, adik-adik tercinta Juli Agustina Tampubolon, Trisnawati Tampubolon, Handrian P. Tampubolon, Deni Bojes Tampubolon dan kepada seluruh keluarga besar Tampubolon dan Siagian yang banyak memberikan dorongan moril dan materil serta selalu mendoakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak Dr.

Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak ketua Departemen Etnomusikologi Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, selaku pembimbing II dan kepada Ibu Arifninetrirosa SST, M.A, selaku pembimbing I, dan ibu sekretaris Departemen Etnomusikologi Dra. Heristina Dewi, M.Pd, dan kepada bapak/ibu dosen yang telah membimbing dan mengajari penulis selama perkuliahan di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara : Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A, Dra. Rithaony Hutajulu,

(7)

M.A, Drs. Kumalo Tarigan, M.A, Drs. Perikuten Tarigan, M.A, Drs. Fadlin, M.A, Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si, Drs. Bebas Sembiring, M.Si, Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, Dra.

Frida Deliana Harahap, M.Si, Prof. Drs. Mauly Purba, M.A, Ph.D, dan juga kepada dosen praktek musik bapak Michael Panggabean, S.Sn selaku dosen praktek gitar klasik, bapak Marsius Sitohang selaku dosen praktek musik tradisi Batak Toba, juga kepada seluruh dosen praktek dan staf pegawai di Departemen Etnomusikologi yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak Zul Alinur sebagai narasumber/informan penulis dan sebagai dosen pengajar musik tradisi Minangkabau di Departemen Etnomusikologi dan kepada bapak Drs. Hajizar Kotodari ISI Padang Panjang yang telah memberikan banyak informasi dan penjelasan yang sangat dibutuhkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada abang-abang alumni Etnomusikologi USU, yaitu kepada abang Oktavianus Matondang S.Sn, abang Markus B.T Sirait S.Sn, abang Franseda Sitepu S.Sn, abang David A. Simanungkalit S.Sn, dan abang/kakak alumni yang lain yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu per satu yang telah memberikan dukungan moril maupun materil, dan memberikan masukan-masukan pendapat kepada penulis sehingga dapat terselesaikannya tulisan ini.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua rekan-rekan mahasiswa Etnomusikologi USU, terkhusus kepada rekan-rekan mahasiswa Etnomusikologi stambuk 2010 yang telah bersama-sama dengan penulis selama masa perkuliahan dari awal hingga menyelesaikan perkuliahan di Departemen Etnomusikologi, juga kepada teman-teman mahasiswa Etnomusikologi satu rumah di Jln.

PasarBaru No.12, David A. Simanungkalit, S.Sn, Tumpak Josepin Sinaga, Jepri Romario Sihombing dan sahabat-sahabat komunitas HOK Community, Andrianus Matondang,

(8)

Marteus F. Sihombing, Mark S. Aritonang, Theresa Ginanta Sirait, dan seluruh teman-teman HOK yang lain yang tidak saya sebutkan satu per satu, juga kepada karyawan El Condor Pasa Enterprise yang tidak saya jabarkan satu per satu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas kerjasamanya dalam menjalani pekerjaan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan- kekurangan yang mungkin karena keterbatasan penulis dalam penyajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sekalian demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan pihak yang membutuhkannya. Terimakasih.

Medan, Juni 2016 Penulis

Supriadi Tampubolon Nim: 100707061

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….….……….………...i

KATA PENGANTAR……….………...ii

DAFTAR ISI………...………..v

BAB I: PENDAHULUAN………..…….…….1

1.1 Latar Belakang Masalah………...………..1

1.2 Pokok Permasalahan………...………...…….………4

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian…....………...5

1.3.1 Tujuan Penelitian………...……….5

1.3.2 Manfaat Penelitian……….………..………...5

1.4 Konsep dan Teori………...5

1.4.1 Konsep………...5

1.4.2 Teori………..….6

1.5 Metode Penelitian………..………..………..…...9

1.5.1 Studi Kepustakaan………10

1.5.2 Penelitian Lapangan……….10

1.5.2.1 Observasi………..…11

1.5.2.2 Wawancara………...11

1.5.2.3 Perekaman atau Dokumentasi………...12

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian……….12

1.7 Kerja Laboratorium………..…12

BAB II: GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK ZUL ALINUR………...13

2.1 Lokasi Penelitian………..…13

2.2 Asal-Usul Masyarakat Minagkabau di Kota Medan………13

2.3 Sistem Bahasa………...………..….16

2.4 Sistem Religi (Agama)……….17

2.5 Sistem Kesenian………..……….17

2.5.1 Seni Musik………...……….18

2.5.2 Seni Tari………...18

(10)

2.6 Sistem Kekerabatan………..19

2.6.1 Suku-Suku Minangkabau……….21

2.7 Biografi Bapak Zul Alinur………...23

2.7.1 Latar Belakang Pendidikan………..…25

2.7.2 Pengalaman Waktu Kecil……….25

2.7.3 Proses Belajar Bermain Alat Musik Bansi………..….26

2.7.4 Pengalaman Saat Dewasa dan Pemain Musik Propesional………..…27

BAB III: BANSI DALAM KEBUDAYAAN MINANGKABAU DAN DI SUMATERA UTARA………..………..………30

3.1 Cerita Rakyat Tentang Bansi….………....30

3.2 Penggunaan Bansi………..………....31

3.2.1 Alat Musik Tunggal………..………..31

3.2.2 Dalam Ensambel………..………...…32

3.2.2.1 Ensambel Talempong Set………..……….32

3.2.2.2 Ensambel Musik Pop Minangkabau………..……….33

3.3 Fungsi Bansi dalam Kebudayaan Minangkabau………….………..…34

3.3.1 Fungsi Estetis………..……….……….34

3.3.2 Fungsi Komunikasi………...…………35

3.3.3 Fungsi Perlambangan………...35

3.3.4 Fungsi Hiburan………....……….35

3.4 Bansi didalam Kebudayaan Minangkabau di Medan………..….36

3.4.1 Sejarah Masuknya Bansi di Kota Medan……….………...36

3.4.2 Perkembangan Bansi di Kota Medan……….………...37

BAB IV: TEKNIK PERMAINAN BANSI….…..………..…….…38

4.1 Proses Belajar Bansi di Medan...………....….38

4.2 Teknik Pernapasan………...38

4.3 Teknik Penjarian………...………...…39

4.4 Teknik Penghasilan Bunyi……...………....…………40

4.5 Nada-Nada yang Dihasilkan…...……….42

(11)

4.6.1 Duduak Baselo…….……...……….47

4.6.2 Duduak di Kursi….………...………...47

4.6.3 Badiri……….………..………....48

4.7 Sampel Lagu……….………..……….49

BAB V: PENUTUP……..………..52

5.1 Kesimpulan………...………...52

5.2 Saran………...……….53

DAFTAR PUSTAKA…..………...54

DATA INFORMAN………..……….55

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah salah satu kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, sebahagian daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.

Dalam percakapan awam, orang Minangkabau seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota Provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang Minangkabau itu sendiri (wikipedia.org)

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam kesenian, seperti seni tari, seni musik, seni pantun, dan seni bela diri yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari Pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing yang diiringi oleh alat musik. Alat musik Minangkabau dibagi menjadi 4 bagian dalam memainkannya, yaitu alat musik pukul, alat musik gesek, alat musik tiup, dan alat musik petik. Alat musik pukul terdiri dari talempong, canang, tambur, rabano, indang, gandang, dan adok. Alat musik gesek satu-satunya yaitu rabab. Alat musik tiup terdiri dari bansi, pupuik batang padi, sarunai Minang, pupuik tanduak, dan saluang. Alat musik petik adalah kulcapi jawa dan genggong. Dalam tulisan ini penulis berfokus pada alat musik tiup yaitu bansi.

(13)

Bansi adalah salah satu alat musik tradisional Minangkabau yang masuk dalam klasifikasi alat musik aerofon dalam kelompok whistle (rekorder). Alat musik ini yang terbuat dari bambu, mempunyai 1 lubang hembusan, satu lubang pembelah udara, dan 7 lubang nada, yang mempunyai panjang kira-kira 25 cm. Alat musik ini selalu digunakan dalam berbagai genre musik Minangkabau, seperti musik populer Minangkabau, hiburan pribadi, mengiringi dendang, atau disajikan secara solo instrumen, dan berbagai keguanaan musikal lainnya.

