• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Internasional Dalam Perlindungan Hak-Hak Anak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Internasional Dalam Perlindungan Hak-Hak Anak."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh

J E Gunarso Pasaribu

Nim: 040200067

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk

memperoleh gelar sarjana hukum

Oleh

J E Gunarso Pasaribu

Nim: 040200067

Departemen Hukum Internasional

Ketua departemen Hukum Internasional

( Arif, SH, MH )

NIP: 196403301993031002

Pembimbing I Pembimbing II

( Arif, SH, MH ) (Chairul Bariah, SH, M.Hum)

NIP: 196403301993031002 NIP: 195612101986012001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

 

i

ABSTRAK

Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi. Namun demikian kita sadari bahwa kondisi anak masih banyak yang memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta kelahiran; belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga maupun orang tua asuh atau wali dengan baik; masih belum semua anak mendapatkan pendidikan yang memadai; masih belum semua anak mempunyai kesehatan optimal; masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik, korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan perlindungan khusus. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai krisis ekonomi dan juga terjadinya berbagai bencana alam termasuk gempa bumi di hampir semua belahan dunia, yang mengakibatkan banyaknya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kependudukan termasuk permasalahan-permasalahan di dalam perlindungan hak-hak anak.

Bertolak dari latar belakang tersebut, permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan hukum perlindungan hak-hak anak baik secara internasional maupun nasional di Indonesia; apa sajakah yang merupakan hak-hak anak; siapa sajakah pihak-pihak yang pantas dimintai pertanggungjawaban atas perlindungan hak-hak anak; serta apa sajakah tanggung jawab mereka.

Penelitian ini melakukan pendekatan secara Yuridis Normarif dengan mengumpulkan darta-data sekunder atau library research (studi dokumen). Hasil penelitian ini bersifat kualitatif, yang berupaya mennggambarkan dan memberikan pemahaman tentang perlindungan hak-hak anak dan tindakan yang seharusnya dilakukan dalam rangka perlindungan hak-hak anak tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap anak di belahan dunia manapun mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan telah ada pengaturannya secara jelas dalam Konvensi Hak Anak, yang mana dalam Konvensi tersebut ditekankan bahwa perlindungan hak anak diserahkan kepada Negara-Negara Pihak yang telah menyetujui dan menandatangani KHA. Perlindungan hak-hak anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dimana disebutkan bahwa perlindungan hak anak merupakan tugas bersama Negara, Masyarakat, terutama orang tua, dan keluarga sebagai pemegang tanggung jawab, serta anak sebagai pemangku hak. Kita semua harus menyadari arti penting hak-hak anak tersebut.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa,

sebab atas berkat dan rahmat-Nya semata sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini yang berjudul: “ASPEK HUKUM INTERNASIONAL

DALAM PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK”, sebagai salah satu

persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Departemen Hukum

Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk itu penulis mengharapkan masukan dan kritik membangun dari berbagai

pihak demi perlindungan anak yang membahagiakan semua orang.

Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi

ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas

(5)

 

iii

5. Bapak Arif, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Internasional dan

selaku Dosen Pembimbing I dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Chairul Bariah, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan

skripsi ini.

7. Ibu Yefrizawati, SH, M.Hum selaku Dosen Penasehat Akademik.

8. Seluruh Dosen/Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah mengarahkan dan membimbing serta membagikan ilmu

pengetahuannya kepada Penulis selama menjalani perkuliahan.

9. Seluruh tenaga administrasi dan pegawai yang ada di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

10. Buat kedua orangtua saya, B. Pasaribu dan R. Pangaribuan , yang telah banyak

memberi dorongan dan bimbingan yang sangat berarti buat saya – “ ... takut

akan TUHAN ...”

11. Untuk semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu, terima kasih

atas bantuannya (especially for Agnesthasia).

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Kaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Pengumpulan Data ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II HAK ANAK DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak ... 15

B. Instrumen Penting Hukum Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak ... 17

C. Convention on The Rights of Child Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak ... 24

BAB III HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak di Indonesia 34 B. Situasi dan Kondisi Anak Indonesia... 36

(7)

D. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Sebagai Acuan

Perlindungan Hak Anak di Indonesia ... 46

BAB IV PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

A. Subjek Hukum Internasional Bertanggung Jawab Dalam

Usaha Perlindungan Hak Anak ... 52

B. Perlindungan Hak Anak Oleh Subjek Hukum Nasional

Indonesia... 56

C. Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggung Jawab

Negara ... 58

D. Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggung Jawab

Orang Tua ... 60

E. Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggung Jawab

Bersama ... 61

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 69

(8)

ABSTRAK

Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan kehidupan suatu bangsa. Anak merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus generasi. Namun demikian kita sadari bahwa kondisi anak masih banyak yang memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta kelahiran; belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga maupun orang tua asuh atau wali dengan baik; masih belum semua anak mendapatkan pendidikan yang memadai; masih belum semua anak mempunyai kesehatan optimal; masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik, korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan perlindungan khusus. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai krisis ekonomi dan juga terjadinya berbagai bencana alam termasuk gempa bumi di hampir semua belahan dunia, yang mengakibatkan banyaknya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kependudukan termasuk permasalahan-permasalahan di dalam perlindungan hak-hak anak.

Bertolak dari latar belakang tersebut, permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah mengenai pengaturan hukum perlindungan hak-hak anak baik secara internasional maupun nasional di Indonesia; apa sajakah yang merupakan hak-hak anak; siapa sajakah pihak-pihak yang pantas dimintai pertanggungjawaban atas perlindungan hak-hak anak; serta apa sajakah tanggung jawab mereka.

Penelitian ini melakukan pendekatan secara Yuridis Normarif dengan mengumpulkan darta-data sekunder atau library research (studi dokumen). Hasil penelitian ini bersifat kualitatif, yang berupaya mennggambarkan dan memberikan pemahaman tentang perlindungan hak-hak anak dan tindakan yang seharusnya dilakukan dalam rangka perlindungan hak-hak anak tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap anak di belahan dunia manapun mempunyai hak-hak yang harus dilindungi dan telah ada pengaturannya secara jelas dalam Konvensi Hak Anak, yang mana dalam Konvensi tersebut ditekankan bahwa perlindungan hak anak diserahkan kepada Negara-Negara Pihak yang telah menyetujui dan menandatangani KHA. Perlindungan hak-hak anak di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA), dimana disebutkan bahwa perlindungan hak anak merupakan tugas bersama Negara, Masyarakat, terutama orang tua, dan keluarga sebagai pemegang tanggung jawab, serta anak sebagai pemangku hak. Kita semua harus menyadari arti penting hak-hak anak tersebut.

(9)

 

 

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

United Nations Internasional Children's Fund (UNICEF) mengungkap

perlindungan terhadap anak di Indonesia masih terbilang lemah. Hal itu terlihat

dalam kebijakan Pemerintah soal anak, yang lebih bersifat kuratif. "Dana yang

ada lebih kuratif untuk preventif seperti penguatan keluarga, tidak dibangun," kata

Ali Aulia Ramly, Child Protection Coordinator UNICEF dalam pemaparan di

seminar bertema "Penelitian dan Praktek Inovatif di Bidang Kesejahteraan dan

Perlindungan Anak di Indonesia", Rabu 15 Desember 2010.1

Anak merupakan bagian yang sangat penting dalam kelangsungan

kehidupan suatu bangsa. Di dalam implementasinya, anak merupakan sumber

daya manusia bagi pembangunan suatu bangsa, penentu masa depan dan penerus

generasi. Namun demikian kita sadari bahwa kondisi anak masih banyak yang

memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat bahwa belum semua anak mempunyai akta

kelahiran; belum semua anak diasuh oleh orang tua kandungnya, keluarga

maupun orang tua asuh atau wali dengan baik; masih belum semua anak

mendapatkan pendidikan yang memadai; masih belum semua anak mempunyai

kesehatan optimal; masih belum semua anak dalam pengungsian, daerah konflik,

korban bencana alam, anak-anak korban eksploitasi, kelompok minoritas dan

1

(10)

anak-anak yang berhadapan dengan hukum seharusnya mendapatkan

perlindungan khusus. Kondisi ini lebih diperparah lagi dengan adanya berbagai

krisis ekonomi di Indonesia dan juga terjadinya berbagai bencana alam termasuk

gempa bumi di Indonesia, yang mengakibatkan banyaknya

permasalahan yang terkait dengan kependudukan termasuk

permasalahan-permasalahan di dalam perlindungan hak-hak anak.

