ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar sarjana hukum
Oleh
J E Gunarso Pasaribu
Nim: 040200067
Departemen Hukum Internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar sarjana hukum
Oleh
J E Gunarso Pasaribu
Nim: 040200067
Departemen Hukum Internasional
Ketua departemen Hukum Internasional
( Arif, SH, MH )
NIP: 196403301993031002
Pembimbing I Pembimbing II
( Arif, SH, MH ) (Chairul Bariah, SH, M.Hum)
NIP: 196403301993031002 NIP: 195612101986012001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
i
ABSTRAK
Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi. Namun demikian kita sadari bahwa kondisi anak masih banyak yang memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta kelahiran; belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga maupun orang tua asuh atau wali dengan baik; masih belum semua anak mendapatkan pendidikan yang memadai; masih belum semua anak mempunyai kesehatan optimal; masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik, korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan perlindungan khusus. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai krisis ekonomi dan juga terjadinya berbagai bencana alam termasuk gempa bumi di hampir semua belahan dunia, yang mengakibatkan banyaknya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kependudukan termasuk permasalahan-permasalahan di dalam perlindungan hak-hak anak.
Bertolak dari latar belakang tersebut, permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan hukum perlindungan hak-hak anak baik secara internasional maupun nasional di Indonesia; apa sajakah yang merupakan hak-hak anak; siapa sajakah pihak-pihak yang pantas dimintai pertanggungjawaban atas perlindungan hak-hak anak; serta apa sajakah tanggung jawab mereka.
Penelitian ini melakukan pendekatan secara Yuridis Normarif dengan mengumpulkan darta-data sekunder atau library research (studi dokumen). Hasil penelitian ini bersifat kualitatif, yang berupaya mennggambarkan dan memberikan pemahaman tentang perlindungan hak-hak anak dan tindakan yang seharusnya dilakukan dalam rangka perlindungan hak-hak anak tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap anak di belahan dunia manapun mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan telah ada pengaturannya secara jelas dalam Konvensi Hak Anak, yang mana dalam Konvensi tersebut ditekankan bahwa perlindungan hak anak diserahkan kepada Negara-Negara Pihak yang telah menyetujui dan menandatangani KHA. Perlindungan hak-hak anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dimana disebutkan bahwa perlindungan hak anak merupakan tugas bersama Negara, Masyarakat, terutama orang tua, dan keluarga sebagai pemegang tanggung jawab, serta anak sebagai pemangku hak. Kita semua harus menyadari arti penting hak-hak anak tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,
sebab atas berkat dan rahmat-Nya semata sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini yang berjudul: “ASPEK HUKUM INTERNASIONAL
DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK”, sebagai salah satu
persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Departemen Hukum
Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis mengharapkan masukan dan kritik membangun dari berbagai
pihak demi perlindungan anak yang membahagiakan semua orang.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi
ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas
iii
5. Bapak Arif, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Internasional dan
selaku Dosen Pembimbing I dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan
skripsi ini.
7. Ibu Yefrizawati, SH, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik.
8. Seluruh Dosen/Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah mengarahkan dan membimbing serta membagikan ilmu
pengetahuannya kepada Penulis selama menjalani perkuliahan.
9. Seluruh tenaga administrasi dan pegawai yang ada di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
10. Buat kedua orangtua saya, B. Pasaribu dan R. Pangaribuan , yang telah banyak
memberi dorongan dan bimbingan yang sangat berarti buat saya – “ ... takut
akan TUHAN ...”
11. Untuk semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih
atas bantuannya (especially for Agnesthasia).
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D. Kaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 7
F. Metode Pengumpulan Data ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II HAK ANAK DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak ... 15
B. Instrumen Penting Hukum Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak ... 17
C. Convention on The Rights of Child Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak ... 24
BAB III HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak di Indonesia 34 B. Situasi dan Kondisi Anak Indonesia... 36
D. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Sebagai Acuan
Perlindungan Hak Anak di Indonesia ... 46
BAB IV PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK
A. Subjek Hukum Internasional Bertanggung Jawab Dalam
Usaha Perlindungan Hak Anak ... 52
B. Perlindungan Hak Anak Oleh Subjek Hukum Nasional
Indonesia... 56
C. Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggung Jawab
Negara ... 58
D. Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggung Jawab
Orang Tua ... 60
E. Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggung Jawab
Bersama ... 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 69
ABSTRAK
Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi. Namun demikian kita sadari bahwa kondisi anak masih banyak yang memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta kelahiran; belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga maupun orang tua asuh atau wali dengan baik; masih belum semua anak mendapatkan pendidikan yang memadai; masih belum semua anak mempunyai kesehatan optimal; masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik, korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan perlindungan khusus. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai krisis ekonomi dan juga terjadinya berbagai bencana alam termasuk gempa bumi di hampir semua belahan dunia, yang mengakibatkan banyaknya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kependudukan termasuk permasalahan-permasalahan di dalam perlindungan hak-hak anak.
Bertolak dari latar belakang tersebut, permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan hukum perlindungan hak-hak anak baik secara internasional maupun nasional di Indonesia; apa sajakah yang merupakan hak-hak anak; siapa sajakah pihak-pihak yang pantas dimintai pertanggungjawaban atas perlindungan hak-hak anak; serta apa sajakah tanggung jawab mereka.
Penelitian ini melakukan pendekatan secara Yuridis Normarif dengan mengumpulkan darta-data sekunder atau library research (studi dokumen). Hasil penelitian ini bersifat kualitatif, yang berupaya mennggambarkan dan memberikan pemahaman tentang perlindungan hak-hak anak dan tindakan yang seharusnya dilakukan dalam rangka perlindungan hak-hak anak tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap anak di belahan dunia manapun mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan telah ada pengaturannya secara jelas dalam Konvensi Hak Anak, yang mana dalam Konvensi tersebut ditekankan bahwa perlindungan hak anak diserahkan kepada Negara-Negara Pihak yang telah menyetujui dan menandatangani KHA. Perlindungan hak-hak anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dimana disebutkan bahwa perlindungan hak anak merupakan tugas bersama Negara, Masyarakat, terutama orang tua, dan keluarga sebagai pemegang tanggung jawab, serta anak sebagai pemangku hak. Kita semua harus menyadari arti penting hak-hak anak tersebut.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
United Nations Internasional Children's Fund (UNICEF) mengungkap
perlindungan terhadap anak di Indonesia masih terbilang lemah. Hal itu terlihat
dalam kebijakan Pemerintah soal anak, yang lebih bersifat kuratif. "Dana yang
ada lebih kuratif untuk preventif seperti penguatan keluarga, tidak dibangun," kata
Ali Aulia Ramly, Child Protection Coordinator UNICEF dalam pemaparan di
seminar bertema "Penelitian dan Praktek Inovatif di Bidang Kesejahteraan dan
Perlindungan Anak di Indonesia", Rabu 15 Desember 2010.1
Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan
kehidupan suatu bangsa. Di dalam implementasinya, anak merupakan sumber
daya manusia bagi pembangunan suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus
generasi. Namun demikian kita sadari bahwa kondisi anak masih banyak yang
memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta
kelahiran; belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga
maupun orang tua asuh atau wali dengan baik; masih belum semua anak
mendapatkan pendidikan yang memadai; masih belum semua anak mempunyai
kesehatan optimal; masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik,
korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan
1
anak-anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan
perlindungan khusus. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai
krisis ekonomi di Indonesia dan juga terjadinya berbagai bencana alam termasuk
gempa bumi di Indonesia, yang mengakibatkan banyaknya
permasalahan yang terkait dengan kependudukan termasuk
permasalahan-permasalahan di dalam perlindungan hak-hak anak.
Sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum dan
demokrasi, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk di dalamnya
perlindungan terhadap hak-hak anak yang kita harapkan sebagai penentu masa
depan bangsa Indonesia dan sebagai generasi penerus harus mendapatkan
pengaturan yang jelas. Hal ini perlu dilakukan, mengingat manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya sehingga HAM merupakan hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan
langgeng. Oleh karena itu HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan
tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Ada beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60
persen anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak
terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga pekerja seks
komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya
telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita
dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang
3
dewasa.2 Kondisi ini sangatlah perlu mendapatkan perhatian dari kita semua tanpa
kecuali. Hal semacam inilah yang melatar belakangi penulis untuk membahas dan
menyusun sebuah tulisan mengenai pentingnya perlindungan hak-hak anak.
Di kalangan masyarakat awam sering kita mendengar ucapan ‘anakku’.
Entah disadari atau tidak, apakah ia telah memenuhi kewajibannya sebagai orang
tua, namun pada kenyataannya seringkali hak asasi yang melekat pada anak
diluputkan. Penyebabnya tidak lain karena orang dewasa menganggap diri mereka
lebih dari anak-anak; lebih tahu, lebih hebat, lebih penting. Sehingga kepentingan
orang dewasa harus didahulukan. Sedangkan anak-anak, hanya dianggap sebagai
anak-anak. Manusia yang belum dewasa, tidak tahu apa-apa, bertubuh kecil, dan
harus patuh pada orang dewasa. Anak-anak kemudian mendapatkan prioritas ke
sekian setelah orang dewasa. Rasa lebih tersebut membuat orang dewasa ingin
mengatur semuanya sesuai dengan cara pandang dewasanya. Sesuatu yang
penting menurut orang dewasa dengan segera diputuskan penting bagi anak-anak,
bahkan mengorbankan anak-anak. Sebaliknya, sesuatu yang penting menurut anak
seringkali diremehkan dan diacuhkan oleh orang dewasa. Misalnya di beberapa
wilayah yang terjadi konflik peperangan, orang dewasa merekrut anak-anak dan
mengirimkannya ke garis depan pertempuran.
Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, orang dewasa
memperjual-belikan anak-anak, memaksa mereka bekerja dengan upah lebih rendah tentunya,
dan menyiksa si anak bila gagal memenuhi permintaan orang dewasa. Semua itu
dilakukan dengan hanya mempertimbangkan kepentingan terbaik orang dewasa.
2
Contoh lainnya yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan
seolah-olah menjadi kebiasaan, orang dewasa terutama laki-laki, merokok di dekat
anak-anak. Mereka bahkan merokok sambil menggendong anak-anak. Mereka
sama sekali tidak memperdulikan hak-hak anak untuk mendapatkan udara bersih
danlingkungan yang sehat untuk tumbuh kembangnya.
Seringkali permintaan seorang anak untuk ditemani bermain oleh orang
tuanya diacuhkan dengan alasan sibuk. Padahal bermain adalah media belajar
untuk tumbuh kembang anak. Seorang anak yang bertanya tentang suatu hal,
seringkali dianggap cerewet dan berisik oleh orang tuanya dengan mengatakan,
‘kamu tidak perlu tau itu,’ atau ‘kamu belum cukup umur, nantilah.’ Dan banyak
praktek-praktek lainnya yang menempatkan kepentingan anak sebagai
pertimbangan terakhir (daripada tidak mempertimbangkan sama sekali).
Penulis ingin mencoba mengingatkan kembali bahwa anak memiliki hak
asasi yang sama pentingnya dengan orang dewasa. Semakin muda usia anak,
semakin penting hak tersebut untuk segera dipenuhi. Tidak hanya mengingatkan,
tetapi juga mengajak orang dewasa untuk bergerak bersama-sama memenuhi
Hak-hak anak. Anak-anak adalah generasi penerus di masa mendatang, tetapi mereka
tidak hanya hidup di masa depan. Mereka hidup hari ini, saat ini, dan di masa
yang akan datang. Untuk itu, Hak-hak anak harus dipenuhi hari ini juga, saat ini
juga, agar di masa mendatang mereka menjadi generasi yang mempunyai
pemikiran cemerlang demi kehidupan bersama. Dengan demikian dapatlah dicapai
5
penuh ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Bukan seperti ucapan beberapa
kalangan ; “ hukum itu dibuat semata-mata untuk dilanggar.”
Anak adalah kelompok strategis keberlanjutan bangsa Indonesia dan
merupakan amanah Allah serta anak adalah 40% penduduk Indonesia yang harus
kita tingkatkan mutunya menjadi anak Indonesia yang sehat, cerdas ceria,
berakhlak mulia, dan terlindungi. Hal ini merupakan komitmen bangsa bahwa
menghormati, memenuhi, dan menjamin hak-hak anak adalah tanggung jawab
negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Dengan fokus pada anak
maka sekaligus percepatan pencapaian target mencapai kualitas hidup manusia di
tahun 2015 sebagai tujuan bersama Millenium Development Goals (MDGs) dan
World Fit For Children (WFFC) dapat kita capai.
Isu utama peningkatan kualitas hidup manusia suatu negara adalah
bagaimana negara tersebut mampu melakukan perlindungan anak yaitu, mampu
memahami nilai-nilai hak-hak anak, mampu mengimplementasikannya dalam
norma hukum positif agar mengikat, mampu menyediakan infrastruktur, dan
mampu melakukan manajemen agar perlindungan anak di suatu negara tercapai.
Demi tercapainya perlindungan anak dengan sasaran semua pihak
mengerti akan tanggung jaawab yang harus diembannya dan mengingat semua
orang pasti pernah menjadi anak-anak maka penulis bermaksud menyusun suatu
skripsi berjudul : “ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM
B. Perumusan Masalah
Di dalam penulisan skripsi ini penulis merumuskan masalah yang akan
dibahas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Internasional ?
2. Bagaimana pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Nasional ?
3. Pihak-pihak mana yang bertanggung jawab dalam perlindungan hak-hak-hak
anak dan apa sajakah yang menjadi tanggung jawab mereka tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Internasional.
2. Untuk mengetahui pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Nasional.
3. Untuk mengetahui pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan
hak-hak-hak anak.
Penulisan skripsi ini pun diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis.
a. Secara teoritis penulisan ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk
pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi yang ingin mengetahui
dan memperdalam tentang aspek hukum dalam perlindungan hak-hak anak.
b. Secara praktis, untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat
terutama memberikan informasi ilmiah mengenai tanggung jawab dalam
7
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Internasional Dalam Perlindungan
Hak-Hak anak”. Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan
bahan-bahan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak, baik melalui
literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak dan elektronik.
Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan pemeriksaan
pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk
membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada terdapat di Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis
oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu
menjadi tanggung jawab penulis sendiri.