Musik Minangkabau umumnya jika didengar langsung sangat akrab di telinga pendengar dan penikmatnya, terutama yang beretnik Minangkabau. Namun lebih luas lagi, terhadap pendengar di luar Minangkabau pun musik mereka ini cukup populer didengar dan dinikmati. Termasuk masyarakat Batak yang ada di Sumatera Utara. Di antara alat-alat musik Minangkabau yang memperkuat identitas musik adalah alat-alat musik dan suara:

talempong dengan berbagai jenisnya, pupuik batang padi, gendang dol, rabab, dan lain-lain.

Alat-alat musik ini ada yang digunakan untuk pertunjukan musik di daerah asal Minangkabau, namun tidak jarang ada juga yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau di perantauan, seperti di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Jakarta, bahkan sampai ke Negeri Sembilan Malaysia.

Salah satu yang menarik perhatian penulis adalah melihat fenomena musikal yang terjadi pada penggunaan bansi di Medan, khususnya yang disajikan oleh Bapak Zul Alinur.

Beliau memainkan bansi ini baik di kawasan Sumatera Utara maupun nasional. Ia bergabung ke dalam grup musik Tigo Sapilin, yang terdiri dari 5 orang pemain. Terdiri alat musik tasa/perkusi, tambur, talempong (2 orang), dan bansi. Sebagai pemain bansi adalah bapak Zul Alinur.

Keunikan permainan bansi Bapak Zul Alinur menurut para pemain musik Minangkabau di Kota Medan adalah garapan khas estetika melodi, yang disebut dengan

(14)

gariniak. Ia dipandang mahir dan terampil dalam mengolah gariniak tersebut. Gariniak tersebut ia eksplorasi sendiri berdasarkan jiwa musiknya dan disesuaikan dengan Alam Rantau,1 khususnya Sumatera Utara. Gariniak yang dihasilkan dari teknik permainannya memiliki kerumitan baik dari sisi garapan melodis maupun ritmis, dan dinamiknya. Ia menggunakan filsafat hidup orang Minangkabau yaitu alam takambang manjadi guru [Alam terkembang menjadi guru] dan langsung meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dalam setiap permainannya.

Selain itu, sebagaimana tiupan pada permainan bansi, ia juga menerapkan teknik menghembus secara terus-menerus (circular breathing) untuk beberapa frase di dalam lagu.

Selanjutnya, fenomena menarik lainnya adalah berdasarkan hasil wawancara penulis dengan narasumber Bapak Zul Alinur, dapat diketahui bahwa beliau selain dapat memainkan alat musik bansi, beliau juga mahir memainkan sebahagian besar alat musik tradisi Minangkabau dan juga sebagai pencipta lagu-lagu Melayu. Beliau mengatakan awal mula ketertarikannya dalam kesenian Minangkabau ketika beliau menyelesaikan sekolah tingkat SMA, kemudian beliau masuk ke sanggar Tigo Sapilin.

Ketertarikannya terhadap alat musik bansi ini karena beliau tersebut ingin melestarikan kebudayaan Minangkabau. Sampai saat ini, Bapak Zul Alinur juga masih aktif di dalam kesenian Minangkabau. Salah satunya adalah sebagai pemain musik Minangkabau di Taman Budaya Medan (TBM) yang berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan dan gedung BM3 (Badan Musyawarah Masyarakat Minangkabau) di Jalan Adinegoro. Beliau juga mempunyai grup yang dinamakan Tigo Sapilin. Secara umum ada beberapa keunikan dari alat musik bansi, yaitu: (1) memiliki 7 lubang nada, yang dapat dimainkan pada semua

1Alam Rantau adalah salah satu dari tiga kawasan budaya Minangkabau, yang dapat diartikan sebagai daerah perantauan bagi orang-orang Minangkabau. Dua daerah lainnya adalah darek (daratan) yang berada di wilayah Bukit Barisan di Minangkabau dengan pusatnya Padangpanjang. Sementara wilayah daerah lainnya adalah pasisie (pesisir), yang dapat ditandai kawasan pesisir Barat Minangkabau. Kebudayaan masyarakat Pesisir Minangkabau ini memiliki kesamaan budaya dengan Pesisir di Tapanuli Tengah dan Sibolga, juga

(15)

jenis lagu; (2) kadang-kadang bunyi bansi “berlawanan” dengan nada vokal penyanyinya, terkadang sesuai dengan nada vokal penyanyinya; (3) bansi dapat mengiringi berbagai jenis lagu, baik tradisional maupun modern.

Oleh karena ketertarikan terhadap fenomena tersebut, maka penulis akan mengkaji secara etnomusikologis. Adapun temanya adalah “Teknik Permainan Bansi oleh Bapak Zul Alinur di Kota Medan.”

1.2 Pokok Permasalahan

Ada pun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana teknik permainan bansi Minangkabau oleh Bapak Zul Alinur.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mendapatkan informasi tentang teknik dalam memainkan bansi oleh Bapak Zul Alinur.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat sebagai usaha untuk menambah wawasan tentang kebudayaan suku Minangkabau.Manfaat lainnya yang dapat diperoleh dalam penelitian ini antara lain sebagai suatu pengetahuan dan informasi bagi mahasisiwa yang akan mendalami penelitian tentang Minangkabau. Sebagai bahan acuan dalam penulisan yang berikutnya tentang musik Minangkabau.

(16)

Diharapkan dari penelitian ini agar pembaca dapat mengetahui bagaimana teknik permainan bansi (dalam hal ini penulis melakukan penelitian untuk mengetahui teknik dasar memainkan Bansi sesuai dengan judul tulisan ini.

Sebagai dokumentasi dalam bentuk karya tulis guna menambah referensi di Departemen Etnomusikologi, FIB USU tentang musik Minangkabau. Sebagai pengaplikasian ilmu yang telah diperolah penulis selama mengikuti pendidikan di departemen Etnomusikologi.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rangkaian idea tau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka,1991:431). Studi disebut juga dengan kajian (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia). Kajian merupakan kata jadian dari kata”kaji”yang berarti mengkaji mempelajari memeriksa mempertimbangkan secara matang dan mendalam.

Dari defenisi di atas maka dapat ditentukan konsep dari penitian dan penulisan tentang teknik dasar permainan bansi Minangkabau adalah untuk mengkaji tentang dasar- dasar cara untuk dapat memainkan bansi. Selain kajian tersebut hal yang juga penting dalam penelitian ini yaitu menelusuri tentang sejarah masuknya bansi, dan hubungan bansi ini terhadap ensambel musik Minangkabau.

1.4.2. Teori

Menurut Koentjaraningrat (1973:10) mengatakan teori adalah alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk

(17)

menganalisis berbagai fenomena. Teori adalah rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Teori utama dalam mengkaji teknik permainan bansi oleh Bapak Zul Alinur adalah teori etnosains (ethnoscience). Dalam etnosains, para ahli antropologi mengambil linguistik sebagai model untuk antropologi. Dalam linguistik para ahlinya ketika mendeskripsikan bahasa adalah mendeskripsikan aturan-aturan bertatabahasa khususnya berbahasa. Model linguistik yang diambil oleh ahli antropologi adalah descriptive phonology atau cabang ilmu bahasa yang membicarakan pendeskripsian fonem atau mendeskripsikan cara pengucapan atau dengan kata lain mendeskripsikan cara menghasilkan bunyi bahasa.Hal ini kemudian mempengaruhi ahli antropologi dalam mendefinisikan kebudayaan dimana kemudian kebudayaan didefinisikan sebagai cara-cara berperilaku.yang dapat dilihat dengan jelas dari definisi kebudayaan menurut Goodenough:

culture is not a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior or emotions. It is rather the organizations of these things. It is the forms of things that people have in mind, their models for perceiving, relating and otherwise interpreting them as such. The things that people say and do, their social arrangement and events are products or by products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their circumstances …”

(Goodenough, 1964:36)

Definisi Goodenough mengenai kebudayaan, adalah pengorganisasian masyarakat, tingkah laku, emosi-emosi dan hal-hal lain. Apa yang mereka lakukan, katakan, tata cara hubungan sosial dan pelaksanaan even-even merupakan hasil penafsiran, penangkapan dan pengamatan-pengamatan berdasarkan situasi tertentu. Goodenough mengharuskan peneliti untuk mengetahui sistem pengetahuan suatu masyarakat yang meliputi klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan hal-hal lain.