Sebagai salah satu unsur yang harus ada di dalam negara hukum dan

demokrasi, perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia termasuk di dalamnya

perlindungan terhadap hak-hak anak yang kita harapkan sebagai penentu masa

depan bangsa Indonesia dan sebagai generasi penerus harus mendapatkan

pengaturan yang jelas. Hal ini perlu dilakukan, mengingat manusia sebagai

makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dianugerahi hak asasi untuk menjamin

keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya sehingga HAM merupakan hak

dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan

langgeng. Oleh karena itu HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan

tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

Ada beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60

persen anak balita Indonesia tidak memiliki akte kelahiran. Lebih dari 3 juta anak

terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Bahkan, sekitar sepertiga pekerja seks

komersil berumur kurang dari 18 tahun. Sementara 40.000-70.000 anak lainnya

telah menjadi korban eksploitasi seksual. Ditambah lagi sekitar 100.000 wanita

dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya. Belum lagi 5.000 anak yang

(11)

3

dewasa.2 Kondisi ini sangatlah perlu mendapatkan perhatian dari kita semua tanpa

kecuali. Hal semacam inilah yang melatar belakangi penulis untuk membahas dan

menyusun sebuah tulisan mengenai pentingnya perlindungan hak-hak anak.

Di kalangan masyarakat awam sering kita mendengar ucapan ‘anakku’.

Entah disadari atau tidak, apakah ia telah memenuhi kewajibannya sebagai orang

tua, namun pada kenyataannya seringkali hak asasi yang melekat pada anak

diluputkan. Penyebabnya tidak lain karena orang dewasa menganggap diri mereka

lebih dari anak-anak; lebih tahu, lebih hebat, lebih penting. Sehingga kepentingan

orang dewasa harus didahulukan. Sedangkan anak-anak, hanya dianggap sebagai

anak-anak. Manusia yang belum dewasa, tidak tahu apa-apa, bertubuh kecil, dan

harus patuh pada orang dewasa. Anak-anak kemudian mendapatkan prioritas ke

sekian setelah orang dewasa. Rasa lebih tersebut membuat orang dewasa ingin

mengatur semuanya sesuai dengan cara pandang dewasanya. Sesuatu yang

penting menurut orang dewasa dengan segera diputuskan penting bagi anak-anak,

bahkan mengorbankan anak-anak. Sebaliknya, sesuatu yang penting menurut anak

seringkali diremehkan dan diacuhkan oleh orang dewasa. Misalnya di beberapa

wilayah yang terjadi konflik peperangan, orang dewasa merekrut anak-anak dan

mengirimkannya ke garis depan pertempuran.

Untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, orang dewasa

memperjual-belikan anak-anak, memaksa mereka bekerja dengan upah lebih rendah tentunya,

dan menyiksa si anak bila gagal memenuhi permintaan orang dewasa. Semua itu

dilakukan dengan hanya mempertimbangkan kepentingan terbaik orang dewasa.

2

(12)

Contoh lainnya yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan

seolah-olah menjadi kebiasaan, orang dewasa terutama laki-laki, merokok di dekat

anak-anak. Mereka bahkan merokok sambil menggendong anak-anak. Mereka

sama sekali tidak memperdulikan hak-hak anak untuk mendapatkan udara bersih

danlingkungan yang sehat untuk tumbuh kembangnya.

Seringkali permintaan seorang anak untuk ditemani bermain oleh orang

tuanya diacuhkan dengan alasan sibuk. Padahal bermain adalah media belajar

untuk tumbuh kembang anak. Seorang anak yang bertanya tentang suatu hal,

seringkali dianggap cerewet dan berisik oleh orang tuanya dengan mengatakan,

‘kamu tidak perlu tau itu,’ atau ‘kamu belum cukup umur, nantilah.’ Dan banyak

praktek-praktek lainnya yang menempatkan kepentingan anak sebagai

pertimbangan terakhir (daripada tidak mempertimbangkan sama sekali).

Penulis ingin mencoba mengingatkan kembali bahwa anak memiliki hak

asasi yang sama pentingnya dengan orang dewasa. Semakin muda usia anak,

semakin penting hak tersebut untuk segera dipenuhi. Tidak hanya mengingatkan,

tetapi juga mengajak orang dewasa untuk bergerak bersama-sama memenuhi

Hak-hak anak. Anak-anak adalah generasi penerus di masa mendatang, tetapi mereka

tidak hanya hidup di masa depan. Mereka hidup hari ini, saat ini, dan di masa

yang akan datang. Untuk itu, Hak-hak anak harus dipenuhi hari ini juga, saat ini

juga, agar di masa mendatang mereka menjadi generasi yang mempunyai

pemikiran cemerlang demi kehidupan bersama. Dengan demikian dapatlah dicapai

(13)

5

penuh ketertiban di tengah-tengah masyarakat. Bukan seperti ucapan beberapa

kalangan ; “ hukum itu dibuat semata-mata untuk dilanggar.”

Anak adalah kelompok strategis keberlanjutan bangsa Indonesia dan

merupakan amanah Allah serta anak adalah 40% penduduk Indonesia yang harus

kita tingkatkan mutunya menjadi anak Indonesia yang sehat, cerdas ceria,

berakhlak mulia, dan terlindungi. Hal ini merupakan komitmen bangsa bahwa

menghormati, memenuhi, dan menjamin hak-hak anak adalah tanggung jawab

negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Dengan fokus pada anak

maka sekaligus percepatan pencapaian target mencapai kualitas hidup manusia di

tahun 2015 sebagai tujuan bersama Millenium Development Goals (MDGs) dan

World Fit For Children (WFFC) dapat kita capai.

Isu utama peningkatan kualitas hidup manusia suatu negara adalah

bagaimana negara tersebut mampu melakukan perlindungan anak yaitu, mampu

memahami nilai-nilai hak-hak anak, mampu mengimplementasikannya dalam

norma hukum positif agar mengikat, mampu menyediakan infrastruktur, dan

mampu melakukan manajemen agar perlindungan anak di suatu negara tercapai.

Demi tercapainya perlindungan anak dengan sasaran semua pihak

mengerti akan tanggung jaawab yang harus diembannya dan mengingat semua

orang pasti pernah menjadi anak-anak maka penulis bermaksud menyusun suatu

skripsi berjudul : “ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM

(14)

B. Perumusan Masalah

Di dalam penulisan skripsi ini penulis merumuskan masalah yang akan

dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Internasional ?

2. Bagaimana pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Nasional ?

3. Pihak-pihak mana yang bertanggung jawab dalam perlindungan hak-hak-hak

anak dan apa sajakah yang menjadi tanggung jawab mereka tersebut ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Internasional.

2. Untuk mengetahui pengaturan hak-hak anak dalam Hukum Nasional.

3. Untuk mengetahui pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam perlindungan

hak-hak-hak anak.

Penulisan skripsi ini pun diharapkan dapat memberi manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis.

a. Secara teoritis penulisan ini diharapkan berguna sebagai bahan untuk

pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi yang ingin mengetahui

dan memperdalam tentang aspek hukum dalam perlindungan hak-hak anak.

b. Secara praktis, untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat

terutama memberikan informasi ilmiah mengenai tanggung jawab dalam

(15)

7

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Aspek Hukum Internasional Dalam Perlindungan

Hak-Hak anak”. Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan

bahan-bahan yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak, baik melalui

literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak dan elektronik.

Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan pemeriksaan

pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk

membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada terdapat di Perpustakaan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Bila di kemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis

oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu

menjadi tanggung jawab penulis sendiri.

