BAB I PENDAHULUAN
1.5 Metode Penelitian
1.5.4 Pemilihan Lokasi Penelitian dan
Yang menjadi tempat lokasi penelitian penulis adalah di Desa Pararungan, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba Samosir. Penulis memilh lokasi ini karena di desa ini masih mengenal Ogung Bulu dan sebagian penduduknya masih menganut aliran kepercayaan Batak Toba yakni Parmalim.
Mencari informan adalah suatu tindakan penting yang dibutuhkan penulis , karena dengan mendapatkan informasi yang sesuai, maka masalah yang akan penulis bahas dapat terungkap dengan jelas dengan bantuan informan tersebut.
Sebagai tindakan awal, penulis memilih satu informan pangkal yaitu Bapak Tulus Sinambela, dengan alasan beliau merupakan seorang Pargoci yang masih menganut aliran kepercayaan Malim dan anak dari seorang Pargoci.
Daftar Informan :
1. Nama : Tulus Sinambela (Op. Maya) Alamat : Desa Pararungan, Kec. Habinsaran
Umur : -
Pekerjaan : Pargonci, Petani
2. Nama : M. Simangunsong (Op. Jaya)
Alamat : Dusun Labu Jior, Desa Meranti Timur
Umur : -
Pekerjaan : Pargonci, Petani
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DI DESA PARARUNGAN
Dalam Bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum masyarakat Batak Toba, yang meliputi Lokasi penelitian, Sistem kekerabatan, Sistem kepercayaan, Sistem mata pencaharian, Sistem kemasyarakatan, dan Sistem kesenian masyarakat yang tinggal di daerah Desa Pararungan Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir.
2.1 Letak Geografis Kabupaten Toba Samosir
Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Secara geografis, Kabupaten Toba Samosir berada pada 2003’ - 2040’
Lintang Utara dan 98056’ - 99040’ Bujur Timur, yang berada pada ketinggian 900 - 2.200 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan posisi geografisnya, Kabupaten Toba Samosir berada di antara lima kabupaten yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah Timur berbatasan dengan Labuhan Batu dan Asahan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara serta sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Kabupaten Toba Samosir terdiri dari 16 kecamatan yaitu Kecamatan Balige, Kecamatan Tampahan, Kecamatan Laguboti, Kecamatan Habinsaran, Kecamatan Borbor, Kecamatan Nassau, Kecamatan Silaen, Kecamatan Sigumpar, Kecamatan Porsea, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kecamatan Siantar Narumonda, Kecamatan Parmaksian,
Kecamatan Lumban Julu, Kecamatan Uluan, Kecamatan Ajibata, dan Kecamatan Bonatua Lunasi.
Luas wilayah Kabupaten Toba Samosir sekitar 202.180 Ha yang terdiri dari luas hutan sekitar 109.626 Ha. Dari 16 kecamatan yang ada, kecamatan yang paling luas di Kabupaten Toba Samosir adalah Kecamatan Habinsaran sekitar 408,70 km2 atau 20,21% dari luas kabupaten dan kecamatan terkecil luasnya yaitu Kecamatan Siantar Narumonda sekitar 22,20 km2 atau 1,10%.
2.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini berada di kediaman Bapak Tulus Sinambela selaku pembuat Ogung Bulu, yang letaknya berada di Desa Pararungan Kecamatan Habinsaran Kabupaten Toba Samosir.
Kecamatan Habinsaran merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Toba Samosir yang diapit oleh empat kecamatan, yaitu Borbor, Nassau, Silaen, dan Pintu Pohan Meranti. Memiliki luas wilayah 408,70 km2 yaitu 20,21% dari total luas Kabupaten Toba Samosir. Secara astronomis, Kecamatan Habinsaran terletak diantara 2006’ - 2022’ Lintang Utara dan antara 98035’ - 99010’ Bujur Timur.
Jarak dari Kecamatan Habinsaran ke Kantor Bupati Toba Samosir sejauh 52 Km.
Menilik luasan tersebut, daerah Habinsaran memang menjadi potensi sumberdaya penting untuk Tobasa. Sayangnya, Habinsaran tergolong daerah terpencil atau terisolir di Kabupaten Tobasa. Karena itu, bukan saja dia kurang dikenal, tapi arus pembangunan juga agak tersendat ke sana dan jalan akses desa yang masih menjadi masalah utama. Karena sulit dijangkau, maka daerah Habinsaran ini dikenal sebagai daerah tertinggal di Tapanuli Utara dulu, atau di Tobasa sekarang.
Daerah ini kurang dipromosikan dan kurang disentuh. Padahal potensinya besar.