(18)

Cara-cara berperilaku itu sendiri, ada dalam pikiran yang terwujud dalam bahasa sehingga dengan kata lain Etnosains melandaskan pada basis filsafat yang memandang kebudayan adalah berupa pengetahuan kolektif dari proses belajar dan etnosains adalah studi sistem pengetahuan suku bangsa.

Adapun teori teori tambahan untuk mendukung teknik permainan adalah teori organologis, yang lazim disebut teori struktural fungsional yang dikemukankan oleh Susumu Khasima dalam APTA (Asia Performing Traditional Art 1978:74). Teori ini memiliki 2 pendekatan dalam membahas tentang alat musik yaitu teori pendekatan secara struktural dan pendekatan secara fungisional. Pendekatan secara struktural meliputi tentang aspek fisik instrumen musik, pengamatan, pengukuran dengan skala perbandingan, perekaman, serta menggambarkan bentuk instrumen, kontruksi, dan bahan yang dipakai. Pendekatan secara fungisional meliputi tentang fungsi instrumen tersebut sebagai alat untuk memprodusi suara, meneliti. Melakukan pengukuran dan mencatat metode, mamainkan instrumen dan penggunaan bunyi yang diproduksi. Teori tersebut akan menjadi acuan penulis dalam menganalisa bansi serta menjabarkan bagaimana teknik dasar dlam mempelajari bansi Minangkabau.

Teori yang dikemukakan oleh Nettl (1963:98) yaitu Nettl mengatakan bahwa kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan alat musik dari apa yang kita dengar dan kita dapat menuliskan musik tersebut kedalam tulisan dan mendeskripsikannya. Teori ini dipakai penulis sebagai pedoman dan mentranskripsikan nada-nada yang dihasilkan oleh Bansi

Sebagai tambahan teori, penulis memakai pendekatan teori yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) yaitu tentang sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar bunyi utama. Sistem pengklasifikasian ini dibagi menjadi empat bagian yaitu:

(19)

1. Idiofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyi dihasilkan oleh badan alat musik itu sendiri.

2. Aerofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyi dihasilkan oleh udara.

3. Membranofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyinya dihasilkan oleh kulit.

4. Kordofon yang berarti alat musik yang materi penghasil bunyinya dihasilkan oleh senar atau dawai.

Dari teori diatas maka penulis mengklasifikasikan Bansi Minangkabau termasuk kedalam klasifikasi alat musik aerofon karena Bansi merupakan alat musik yang materi penghasil bunyinya dihasilkan oleh hembusan ataupun tiupan udara dari mulut pemainnya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian perlu dibuat metode yang bertujuan sebagai cara yang akan ditempuh peneliti sebelum ataupun saat berapa di lapangan penelitiannya. Untuk itu dalam penelitian ini, penulis juga memerlukan beberapa metode yang dapat mendukung pembuatan karya tulis ini. Dari berbagai metode yang dicetuskan oleh beberapa ahli, maka penulis mendapatkan beberapa ahli yang mencetuskan metode yang berhungan dengan penelitian ini.

Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif yang mengutamakan kualitas data. Data yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat dan datanya adalah data sekunder seperti dokumen dan dalam penelitian-penelitian yang menggunakan metode pengamatan terlibat atau participant observation (M. Sitorus, 2003).

Menurut Nettl (1964:62-64) yaitu terdapat dua hal yang sangat esensial untuk melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin ilmu Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan yang dimaksud yaitu meliputi

(20)

pemilihan informan yang memiliki informasi cukup banyak tentang objek penelitian, pendekatan internal maupun eksternal dalam arti melakukan pendekatan dengan cara membaur dengan masyarakat pendukung dari objek penelitian, pengumpulan data baik melalui dokumentasi ataupun wawancara sedangkan kerja laboratorium adalah mengolah data yang didapat dari penelitian lapangan untuk dianalisa sehingga memperoleh hipotesa dan juga dapat menyimpulkan hasil penelitian.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Penulis melakukan studi kepustakaan yaitu dengan membaca sejumlah buku tentang budaya Minangkabau. Selain itu penulis juga membaca artikel-ertikel tentang Minangkabau yang diperoleh dari beberapa penulis skripsi tentang Minangkabau terdahulu. Dari beberapa buku inilah penulis menggali informasi awal tentang masyarakat Minangkabau. Informasi tersebut akan menjadi awal pengetahuan penulis dalam mempelajari budaya tersebut, juga digunakan sebagai bahan referensi dalam penulisan skripsi.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan berarti dalam mengumpulkan data peneliti langsung mendatangi objek penelitian. Adapun macam-macam penelitian lapangan tersebut adalah sebagai berikut.

1.5.2.1 Observasi

Pengumpulan data dengan cara observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Metode observasi menggunakan kerja pancaindera mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya seperti telinga, penciuman, mulut dan kulit (Burhan Bungin, 2007: 115).

(21)

Untuk itu lah penulis langsung mendatangi ke tempat tinggal narasumber dan melakukan interaksi kepada narasumber maupun masyarakat yang ada disana.

1.5.2.2 Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide atau panduan wawancara (Moh. Nazir, 1988: 234). Wawancara merupakan suatu proses interaksi yang dilakukan dengan cara berdialog. Wawancara tidak dapat dilakukan hanya kepada 1 narasumber untuk itu penulis berinisiatif melakukan wawancara kepada narasumber untuk mengetahui informasi yang diperlukan penulis.

Metode wawancara yang digunakan penulis adalah metode wawancara berstruktur, dan wawancara bebas. Sebelum melakukan wawancara penulis membuat “draft” pertanyaan.

Pertanyaan inilah yang akan disampaikan penulis kepada narasumber. Saat memberikan pertanyaan ini, infoman menjawab segaligus menjelaskan secara detail pertanyaan yang penulis berikan.

1.5.2.3 Perekaman atau Dokumentasi

Untuk mendokmentasikan penelitian,penulis mengunakan kamera DSLR CANON 600D dan sebuah handphone. Alat ini berguna untuk meliput wawancara dan merekam kejadian pada saat penelitian yang dilakukan penulis.

1.6 Pemilihan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang di pilih penulis adalah yang merupakan tempat tinggal narasumber yaitu Bapak Zul Alinur di Kota Medan.

(22)

1.7 Kerja Laboratorium

Setelah mendapatkan data dilapangan, maka penulis akan mengolah seluruh data tersebut dalam kerja laboratorium, dimana penulis akan mengubah data rekaman suara menjadi data tulisan, untuk memudahkan si penulis menyelesaikan tulisan tersebut.

(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN BIOGRAFI SINGKAT BAPAK ZUL ALINUR

2.1 Lokasi Penelitian.

Dalam memilih lokasi penelitian, penulis berfokus di kota Medan, dimana tempat tinggal informan yaitu Bapak Zul Alinur adalah di kota Medan. Zul Alinur adalah salah satu tenaga pengajar musik tradisi Minangkabau di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, terkadang juga penulis berjumpa dengan Bapak Zul Alinur atau yang akrab di panggil bang koboy setelah slesai mengajar di Departemen Etnomusikologi, disamping sebagai tenaga pengajar di Departemen Etnomusikologi, dan tenaga pengajar di SMPN 1 Hamparan Perak, Zul Alinur juga aktif sebagai pengurus kesenian Minangkabau di Taman Budaya Sumatera Utara dan BM3 (Badan Musyawarah Masyarakat Minangkabau) yang bertempat di Jalan Adinegoro Medan, penulis juga kerap berjumpa dengan Zul Alinur di Taman Budaya, untuk menanyakan informasi yang dibutuhkan penulis untuk menyelesaikan tulisan ini.

2.2 Asal-Usul Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan.

Menurut Adam, daerah suku etnik Minangkabau ditandai dengan masyarakatnya yang menganut dan menjalankan adat-istiadat Minangkabau yang umumnya bermukim di Pulau Sumatera bagian tengah, meliputi Provinsi Sumatera Barat (tidak termasuk Mentawai), sebahagian hulu sungai Rokan, Kampar, dan Kuantan di Provinsi Riau, Batang Tebo, dan Muara Bungo di Provinsi Jambi,serta hulu sungai Merangin dan Muko-Muko di Provinsi Bengkulu (Boestanol Arifin Adam, 1970).