E. Tinjauan Pustaka

Pengertian tentang anak sangatlah luas. Dalam berbagai kesempatan

pertemuan, formal maupun informal, mulai dari pertemuan-pertemuan resmi di

hotel-hotel atau di kantor-kantor, balai-balai pertemuan, ataupun obrolah-obrolan

santai di warung kopi atau di teras rumah, orang dewasa dapat dengan mudah

mencurahkan pemahamannya tentang anak. Semua pemahaman ini baik dan

hampir semuanya menaruhkan harapan terbaiknya pada anak-anak. Berikut ini

adalah beberapa pemahaman tersebut.

Pemahaman pertama, merupakan pemahaman yang paling sering diungkapkan,

(16)

ilahi, amanah Tuhan yang harus dijaga, dilindungi, diperhatikan, dan dibesarkan

dengan penuh kasih sayang.

Pemahaman kedua, adalah pemahaman tentang anak ketika berhadapan dengan

orang tua sebagai penerus keturunan. Anak adalah penerus keluarga, melanjutkan

garis keturunan dari orang tua. Hingga kapan pun dan dimanapun, status sebagai

anak dari orang tua tidak bisa dihilangkan. Meskipun sudah menjadi nenek dan

kakek, status sebagai anak dari ayah dan ibu, tidak akan bisa dilepaskan.

Pemahaman ketiga merupakan pemahaman yang paling sering luput dari

perhatian. Yaitu anak sebagai manusia yang mempunyai hak yang sama dengan

orang dewasa lainnya.

Sebagai manusia, anak dilahirkan merdeka dan mempunyai hak asasi.

Sama dengan manusia lainnya, anak dikarunia akal budi dan hati nurani. Anak

adalah individu unik yang memiliki kekhasannya sendiri. Hanya kematangan fisik

dan mental yang membedakan anak-anak dengan orang dewasa.

Perbedaan inilah yang membuat anak-anak bergantung pada orang dewasa.

Namun, perbedaan ini tidak membuat anak-anak menjadi “bukan manusia” atau

“setengah manusia”.

Anak-anak dengan segala kekurangan dan ketidakmampuannya, adalah

manusia yang memiliki hak. Bahkan para ahli pun punya pendapat yang

berbeda-beda. Seorang psikolog akan berbeda pendapat dengan seorang ahli hukum.

Seorang sosiolog akan memiliki pendapat yang berbeda dengan seorang ahli

kesehatan. Namun demikian, upaya untuk mendefinisikan pengertian anak

(17)

9

Hasil Simposium Bahasa Indonesia dinyatakan, anak adalah:3

1. Keturunan

2. Manusia yang kecil

3. Binatang yang masih kecil

4. Pohon kecil yang tumbuh pada umbi atau rumpun tumbuhan besar

5. Orang yang berassal dari,atau dilahirkan di suatu negeri atau daerah

6. Orang yang termasuk suatu golongan pekerjaan, keluarga

7. Bagian yang kecil pada sesuatu benda

8. Yang lebih kecil daripada yang lain

Berdasarkan Konvensi Hak-hak anak,

“Untuk tujuan Konvensi ini, seorang anak berarti setiap manusia di

bawah usia 18 tahun, kecuali apabila menurut hukum yang berlaku bagi anak

tersebut ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.”4

Pengertian ini membatasi definisi anak berdasarkan tingkat umur. Ini

adalah definisi yang paling umum dan diakui secara internasional.

Pembatasan usia hingga 18 tahun tidak mengikat semua negara. Hal ini

dapat kita lihat perbedaan dalam hukum di beberapa negara penetapan batasan

umur seorang anak tidak sama. Konvensi Hak-hak anak memberi ruang bagi tiap

negara untuk membuat aturan khusus tentang pembatasan usia. Itulah sebabnya

tiap-tiap negara mempunyai batasan usia yang berbeda.Seperti di Korea dan

Jepang misalnya, batasan usia anak adalah 20 tahun. Di Inggris, Australia,

3

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia:Edisi Ketiga (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 2007), hlm. 41

4

(18)

Srilanka dan beberapa negara lain batasan usia anak ditetapkan 16 tahun.

Kebanyakan negara mengikuti pembatasan usia anak 18 tahun seperti negara

Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Filipina, Taiwan, Iran, Kamboja, dan

lain-lain.5

Di Indonesia, pembatasan usia anak diatur dalam UU RI No. 23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak. Secara resmi, berdasarkan UU ini, “Anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan.”6

Hak berarti :7

1. Benar

2. Milik, kepunyaan

3. Kewenangan

4. Kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-Undang

5. Kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu

6. Derajat atau martabat

7. Wewenang menurut hukum

Hak-hak anak adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap anak di dunia.

Hak ini melekat dalam diri anak dan tidak ada seorang pun yang boleh

merampasnya. Hak-hak anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)

5

Disadur dari Buku Sri Widoyati Wiratmo Soekito dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 73-74

6

Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002 , Pasal 1 ayat 1, batasan usia ini diadopsi dari KHA.

7

(19)

11

yang secara khusus memperhatikan anak yang wajib dijamin, dilindungi,dan

dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.8

Secara internasional, perhatian terhadap Hak-hak anak dituangkan dalam

perjanjian (kesepakatan) internasional yang bernama Convention on the Rights of

Child. Indonesia adalah salah satu negara yang menyepakati dan ikut

menandatangani hasil konvensi ini. Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-hak

anak ini ke dalam hukum nasional melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 dan

kemudian mengaturnya dalam Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak.

Perhatian khusus pada Hak-hak anak muncul karena banyaknya anak

yang hidup dalam keadaan sulit di berbagai belahan dunia. Misalnya; anak yang

hidup dalam situasi perang dan konflik, anak yang hidup dalam situasi miskin

makanan, gizi dan sanitasi yang buruk, dan lain-lain. Pengakuan atas Hak-hak

anak menegaskan besarnya perhatian masyarakat dunia atas kelangsungan hidup,

keselamatan, perkembangan, dan kesejahteraan anak di seluruh dunia.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.9 Dalam pengertian

ini tersirat bahwa anak terlindungi dari segala bentuk kekerasan, perlakuan salah,

penelantaran, dan eksploitasi.

8

KHA.Op. cit, Pasal 1 Angka 12.

9

(20)

Namun, melihat fakta akhir-akhir ini, anak menghadapi berbagai

permasalahan yang serius. Untuk itu dituntut kesadaran semua pihak akan

tanggung jawabnya masing-masing terhadap perlindungan hak-hak anak ini dan

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

F. Metode Pengumpulan Data

Jika di dalam penulisan beberapa skripsi dan karya tulis ilmiah lainnya

kita mengenal 2 cara sebagai metode penelitian dan pengumpulan data yang selalu

dipergunakan, yakni :

1. Library research atau penelitian kepustakaan, yaitu suatu metode/cara

pengumpulan data melalui literatur-literatur yang telah disiapkan sebagai

referensi dan tersedia di perpustakaan.

2. Field research atau penelitian lapangan yang dilakukan di tengah-tengah

masyarakat menyangkut masalah yang diangkat, dilaksanakan dengan

keterlibatan penulis sebagai peneliti dan/atau dilakukan di laboratorium.

Penulis di dalam menyiapkan skripsi ini cukup melaksanakan library

research yakni melakukan peninjauan secara kepustakaan terhadap berbagai

tulisan mengenai hak-hak anak dari berbagai buku dan sumber media cetak dan

media elektronik.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini berjudul : “ASPEK HUKUM INTERNASIONAL DALAM

(21)

13

beberapa literatur tentang hak-hak anak dan disesuaikan dengan metode penulisan

skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Secara implisit skripsi ini

membahas mengenai tanggungnjawab para pihak dalam melaksanakan

perlindungan terhadap hak-hak anak.

Ada pun sistematika penulisan yang dilaksanakan penulis adalah sebagai

berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Sebagai Bahagian pengantar dalam penulisan berisikan : Latar

Belakang, Perumusan Masalah , Tujuan Dan Manfaat Penulisan,

Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Pengumpulan Data,dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Di dalam Bab ini akan disajikan data-data mengenai hak-hak anak

dalam hukum internasional seperti : Pentingnya Perlindungan

Terhadap Hak Anak, Instrumen Penting Hukum Internasional Dalam

Perlindungan Hak Anak, Convention on the Right of Child Sebagai

Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak.