E. Tinjauan Pustaka
Pengertian tentang anak sangatlah luas. Dalam berbagai kesempatan
pertemuan, formal maupun informal, mulai dari pertemuan-pertemuan resmi di
hotel-hotel atau di kantor-kantor, balai-balai pertemuan, ataupun obrolah-obrolan
santai di warung kopi atau di teras rumah, orang dewasa dapat dengan mudah
mencurahkan pemahamannya tentang anak. Semua pemahaman ini baik dan
hampir semuanya menaruhkan harapan terbaiknya pada anak-anak. Berikut ini
adalah beberapa pemahaman tersebut.
Pemahaman pertama, merupakan pemahaman yang paling sering diungkapkan,
ilahi, amanah Tuhan yang harus dijaga, dilindungi, diperhatikan, dan dibesarkan
dengan penuh kasih sayang.
Pemahaman kedua, adalah pemahaman tentang anak ketika berhadapan dengan
orang tua sebagai penerus keturunan. Anak adalah penerus keluarga, melanjutkan
garis keturunan dari orang tua. Hingga kapan pun dan dimanapun, status sebagai
anak dari orang tua tidak bisa dihilangkan. Meskipun sudah menjadi nenek dan
kakek, status sebagai anak dari ayah dan ibu, tidak akan bisa dilepaskan.
Pemahaman ketiga merupakan pemahaman yang paling sering luput dari
perhatian. Yaitu anak sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dengan
orang dewasa lainnya.
Sebagai manusia, anak dilahirkan merdeka dan mempunyai hak asasi.
Sama dengan manusia lainnya, anak dikarunia akal budi dan hati nurani. Anak
adalah individu unik yang memiliki kekhasannya sendiri. Hanya kematangan fisik
dan mental yang membedakan anak-anak dengan orang dewasa.
Perbedaan inilah yang membuat anak-anak bergantung pada orang dewasa.
Namun, perbedaan ini tidak membuat anak-anak menjadi “bukan manusia” atau
“setengah manusia”.
Anak-anak dengan segala kekurangan dan ketidakmampuannya, adalah
manusia yang memiliki hak. Bahkan para ahli pun punya pendapat yang
berbeda-beda. Seorang psikolog akan berbeda pendapat dengan seorang ahli hukum.
Seorang sosiolog akan memiliki pendapat yang berbeda dengan seorang ahli
kesehatan. Namun demikian, upaya untuk mendefinisikan pengertian anak
9
Hasil Simposium Bahasa Indonesia dinyatakan, anak adalah:3
1. Keturunan
2. Manusia yang kecil
3. Binatang yang masih kecil
4. Pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuhan besar
5. Orang yang berassal dari,atau dilahirkan di suatu negeri atau daerah
6. Orang yang termasuk suatu golongan pekerjaan, keluarga
7. Bagian yang kecil pada sesuatu benda
8. Yang lebih kecil daripada yang lain
Berdasarkan Konvensi Hak-hak anak,
“Untuk tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di
bawah usia 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak
tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.”4
Pengertian ini membatasi definisi anak berdasarkan tingkat umur. Ini
adalah definisi yang paling umum dan diakui secara internasional.
Pembatasan usia hingga 18 tahun tidak mengikat semua negara. Hal ini
dapat kita lihat perbedaan dalam hukum di beberapa negara penetapan batasan
umur seorang anak tidak sama. Konvensi Hak-hak anak memberi ruang bagi tiap
negara untuk membuat aturan khusus tentang pembatasan usia. Itulah sebabnya
tiap-tiap negara mempunyai batasan usia yang berbeda.Seperti di Korea dan
Jepang misalnya, batasan usia anak adalah 20 tahun. Di Inggris, Australia,
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia:Edisi Ketiga (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2007), hlm. 41
4
Srilanka dan beberapa negara lain batasan usia anak ditetapkan 16 tahun.
Kebanyakan negara mengikuti pembatasan usia anak 18 tahun seperti negara
Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Filipina, Taiwan, Iran, Kamboja, dan
lain-lain.5
Di Indonesia, pembatasan usia anak diatur dalam UU RI No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Secara resmi, berdasarkan UU ini, “Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan.”6
Hak berarti :7
1. Benar
2. Milik, kepunyaan
3. Kewenangan
4. Kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang
5. Kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu
6. Derajat atau martabat
7. Wewenang menurut hukum
Hak-hak anak adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap anak di dunia.
Hak ini melekat dalam diri anak dan tidak ada seorang pun yang boleh
merampasnya. Hak-hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)
5
Disadur dari Buku Sri Widoyati Wiratmo Soekito dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 73-74
6
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 , Pasal 1 ayat 1, batasan usia ini diadopsi dari KHA.
7
11
yang secara khusus memperhatikan anak yang wajib dijamin, dilindungi,dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.8
Secara internasional, perhatian terhadap Hak-hak anak dituangkan dalam
perjanjian (kesepakatan) internasional yang bernama Convention on the Rights of
Child. Indonesia adalah salah satu negara yang menyepakati dan ikut
menandatangani hasil konvensi ini. Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak
anak ini ke dalam hukum nasional melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 dan
kemudian mengaturnya dalam Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Perhatian khusus pada Hak-hak anak muncul karena banyaknya anak
yang hidup dalam keadaan sulit di berbagai belahan dunia. Misalnya; anak yang
hidup dalam situasi perang dan konflik, anak yang hidup dalam situasi miskin
makanan, gizi dan sanitasi yang buruk, dan lain-lain. Pengakuan atas Hak-hak
anak menegaskan besarnya perhatian masyarakat dunia atas kelangsungan hidup,
keselamatan, perkembangan, dan kesejahteraan anak di seluruh dunia.
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.9 Dalam pengertian
ini tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah,
penelantaran, dan eksploitasi.
8
KHA.Op. cit, Pasal 1 Angka 12.
9
Namun, melihat fakta akhir-akhir ini, anak menghadapi berbagai
permasalahan yang serius. Untuk itu dituntut kesadaran semua pihak akan
tanggung jawabnya masing-masing terhadap perlindungan hak-hak anak ini dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
F. Metode Pengumpulan Data
Jika di dalam penulisan beberapa skripsi dan karya tulis ilmiah lainnya
kita mengenal 2 cara sebagai metode penelitian dan pengumpulan data yang selalu
dipergunakan, yakni :
1. Library research atau penelitian kepustakaan, yaitu suatu metode/cara
pengumpulan data melalui literatur-literatur yang telah disiapkan sebagai
referensi dan tersedia di perpustakaan.
2. Field research atau penelitian lapangan yang dilakukan di tengah-tengah
masyarakat menyangkut masalah yang diangkat, dilaksanakan dengan
keterlibatan penulis sebagai peneliti dan/atau dilakukan di laboratorium.
Penulis di dalam menyiapkan skripsi ini cukup melaksanakan library
research yakni melakukan peninjauan secara kepustakaan terhadap berbagai
tulisan mengenai hak-hak anak dari berbagai buku dan sumber media cetak dan
media elektronik.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini berjudul : “ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM
13
beberapa literatur tentang hak-hak anak dan disesuaikan dengan metode penulisan
skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Secara implisit skripsi ini
membahas mengenai tanggungnjawab para pihak dalam melaksanakan
perlindungan terhadap hak-hak anak.