(24)

Penghulu mengatakan bahwa daerah minangkabau terdiri dari: (1) Darek, (2) Pasisie, dan (3) Rantau. Secara tradisional masyarakat Minangkabau mempunyai dua wilayah pemerintahan adat. Pembahagian ini dikondisikan dengan masa Kerajaan Pagaruyung sewaktu masih berdiri, yaitu: luhak dan rantau. Daerah darek dikenal sebagai luhak nan tigo yang terdiri dari: (1) Luhak Tanah Data, (2) Luhak Agam, (3) Luhak Limo Puluah Koto. Ada keterkaitan erat diantaraluhak dan rantau (Penghulu 1978:12).

Berdasarkan mitologi yang terdapat dalam tambo Minangkabau, pada mulanya luhak hidup secara berkelompok pada daerah kecil yang bersifat kesatuan territorial, bernama nagari. Nagari-nagari yang merupakan daerah asal penduduk rantau. Setiap nagari sekurang-kurangnya ditempati oleh empat suku (klen) yang terdiri dari Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang.

Orang Minangkabau sering merantau, yaitu bermigrasi ke rantau. Istilah rantau dapat diartikan sebagai dataran rendah atau daerah aliran sungai (Mochtar Naim 1984:2), sebagai tempat orang Minangkabau mencari nafkah dengan meninggalkan kampung halaman yang terletak didataran tinggi. Akan tetapi istilah rantau tidak hanya terbatas kepada daerah rendah atau daerah aliran sungai, melainkan juga sudah berkonotasi dengan luar kampung halaman mereka. Kebiasaan merantau ini sangat besar pengaruh dan perannya dari segi sosial dan ekonomi masyarakat Minangkabau.

Migrasi orang Minangkabau ke Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), baru mulai pada abad ke-19, ketika perkebunan-perkebunan asing mulai dibuka (Mochtar Naim 1984:97). Kebanyakan mereka bukan bekerja sebagai buruh perkebunan, melainkan menjajakan barang dagangannya dari perkebunan yang satu ke perkebunan yang lain, atau menetap di kota-kota Sumatera Timur untuk berdagang. Sesudah Revolusi Kemerdekaan berakhir, arus migrasi orang Minangkabau bertambah dalam jumlah yang lebih besar dibanding dengan sebelumnya. Terutama selama berlangsung pemberontakan PRRI

(25)

(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) terjadi arus migrasi paling besar (Mochtar Naim 1984:97). Ibu Zul Alinur yang bernama Rosmiar, adalah seorang yang bersuku (etnik) Minangkabau. Bagaimana pun dalam darah dan jiwa Zul Alinur mengalir darah

Minangkabau. Dalam konteks ini, ibunda Zul Alinur merantau ke wilayah Deli pada pertengahan abad ke-20 dan berjodoh dengan ayahnya seorang Melayu dari Batubara.

Kawasan Batubara ini sendiri sejak awal menjadi daerah orang-orang Minangkabau sejak zaman Pagaruyung. Bahkan nama-nama kawasan di Batubara juga memperkuat adanya hubungan dengan Minangkabau, seperti Kota Lima Puluh, Lima Laras, Luhak, dan lain- lainnya.

Jika kita lihat dari jenis pekerjaan perantau Minangkabau, yang dominan adalah rumah makan Minangkabau, sate padang, dan industri kerajinan pakaian jadi.

Para perantau Minangkabau di Sumatera Timur berkelompok pula menurut tempat asalnya seperti sekampung, seluhak seperti wilayah Pariaman, Maninjau, Batu Sangkar, Pasaman, dan lain-lain. Bertujuan demi menanggulangi masalah yang bersangkutan dengan kerukunan dan adat mereka.

2.3 Sistem Bahasa

Orang-orang Minang menggunakan bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-harinya. Bahasa Minangkabau atau Baso Minang adalah salah satu anak cabang bahasa Austronesia yang dituturkan khususnya di wilayah Sumatra Barat, bagian barat propinsi Riau serta tersebar di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Dialek bahasa Minangkabau sangat bervariasi, bahkan antar kampung yang dipisahkan oleh sungai sekalipun sudah mempunyai dialek yang berbeda. Perbedaan terbesar adalah dialek yang dituturkan di kawasan Pesisir Selatan dan dialek di wilayah Muko-muko, Bengkulu.

(26)

Suku Minagkabau menggunakan satu bahasa daerah yang sama, yang disebut bahasa Minangkabau. Sebuah bahasa yang erat hubungannya bahasa Melayu. Menurut penelitian ilmu bahasa, bahasa Minangkabau boleh merupakan bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek saja dari bahasa Melayu. Secara umum dialek bahasa Minangkabau yang dikenal dapat disebut empat, yaitu:

1. Dialek Tanah Datar, 2. Dialek Agam,

3. Dialek Lima Puluh Koto, dan 4. Dialek Pesisir,

Penamaan tersebut didasarkan pada pembagian daerah Minangkabau yang terdiri dari 3 Luhak (Agam, Tanah Datar, dan Lima Puluh Koto) serta daerah rantau termasuk daerah pesisir.

2.4 Sistem Religi (Agama)

Awal sebelum agama Islam masuk di Minangkabau, agama Hindu dan Budha telah muncul di Minangkabau, tetapi kedua agama ini hanya berkembang di sekitar istana saja.

Diperkirakan sekitar abad ke-7 agama Islam masuk dibawa oleh para pedagang, akan tetapi mulai berkembang setelah abad ke-13. Hingga saat ini agama Islam satu-satunya agama yang berkembang di Minangkabau dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat Minangkabau. Pengaruh agama Islam kuat didalam adat Minangkabau, seperti yang tercatat dalam pepatah mereka, adat basandi syarak, syarak, basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al-Qur’an.

Sehingga nyata bahwa adat Minangkabau dengan agama Islam memiliki suatu kesatuan yang saling menunjang dalam membina masyarakatnya.

(27)

Setiap orang yang menjalankan adat Minangkabau haruslah beragama Islam, karena adat mereka sejalan dengan agama Islam. Terdapat banyak persamaan diantara paham Islam dengan paham Minangkabau. Ciri-ciri Islam begitu mendalam dalam adat Minangkabau, sehingga mereka yang tidak mengamalkan agama Islam dianggap telah keluar dari masyarakat Minangkabau.

2.5 Sistem Kesenian

Kesenian merupakan ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku- suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koenjaraningrat, 1982:395-397).

Kesenian Minangkabau pada mulanya merupakan permainan rakyat yang bersifat terbuka dari rakyat untuk rakyat. Oleh karena sifatnya yang terbuka maka menjadi milik suatu komunitas yang mudah berubah. Pengertian berubah dalam hal ini yaitu dalam konteks sosial budaya Minangkabau yang dapat diartikan sebagai berkembang, memperkaya, dan memperbanyak aspek-aspeknya (Nerosti Adnan, 2008). Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam bentuk kesenian, yakni seni musik, seni tari, dan lain-lain.

2.5.1 Seni Musik.

Seni musik merupakan suatu bentuk karya seni yang dapat dinikmati manusia melalui pendengaran, seperti seni instrumental, seni vokal, dan seni sastra. Dimana seni instrumental terdiri dari bansi, sarunai tanduak, saluang, talempong, gandang, pupuik tanduak, dan lain- lainnya. Seni vokal yang berkembang pada masyarakat Minangkabau, yaitu berupa dendang (nyanyian), indang, dan dikie (zikir). Seni sastra terutama sastra lisan, yaitu berupa pantun yang berisikan nasihat dan syair yang paling banyak dikuasai masyarakat Minangkabau.