BAB III : HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL

Bab ini berisikan materi mengenai : Pentingnya Perlindungan

Terhadap Hak-hak anak di Indonesia, Kondisi dan Situasi Anak

Indonesia, Hak Anak Dalam Hukum Nasional Indonesia,Undang

-Undang No.23 Tahun 2003 Sebagai Acuan Perlindungan Hak-hak

(22)

BAB IV : PIHAK-PIHAK YANG BERTANGGUNGJAWAB DALAM

USAHA PERLINDUNGAN HAK ANAK

Di dalam Bab inilah akan dibahas lebih lanjut mengenai : Subjek

Hukum Internasional Bertanggungjawab Dalam Usaha Perlindungan

Hak Anak, Perlindungan Hak Anak oleh Subjek Hukum Nasional

Indonesia, Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggungjawab

Negara, Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggungjawab Orang

Tua, Perlindungan Hak Anak Merupakan Tanggungjawab Bersama.

BAB V : PENUTUP

Merupakan Bab akhir dari penulisan skripsi ini yang menyajikan :

Kesimpulan mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak, dan

beberapa Saran yang disarikan dari berbagai tulisan mengenai hak-hak

(23)

 

 

BAB II

HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak Anak

Sebuah catatan yang penting untuk diingat, anak-anak baru diakui

memiliki hak asasi setelah sekian banyak anak-anak menjadi korban dari

ketidak-pedulian orang dewasa. Pengakuannya pun tidak terjadi serta merta pada saat

korban berjatuhan, tetapi melalui sebuah proses perjuangan panjang dan tanpa

henti.

Perhatian serius secara internasional terhadap kehidupan anak-anak baru

diberikan pada tahun 1919, setelah Perang Dunia I berakhir. Dikarenakan perang

telah membuat anak-anak menderita kelaparan dan terserang penyakit, seorang

aktivis perempuan bernama Eglantyne Jebb19 mengarahkan mata dunia untuk

melihat situasi anak-anak tersebut. Dia menggalang dana dari seluruh dunia untuk

membantu anak-anak. Tindakannya inilah yang mengawali gerakan kemanusiaan

internasional yang secara khusus memberi perhatian kepada kehidupan anak-anak.

19

Eglantyne Jebb, Penggagas Hak-hak anak

Hak-hak anak adalah hak asasi yang wajib dimiliki setiap anak yang ada di dunia. Ide untuk memperjuangkan hak-hak anak berawal dari keprihatinan seorang guru sekolah dasar di Malborough, Wiltshire, Inggris, Eglantyne Jebb (1876-1928). Saat itu, Eglantyne merasa anak-anak korban Perang Dunia I harus dibantu. Maka, pada 1919, dibentuklah yayasan Save the Children Fund (SCF) dalam

(24)

Pada tahun 1923, Mrs.Eglantyne Jebb membuat 10 pernyataan Hak-hak

anak dan mengubah gerakannya menjadi perjuangan Hak-hak anak:20

1. Bermain;

2. Mendapatkan nama sebagai identitas;

3. Mendapatkan makanan;

4. Mendapatkan kewarganegaraan sebagai status kebangsaan;

5. Mendapatkan persamaan;

6. Mendapatkan pendidikan;

7. Mendapatkan perlindungan;

8. Mendapatkan sarana rekreasi;

9. Mendapatkan akses kesehatan;

10. Mendapatkan kesempatan berperan serta dalam pembangunan.

Tidak lagi sekedar berdasarkan kemanusiaan tetapi juga Hak Asasi.

Pada tahun 1924, pernyataan ini diadopsi dan disahkan sebagai

pernyataan Hak-hak anak oleh Liga Bangsa-Bangsa. Sementara itu, pada tahun

1939-1945, Perang Dunia II berlangsung dan anak-anak kembali menjadi salah

satu korbannya.

Pada tahun 1948, Perserikatan Bangsa Bangsa mengumumkan Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia yang di dalamnya mencantumkan hak-hak anak.

Pada tahun 1959, tepatnya tanggal 1 Juni PBB mengumumkan

pernyataan Hak-Hak-hak anak dan ditetapkan sebagai hari anak sedunia.

20

(25)

17

Kemudian, pada tahun 1979 diputuskan sebagai Tahun Anak dan

ditetapkan 20 November sebagai hari anak internasional.

Setelah sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1989, Konvensi Hak-hak

anak disahkan oleh PBB. Inilah pengakuan khusus secara internasional atas hak

asasi yang dimiliki anak-anak.

Sekarang, telah dibentuk sangat banyak sekali tim yang ditugaskan untuk

memperhatikan masalah anak dan merealisasikan perlindungan hak-hak anak

yang tertuang di dalam Konvensi Hak-hak anak. Hal ini menunjukkan telah

tumbuh dan tengah berkembangnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya

perlindungan terhadap hak-hak anak ini. Kesadaran akan pentingnya perlindungan

terhadap anak ini perlu dilestarikan demi kehidupan bersama penuh sukacita dan

kasih sayang di antara sesama makhluk ciptaan Tuhan.

B. Instrumen Penting Hukum Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak

Ada beberapa instrumen penting hukum internasional dalam

perlindungan hak-hak anak, dimana yang terutama di antaranya :

1. United Nations Standard Minimun Rules for the Administration of Juvenile

Justice (Peraturan-peraturan minimum standar PBB mengenai administrasi

peradilan bagi remaja) “Beijing Rules” (Resolusi Majelis Umum PBB No.

40/33 tanggal 29 November 1985).

Menurut “Beijing Rules”, remaja adalah seorang anak atau seorang muda yang

(26)

pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang

dewasa. (Rule 2.2 huruf c).

Mengacu pada peraturan tersebut di atas, terlihat, bahwa penentuan umur bagi

seorang anak/remaja ditentukan berdasarkan sistem hukum masing-masing

negara. “Beijing Rules” hanya memberikan rambu-rambu agar penentuan

batas usia anak jangan ditetapkan dalam usia yang terlalu rendah. Hal ini akan

berkaitan dengan masalah emosional, mental dan intelektual. Artinya, “Beijing

Rules” menganggap bahwa pada usia yang terlalu rendah, seorang belum

dapat dikatakan dewasa secara emosional, dewasa secara mental, dan dewasa

secara intelektual, sehingga perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana.21

Menurut “Beijing Rules”, tujuan peradilan bagi remaja adalah:22

Pertama, memajukan kesejahteraan remaja, merupakan fokus utama bagi

sistem hukum yang menangani kasus-kasus kejahatan remaja. “Beijing Rules”

menghendaki agar kasus-kasus kejahatan remaja ditangani oleh peradilan

keluarga. Kemudian, apabila terpaksa harus ditangani oleh peradilan kriminal,

maka faktor kesejahteraan anak harus menjadi perhatian yang pertama.

Kedua, adalah “prinsip kesepadanan”. Prinsip ini terkenal sebagai suatu

instrumen untuk mengekang sanksi-sanksi yang menghukum kebanyakan

dinyatakan dalam batasan-batasan ganjaran yang setimpal dengan berat

pelanggaran hukum tetapi juga pada pertimbangan keadaan-keadaan

pribadinya.

21

Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm.41-42.

22

(27)

19

Dengan menggunakan bahasa yang sederhana, visi yang hendak dicapai dalam

peradilan anak menurut “Beijing Rules” adalah: (1) Untuk mencapai

kesejahteraan anak; (2) Penjatuhan pidanan bagi anak, tidak harus bersifat

menghukum; (3) Dalam menjatuhkan hukuman terhadap anak, harus

mendasarkakn prinsip-prinsip: a. tidak mendasarkan pada berat atau ringannya

kejahatan yang telah dilakukan, b. penjatuhan pidana hendaknya

memperhatikan kondisi yang menyebabkan seorang anak melakukan

kejahatan, c. dimungkinkannya pemberian ganti kerugian sebagai pengganti

hukuman, dan d. rasa penyesalan anak yang diwujudkan dalam bentuk

kesediaan untuk kembali ke jalan yang benar dimungkinkan menjadi alasan

pemaaf untuk tidak dijatuhinya hukuman.23

2. United Nations Rules for the Protection of Juvenile Deprived of Their Liberty

(Peraturan-peraturan PBB bagi perlindungan remaja yang kehilangan

kebebasannya) (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/133 tanggal 14

November 1990).