Ada pun sistematika penulisan yang dilaksanakan penulis adalah sebagai
berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Sebagai Bahagian pengantar dalam penulisan berisikan : Latar
Belakang, Perumusan Masalah , Tujuan Dan Manfaat Penulisan,
Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Pengumpulan Data,dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Di dalam Bab ini akan disajikan data-data mengenai hak-hak anak
dalam hukum internasional seperti : Pentingnya Perlindungan
Terhadap Hak Anak, Instrumen Penting Hukum Internasional Dalam
Perlindungan Hak Anak, Convention on the Right of Child Sebagai
Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak.
BAB III : HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL
Bab ini berisikan materi mengenai : Pentingnya Perlindungan
Terhadap Hak-hak anak di Indonesia, Kondisi dan Situasi Anak
Indonesia, Hak Anak Dalam Hukum Nasional Indonesia,Undang
-Undang No.23 Tahun 2003 Sebagai Acuan Perlindungan Hak-hak
BAB IV : PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNGJAWAB DALAM
USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK
Di dalam Bab inilah akan dibahas lebih lanjut mengenai : Subjek
Hukum Internasional Bertanggungjawab Dalam Usaha Perlindungan
Hak Anak, Perlindungan Hak Anak oleh Subjek Hukum Nasional
Indonesia, Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggungjawab
Negara, Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggungjawab Orang
Tua, Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggungjawab Bersama.
BAB V : PENUTUP
Merupakan Bab akhir dari penulisan skripsi ini yang menyajikan :
Kesimpulan mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak, dan
beberapa Saran yang disarikan dari berbagai tulisan mengenai hak-hak
BAB II
HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM INTERNASIONAL
A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak
Sebuah catatan yang penting untuk diingat, anak-anak baru diakui
memiliki hak asasi setelah sekian banyak anak-anak menjadi korban dari
ketidak-pedulian orang dewasa. Pengakuannya pun tidak terjadi serta merta pada saat
korban berjatuhan, tetapi melalui sebuah proses perjuangan panjang dan tanpa
henti.
Perhatian serius secara internasional terhadap kehidupan anak-anak baru
diberikan pada tahun 1919, setelah Perang Dunia I berakhir. Dikarenakan perang
telah membuat anak-anak menderita kelaparan dan terserang penyakit, seorang
aktivis perempuan bernama Eglantyne Jebb19 mengarahkan mata dunia untuk
melihat situasi anak-anak tersebut. Dia menggalang dana dari seluruh dunia untuk
membantu anak-anak. Tindakannya inilah yang mengawali gerakan kemanusiaan
internasional yang secara khusus memberi perhatian kepada kehidupan anak-anak.
19
Eglantyne Jebb, Penggagas Hak-hak anak
Hak-hak anak adalah hak asasi yang wajib dimiliki setiap anak yang ada di dunia. Ide untuk memperjuangkan hak-hak anak berawal dari keprihatinan seorang guru sekolah dasar di Malborough, Wiltshire, Inggris, Eglantyne Jebb (1876-1928). Saat itu, Eglantyne merasa anak-anak korban Perang Dunia I harus dibantu. Maka, pada 1919, dibentuklah yayasan Save the Children Fund (SCF) dalam
Pada tahun 1923, Mrs.Eglantyne Jebb membuat 10 pernyataan Hak-hak
anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan Hak-hak anak:20
1. Bermain;
2. Mendapatkan nama sebagai identitas;
3. Mendapatkan makanan;
4. Mendapatkan kewarganegaraan sebagai status kebangsaan;
5. Mendapatkan persamaan;
6. Mendapatkan pendidikan;
7. Mendapatkan perlindungan;
8. Mendapatkan sarana rekreasi;
9. Mendapatkan akses kesehatan;
10. Mendapatkan kesempatan berperan serta dalam pembangunan.
Tidak lagi sekedar berdasarkan kemanusiaan tetapi juga Hak Asasi.
Pada tahun 1924, pernyataan ini diadopsi dan disahkan sebagai
pernyataan Hak-hak anak oleh Liga Bangsa-Bangsa. Sementara itu, pada tahun
1939-1945, Perang Dunia II berlangsung dan anak-anak kembali menjadi salah
satu korbannya.
Pada tahun 1948, Perserikatan Bangsa Bangsa mengumumkan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang di dalamnya mencantumkan hak-hak anak.
Pada tahun 1959, tepatnya tanggal 1 Juni PBB mengumumkan
pernyataan Hak-Hak-hak anak dan ditetapkan sebagai hari anak sedunia.
20
17
Kemudian, pada tahun 1979 diputuskan sebagai Tahun Anak dan
ditetapkan 20 November sebagai hari anak internasional.
Setelah sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1989, Konvensi Hak-hak
anak disahkan oleh PBB. Inilah pengakuan khusus secara internasional atas hak
asasi yang dimiliki anak-anak.
Sekarang, telah dibentuk sangat banyak sekali tim yang ditugaskan untuk
memperhatikan masalah anak dan merealisasikan perlindungan hak-hak anak
yang tertuang di dalam Konvensi Hak-hak anak. Hal ini menunjukkan telah
tumbuh dan tengah berkembangnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya
perlindungan terhadap hak-hak anak ini. Kesadaran akan pentingnya perlindungan
terhadap anak ini perlu dilestarikan demi kehidupan bersama penuh sukacita dan
kasih sayang di antara sesama makhluk ciptaan Tuhan.
B. Instrumen Penting Hukum Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak
Ada beberapa instrumen penting hukum internasional dalam
perlindungan hak-hak anak, dimana yang terutama di antaranya :
1. United Nations Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile
Justice (Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi
peradilan bagi remaja) “Beijing Rules” (Resolusi Majelis Umum PBB No.
40/33 tanggal 29 November 1985).
Menurut “Beijing Rules”, remaja adalah seorang anak atau seorang muda yang
pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang
dewasa. (Rule 2.2 huruf c).
Mengacu pada peraturan tersebut di atas, terlihat, bahwa penentuan umur bagi
seorang anak/remaja ditentukan berdasarkan sistem hukum masing-masing
negara. “Beijing Rules” hanya memberikan rambu-rambu agar penentuan
batas usia anak jangan ditetapkan dalam usia yang terlalu rendah. Hal ini akan
berkaitan dengan masalah emosional, mental dan intelektual. Artinya, “Beijing
Rules” menganggap bahwa pada usia yang terlalu rendah, seorang belum
dapat dikatakan dewasa secara emosional, dewasa secara mental, dan dewasa
secara intelektual, sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana.21
Menurut “Beijing Rules”, tujuan peradilan bagi remaja adalah:22
Pertama, memajukan kesejahteraan remaja, merupakan fokus utama bagi
sistem hukum yang menangani kasus-kasus kejahatan remaja. “Beijing Rules”
menghendaki agar kasus-kasus kejahatan remaja ditangani oleh peradilan
keluarga. Kemudian, apabila terpaksa harus ditangani oleh peradilan kriminal,
maka faktor kesejahteraan anak harus menjadi perhatian yang pertama.
Kedua, adalah “prinsip kesepadanan”. Prinsip ini terkenal sebagai suatu
instrumen untuk mengekang sanksi-sanksi yang menghukum kebanyakan
dinyatakan dalam batasan-batasan ganjaran yang setimpal dengan berat
pelanggaran hukum tetapi juga pada pertimbangan keadaan-keadaan
pribadinya.
21
Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm.41-42.