(28)

2.5.2 Seni Tari

Tari tradisi berifat klasik yang berasal dari Sumatera Barat yang di tarikan oleh kaum pria dan wanita umumnya memiliki gerakan aktif dan dinamis, namun tetap berada dalam alur dan tatanan yang khas. Kekhasan ini terletak pada prinsip Minangkabau yang belajar kepada alam, oleh karena itu dinamisme gerakan tari-tari Minangkabau selalu merupakan perlambangan dari unsur-unsur alam. Pengaruh agama Islam, keunikan adat matrinieal dan kebiasaan merantau masyarakatnya juga memberikan pengaruh besar dalam jiwa sebuah tari tradisi Minangkabau. Seni tari yang berasal dari Minangkabau antara lain:

1. Tari Pasambahan merupakan tarian yang dimainkan yang bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai.

2. Tari Piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat yang dimankan oleh penarinya sambil memegang piring di telapak tangan masing-masing, yang diiringi oleh talempong dan saluang.

3. Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku Minangkabau yang sudah berkembang sejak lama.

4. Tari Payung merupakan tari tradisi Minangkabau yang saat ini sudah banyak perubahan dan dikembangkan oleh seniman-seniman tari di Sumatera Barat. Awalnya tari ini memiliki makna tentang kegembiraan muda-mudi (penciptaan) yang memperlihatkan bagaimana perhatian seorang laki-laki terhadap kekasihnya. Payung menjadi ciri khas bahwa keduanya mempunyai satu tujuan, yaitu membina rumah tangga yang baik. Keberagaman tari paying tidak membunuh tari paying yang ada sebagai alat ungkap budaya Minangkabau.

(29)

2.6 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan Minangkabau adalah matrineal, yaitu suatu sistem yang mengikuti dari garis keturunan ibu. Suatu sistem yang langka di dunia ini, sehingga menarik perhatian untuk para peneliti untuk diteliti.

Sistem matrineal menurut ahli antropologi merupakan suatu sistem sosial masyarakat tertua yang telah lahir sebelum lahirnya sistem patrineal yang berkembang sekarang. Sistem ini akan tetap kuat dan berlaku dalam masyarakat Minangkabau sampai sekarang, sistem ini tidak akan mengalami evolusi sehingga menjadi sistem patrineal. Sistem ini menjadi langgeng dan mapan karena sistem ini memang sejiwa dengan adat Minangkabau yang universal, yang meliputi seluruh kegiatan manusia, baik kehidupan secara individu, maupun secara kehidupan bermasyarakat

Masyarakat Minangkabau memiliki kelompok kekerabatan, dimana ikatan kekerabatan tersebut terbentuk berdasarkan paruik, kampuing, dan suku. Paruik adalah kelompok kerabat seketurunan menurut garis keturunan ibu yang merupakan kelompok keluarga terkecil yang terdiri dari ibu, anak laki-laki dan perempuan, saudara laki-laki ibu, saudara perempuan ibu, serta anak-anaknya dan cucu-cucu dari anak perempuannya. Dimana dulunya mereka tinggal dirumah yang disebut dengan rumah gadang (rumah besar). Kumpulan dari paruik membentukklan besar, yaitu kampueng yang dipimpin oleh seorang penghulu andiko atau datuek kampueng. Kemudian gabungan kampueng membentuk suku yang merupakan satu kesatuan yang sama berdasarkan prinsip matrineal dan dipimpin oleh seorang penghulu suku.

Dalam masyarakat Minangkabau, di beberapa daerah terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Panggilan itu juga berlaku pada sebahagian besar masyarakat Minangkabau dikota Medan, seperti seorang adik memanggil saudara perempuannya (kakak) dengan panggilan uni, dan panggilan uda untuk saudara laki-laki (abang). Sedangkan panggilan untuk ibu, mereka menyebutnya mande, panggilan untuk

(30)

paman adalah mamak, dan buyuang untuk anak laki-laki. Kemudian untuk anak yang memanggil kepada saudara perempuan ibu yang lebih tua dengan sebutan mak adang, dan etek untuk saudara ibu permpuan ibu yang lebih muda.Semua laki-laki dalam pesukuan dan dalam suku yang serumpun, yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita disebut dengan mamak, jadi mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tetapi kepada semua laki-laki yang segenerasi dengan ibu dalam suku yang serumpun.

Dalam setiap kelompok orang saparuik (seperut) yang disebut satu suku dalam sistem kekerabatan Minangkabau mempunyai gelar pusaka kaum sendiri yang diturunkan dari ninik kepada mamak, dan dari mamak kepada keponakan laki-lakinya. Gelar ini yang nantinya diberikan turun-temurun kepada para laki-laki yang akan berumah tangga. Mereka akan lebih dihormati dan dihargai dengan pemberian gelar tersebut.

Perkawinan yang dilakukan menimbulkan tali kekerabatan yang baru, yaitu kerabat perempuan dari pihak laki-laki disebut pasumandan. Saudara perempuan dari ayah bagi anak- anaknya disebut bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki bagi saudara perempuannya disebut anak pisang.

Di kota Medan sistem kekerabatan ini masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang merantau ke kota Medan ini, akan tetapi peranan penghulu dan datuek kampueng tidak lagi ditemukan di kota Medan.

2.6.1 Suku-Suku Minangkabau

Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan, yang orang Minangkabau sendiri menyebutnya dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah: Suku Piliang, Bodi Chaniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Melayu, Jambak. Selain itu terdapat pula suku pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang sama tinggal dalam satu rumah besar, yang disebut Rumah Gadang.

(31)

Dimasa awal terbentuknya budaya Minangkabau, hanya ada empat suku induk besar dari dua lareh (laras) kelarasan, suku-suku tersebut adalah:

1. Suku Koto, 2. Suku Piliang, 3. Suku Bodi, dan 4. Suku Chaniago.

Dan dua kelarasan itu adalah:

1. Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan.

2. Lareh Bodi Chaniago yang digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang

Sekarang suku-suku di Minangkabau berkembang terus, dan sudah mempunyai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Diantara suku-suku tersebut adalah:

 Suku Tanjung,

 Suku Sikumbang,

 Suku Sipisang,

 Suku Bendang,

 Suku Melayu (Minangkabau),

 Suku Guci,

 Suku Panai,

 Suku Jambak.

 Suku Kutianyie atau Suku Koto Anyie.

 Suku Kampai.

 Suku Payobada.

 Suku Pitopang atau Suku Patopang.

 Suku Mandailiang.

(32)

 Suku Mandaliko.

 Suku Sumagek.

 Suku Dalimo.

 Suku Simabua.

 Suku Salo.

 Suku Singkuang atau suku Singkawang.

2.7 Biografi Bapak Zul Alinur

Dalam Bab ini, penulis akan menjelaskan tentang biografi Bapak Zul Alinur, yang mencakup aspek-aspek latar belakang berkesenian di kota Medan yang dilatarbelakangi oleh faktor bakat, lingkungan, pengalaman hidup, religi, dan pendidikan sebagai pemusik Minangkabau di kota Medan.

Zul Alinur lahir di kota Medan pada tanggal 31 Juli 1965. Beliau lebih akrab dipanggil dengan sebutan ‘Bang Koboy atau Mak Boy’, sebutan itu berasal dari ejek an teman-teman sebaya Zul Alinur terhadap ayahnya yang dulunya setiap hari sering memakai topi seperti ‘Koboy’, dan sampai sekarang sebutan itu menurun kepada Zul Alinur.

(Wawancara dengan Zul Alinur, 2 Februari 2016)

Zul Alinur adalah anak dari pasangan Bahari Ali (Almarhum) yang bersuku Melayu Batubara dan Rosmiar (Almarhumah) yang bersuku Minangkabau. Ayah nya berasal dari Tanjung Tiram yang merantau ke Medan untuk berjualan kain di pajak sentral pada sekitar tahun 1940-an. Sedangkan ibunya perantau dari Bukit Tinggi yang merantau ke Kota Medan, ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga. Dari garis keturunan tersebut, dapat dilihat bahwa Zul Alinur adalah keturunan Melayu dan Minangkabau.