Terutama potensi perkebunan. Habinsaran dikenal sebagai penghasil kopi, kemenyan, dan rempah andaliman. Disamping tergolong lumbung beras juga.
Tapi potensi perkebunan itulah yang paling menjanjikan untuk dikembangkan di sana.
Mengapa dinamai Habinsaran? Karena perspektif geografis orang Batak tempo dulu menetapkan daerah tepi timur Tanah Batak sebagai habinsaran, tempat matahari terbit (binsar = terbit matahari). Sedangkan tepi barat ditetapkan sebagai hasundutan, tempat matahari terbenam (sundut = terbenam matahari).
(Karena itu ada juga Kabupaten Humbang-Hasundutan, dengan ibukota Doloksanggul, pemekaran Kabupaten Tapanuli Utara di wilayah tepi barat tahun 2003).
Sudah pasti mayoritas warga Habinsaran itu etnik Batak Toba. Tapi yang menarik, sebagian besar adalah orang Batak bermarga Pardosi. Pardosi adalah marga raja, pembuka huta (kampung) pertama, di Habinsaran khususnya Parsoburan. Istilah orang Batak, Pardosi adalah sisuan bulu (penanam bambu).
Dahulu kala, sebuah kampung Batak selalu dikelilingi oleh tanaman bambu sebagai "benteng hijau". Mencegah binatang buas masuk kampung.
Marga Pardosi itu sebenarnya marga Siagian. Tapi menurut hikayat, Raja Mardongan yang menjadi leluhur Pardosi, berselisih dengan saudaranya di kampung asal sekitar Balige. Karena sakit hati, Raja Mardongan pergi merantau ke timur, ke Habinsaran, lalu membuka "kerajaan" atau kampung baru di situ.
Sebagai ekspresi sakit hatinya, Raja Mardongan menanggalkan marga Siagian dan mengenakan marga baru Pardosi. (Sekarang disebut Siagian-Pardosi).
Di Habinsaran, Raja Mardongan menikah dengan Boru Doloksaribu dan beranakkan Raja Urang (Menurut satu versi cerita, sebenarnya Raja Mardongan tidak menikahi Boru Doloksaribu, tapi merawatnya sampai melahirkan setelah diselamatkan dari percobaan bunuh diri dalam keadaan hamil). Kemudian menikah juga dengan Boru Naiborhu dan beranakkan Raja Hujurbatu, Raja Pamahar, Raja Ledung, dan Raja Manorsa. Lima anak ini kemudian menjadi lima kelompok Pardosi yang menyebar di wilayah Habinsaran, termasuk Nassau dan Borbor. Jika berkunjung ke Parsoburan Tengah, maka di sana bisa disaksikan bangunan Tugu Raja Pardosi.
Tahun 2010 Kecamatan Habinsaran mengadakan pemekaran desa sebanyak 5 Desa yaitu Desa Pangujungan merupakan pemekaran dari Desa Lumban Rau Selatan, Desa Pararungan dan Desa Lumban Lintong merupakan pemekaran dari Desa Panamparan, Desa Aek Ulok merupakan pemekaran dari Desa Lumban Rau Barat, Desa Lumban Pinasa Saroha merupakan pemekaran dari Desa Lumban Pinasa. Desa yang paling jauh dari Ibukota Kecamatan yaitu berjarak sekitar 38 km dan juga merupakan desa yang paling sulit dijangkau dari ibukota kecamatan karena kondisi jalan yang rusak parah adalah Desa Sibuntuon dan Desa Pagar Batu.
Di Kecamatan Habinsaran sendiri terdapat 22 desa atau kelurahan yang salah satunya adalah Desa Pararungan yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Panamparan pada tahun 2010 yang menjadi lokasi penelitian dalam tulisan ini.
Desa ini memiliki luas wilayah yang masih tergabung dengan desa induk (Desa Panamparan) sekitar 58,95 km2 atau 14,42% luas Kecamatan Habinsaran dan berada pada ketinggian 1.600 m di atas permukaan laut. Jarak desa ke ibukota kecamatan sekitar 35 km.
Peta 2. Wilayah Kecamatan Habinsaran
2.3 Pola Perkampungan dan Letak Rumah
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa pola perkampungan di desa Pararungan sama dengan pola perkampungan Batak Toba pada umumnya. Letak rumah selalu berhadapan menghadap jalan atau menghadap halaman umum membentuk sebuah perkampungan. Kebanyakan masyarakat di desa ini masih
Penduduk yang tinggal memiliki bentuk pola pemukiman yang berkelompok. Setiap rumah dibangun menghadap jalan dan sejajar mengikuti alur jalan desa yang berbeda dengan pemukiman yang ada di dusun-dusun. Biasanya jarak pusat desa dengan perkampungan lainnya sangat jauh, hal ini disebabkan banyak masyarakat yang mencari lahan pertanian yang bisa digarap. Mereka tinggal di dekat lahan tersebut dan kemudian membentuk komunitas sendiri yang menjadi cikal bakal sebuah perkampungan ataupun dusun. Karena kebanyakan dusun-dusun berada pada wilayah yang lebih rendah dari jalan desa atau berada di lembah, maka pola perkampungannya menjadi berbeda dengan yang ada di pusat desa.