22
19
Dengan menggunakan bahasa yang sederhana, visi yang hendak dicapai dalam
peradilan anak menurut “Beijing Rules” adalah: (1) Untuk mencapai
kesejahteraan anak; (2) Penjatuhan pidanan bagi anak, tidak harus bersifat
menghukum; (3) Dalam menjatuhkan hukuman terhadap anak, harus
mendasarkakn prinsip-prinsip: a. tidak mendasarkan pada berat atau ringannya
kejahatan yang telah dilakukan, b. penjatuhan pidana hendaknya
memperhatikan kondisi yang menyebabkan seorang anak melakukan
kejahatan, c. dimungkinkannya pemberian ganti kerugian sebagai pengganti
hukuman, dan d. rasa penyesalan anak yang diwujudkan dalam bentuk
kesediaan untuk kembali ke jalan yang benar dimungkinkan menjadi alasan
pemaaf untuk tidak dijatuhinya hukuman.23
2. United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty
(Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan
kebebasannya) (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/133 tanggal 14
November 1990).
Ada beberapa hal pokok dalam peraturan ini, diantaranya:24
a. Sistem peradilan bagi remaja harus menjujung tinggi hak-hak dan
keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental remaja.
Berbicara sistem peradilan, akan mencakup keseluruhan komponen dan
proses berjalannya hukum seperti substansi hukum, struktur hukum dan
kultur hukum. Ini berarti, apabila PBB menghendaki kesejahteraan sebagai
akhir dari sitem peradilan, maka substansi hukum, struktur hukum dan
23
Ibid, hlm. 45-46
24
kultur hukum yang berkaitan dengan peradilan anak harus memounyai visi
dan misi yang sama, yaitu mengusahakan kesejahteraan anak.
b. Penjara harus menjadi alternatif terakhir, karena membiarkan seorang anak
memasuki Lembaga Pemasyarakatan berarti memberikan pendidikan
negatif kepada anak, sebab apabila di dalam LP penghuninya adalah
mereka yang diidentifikasikan sebagai yang jahat, maka anak tersebut
akan mengimitasi tingkah laku yang jahat. Sebab, perilaku kriminal dapat
dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses
komunikasi.
c. Peraturan bagi anak/remaja tidak boleh membedakan ras, warna kulit, usia,
bahasa, agama, kebangsaan, pandangan politik, kepercayaannya, atau
praktek-praktek budaya, kepemilikan, kelahiran atau status keluarga,
asal-usul etnis atau sosial, cacat jasmani, agama serta konsep moral yang
bersangkutan harus dihormati.
d. Para remaja yang belum diadili, harus dianggap tidak bersalah. Remaja
yang masih dalam proses hukum, harus dipisahkan dari remaja yang telah
dijatuhi hukuman. Terhadap remaja yang belum diadili dalam proses
hukum, ia berhak:
(1) Didampingi penasehat hukum dengan cuma-cuma.
(2) Disediakan kesempatan bekerja dengan menerima upah.
(3) Melanjutkan pendidikan.
(4) Memiliki dan tetap menyimpan barang yang menjadi hiburannya.
21
Data yang harus dirahasiakan tentunya tidak hanya menyangkut
penyingkatan nama, akan tetapi mencakup segala aspek yang berkaitan
dengan kondisi sosial anak, seperti data pribadi maupun data keluarga baik
secara kauntitatif maupun kualitatif.
f. Anak/remaja yang ditahan berhak untuk memperoleh:
(1) Pendidikan;
(2) Latihan keterampilan dan latihan kerja;
(3) Rekreasi;
(4) Memeluk agama;
(5) Mendapat perawatan kesehatan;
(6) Pemberitahuan tentang kesehatan;
(7) Berhubungan dengan masyarakat luas.
3. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency
(Pedoman PBB dalam rangka pencegahan tindak pidana anak dan remaja)
“Riyadh Guidelines” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14
Desember 1990).
Ketiga instrumen di atas merupakan instrumen hukum internasional
dalam menangani kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh anak. Ketiga instrumen
di atas sangat penting karena perlunya memperbaiki sistem administrasi peradilan
anak untuk menghindari penyiksaan anak di lembaga pemasyarakatan anak. Hal
ini penting karena sistem administrasi peradilan anak, mulai dari tahap
penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pemenjaraan diduga kuat banyak
masih terjadinya penyiksaan di LP Anak Kutoarjo, Jawa Tengah, seperti yang
dilaporkan oleh Manfred Nowak (pelapor khusus PBB untuk masalah
penyiksaan) yang disampaikan kepada Committee Against Torture (CAT).25
Selain ketiga instrumen di atas, terdapat banyak lagi pedoman dalam
hukum internasional sebagai instrumen hukum perlindungan anak, antara lain:
1. Resolusi MU-PBB 41/85 tanggal 3 Desember 1986 mengenai “Declaration on
Social and Legal Principles relating to the Protection and Welfare of Children,
with Special Reference to Foster Placement and Adoption Nationally and
Internationally”.
2. Resolusi 43/121 tanggal 8 Desember 1988 mengenai “The Use of Children in
the Illicit Traffic in Narcotic Drugs”.
3. Resolusi MU-PBB 44/25tanggal 20 Nopember 1989 mengenai “Convention of
the Rights of the Child”.
4. Resolusi ECOSOC 1990/33 tanggal 24 Mei 1990 mengenai “The Prevention
of Drug Consumption Young Persons”.
5. Resolusi MU-PBB 45/115 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “The
Instrumental Use of Children in Criminal Activities”.
6. Resolusi Komisi HAM PBB (Commision on Human Rights) 1993/80 tanggal
10 Maret 1993 mengenai “The Application of International Standards
Concerning The Human Rights of Detained Juveniles”.
25
23
7. Resolusi Komisi HAM 1994/90 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The need to
adopt effective international measures for the prevention and eradition of the
sale of children, child prostitution and child pornography”.
8. Resolusi Komisi HAM 1994/92 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “Special
Rapporteur on the sale of children, child prostitution, and child pornography”.
9. Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The Plight
of Street Child”.
10. Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The effects
of Armed Conflicts on Children’s Lives”.
11. Dalam Kongres PBB ke IX tahun 1995 mengenai “The Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders”, diajukan dua “draft resolution” mengenai”
a. Application of United Nations Standards and Norms in Juvenile Justice
(Dokumen A/CONF.196/L.5).
b. Elimination of Violence againts Children (Dokumen A/CON.169/L.11)
12. International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic 1904,
International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic 1910,
International Convention for the Suppression of Traffic in Women and
Children, dan International Covention for the Suppression of Traffic in
Women of Full Age 1933 yang kemudian keempatnya mengalami perubahan
mendasar dan kemudian menjadi Convention for the Suppression of the
C. Convention on the Right of Child Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak
Konvensi Hak-hak anak ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dengan
Resolusi No. 44/25 tertanggal 20 November 1989.
Peristiwa ini merupakan akhir dari suatu proses yang telah dimulai dengan
persiapan bagi Hari Anak Internasional 1979. Pada tahun tersebut dimulailah
diskusi tentang rancangan konvensi yang disampaikan oleh Pemerintah Polandia.
Sebelumnya, masalah tentang anak-anak telah didiskusikan oleh
masyarakat internasional. Deklarasi tentang hak-hak anak telah ditetapkan baik
oleh Liga Bangsa-Bangsa (1924) maupun oleh PBB (1959). Juga, ketentuan
khusus mengenai anak-anak telah dimasukkan ke dalam sejumlah perjanjian
tentang hak asasi manusia dan hukum humaniter. Walaupun demikian, beberapa
Negara menyatakan bahwa dibutuhkan adanya pernyataan yang menyeluruh
mengenai anak-anak, yang akan mempunyai kekuatan mengikat di bawah hukum
internasional.