Kedua orang tua Zul Alinur menikah sekitar tahun 1944, dan dikaruniahi tujuh orang anak, antara lain:

(33)

1. Rasidin Bahari (Laki-laki lahir di medan tahun 1953) 2. Wiratih Bahari (Perempuan lahir di medan tahun 1955) 3. Yuswaris Bahari (Perempuan lahir di medan tahun 1957) 4. Darwin Bahari (Laki-laki lahir di medan tahun 1959) 5. Zul Alinur (Laki-laki lahir di medan 31 Juli 1965) 6. Yusri Bahari (Laki-laki lahir di medan tahun 1967) 7. Yanizar Bahari (Perempuan lahir di medan tahun 1970)

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa hanya nama Zul Alinur lah yang tidak memakai tambahan nama Bahari yang diambil dari nama ayahnya, beliau tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi, ketika hal itu ingin ditanyakan kepada Ibunya, tetapi ibunya belum sempat menjawab Zul Alinur, dikarenakan sang ibu telah wafat. Dari ke enam saudara Zul Alinur yang masih hidup, hanya beliau lah yang berbakat seni, yang diwariskan oleh ayahnya yang dulunya seorang penari.

Zul Alinur menikah pada usia 39 tahun,tepatnya pada tanggal 12 Desember 2004, beliau menikah dengan Nur Ainur yang bersuku Jawa, yang pada saat itu Nur Ainur menikah di usia 25 tahun. Pada saat Zul Alinur masih lajang, beliau suka menggoda perempuan lewat telepon genggam yang sekarang ini lebih dikenal dengan handphone, dari situ lah beliau mengenal Nur Ainur.

2.7.1 Latar Belakang Pendidikan

Zul Alinur mulai masuk pendidikan dasar di SD Joshua 1973, dan pada tahun 1978 beliau menamatkan sekolah dasarnya dari SD Joshua. Kemudian beliau menyambung Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan menyelesaikan dengan tepat waktu 3 tahun, yaitu sekitar tahun 1981. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama nya, beliau kemudian

(34)

melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 8 di Medan, dan menamatkannya pada tahun 1984.

Kemudian setelah tamat dari SMA, beliau masih rajin membantu orang tuanya berjualan kain di pajak sentral, beliau tidak dapat menyambung pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (Perguruan Tinggi) yang dikarenakan oleh keterbatasan dana orang tua nya.

Disamping membantu orang tua nya berjualan kain, Zul Alinur mengisi hari-harinya dengan belajar bermain musik Minangkabau di Sanggar Tigo Sapilin, dari hasil berkesenian tersebut Zul Alinur membantu keuangan orang tuanya yang berjualan kain di pajak sentral.

2.7.2 Pengalaman Waktu Kecil

Zul Alinur mulai mengawali bermusiknya ketika mulai duduk dibangku SMP, beliau mengawali bermusiknya dengan belajar gitar dikursus musik di Medan Musik, beliau juga mengikuti vokal grup untuk mengisi acara Maulid Nabi pada masa itu, dari sinilah Zul Alinur mulai belajar menciptakan lagu-lagu yang bernuansa Islam yang berjudul “12 Rabiul Awal”.

Di samping itu juga beliau berpartisipasi dalam penggarapan musiknya dengan memainkan alat gitar, disamping alat musik rebana dan suling.

Setelah tamat dari SMA, beliau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi dikarenakan keterbatasan biaya orang tuanya, meskipun demikian semangat berkesenian Zul Alinur tidak kandas ditengah jalan, Zul Alinur pun bergabung ke Sanggar Tigo Sapilin yang berlokasi di Jln. Gurila, Gang Toke Umar Nomor 18, Serdang.

2.7.3 Proses Belajar Bermain Alat Musik Bansi

Awal mula Zul Alinur masuk kedalam Sanggar Tigo Sapilin karena jarak dari rumah Zul Alinur berdekatan dengan rumah Bapak Abu Bakar Sidik SH, dimana yang menjadi rumah Bapak Abu Bakar Sidik dijadikan sebagai tempat grup atau Sanggar Tigo Sapilin

(35)

untuk latihan bermusik atau pun hal dalam kesenian lainnya, khususnya kesenian Minangkabau. Tigo Sapilin didirikan sekitar tahun 1988.

Abu Bakar Sidik merupakan pendiri Sanggar Tigo Sapilin dan juga sebagai tokoh budayawan Minangkabau, yang pada saat itu ramai dikunjungi orang untuk melihat pertunjukan musik Minangkabau di rumahnya.

Zul Alinur pun diajak bergabung ke Sanggar Tigo Sapilin, dan dari sinilah Zul Alinur mulai belajar dan memainkan alat musik tradisi Minangkabau, khususnya adalah alat musik bansi.

Orang yang pertama kali mengajari Zul Alinur memainkan alat musik bansi adalah orang yang berasal dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang, yang sekarang berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) yang bernama Hajizar, yang kebetulan juga tinggal di rumah Bapak Abu Bakar Sidik dan sedang melanjutkan studi Strata Satu (S1) di Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.

Awal mula alat musik yang dipelajari Zul Alinur adalah alat musik talempong, tetapi semangat bermusik Zul Alinur untuk mengetahui alat musik Minangkabau lainnya sangat kuat, sehingga beliau pun mempelajari alat musik bansi.

2.7.4 Pengalaman Saat Dewasa dan Pemain Musik Profesional

Setelah vakum di Sanggar Tigo Sapilin yang dikarenakan oleh pengajar yang tinggal di rumah Bapak Abu Bakar Sidik telah menyelesaikan studi S1nya di Etnomusikologi, kemudian mereka kembali ke Padang, tetapi semangat berkesenian Zul Alinur tidak patah, beliau juga mengembangkan bakatnya dalam menciptakan lagu-lagu pop.

Setelah itu Zul Alinur pun mulai masuk ke Taman Budaya Sumatera Utara dan bergabung dengan rekannya yang bernama Haspan, kemudian mereka membentuk seni orchestra yang bernama Kressendo String Ensambe, dalam grup ini Zul Alinur berperan

(36)

sebagai pemusik, khususnya bansi dan juga pengaransemen musik yang sering dibawakan untuk mengisi acara-acara hiburan di kota Medan.

Salah satu acara yang pernah diisi oleh grup tersebut pada saat itu adalah acara Ulang Tahun Kemerdekaan Negara Perancis yang bertempat di Novotel Medan. Dari Taman Budaya ini lah Zul Alinur mulai mengenal kesenian dari berbagai etnis di Sumatera Utara, baik dari segi musik, tari, dan lagunya.

Setelah lama berkarir didunia kesenian, banyak orang yang telah mengenal Zul Alinur, beliau kerap bergabung dengan grup-grup kesenian lainnya, itu dikarenakan Zul Alinur tidak mempunyai grup yang tetap (tidak terikat kepada satu grup kesenian saja), dari berbagai kelompok kesenian tersebut diantaranya adalah:

1.Tigo Sapilin (Medan),

2. Kressendo String Ensambel (Medan), 3. Ria Agung Nusantara (Medan ), 4. Patria (Medan),

5. Cempaka Deli (Medan),

6. Sanggar Teater D’Lick (Medan), 7. Lelawangsa (Medan),

8. Safira (Serdang Bedagai).

Selain sebagai pemusik Minangkabau, bapak Zul Alinur juga sebagai pemusik dan pencipta lagu-lagu Melayu. Banyak lagu-lagu ciptaan Zul Alinur sering di bawakannya pada acara-acara Melayu maupun Minangkabau. Selain itu juga, bapak Zul Alinur sering mengikuti berbagai acara-acara nasional maupun internasional. Diantaranya adalah: Festival Seni Nusantara (Palembang), Temu Zapin Indonesia ( Juli 2010, PekanBaru), Semarak Zapin Serantau (Bengkalis), selain acara-acara nasional yang pernah Zul Alinur ikuti, beliau juga pernah mengikuti acara internasional, yaitu sebagai perwakilan dari Indonesia khususnya

(37)

Provinsi Sumatera Utara dalam misi kebudayaan ke beberapa Negara yaitu Jerman, Belgia, Belanda, Luxemburg, disini mereka membawakan musik dan berbagai tari etnis yang ada di Sumatera Utara

Honor atau upah pertama sekali yang diterima oleh Bapak Zul Alinur sebagai pemain musik sebesar Rp 50.000, itu diterimanya sekitar tahun 1988 setelah bergabung di Sanggar Tigo Sapilin. Beliau mengatakan bahwa awalnya dia tidak mempermasalahkan honor nya berapa pun diterimanya, melainkan saya sudah senang kalau saya bisa bermain alat musik tradisi Minangkabau dan melestarikan kebudayaan Minangkabau (wawancara dengan Bapak Zul Alinur,4 April 2016).