2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Toba
Sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba sangat erat kaitannya dengan istilah “marga” yang merupakan nama nenek moyang yang selalu diturunkan kepada keturunan dengan garis keturunan patrilineal. Kekerabatan adalah suatu tata cara yang mengatur hubungan sosial kemasyarakatan. Adanya system kekerabatan antara sesama manusia disebabkan oleh beberapa hal diantaranya akibat adanya hubungan darah (consaigual) dan dikarenakan adanya hubungan perkawinan (konjunal).
2.4.1 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan darah
Pada masyarakat Batak Toba hubungan kekerabatan atas dasar hubungan darah ditentukan oleh tarombo, dan posisi seseorang di dalam tarombo ditentukan marga yang dimiliki seseorang tersebut. Di dalam tarombo seseorang Batak dapat mengetahui jikalau dia berada pada urutan generasi keberapa, dan dengan
mengetahui itu maka dia dapat menentukan sebutan yang layak kepada seseorang Batak yang baru diajaknya berkenalan. Terdapat sebutan panggilan antara satu individu dengan individu lainnya yang masih tergolong dalam satu garis keturunan pada suku bangsa Batak Toba. Nama panggilan tersebut diantaranya adalah:
Ompung Doli (Kakek), dibaca Oppung Doli adalah panggilan khusus kepada kakek yaitu ayah dari ayah/ibu.
Ompung Boru (Nenek), dibaca Oppung Boru adalah panggilan khusus kepada nenek yaitu ibu dari ayah/ibu.
Among, adalah nama panggilan anak-anak kepada ayahnya selaku kepala rumah tangga
Inong, adalah nama panggilan untuk ibu yang melahirkan anak- anaknya.
Gelleng, adalah sebutan untuk anak-anak (laki-laki dan perempuan) yang merupakan keturunan dari suami istri.
Anaha/sinuan tunas, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada anaknya laki-laki.
Boru/sinuaan beu, adalah nama panggilan ayah dan ibu kepada anak perempuannya.
Ito/iboto, adalah adalah panggilan anak laki-laki kepada anak perempuan, demikian juga sebaliknya.
Anggi, adalah nama panggilan antara anak laki-laki kepada adiknya
laki-laki, dan juga panggilan antara anak perempuan dengan adik perempuannya.
Akkang, adalah nama panggilan kepada anak yang lebih muda
kepada anak yang lebih tua darinya, dalam konteks ini adalah mereka yang berjenis kelamin sama.
Pahoppu, adalah nama panggilan kakek dan nenek kepada cucu-cucunya.
2.4.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan
Sebagai wilayah yang mayoritas Suku Batak Toba maka sistem kekerabatan ataupun tata cara kehidupan sosial masyarakat yang tinggal tercermin dalam sebuah konsep budaya yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Dalam setiap aktivitas, kekerabatan dan adat istiadat di desa ini diatur oleh tiga konsep yaitu Hula-hula (pihak keluarga pemberi istri); Anak boru (pihak keluarga penerima istri); dan Dongan tubu (sesama saudara lelaki dari induk marga yang sama).
Ketiga konsep ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiga hal ini mempunyai prestise dan tingkatan yang berbeda. Hula-hula berada pada status tertinggi baik secara sosial maupun dalam konteks spritual atau adat.
Ketiga konsep ini juga terungkap dalam sebuah pepatah Batak Toba yang menyatakan “Somba marhula-hula, elek marboru, mangat mardongan tubu.
Artinya setiap orang harus sopan dan hormat terhadap hula-hula, memberikan
perhatian terhadap anak boru, serta harus menjaga hubungan yang baik dengan dongan tubu.
Ketiga konsep ini memiliki peranan yang penting dan saling melengkapi dalam adat. Ketika dalam suatu pesta, hula-hula tidak begitu repot karena dianggap sebagai posisi yang paling dihormati menjadi pemberi berkat dan restu.
Dongan tubu berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam acara, dongan tubu menjadi tempat berdiskusi serta menjalankan acara. Biasanya istilah untuk dongan tubu dalam suatu acara adat disebut dengan dongan saulaon (Teman sekerja). Tidak kalah pentingnya juga peranan boru dalam suatu perayaan acara adat istiadat pada masyarakat Batak Toba. Dalam setiap upacara adat pihak boru bertanggung jawab dalam setiap hal yang sifatnya teknis pada upacara tersebut. Menyiapkan tempat, menyebarkan undangan, menyediakan kebutuhan acara, dan menyediakan konsumsi selama jalannya acara (marhobas).