Pandangan ini dipengaruhi oleh laporan tentang ketidakadilan yang serius
yang diderita oleh anak-anak: tingginya tingkat kematian anak, perawatan
kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan
dasar. Ditemukan pula berbagai kasus yang mencemaskan mengenai anak-anak
yang disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam
pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan, mengenai anak-anak dalam penjara atau dalam
keadaan yang lain, serta mengenai anak-anak sebagai pengungsi dan korban
25
Perancangan Konvensi berlangsung dalam suatu Kelompok Kerja yang
didirikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Wakil-wakil Pemerintah
membentuk inti kelompok perancang ini, akan tetapi perwakilan badan-badan
PBB dan badan-badan khususnya, termasuk Kantor Komisi Tinggi PBB untuk
Pengungsi (UNHCR), Organisasi Buruh Internasional (ILO), Dana Bantuan bagi
Anak-Anak PBB (UNICEF) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
sebagaimana juga sejumlah organisasi non-pemerintah, mengambil bagian dalam
perbincangan mengenai hal ini. Rancangan pertama yang disampaikan oleh
Pemerintah Polandia kemudian diubah dan diperluas secara ekstensif melalui
diskusi yang panjang.
Penetapan Konvensi secara aklamasi oleh Majelis Umum telah membuka
jalan pada tahap berikutnya: ratifikasi oleh Negara-negara dan pembentukan
komite pengawasan. Dalam waktu kurang dari satu tahun, pada September 1990,
telah ada 20 Negara yang secara sah telah menandatangani Konvensi ini, dan
kemudian memberlakukannya.
Pada bulan yang sama, Pertemuan Puncak Dunia mengenai Anak
diselenggarakan di New York atas inisiatif UNICEF dan enam negara (Kanada,
Mesir, Mali, Meksiko, Pakistan dan Swedia). Pertemuan ini menghimbau
Negara-negara untuk meratifikasi Konvensi tersebut. Pada akhir 1990, terdapat 57 Negara
yang telah melakukan ratifikasi, sehingga mereka menjadi Negara-negara Pihak.
Pada 1993, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan
di Wina, menyatakan bahwa tujuannya adalah meratifikasi Konvensi ini secara
telah meratifikasi Konvensi ini. Jumlah seperti ini belum pernah tercapai
sebelumnya di bidang hak asasi manusia. Sampai saat ini sudah 193 negara
meratifikasi Konvensi Hak-hak anak ini.
Konvensi Hak-hak anak memiliki makna yang sama bagi semua orang di
semua belahan dunia. Selain meletakkan standar yang sama, Konvensi ini juga
memperhatikan realita adanya perbedaan budaya, sosial, ekonomi dan politik dari
setiap Negara, sehingga setiap Negara dapat menemukan caranya masing-masing
untuk menerapkan hak-hak yang sama pada semua orang.
Dalam Konvensi ini terdapat empat prinsip umum yang dimuliakan.
Prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas Konvensi ini
secara keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program
penerapan dalam lingkup nasional. Keempat prinsip ini khususnya dirumuskan
dalam Pasal 2, 3, 6 dan 12.
1. Non-diskriminasi (Pasal 2):
Negara-negara Pihak harus memastikan bahwa semua anak dalam wilayahnya
menikmati hak-hak mereka. Tidak seorang anak pun akan
menderita/mengalami diskriminasi. Hal ini berlaku untuk semua anak, “tanpa
memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain dari orang tua atau wali yang sah dari anak tersebut.”
Pesan penting Pasal ini adalah persamaan kesempatan. Anak perempuan harus
27
anak-anak yang berasal dari negara lain, anak-anak kelompok penduduk asli
atau kelompok minoritas, harus memperoleh kesempatan yang sama untuk
menikmati standar kehidupan yang memadai.
2. Kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3):
Apabila penguasa suatu Negara mengambil keputusan yang mempengaruhi
anak-anak, pertimbangan pertama haruslah didasarkan pada kepentingan yang
terbaik bagi anak. Prinsip ini berkenaan dengan keputusan pengadilan, pejabat
administratif, badan legislatif dan juga lembaga kesejahteraan sosial
pemerintah maupun swasta. Hal ini tentu saja merupakan pesan mendasar dari
Konvensi ini, dan penerapan prinsip ini merupakan suatu tantangan yang besar.
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan mengembangkan diri (Pasal 6)
Pasal mengenai hak untuk hidup mencakup rumusan mengenai hak untuk
bertahan dan hak untuk mengembangkan diri, yang harus dijamin “semaksimal
mungkin”. Istilah “mengembangkan diri” dalam konteks ini harus ditafsirkan
dalam arti luas, dengan menambahkan dimensi kualitatif: bukan hanya
dimaksudkan untuk perkembangan kesehatan jasmani, akan tetapi juga
perkembangan mental, emosional, kognitif, sosial dan budaya.
4. Pandangan anak (Pasal 12)
Anak-anak harus dibebaskan untuk mempunyai pendapat tentang semua hal
yang bersangkutan dengan diri mereka, dan pandangan ini harus diperhatikan
“sesuai dengan usia dan kematangan si anak”. Ide yang mendasar adalah
diperhatikan dengan serius, termasuk prosedur hukum atau administratif yang
bersangkutan dengan diri mereka.
Secara umum, Hak-hak anak dibagi dalam 4 (empat) bagian besar, yaitu :
1. Hak Hidup (Kelangsungan Hidup)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak-hak anak untuk melestarikan dan
mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi
dan perawatan yang sebaik-baiknya. Untuk mencapainya, negara harus
menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan
anak (Pasal 6).
Negara juga berkewajiban untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi
yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan,
khususnya perawatan kesehatan primer (Pasal 24).
Dalam penerapannya, negara berkewajiban untuk melaksanakan
program-program:
a. melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak,
b. menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan,
c. memberantas penyakit dan kekurangan gizi,
d. menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi
ibu,
e. memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat
dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi,
f. mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang
29
g. mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang
berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait dengan itu, hak-hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa:
(1) hak-hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak
dilahirkan (Pasal 7),
(2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar
jati diri anak (nama, kewargnegaraan dan ikatan keluarga) (Pasal 8),
(3) hak-hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak-hak anak untuk
memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang
dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas
pengasuhan (Pasal 19),
(4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi anak- anak yang
kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga
atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan
latar budaya anak (Pasal 20),
(5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan dem kepentingan terbaik
anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang (Pasal 21),
(6) hak-hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh
pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk
membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi
(7) hak-hak anak menikmati standar kehidupan yang memadaidan hak atas
pendidikan (Pasal 27 dan 28).
2. Hak Perlindungan
Hak perlindungan adalah hak setiap anak untuk mendapatkan perlindungan
dari semua hal yang dapat melukai dan menghambat hidup dan tumbuh
kembangnya secara sempurna. Hak ini melindungi anak dari terjadinya
diskriminasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, perdagangan manusia,
pekerja anak, keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan
bagi anak pengungsi, dan lain-lain.
Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk :
a. perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan,
perwatan dan latihan khusus, dan
b. hak-hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli
dalam kehidupan masyarakat negara.