(38)

BAB III

BANSI DALAM KEBUDAYAAN MINANGKABAU DAN DI SUMATERA UTARA

3.1 Cerita Rakyat Tentang Bansi

Awal perkembangan instrument musik Bansi adalah di daerah Pesisir Selatan (Painan), Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Dalam perkembangannya sekarang, alat musik bansi sudah menyebar ke berbagai daerah lain di luar Minangkabau. Alat musik bansi lebih banyak dimainkan secara tunggal sebagai alat untuk menghibur dirinya, sebagai pelipur lara, dan juga sering dimainkan di sawah dan pondok-pondok oleh anak gembala (Efrizal, 1990:62). Dahulunya bansi sangat erat kaitannya dengan kepercayaan gaib. Biasanya bansi dimainkan untuk memikat hati para gadis oleh pemuda yang tertarik dengan anak gadis tersebut. Seorang gadis yang tidak suka kepada seorang pemuda, maka si pemuda tersebut memainkan bansi tersebut yang ditujukan kepada si gadis itu, maka gadis itu pun akan berubah pikirannya menjadi menyukai pemuda tadi karena pengaruh kekuatan magic bansi (Efrizal, 1990:55).

Sejarah Minangkabau pernah mencatat, bahwa dimasa pergerakan Paderi salah satu yang dipertentangkan adalah penggunaan alat musik yang didengar orang lain membawa akibat buruk. Kebanyakan yang tergoda mendengar bunyi bansi, saluang, dan talempong.

Pendengarnya pun lebih dominan kepada perempuan, sehingga muncullah dugaan bahwa alat musik tersebut bagus bunyinya karena diberi pitunang. Pitunang adalah penghubung, pengikat jiwa seseorang yang menggunakan mantera-mantera atau doa-doa kedalam alat musik tersebut. Padahal jika dipikirkan secara mendalam, bahwa bunyi yang harmonis dari alat-alat musik bagi setiap orang yang tinggi nilai apresiasi seninya sepantasnya mengakui keindahan yang dilahirkan alat musik tersebut (Efrizal, 1990:22-23).

(39)

3.2 Penggunaan Bansi

Penggunaan alat musik bansi dalam kebudayaan Minangkabau sangatlah beragam, alat musik tersebut bisa digabungkan dengan ensambel musik Minangkabau lainnya, seperti ensambel talempong set dan ensambel musik pop Minangkabau. Alat musik ini juga bisa sebagai alat musik tunggal didalam instrument Minangkabau. Dalam bab ini penulis akan menjelaskan penggunaan bansi dalam kebudayaan Minangkabau.

3.2.1 Alat Musik Tunggal

Penggunaan bansi dalam alat musik tunggal adalah hanya sebagai pembawa melodi, alat musik ini dimainkan tanpa ada alat musik lain yang mengiringinya. Biasanya bansi dimainkan sebagai alat musik tunggal ketika acara malam berinai. Pengertian dari malam berinai adalah malam sebelum hari pernikahan dilaksanakan, acara ini berupa pembuatan daun inai ke kuku si pengantin perempuan yang menandakan bahwa si perempuan sudah mempunyai pasangan dan akan melaksanakan pernikahan di esok harinya.

Dalam hal ini bansi dimainkan sebelum acara malam berinai dimulai, tepatnya setelah selesai adzan sholat Maghrib, yaitu sekitar pukul 20:00 malam. Tujuan dimainkannya bansi tersebut adalah untuk membawa mengingatkan kampung halaman atau yang akrab dikenal dengan sebutan Ranah Minang.

Contoh lagu atau instrumen yang dimainkan sewaktu malam berinai adalah seperti:

Mudi Arau, Andam Oi, Malereng Tabiang, Risaulah dan lain-lain.

Selain sebagai pengisi acara di malam berinai, alat musik ini juga digunakan untuk hiburan pribadi.

(40)

3.2.2 Bansi Dalam Ensambel

Penggunaan bansi dalam ensambel musik Minangkabau pada umumnya berperan sebagai pembawa melodi, intro, interlude dan coda pada sebuah lagu. Dalam hal ini penulis akan menjelaskan penggunaan alat musik bansi dalam ensambel musik Minagkabau.

3.2.2.1 Ensambel Talempong Set

Ensambel talempong set terdiri dari:

1. Talempong Melodi: Talempong melodi mempunyai nada sampai 2 oktaf, ketika bansi dimainkan didalam sebuah lagu atau instrumen, maka talempong set berperan sebagai pengiring akord, dan ketika bansi tidak dimainkan didalam ensambel talempong set, maka talempong melodi lah yang menjadi pembawa melodi dalam lagu atau instrumen tersebut.

2. Talempong dasar: Alat musik ini mempunyai nada yang terdiri dari do-re-mi-fa- sol, talempong dasar dimainkan dengan mengikuti tempo lagu atau sebagai pembawa tempo pada sebuah lagu atau instrumen.

3. Talempong tinggi: Alat musik ini mempunyai nada yang terdiri dari sol-la-le-si-do, talempong tinggi dimainkan berlawanan dari tempo talempong dasar.

4. Canang dasar: Alat musik ini memiliki nada yang terdiri dari do-re-mi-fa-sol, canang dimainkan sebagai nada bass pada ritem talempong melodi.

5. Canang tinggi: Alat musik ini memiliki nada mulai dari sol-la-le-si-do, canang tinggi dimainkan sebagai nada bass pada talempong melodi

6. Gendang sebagai pembawa tempo.

7. Bansi: Alat musik ini memiliki nada mulai dari do-re-mi-fa-sol-la-si-do, dan bisa mencapai 2 oktaf, bansi dimainkan sebagai pembawa melodi dalam sebuah lagu atau instrumen.

(41)

3.2.2.2 Ensambel Musik Pop Minangkabau

Penggunaan bansi dalam ensambel musik pop Minangkabau juga tidak jauh berbeda fungsinya dengan penggunaan didalam ensambel talempong set yaitu sebagai pembawa melodi. Dalam ensambel musik pop Minangkabau alat musik yang di gunakan antara lain adalah talempong melodi, talempong dasar, talempong tinggi, bansi, dan alat musik Minagkabau lainnya yang di kolaborasikan dengan keyboard.

Contoh lagu pop Minangkabau antara lain adalah: Pulanglah Uda, Hujan, Malereng Tabiang, Bungo Parawitan, dan lain-lain.

3.3 Fungsi Bansi dalam Kebudayaan Minangkabau

Fungsi bansi dalam kebudayaan Minangkabau ada beberapa fungsi, yang dilihat dari aspek kegunaannya, diantaranya adalah:

1. Fungsi Estetis 2. Fungsi Komunikasi 3. Fungsi Perlambangan 4. Fungsi Hiburan

3.3.1 Fungsi Estetis

Estetis mengacu kepada nilai-nilai keindahan yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati melalui mata dan telinga. Musik merupakan suatu karya seni yang menjadi media pengungkapan perasaan seseorang yang diungkapkan melalui alunan nada atau melodi, baik dalam vokal maupun instrumental.

Melalui musik dapat terlaksana dengan baik, ketika seseorang ingin menyampaikan gagasan atau ide tanpa mengharapkan respon secara langsung. Pesan-pesan yang ingin

(42)

disampaikan dituangkan ke dalam sebuah lagu ataupun ke dalam sebuah alunan musik yang kemudian dapat dinikmati diri sendiri maupu orang lain.

Berdasarkan hal tersebut, maka alat musik bansi termasuk kedalam penggunaan estetis dikarenakan bansi sebagai penyalur perasaan gembira si pemain.

3.3.2 Fungsi Komunikasi

Musik mampu menyampaikan suatu pesan kepada siapa yang akan dituju yang di latarbelakangi oleh kebudayaan yang membentuk musik tersebut (Merriam 1964:24).

Merriam berpendapat bahwa kemungkinan yang paling jelas adalah komunikasi dihadirkan dengan cara menanamkan makna-makna simbolis kedalam musik secara tidak disadari diakui oleh para warga komunitas tersebut. Penamaan makna-makna simbolis dapat terjadi dalam salah satu dari kedua macam cara berikut: secara sadar atau secara tidak sadar.