Ada beberapa hal pokok dalam peraturan ini, diantaranya:24

a. Sistem peradilan bagi remaja harus menjujung tinggi hak-hak dan

keselamatan serta memajukan kesejahteraan fisik dan mental remaja.

Berbicara sistem peradilan, akan mencakup keseluruhan komponen dan

proses berjalannya hukum seperti substansi hukum, struktur hukum dan

kultur hukum. Ini berarti, apabila PBB menghendaki kesejahteraan sebagai

akhir dari sitem peradilan, maka substansi hukum, struktur hukum dan

23

Ibid, hlm. 45-46

24

(28)

kultur hukum yang berkaitan dengan peradilan anak harus memounyai visi

dan misi yang sama, yaitu mengusahakan kesejahteraan anak.

b. Penjara harus menjadi alternatif terakhir, karena membiarkan seorang anak

memasuki Lembaga Pemasyarakatan berarti memberikan pendidikan

negatif kepada anak, sebab apabila di dalam LP penghuninya adalah

mereka yang diidentifikasikan sebagai yang jahat, maka anak tersebut

akan mengimitasi tingkah laku yang jahat. Sebab, perilaku kriminal dapat

dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses

komunikasi.

c. Peraturan bagi anak/remaja tidak boleh membedakan ras, warna kulit, usia,

bahasa, agama, kebangsaan, pandangan politik, kepercayaannya, atau

praktek-praktek budaya, kepemilikan, kelahiran atau status keluarga,

asal-usul etnis atau sosial, cacat jasmani, agama serta konsep moral yang

bersangkutan harus dihormati.

d. Para remaja yang belum diadili, harus dianggap tidak bersalah. Remaja

yang masih dalam proses hukum, harus dipisahkan dari remaja yang telah

dijatuhi hukuman. Terhadap remaja yang belum diadili dalam proses

hukum, ia berhak:

(1) Didampingi penasehat hukum dengan cuma-cuma.

(2) Disediakan kesempatan bekerja dengan menerima upah.

(3) Melanjutkan pendidikan.

(4) Memiliki dan tetap menyimpan barang yang menjadi hiburannya.

(29)

21

Data yang harus dirahasiakan tentunya tidak hanya menyangkut

penyingkatan nama, akan tetapi mencakup segala aspek yang berkaitan

dengan kondisi sosial anak, seperti data pribadi maupun data keluarga baik

secara kauntitatif maupun kualitatif.

f. Anak/remaja yang ditahan berhak untuk memperoleh:

(1) Pendidikan;

(2) Latihan keterampilan dan latihan kerja;

(3) Rekreasi;

(4) Memeluk agama;

(5) Mendapat perawatan kesehatan;

(6) Pemberitahuan tentang kesehatan;

(7) Berhubungan dengan masyarakat luas.

3. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Deliquency

(Pedoman PBB dalam rangka pencegahan tindak pidana anak dan remaja)

“Riyadh Guidelines” (Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 tanggal 14

Desember 1990).

Ketiga instrumen di atas merupakan instrumen hukum internasional

dalam menangani kasus-kasus pidana yang dilakukan oleh anak. Ketiga instrumen

di atas sangat penting karena perlunya memperbaiki sistem administrasi peradilan

anak untuk menghindari penyiksaan anak di lembaga pemasyarakatan anak. Hal

ini penting karena sistem administrasi peradilan anak, mulai dari tahap

penyidikan, penuntutan, persidangan, dan pemenjaraan diduga kuat banyak

(30)

masih terjadinya penyiksaan di LP Anak Kutoarjo, Jawa Tengah, seperti yang

dilaporkan oleh Manfred Nowak (pelapor khusus PBB untuk masalah

penyiksaan) yang disampaikan kepada Committee Against Torture (CAT).25

Selain ketiga instrumen di atas, terdapat banyak lagi pedoman dalam

hukum internasional sebagai instrumen hukum perlindungan anak, antara lain:

1. Resolusi MU-PBB 41/85 tanggal 3 Desember 1986 mengenai “Declaration on

Social and Legal Principles relating to the Protection and Welfare of Children,

with Special Reference to Foster Placement and Adoption Nationally and

Internationally”.

2. Resolusi 43/121 tanggal 8 Desember 1988 mengenai “The Use of Children in

the Illicit Traffic in Narcotic Drugs”.

3. Resolusi MU-PBB 44/25tanggal 20 Nopember 1989 mengenai “Convention of

the Rights of the Child”.

4. Resolusi ECOSOC 1990/33 tanggal 24 Mei 1990 mengenai “The Prevention

of Drug Consumption Young Persons”.

5. Resolusi MU-PBB 45/115 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “The

Instrumental Use of Children in Criminal Activities”.

6. Resolusi Komisi HAM PBB (Commision on Human Rights) 1993/80 tanggal

10 Maret 1993 mengenai “The Application of International Standards

Concerning The Human Rights of Detained Juveniles”.

25

(31)

23

7. Resolusi Komisi HAM 1994/90 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The need to

adopt effective international measures for the prevention and eradition of the

sale of children, child prostitution and child pornography”.

8. Resolusi Komisi HAM 1994/92 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “Special

Rapporteur on the sale of children, child prostitution, and child pornography”.

9. Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The Plight

of Street Child”.

10. Resolusi Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 Maret 1994 mengenai “The effects

of Armed Conflicts on Children’s Lives”.

11. Dalam Kongres PBB ke IX tahun 1995 mengenai “The Prevention of Crime

and the Treatment of Offenders”, diajukan dua “draft resolution” mengenai”

a. Application of United Nations Standards and Norms in Juvenile Justice

(Dokumen A/CONF.196/L.5).

b. Elimination of Violence againts Children (Dokumen A/CON.169/L.11)

12. International Agreement for the Suppression of the White Slave Traffic 1904,

International Convention for the Suppression of the White Slave Traffic 1910,

International Convention for the Suppression of Traffic in Women and

Children, dan International Covention for the Suppression of Traffic in

Women of Full Age 1933 yang kemudian keempatnya mengalami perubahan

mendasar dan kemudian menjadi Convention for the Suppression of the

(32)

C. Convention on the Right of Child Sebagai Acuan Internasional Dalam Perlindungan Hak Anak

Konvensi Hak-hak anak ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dengan

Resolusi No. 44/25 tertanggal 20 November 1989.

Peristiwa ini merupakan akhir dari suatu proses yang telah dimulai dengan

persiapan bagi Hari Anak Internasional 1979. Pada tahun tersebut dimulailah

diskusi tentang rancangan konvensi yang disampaikan oleh Pemerintah Polandia.

Sebelumnya, masalah tentang anak-anak telah didiskusikan oleh

masyarakat internasional. Deklarasi tentang hak-hak anak telah ditetapkan baik

oleh Liga Bangsa-Bangsa (1924) maupun oleh PBB (1959). Juga, ketentuan

khusus mengenai anak-anak telah dimasukkan ke dalam sejumlah perjanjian

tentang hak asasi manusia dan hukum humaniter. Walaupun demikian, beberapa

Negara menyatakan bahwa dibutuhkan adanya pernyataan yang menyeluruh

mengenai anak-anak, yang akan mempunyai kekuatan mengikat di bawah hukum

internasional.