Perlindungan dari ekploitasi, meliputi :
a. perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi,
b. perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam
kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak,
c. perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan
dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi,
31
e. perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus
telah melakukan pelanggaran hukum.
3. Hak Tumbuh Kembang
Pertumbuhan diartikan sebagai peningkatan secara bertahap dari organ dan
jaringan tubuh. Berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian
atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.
Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta
sosialisasi dan kemandirian.
Hak Tumbuh Kembang adalah hak yang dimiliki setiap anak untuk dapat
bertumbuh dan berkembang secara sempurna menjadi manusia dewasa. Hak
tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non
formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan
fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.
Hak-hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak-hak anak
menyebutkan, negara :
a. menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara
cuma-cuma,
b. mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah
c. membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dana ketrampilan bagi
anak, dan
d. mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara
teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Hak tumbuh kembang juga meliputi :
1. hak untuk memperoleh informasi,
2. hak untuk bermain dan rekreasi,
3. hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya,
4. hak untuk kebebasan berpikir dan beragama,
5. hak untuk mengembangkan kepribadian,
6. hak untuk memperoleh identitas,
7. hak untuk didengar pendapatnya, dan
8. hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.
4. Hak Partisipasi
Hak partisipasi adalah hak-hak anak untuk terlibat secara aktif dalam berbagai
kegiatan yang mempengaruhi kehidupannya. Hak yang terkait dengan itu
meliputi:
a. hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya,
b. hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk
mengekpresikan,
c. hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan
d. hak untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindungi dari
33
Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan
penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya
sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh
akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.
Perlu diingat, bahwa semua hak-hak tersebut saling terkait satu dengan
yang lainnya. Semua hak-hak tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak
dapat dipisahkan. Satu tindakan yang melukai salah satu hak akan mengakibatkan
terlukainya hak yang lain juga. Kegagalan pemenuhan salah satu hak akan
mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam pertumbuh-kembangan anak.
Misalnya, kegagalan dalam pemenuhan hak-hak anak untuk
mendapatkan asupan makanan yang bergizi akan mempengaruhi hak hidup dan
tumbuh-kembangnya. Gangguan terhadap tumbuh kembangnya akan mengurangi
tingkat kecerdasan anak dan sekaligus mengurangi kemampuan anak untuk
BAB III
HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL
A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak-hak anak di Indonesia
Kita pasti sudah sering mendengar ungkapan “anakonhu i do hamoraon
di au”(anakku merupakan harta yang paling berharga bagiku). Begitulah ucapan
orang Batak dalam sebuah lagu yang menggambarkan seorang tua akan berusaha
apa saja demi memenuhi kebutuhan masa depan anak-anaknya. Hal ini
dikarenakan pandangan bahwa seorang anak adalah cerminan dari orang tuanya.
Bukan sekedar penerus keturunan, tetapi juga sebagai bukti bahwa Ompung
Mulajadi Nabolon (diyakini sebagai manusia pertama yang turun ke dunia
kemudian kembali ke alam para dewa) memberkati melalui pemberiannya berupa
anak-anak sebagai penerus kehidupan keluarga.
Bagi suku Melayu, anak adalah buah hati sibiran tulang. Hal ini
menandakan bahwa masyarakat melayu pun sudah menyadari pentingnya hak-hak
anak. Ada banyak ekspresi serupa yang dapat digali pada nilai kultur dan budaya
bangsa Indonesia. Memberikan perlindungan yang dapat memberikan rasa aman
dan nyaman tentunya menjadi keinginan dan sekaligus kewajiban kita.
Bagi masyarakat awam, perlindungan anak ini tentu saja dilakukan
dengan mengingat kemampuannya sebagai orang tua si anak dan bukan
melibatkan orang lain di luar keluarga. Setelah tahun 1979, pemerintah Indonesia
35
perlahan-lahan masyarakat sebagai warga negara disadarkan akan pentingnya
perlindungan terhadap hak-hak anak. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum PBB
menetapkan suatu aturan mengenai perlindungan anak, Pemerintah Indonesia
telah lebih dulu mengatur dan memasukkannya dalam hukum nasional di
Indonesia.
Tahun 1990 : Indonesia menandatangani KHA di markas besar PBB di New
York dan Indonesia meratifikasi KHA melalui Kepres No. 36
Tahuun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. Tanggal 2 September 1990,
seperti telah disepakati bersama bahwa KHA sebagai salah satu
sumber hukum international berkekuatan mengikat bagi negara
penandatangannya.
Tahun 1997 : Indonesia mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
Tahun 1999 : Indonesia mengeluarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
Tahun 2002 : Indonesia mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan
Anak yang terdiri dari 14 Bab dan 93 Pasal, inilah yang nantinya
dijadikan sebagai acuan dalam perlindungan anak di Indonesia.
Dan sampai saat ini juga telah dibentuk Komisi Perlindungan Anak
Indonesia yang bertugas mengawasi pemerintah maupun
masyarakat dalam rangka pemenuhan hak – hak-hak anak.
Disahkannya Konvensi Hak-hak anak dan dibuatnya sejumlah
perundang-undangan nasional mengatur pemenuhan hak-hak anak, tidak serta
tidak akan pernah selesai. Masih banyak anak-anak yang belum terpenuhi haknya,
bahkan haknya terampas dan terlanggar.
Hak Asasi tidak bisa kita tunggu datang dan diberikan dengan sendirinya,
tetapi juga membutuhkan perjuangan. Perjuangan pemenuhan dan pemulihan
Hak-hak anak membutuhkan suatu kekuatan besar yaitu kesatuan masyarakat
dalam bentuk organisasi. Perjuangannya juga membutuhkan kesabaran dan
semangat pantang menyerah karena harus melalui proses panjang dan bahkan
menelan korban. Organisasi-organisasi masyarakat inilah yang berperan
mengingatkan pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab bahwa
Hak-hak anak harus dipenuhi.
B. Situasi dan Kondisi Anak Indonesia
Meski disadari pentingnya perlindungan anak di Indonesia, namun dalam
kenyataan ditemui keadaan yang sangat memprihantinkan atas kesejahteraan anak
di Indonesia.
Anak Indonesia belum dapat dikatakan sejahtera dan belum dapat
dikatakan telah terpenuhi hak-haknya. Hal ini dapat dilihat dari data statistik
(Sumber: Depdiknas, 2002), di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah anak
perempuan hanya 5-7 tahun, anak laki-laki 6-7 tahun. Se3lanjutnya hanya ada
27% anak usia 2-6 tahun yang mengikuti pendidikan anak usia dini dan sebanyak
4,2 juta naka usia 7-15 tahun belum pernah sekolah. Fasilitas pendidikan bagi
anak sekolah pun memprihatinkan karena ada 67,7% fasilitas pendidikan anak
37
Menurut Mendiknas, sebenarnya wajib belajar 6 tahun sudah selesai
sejak tahun 1994. Kemudian Pemerintah memperluas wajib belajar menjadi 9
tahun hingga tingkat SLTP dengan target tuntas pada tahun 2004 dengan ukuran
angka partisipasi kasar (APK) 95%. Namun, angka putus sekolahnya yang belum
tercapai karena ini angka putus sekolah masih 3,01% dan ini masih terlalu tinggi.