3.3.3 Fungsi Perlambangan

Dalam hal ini, fungsi perlambangan dalam masyarakat Minangkabau, bansi digunakan sebagai tanda sedang berlangsungnya proses pemasangan inai. Kegiatan ini biasanya dilangsungkan pada malam hari setelah selesai sholat maghrib. Ada beberapa lagu yang biasanya dimainkan pada saat prosesi malam berinai. Masyarakat Minangkabau biasanya langsung paham bahwa sedang berlangsung proses pemasangan inai apabila mendengar beberapa lagu seperti: Mudiak Arau, Malereng Tabiang, Palayaran, Andam Oi.

(43)

3.3.4 Fungsi Hiburan

Pada setiap masyarakat didunia, musik berfungsi sebagai alat hiburan,karena musik dapat memberikan ketenangan, kebahagiaan, dan kepuasan tertentu kepada orang yang mendengarkan (Merriam 1964:224).

Hiburan adalah suatu kegiatan yang menyenangkan bagi seseorang. Musik merupakan media yang memiliki fungsi menyenangkan hati, membuat rasa puas akan irama, bahasa melodi, atau keteraturan harmoni nya. Seseorang bisa saja tidak memahami teks musik, tetapi ia cukup terpuaskan dan terhibur hatinya dengan pola-pola melodi, atau pola-pola ritme dalam musik tersebut.

Pada awalnya, alat musik Minangkabau dibuat dan dimainkan untuk menghibur diri sendiri dan orang lain disaat rasa sedih, bosan, mengantuk, lelah, sepi datang menghampiri.

Dalam hal ini kita berbicara tentang alat musik bansi, dulunya bansi sering dimainkan di sawah, dikala waktu beristirahat, maka bansi dimainkan untuk menghilangkan rasa sepi, lelah dan sebagainya.

3.4 Bansi dalam Kebudayaan Minangkabau di Medan

Masuknya suku Minangkabau ke kota Medan, tidak serta-merta membawa seluruh kebudayaannya. Dalam hal ini, masuknya bansi ke kota Medan memiliki proses waktu dengan cara diperkenalkan oleh seniman yang berasal dari Minangkabau.

3.4.1 Sejarah Masuknya Bansi di Kota Medan

Menurut bapak Zul Alinur, pertama kali bansi diperkenalkan oleh bapak Hajizar sekitar tahun 1986, beliau merupakan seorang alumni ASKI Padang Panjang dalam rangka melanjutkan studi Strata Satu (S1) di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera

(44)

Utara. Dia juga sebagai tenaga pengajar musik tradisi Minangkabau di Departemen Etnomusikologi

Pada masa itu, penggunaan bansi masih hanya sebatas pertunjukan musik. Di luar Departemen Etnomusikologi, bansi diperkenalkan ketika acara halal bihalal di BM3 (Badan Musyawarah Masyarakat Minangkabau). Dalam berbagai pertunjukan musik Minagkabau di kota Medan, pak Hajizar selalu memainkan bansi tersebut, sebagai cara untuk memperkenalkan bansi kepada masyarakat Minangkabau di kota Medan.

Sekitar tahun 1987, masyarakat mulai menyertakan pertunjukan bansi pada saat kegiatan memasangkan inai di malam hari bagi pengantin wanita sebelum esoknya dilakukan acara pernikahan.

3.4.2 Perkembangan Bansi di Kota Medan

Penggunaan bansi pada saat pemasangan inai masih terus dipakai sampai saat ini, bansi tersebut dimainkan oleh pemusik yang sudah propesional. Dalam perkembangannya di kota Medan, bansi sering di pertunjukkaan pada acara-acara kegiatan tahunan suku Minangkabau, yaitu seperti acara halal bihalal yang dilakukan setelah selesai Hari Raya Idul Fitri.

(45)

BAB IV

TEKNIK PERMAINAN BANSI

4.1 Proses Belajar Bansi di Medan

Secara teknis membunyikan bansi dengan nada yang jelas dan konstan menjadi proses paling awal bagi seorang yang sedang belajar memainkan bansi. Meniup dengan tekanan yang kuat akan menghasilkan nada di oktaf yang lebih tinggi, apabila tiupan dengan tekanan yang lemah akan menghasilkan nada di oktaf yang rendah. Disinilah dibutuhkan peran dari seorang pengajar atau guru memandu seorang murid dalam proses membunyikan bansi, sehingga seorang pemain bansi dapat mengendalikan tekanan udara untuk menghasilkan nada yang dibutuhkan.

4.2 Teknik Pernapasan

Selanjutnya, apabila sudah mampu mengendalikan tiupan, maka tahap berikutnya untuk seorang yang belajar memainkan bansi adalah menguasai teknik meniup sambil bernapas (circular breathing). Proses belajar menguasai teknik circular breathing dilakukan dengan menggunakan sedotan. Pada tahap ini biasanya digunakan sebuah wadah yang diisi dengan air (botol / gelas). Disini udara dihembus dengan menggunakan sedotan, dimana salah satu ujung sedotan tersebut dimasukkan kedalam wadah yang telah diisi air, sehingga tekanan udara yang dihembuskan dapat dilihat dari gelembung yang ada didalam air tersebut. Untuk menguasai teknik ini biasanya memakan waktu yang lumayan lama, karena dibutuhkan kemampuan untuk mengatur tiupan agar banyaknya udara yang harus dihirup sebanding dengan udara yang dikeluarkan pada saat meniup sedotan tersebut.

(46)

4.3 Teknik Penjarian

Dalam teknik penjarian untuk memainkan bansi, ada delapan buah lubang yang harus ditutup dengan jari. Tujuh buah lubang nada dan satu lubang yang berfungsi mengatur oktaf nada dari bansi tersebut. Ada empat buah lubang yang ditutup dengan menggunakan jari tangan kanan. Lubang pertama ditutup dengan menggunakan jari kelingking, lubang kedua ditutup dengan menggunakan jari manis, lubang ketiga ditutup dengan menggunakan jari bagian tengah, lubang ke empat ditutup dengan menggunakan jari telunjuk. Untuk lubang selanjutnya ditutup dengan menggunakan jari tangan kiri. Lubang ke lima ditutup dengan menggunakan jari manis, untuk lubang ke enam ditutup dengan menggunakan jari bagian tengah, lubang ke tujuh ditutup dengan menggunakan jari telunjuk. Lubang ke delapan yang posisinya berada di sisi bagian bawah bansi ditutup dengan menggunakan ibu jari tangan bagian kiri. Selain jari-jari yang sudah disebutkan tadi, ibu jari tangan bagian kanan berfungsi untuk menahan posisi bansi tersebut.

Gambar 1: Posisi Jari Memainkan Bansi (Dokumentasi Penulis)

4.4 Teknik Penghasilan Bunyi

Dalam permainan alat musik bansi, ada 5 teknik yang harus dikuasai, yaitu :

Gambar

Gambar 1: Posisi Jari Memainkan Bansi  (Dokumentasi Penulis)
Gambar 2 : Posisi jari untuk menghasilkan nada Si  (Dokumentasi Penulis)
Gambar 3: Posisi jari untuk menghasilkan nada Do  (Dokumentasi Penulis)
Gambar 5: Posisi jari untuk menghasilkan nada Mi  (Dokumentasi Penulis)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Satya menambahkan, dalam rangka peningkatan pelayanan kepada konsumen dan meningkatkan kemudahan mendapatkan listrik, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2016 mulai

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Panjura Malang kelas X IPA 1 dan X IPA 2 semester ganjil tahun ajaran 2014/2015 yang beralamat di Jl. Subyek dalam penelitian

Dalam kategori ini faktor yang berpengaruh terhadap ketebalan hasil pengecoran adalah kecepatan penuangan logam cair, waktu.. tunggu pembekuan material ( holding

Antropolingistik ini lebih menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan kebudayaan didalam suatu masyarakat seperti peranan bahasa didalam mempelajari bagaimana

Metode Penelitian Sosial, Pedoman Praktis Penelitian Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Kesehatan.. Medan: PT Grasindo

Peradangan sebagai akibat adanya getah empedu dan pankreas dalam lambung sekunder sebagai akibat tidak ada pilorus atau pilorus yang nonfungsional (misalnya setelah..

Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian dari Gerontologi,

Output device, adalah suatu alat yang diperlukan untuk. menyimpan dan mencetak hasil pengolahan yang