Pandangan ini dipengaruhi oleh laporan tentang ketidakadilan yang serius

yang diderita oleh anak-anak: tingginya tingkat kematian anak, perawatan

kesehatan yang buruk, terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan

dasar. Ditemukan pula berbagai kasus yang mencemaskan mengenai anak-anak

yang disiksa dan dieksploitasi sebagai pekerja seksual atau dalam

pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan, mengenai anak-anak dalam penjara atau dalam

keadaan yang lain, serta mengenai anak-anak sebagai pengungsi dan korban

(33)

25

Perancangan Konvensi berlangsung dalam suatu Kelompok Kerja yang

didirikan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Wakil-wakil Pemerintah

membentuk inti kelompok perancang ini, akan tetapi perwakilan badan-badan

PBB dan badan-badan khususnya, termasuk Kantor Komisi Tinggi PBB untuk

Pengungsi (UNHCR), Organisasi Buruh Internasional (ILO), Dana Bantuan bagi

Anak-Anak PBB (UNICEF) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),

sebagaimana juga sejumlah organisasi non-pemerintah, mengambil bagian dalam

perbincangan mengenai hal ini. Rancangan pertama yang disampaikan oleh

Pemerintah Polandia kemudian diubah dan diperluas secara ekstensif melalui

diskusi yang panjang.

Penetapan Konvensi secara aklamasi oleh Majelis Umum telah membuka

jalan pada tahap berikutnya: ratifikasi oleh Negara-negara dan pembentukan

komite pengawasan. Dalam waktu kurang dari satu tahun, pada September 1990,

telah ada 20 Negara yang secara sah telah menandatangani Konvensi ini, dan

kemudian memberlakukannya.

Pada bulan yang sama, Pertemuan Puncak Dunia mengenai Anak

diselenggarakan di New York atas inisiatif UNICEF dan enam negara (Kanada,

Mesir, Mali, Meksiko, Pakistan dan Swedia). Pertemuan ini menghimbau

Negara-negara untuk meratifikasi Konvensi tersebut. Pada akhir 1990, terdapat 57 Negara

yang telah melakukan ratifikasi, sehingga mereka menjadi Negara-negara Pihak.

Pada 1993, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan

di Wina, menyatakan bahwa tujuannya adalah meratifikasi Konvensi ini secara

(34)

telah meratifikasi Konvensi ini. Jumlah seperti ini belum pernah tercapai

sebelumnya di bidang hak asasi manusia. Sampai saat ini sudah 193 negara

meratifikasi Konvensi Hak-hak anak ini.

Konvensi Hak-hak anak memiliki makna yang sama bagi semua orang di

semua belahan dunia. Selain meletakkan standar yang sama, Konvensi ini juga

memperhatikan realita adanya perbedaan budaya, sosial, ekonomi dan politik dari

setiap Negara, sehingga setiap Negara dapat menemukan caranya masing-masing

untuk menerapkan hak-hak yang sama pada semua orang.

Dalam Konvensi ini terdapat empat prinsip umum yang dimuliakan.

Prinsip-prinsip ini dimaksudkan untuk membentuk interpretasi atas Konvensi ini

secara keseluruhan, dan dengan demikian memberikan arahan bagi program

penerapan dalam lingkup nasional. Keempat prinsip ini khususnya dirumuskan

dalam Pasal 2, 3, 6 dan 12.

1. Non-diskriminasi (Pasal 2):

Negara-negara Pihak harus memastikan bahwa semua anak dalam wilayahnya

menikmati hak-hak mereka. Tidak seorang anak pun akan

menderita/mengalami diskriminasi. Hal ini berlaku untuk semua anak, “tanpa

memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, kewarganegaraan, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kecacatan, kelahiran atau status lain dari orang tua atau wali yang sah dari anak tersebut.”

Pesan penting Pasal ini adalah persamaan kesempatan. Anak perempuan harus

(35)

27

anak-anak yang berasal dari negara lain, anak-anak kelompok penduduk asli

atau kelompok minoritas, harus memperoleh kesempatan yang sama untuk

menikmati standar kehidupan yang memadai.

2. Kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 3):

Apabila penguasa suatu Negara mengambil keputusan yang mempengaruhi

anak-anak, pertimbangan pertama haruslah didasarkan pada kepentingan yang

terbaik bagi anak. Prinsip ini berkenaan dengan keputusan pengadilan, pejabat

administratif, badan legislatif dan juga lembaga kesejahteraan sosial

pemerintah maupun swasta. Hal ini tentu saja merupakan pesan mendasar dari

Konvensi ini, dan penerapan prinsip ini merupakan suatu tantangan yang besar.

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan mengembangkan diri (Pasal 6)

Pasal mengenai hak untuk hidup mencakup rumusan mengenai hak untuk

bertahan dan hak untuk mengembangkan diri, yang harus dijamin “semaksimal

mungkin”. Istilah “mengembangkan diri” dalam konteks ini harus ditafsirkan

dalam arti luas, dengan menambahkan dimensi kualitatif: bukan hanya

dimaksudkan untuk perkembangan kesehatan jasmani, akan tetapi juga

perkembangan mental, emosional, kognitif, sosial dan budaya.

4. Pandangan anak (Pasal 12)

Anak-anak harus dibebaskan untuk mempunyai pendapat tentang semua hal

yang bersangkutan dengan diri mereka, dan pandangan ini harus diperhatikan

“sesuai dengan usia dan kematangan si anak”. Ide yang mendasar adalah

(36)

diperhatikan dengan serius, termasuk prosedur hukum atau administratif yang

bersangkutan dengan diri mereka.

Secara umum, Hak-hak anak dibagi dalam 4 (empat) bagian besar, yaitu :

1. Hak Hidup (Kelangsungan Hidup)

Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak-hak anak untuk melestarikan dan

mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi

dan perawatan yang sebaik-baiknya. Untuk mencapainya, negara harus

menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

anak (Pasal 6).

Negara juga berkewajiban untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi

yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan,

khususnya perawatan kesehatan primer (Pasal 24).

Dalam penerapannya, negara berkewajiban untuk melaksanakan

program-program:

a. melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak,

b. menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan,

c. memberantas penyakit dan kekurangan gizi,

d. menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi

ibu,

e. memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan mendapat

dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi,

f. mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang

(37)

29

g. mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang

berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.

Terkait dengan itu, hak-hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa:

(1) hak-hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak

dilahirkan (Pasal 7),

(2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar

jati diri anak (nama, kewargnegaraan dan ikatan keluarga) (Pasal 8),

(3) hak-hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak-hak anak untuk

memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang

dilakukan orang tua atau orang lain yang bertangung jawab atas

pengasuhan (Pasal 19),

(4) hak untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi anak- anak yang

kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga

atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan

latar budaya anak (Pasal 20),

(5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan dem kepentingan terbaik

anak, dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang

berwenang (Pasal 21),

(6) hak-hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh

pengasuhan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk

membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi

(38)

(7) hak-hak anak menikmati standar kehidupan yang memadaidan hak atas

pendidikan (Pasal 27 dan 28).

2. Hak Perlindungan

Hak perlindungan adalah hak setiap anak untuk mendapatkan perlindungan

dari semua hal yang dapat melukai dan menghambat hidup dan tumbuh

kembangnya secara sempurna. Hak ini melindungi anak dari terjadinya

diskriminasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, perdagangan manusia,

pekerja anak, keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan

bagi anak pengungsi, dan lain-lain.

Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk :

a. perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan,

perwatan dan latihan khusus, dan

b. hak-hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli

dalam kehidupan masyarakat negara.

Perlindungan dari ekploitasi, meliputi :

a. perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi,

b. perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang mengancam

kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak,

c. perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan

dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan pornografi,

(39)

31

e. perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus

telah melakukan pelanggaran hukum.

3. Hak Tumbuh Kembang

Pertumbuhan diartikan sebagai peningkatan secara bertahap dari organ dan

jaringan tubuh. Berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian

atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.

Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta

sosialisasi dan kemandirian.

Hak Tumbuh Kembang adalah hak yang dimiliki setiap anak untuk dapat

bertumbuh dan berkembang secara sempurna menjadi manusia dewasa. Hak

tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal maupun non

formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan

fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.

Hak-hak anak atas pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak-hak anak

menyebutkan, negara :

a. menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara

cuma-cuma,

b. mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah

(40)

c. membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dana ketrampilan bagi

anak, dan

d. mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara

teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.