Hal ini, menurut Mendiknas, tentunya menjadi pekerjaan rumah untuk
diselesaikan melalui berbagai program, seperti mencari anak-anak yang putus
sekolah untuk dibiayai. Atau, lanjut dia, dibujuk untuk mengikuti Program Paket
A dan Paket B, ditambah program memperbanyak sekolah terbuka. Mendiknas
juga mengatakan untuk program pemberantasan buta huruf terus dilakukan. Untuk
tahun 2004, jelas dia, tercatat sejumlah 15,41 juta orang buta aksara untuk usia 15
tahun ke atas atau 10,2%. Terdapat fakta yang menunjukkan bahwa pendidikan di
Indonesia masih merupakan barang yang mahal sehingga belum dapat dijangkau
oleh seluruh masyarakat. Bahkan meski Pemerintah telah menjalankan program
Biaya Operasional Sekolah (BOS), masih banyak sekolah-sekolah yang
membebankan biaya tinggi kepada para siswanya, khususnya sekolah-sekolah di
kawasan DKI Jakarta.
Pada sektor keesehatan, masyarakat miskin belum sepenuhnya terjangkau
oleh program asuransi kesehatan keluarga miskin atau Askeskin. Terdapat banyak
kasus bayi dengan berat lahir rendah (>2,5 kg), kasus gizi buruk, kasus kematian
bayi dan balita.
Prosedur administrasi dan verifikasi yang kurang aksesibel dan masih
lebih baik memilih menahan rasa sakit di tempat tinggalnya daripada harus
berobat.
Sementara dalam bidang ketenagakerjaan, didapati dari tahun ke tahun
adanya peningkatan jumlah pekerja anak. Dimana menurut Koordinator ILO
Bidang Penanganan Pekerja Anak, Abdul Hakim, bahwa jumlah pekerja anak di
Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa.
Belum lagi dengan sulitnya memperoleh Akta Kelahiran gratis yang
masih sulit diperoleh keluarga miskin. Akta kelahiran berkaitan dengan identitas
dan status hukum anak yang berpengaruh terhadap akses peningkatan
kesejahteraan anak tersebut. Pada tahun 2001, anka tanpa kata kelahiran mencapai
59,30%.
Akta kelahiran gratis sudah menjadi kebijakan pemerintah yang berjalan
sejak 1 Januari 2007. Namun, yang terjadi di lapangan, banyak keluarga miskin
yang diminta uang sebesar Rp100.000,00 sampai Rp800.000,00 untuk
mengurusnya sehingga UNICEF pada tahun 2007 mencatat bahwa kurang lebih
60% anak balita Indonesia tidak memiliki akta kelahiran.
Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada, mengenai berita tentang child abuse yang
terjadi dari tahun 1992 – 2002 di tujuh kota besar, yaitu Medan, Palembang,
Jakarta, Malang, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, ditemukan
bahwa ada 3.969 kasus dengan rincian sexual abuse 65,8%; physical abuse
39
Kemudian berdasarkan tempat terjadinya kekerasan, rumah menenpati
urutan tertinggi. Padahal rumah adalah akar dimana seorang anak berkembang
baik secara fisik, mental dan emosionalnya.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2005,
kasus kekerasan atau penganiayaan menduduki nomor urut dua setelah
pengasuhan anak, yaitu sebanyak 42 kasus terlapor, kasus perdagangan anak
sebanyak 29 kasus. Data ini meningkat pada tahun 2007 dengan kasus
penganiayaan sebesar 47 kasus dan kasus perdagangan anak sebanyak 42 kasus.
Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya
atas kejahatan ringan, seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak
mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan
demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak akhirnya
dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.
Kondisi ini memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan
dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan
pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak
kekrasan.
Semua keadaan yang dipaparkan di atas perlu perhatian khusus dan
tindakan segera dari berbagai pihak dalam menegakkan perlindungan anak demi
C. Hak Anak Dalam Hukum Nasional Indonesia
Masalah perlindungan anak ini merupakan salah satu isu dalam hukum
internasional yang diadopsi ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. Namun
jika kita telusuri kembali, dalam perundang-undangan di Indonesia, ternyata
perhatian terhadap anak sudah dirumuskan dalam Stb. 1925 No. 647 jo Ordonansi
1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Kemudian tahun
1926 lahir pula Stb 1926 No. 87 yang mengatur pembatasan anak dan orang muda
kerja di kapal. Selanjutnya pada 1946 diberlakukan KUH Pidana yang
memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana (Pasal 45,
Pasal 46, Pasal 47); serta Pasal 285, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293,
Pasal 294, Pasal 295, Pasal 297, dan beberapa pasal lain memberikan
perlindungan terhadap anak di bawah umur dengan memperberat hukuman atau
mengkualifikasi tindak pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak.26
Sebelum Konvensi Hak-hak anak disahkan oleh PBB, pada tahun 1979, Indonesia
telah mengeluarkan Undang-Undang No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak. Kemudian Indonesia menyatakan kesepakatannya terhadap Konvensi
Hak-hak anak melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Setelah itu, Indonesia
mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun
demikian masih banyak anggota masyarakat yang belum memahami tentang
Hukum Kesejahteraan dan Perlindungan anak. Banyak diantara anggota
masyarakat yang belum memahami hak dan kewajiban anak, kewajiban dan
26
41
tanggung jawab atas Kesejahteraan dan Perlindungan anak, Kedudukan Anak,
Penyelenggaraan Kesejahteraan dan Perlindungan anak, pendidikan anak,
tanggung jawab orang tua dan keluarga terhadap anak dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan kesejahteraan dan perlindungan anak. Padahal di dalam
pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak diperlukan kerjasama yang
erat antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiga komponen ini
bertanggung jawab di dalam kegiatan perlindungan anak dikarenakan seorang
anak, di samping merupakan amanah dari Tuhan yang Maha Esa, juga anak
merupakan penerus keturunan dari sebuah keluarga dan juga seorang anak adalah
merupakan generasi penerus bangsa. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan
Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam
semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan
umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan
lingkungannya.
Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun.
Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara
manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan
Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan
melaksanakan Dek1arasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Ada begitu banyak ketentuan hukum bagi Perlindungan Hak-hak anak di
Indonesia, antara lain :
Dalam Konstitusi; lebih lanjut diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C, dan Pasal 34 ayat
(1).
Melalui Undang-Undang, negara menjamin perlindungan Hak-hak anak, di
antaranya:
1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 (LN. 3143) tentang Kesejahteraan Anak
2. Undang-Undang No. 7 Tahun1984 (LN. 3277) tentang Ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
4. Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1930 No. 29
tentang Kerja Paksa (Staatsblad Hindia Belanda tahun 1933 No.261) dan
Konvensi ILO tahun 1957 No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa.
5. Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1973 No. 138
tentang Batas Usia Minimun untuk Diperbolehkan Kerja.
43
7. Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Konvensi ILO 1999 No. 182
tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk
Pekerjaan Terburuk untuk Pekerja Anak.
8. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
9. Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10,
12(2), dan 13 (3)).
10. Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 (1),
18 (4), 23 (4), dan 24).
Pengaturan Perlindungan Hak-hak anak ini juga melalui Keputusan
Presiden, seperti :
1. Keppres No.36 Tahun 1990 (25 Agustus 1990) tentang Ratifikasi Convention
on the Rights of Child atau disebut sebagai Konvensi Hak-hak anak.
2. Keppres No.40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009tentang Memasukkan
Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak anak tentang <