Hak tumbuh kembang juga meliputi :

1. hak untuk memperoleh informasi,

2. hak untuk bermain dan rekreasi,

3. hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya,

4. hak untuk kebebasan berpikir dan beragama,

5. hak untuk mengembangkan kepribadian,

6. hak untuk memperoleh identitas,

7. hak untuk didengar pendapatnya, dan

8. hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik.

4. Hak Partisipasi

Hak partisipasi adalah hak-hak anak untuk terlibat secara aktif dalam berbagai

kegiatan yang mempengaruhi kehidupannya. Hak yang terkait dengan itu

meliputi:

a. hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya,

b. hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk

mengekpresikan,

c. hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan

d. hak untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindungi dari

(41)

33

Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan

penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya

sebagai upaya terakhir. Anak yang dicabut kebebasannya harus memperoleh

akses bantuan hukum, dan hak melawan keabsahan pencabutan kebebasan.

Perlu diingat, bahwa semua hak-hak tersebut saling terkait satu dengan

yang lainnya. Semua hak-hak tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak

dapat dipisahkan. Satu tindakan yang melukai salah satu hak akan mengakibatkan

terlukainya hak yang lain juga. Kegagalan pemenuhan salah satu hak akan

mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam pertumbuh-kembangan anak.

Misalnya, kegagalan dalam pemenuhan hak-hak anak untuk

mendapatkan asupan makanan yang bergizi akan mempengaruhi hak hidup dan

tumbuh-kembangnya. Gangguan terhadap tumbuh kembangnya akan mengurangi

tingkat kecerdasan anak dan sekaligus mengurangi kemampuan anak untuk

(42)

BAB III

HAK-HAK ANAK DALAM HUKUM NASIONAL

A. Pentingnya Perlindungan Terhadap Hak-hak anak di Indonesia

Kita pasti sudah sering mendengar ungkapan “anakonhu i do hamoraon

di au”(anakku merupakan harta yang paling berharga bagiku). Begitulah ucapan

orang Batak dalam sebuah lagu yang menggambarkan seorang tua akan berusaha

apa saja demi memenuhi kebutuhan masa depan anak-anaknya. Hal ini

dikarenakan pandangan bahwa seorang anak adalah cerminan dari orang tuanya.

Bukan sekedar penerus keturunan, tetapi juga sebagai bukti bahwa Ompung

Mulajadi Nabolon (diyakini sebagai manusia pertama yang turun ke dunia

kemudian kembali ke alam para dewa) memberkati melalui pemberiannya berupa

anak-anak sebagai penerus kehidupan keluarga.

Bagi suku Melayu, anak adalah buah hati sibiran tulang. Hal ini

menandakan bahwa masyarakat melayu pun sudah menyadari pentingnya hak-hak

anak. Ada banyak ekspresi serupa yang dapat digali pada nilai kultur dan budaya

bangsa Indonesia. Memberikan perlindungan yang dapat memberikan rasa aman

dan nyaman tentunya menjadi keinginan dan sekaligus kewajiban kita.

Bagi masyarakat awam, perlindungan anak ini tentu saja dilakukan

dengan mengingat kemampuannya sebagai orang tua si anak dan bukan

melibatkan orang lain di luar keluarga. Setelah tahun 1979, pemerintah Indonesia

(43)

35

perlahan-lahan masyarakat sebagai warga negara disadarkan akan pentingnya

perlindungan terhadap hak-hak anak. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum PBB

menetapkan suatu aturan mengenai perlindungan anak, Pemerintah Indonesia

telah lebih dulu mengatur dan memasukkannya dalam hukum nasional di

Indonesia.

Tahun 1990 : Indonesia menandatangani KHA di markas besar PBB di New

York dan Indonesia meratifikasi KHA melalui Kepres No. 36

Tahuun 1990 tanggal 25 Agustus 1990. Tanggal 2 September 1990,

seperti telah disepakati bersama bahwa KHA sebagai salah satu

sumber hukum international berkekuatan mengikat bagi negara

penandatangannya.

Tahun 1997 : Indonesia mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak.

Tahun 1999 : Indonesia mengeluarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Tahun 2002 : Indonesia mengeluarkan UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan

Anak yang terdiri dari 14 Bab dan 93 Pasal, inilah yang nantinya

dijadikan sebagai acuan dalam perlindungan anak di Indonesia.

Dan sampai saat ini juga telah dibentuk Komisi Perlindungan Anak

Indonesia yang bertugas mengawasi pemerintah maupun

masyarakat dalam rangka pemenuhan hak – hak-hak anak.

Disahkannya Konvensi Hak-hak anak dan dibuatnya sejumlah

perundang-undangan nasional mengatur pemenuhan hak-hak anak, tidak serta

(44)

tidak akan pernah selesai. Masih banyak anak-anak yang belum terpenuhi haknya,

bahkan haknya terampas dan terlanggar.

Hak Asasi tidak bisa kita tunggu datang dan diberikan dengan sendirinya,

tetapi juga membutuhkan perjuangan. Perjuangan pemenuhan dan pemulihan

Hak-hak anak membutuhkan suatu kekuatan besar yaitu kesatuan masyarakat

dalam bentuk organisasi. Perjuangannya juga membutuhkan kesabaran dan

semangat pantang menyerah karena harus melalui proses panjang dan bahkan

menelan korban. Organisasi-organisasi masyarakat inilah yang berperan

mengingatkan pemerintah dan semua pihak yang bertanggung jawab bahwa

Hak-hak anak harus dipenuhi.

B. Situasi dan Kondisi Anak Indonesia

Meski disadari pentingnya perlindungan anak di Indonesia, namun dalam

kenyataan ditemui keadaan yang sangat memprihantinkan atas kesejahteraan anak

di Indonesia.

Anak Indonesia belum dapat dikatakan sejahtera dan belum dapat

dikatakan telah terpenuhi hak-haknya. Hal ini dapat dilihat dari data statistik

(Sumber: Depdiknas, 2002), di bidang pendidikan, rata-rata lama sekolah anak

perempuan hanya 5-7 tahun, anak laki-laki 6-7 tahun. Se3lanjutnya hanya ada

27% anak usia 2-6 tahun yang mengikuti pendidikan anak usia dini dan sebanyak

4,2 juta naka usia 7-15 tahun belum pernah sekolah. Fasilitas pendidikan bagi

anak sekolah pun memprihatinkan karena ada 67,7% fasilitas pendidikan anak

(45)

37

Menurut Mendiknas, sebenarnya wajib belajar 6 tahun sudah selesai

sejak tahun 1994. Kemudian Pemerintah memperluas wajib belajar menjadi 9

tahun hingga tingkat SLTP dengan target tuntas pada tahun 2004 dengan ukuran

angka partisipasi kasar (APK) 95%. Namun, angka putus sekolahnya yang belum

tercapai karena ini angka putus sekolah masih 3,01% dan ini masih terlalu tinggi.

Hal ini, menurut Mendiknas, tentunya menjadi pekerjaan rumah untuk

diselesaikan melalui berbagai program, seperti mencari anak-anak yang putus

sekolah untuk dibiayai. Atau, lanjut dia, dibujuk untuk mengikuti Program Paket

A dan Paket B, ditambah program memperbanyak sekolah terbuka. Mendiknas

juga mengatakan untuk program pemberantasan buta huruf terus dilakukan. Untuk

tahun 2004, jelas dia, tercatat sejumlah 15,41 juta orang buta aksara untuk usia 15

tahun ke atas atau 10,2%. Terdapat fakta yang menunjukkan bahwa pendidikan di

Indonesia masih merupakan barang yang mahal sehingga belum dapat dijangkau

oleh seluruh masyarakat. Bahkan meski Pemerintah telah menjalankan program

Biaya Operasional Sekolah (BOS), masih banyak sekolah-sekolah yang

membebankan biaya tinggi kepada para siswanya, khususnya sekolah-sekolah di

kawasan DKI Jakarta.

Pada sektor keesehatan, masyarakat miskin belum sepenuhnya terjangkau

oleh program asuransi kesehatan keluarga miskin atau Askeskin. Terdapat banyak

kasus bayi dengan berat lahir rendah (>2,5 kg), kasus gizi buruk, kasus kematian

bayi dan balita.

Prosedur administrasi dan verifikasi yang kurang aksesibel dan masih

(46)

lebih baik memilih menahan rasa sakit di tempat tinggalnya daripada harus

berobat.

Sementara dalam bidang ketenagakerjaan, didapati dari tahun ke tahun

adanya peningkatan jumlah pekerja anak. Dimana menurut Koordinator ILO

Bidang Penanganan Pekerja Anak, Abdul Hakim, bahwa jumlah pekerja anak di

Indonesia mencapai 2,6 juta jiwa.

Belum lagi dengan sulitnya memperoleh Akta Kelahiran gratis yang

masih sulit diperoleh keluarga miskin. Akta kelahiran berkaitan dengan identitas

dan status hukum anak yang berpengaruh terhadap akses peningkatan

kesejahteraan anak tersebut. Pada tahun 2001, anka tanpa kata kelahiran mencapai

59,30%.

Akta kelahiran gratis sudah menjadi kebijakan pemerintah yang berjalan

sejak 1 Januari 2007. Namun, yang terjadi di lapangan, banyak keluarga miskin

yang diminta uang sebesar Rp100.000,00 sampai Rp800.000,00 untuk

mengurusnya sehingga UNICEF pada tahun 2007 mencatat bahwa kurang lebih

60% anak balita Indonesia tidak memiliki akta kelahiran.

Selanjutnya, berdasarkan data yang diperoleh dari Yayasan

Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah Mada, mengenai berita tentang child abuse yang

terjadi dari tahun 1992 – 2002 di tujuh kota besar, yaitu Medan, Palembang,

Jakarta, Malang, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, ditemukan

bahwa ada 3.969 kasus dengan rincian sexual abuse 65,8%; physical abuse

(47)

39

Kemudian berdasarkan tempat terjadinya kekerasan, rumah menenpati

urutan tertinggi. Padahal rumah adalah akar dimana seorang anak berkembang

baik secara fisik, mental dan emosionalnya.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2005,

kasus kekerasan atau penganiayaan menduduki nomor urut dua setelah

pengasuhan anak, yaitu sebanyak 42 kasus terlapor, kasus perdagangan anak

sebanyak 29 kasus. Data ini meningkat pada tahun 2007 dengan kasus

penganiayaan sebesar 47 kasus dan kasus perdagangan anak sebanyak 42 kasus.

Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya

atas kejahatan ringan, seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak

mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan

demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak akhirnya

dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan.

Kondisi ini memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan

dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan

pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak

kekrasan.

Semua keadaan yang dipaparkan di atas perlu perhatian khusus dan

tindakan segera dari berbagai pihak dalam menegakkan perlindungan anak demi

(48)

C. Hak Anak Dalam Hukum Nasional Indonesia

Masalah perlindungan anak ini merupakan salah satu isu dalam hukum

internasional yang diadopsi ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. Namun

jika kita telusuri kembali, dalam perundang-undangan di Indonesia, ternyata

perhatian terhadap anak sudah dirumuskan dalam Stb. 1925 No. 647 jo Ordonansi

1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Kemudian tahun

1926 lahir pula Stb 1926 No. 87 yang mengatur pembatasan anak dan orang muda

kerja di kapal. Selanjutnya pada 1946 diberlakukan KUH Pidana yang

memberikan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak pidana (Pasal 45,

Pasal 46, Pasal 47); serta Pasal 285, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 292, Pasal 293,

Pasal 294, Pasal 295, Pasal 297, dan beberapa pasal lain memberikan

perlindungan terhadap anak di bawah umur dengan memperberat hukuman atau

mengkualifikasi tindak pidana perbuatan-perbuatan tertentu terhadap anak.26

Sebelum Konvensi Hak-hak anak disahkan oleh PBB, pada tahun 1979, Indonesia

telah mengeluarkan Undang-Undang No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak. Kemudian Indonesia menyatakan kesepakatannya terhadap Konvensi

Hak-hak anak melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Setelah itu, Indonesia

mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak dan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun

demikian masih banyak anggota masyarakat yang belum memahami tentang

Hukum Kesejahteraan dan Perlindungan anak. Banyak diantara anggota

masyarakat yang belum memahami hak dan kewajiban anak, kewajiban dan

26

(49)

41

tanggung jawab atas Kesejahteraan dan Perlindungan anak, Kedudukan Anak,

Penyelenggaraan Kesejahteraan dan Perlindungan anak, pendidikan anak,

tanggung jawab orang tua dan keluarga terhadap anak dan hal-hal lain yang

berkaitan dengan kesejahteraan dan perlindungan anak. Padahal di dalam

pelaksanaan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak diperlukan kerjasama yang

erat antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiga komponen ini

bertanggung jawab di dalam kegiatan perlindungan anak dikarenakan seorang

anak, di samping merupakan amanah dari Tuhan yang Maha Esa, juga anak

merupakan penerus keturunan dari sebuah keluarga dan juga seorang anak adalah

merupakan generasi penerus bangsa. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam

semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan

umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin

keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan

lingkungannya.

Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus

dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau

dirampas oleh siapapun.

Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara

manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan

(50)

Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan

melaksanakan Dek1arasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan

oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya

mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Ada begitu banyak ketentuan hukum bagi Perlindungan Hak-hak anak di

Indonesia, antara lain :

Dalam Konstitusi; lebih lanjut diatur dalam Undang – Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C, dan Pasal 34 ayat

(1).

Melalui Undang-Undang, negara menjamin perlindungan Hak-hak anak, di

antaranya:

1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 (LN. 3143) tentang Kesejahteraan Anak

2. Undang-Undang No. 7 Tahun1984 (LN. 3277) tentang Ratifikasi Konvensi

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

3. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

4. Undang-Undang No. 19 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1930 No. 29

tentang Kerja Paksa (Staatsblad Hindia Belanda tahun 1933 No.261) dan

Konvensi ILO tahun 1957 No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa.

5. Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang Konvensi ILO 1973 No. 138

tentang Batas Usia Minimun untuk Diperbolehkan Kerja.

(51)

43

7. Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Konvensi ILO 1999 No. 182

tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk

Pekerjaan Terburuk untuk Pekerja Anak.

8. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

9. Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10,

12(2), dan 13 (3)).

10. Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 (1),

18 (4), 23 (4), dan 24).

Pengaturan Perlindungan Hak-hak anak ini juga melalui Keputusan

Presiden, seperti :

1. Keppres No.36 Tahun 1990 (25 Agustus 1990) tentang Ratifikasi Convention

on the Rights of Child atau disebut sebagai Konvensi Hak-hak anak.

2. Keppres No.40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009tentang Memasukkan

Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak-hak anak tentang <

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan hadis-hadis tentang waria terutama yang disebutkan dalam

mengemukakan pendapat di depan umum secara sistematis dan menghargai pendapat yang lain. Memerlukan waktu yang lama. 6 Menanamkan rasa persatuan dan solidaritas tinggi

dan difahami tanpa perlu pengulangan dalam berbagai perbahasan yang ada dari berbagai pendapat tersebut. Sayyid Abdurrahman Ba’lawi menyusun kitab ini secara

Pada tulisan ini akan diuraikan tentang definisi dan transformasi wavelet, bagaimana wavelet digunakan sebagai alat analisis (tools) dalam terapan matematika, serta ranah

Penelitian kedua dilakukan oleh Agustinus Primananda 2010 tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen dalam membeli rumah Studi Kasus di Perumahan Bukit Semarang Baru,

Mengingat risiko Operasional adalah wacana baru, supervisor dan perusahaan tidak dapat bertumpu pada data (yang secara eksplisit belum ada di lapangan) sehingga mereka

Hasil penelitian menunjukkan baliwa pada penyuntikan PMSG dengan dosis 40 IU/kg bobot badan memberikan onset berahi tercepat (P&lt;0,05) yaitu 29,81 ± 3,20 jaln sedangkan yang

sehingga terbentuklah morula yang berkembang menjadi blastula. Blastula tersebut selanjutnya dipotong-potong menjadi banyak sel dan diambil intinya. Kemudian inti-inti