Dapat disimpulkan bahwa dalam dalihan na tolu, hula-hula dianggap sebagai pihak yang kedudukannya paling tinggi, dongan tubu sebagai pihak yang sederajat dan boru merupakan pihak yang kedudukannya paling rendah.
Istimewanya, setiap orang dalam sistem kemasyarakatan Batak Toba akan berada dalam ketiga kedudukan tersebut, artinya seseorang itu akan pernah sebagai hula-hula, dongan tubu dan sebagai boru. Sehingga tidak akan pernah timbul perbedaan martabat dalam sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba.
Disamping itu, masyarakat yang tinggal sangat menjunjung tinggi hubungan antara kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial lainnya
berdasarkan turunan marga. Ketika seseorang baru bertemu dengan yang lain, biasanya masing-masing individu akan menyebutkan marganya terlebih dahulu dan kemudian mencari posisi marganya tersebut dalam keluarga atau turunan marganya. Kemudian hal ini akan memunculkan posisi baru bagi setiap individu tersebut dalam konteks adat sesuai dengan konsep dalihan na tolu.
Selain sebutan kekerabatan yang terjadi akibat adanya hubungan darah, dalam tatanan dalihan na tolu juga terdapat sebutan yang ditujukan kepada orang-orang tertentu tergantung sebagaimana posisinya di dalam adat, adapun sebutan-sebutan itu antara lain:
Amang simatua, adalah nama panggilan kepada mertua laki-laki.
Inang simatua, adalah nama panggilan kepada mertua perempuannya.
Tulang, adalah panggilan kepada saudara laki dari ibu, atau laki-laki yang satu marga dengan Istri.
Nantulang, panggilan kepada istri dari tulang.
Amang Boru, adalah panggilan kepada suami dari adik perempuan ayah.
Namboru, adalah nama panggilan kepada saudari perempuan dari ayah yang telah menikah ataupun belum.
Hela, adalah panggilan kepada menantu laki-laki atau sebutan untuk suami dari anak perempuan abang/anak adik.
Parumaen, adalan nama panggilan kepada menantu perempuan atau isteri dari anak laki-laki.
Lae, adalah panggilan seorang laki-laki kepada anak laki-laki dari
tulangnya, dan juga panggilan seorang laki-laki kepada suami dari saudari perempuannya.
Tunggane, adalah panggilan kepada semua saudara laki-laki dari isteri, atau semua anak laki-laki dari tulang.
Eda, adalah panggilan yang ditujukan oleh seorang perempuan kepada
isteri dari saudaranya laki-laki dan isteri dari saudara laki-lakinya tersebut juga memanggil dengan panggilan yang sama kepada saudari perempuan dari suaminya.
Amangbao/Bao, adalah nama panggilan kepada suami dari eda seorang perempuan.
Inangbao, adalah nama panggilan kepada Isteri dari hula-hula atau
tunggane (abang/adik isteri).
Pariban, adalah nama panggilan yang diucapakan seorang lelaki
kepada putri dari pihak tulang atau satu marga dengan tulang, juga sebutan yang diucapkan seorang perempuan kepada anak laki-laki dari namborunya.
Dapat kita lihat bahwa dalihan na tolu berfungsi mengatur setiap segi dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya diaantaranya mengatur hubungan social antar marga, mengatur ketertiban dalam pelaksanaan suatu upacara adat, menentukan kedudukan dalam struktur social masyarakat Batak, menentukan hak dan kewajiban seseorang di dalam adat, dan sebagai landasan dalam bermusyawarah dan bermufakat bagi suku bangsa Batak.
2.5 Sistem Kepercayaan
Masyarakat Batak jauh sebelum pra kemerdekaan dan penjajahan, memiliki kepercayaan akan adanya pencipta alam semesta dan mengenal beberapa konsep tentang roh dan jiwa, yaitu :
Tondi, merupakan roh seseorang yang memiliki kekuatan sebagai
penggerak raganya, tondi dimiliki oleh manusia baik yang hidup maupun yang sudah meninggal bahkan tumbuhan serta hewan.
(Vergouven 1986 : 82) kepemilikan atas tondi telah diterima seorang manusia saat dia masih berada di dalam kandungan ibunya.
Sahala, merupakan daya khusus dari tondi yang diperoleh dari
Mulajadi Na Bolon dalam kaulitas yang berbeda dari setiap orang.
Semua orang biasanya memiliki tondi, tetapi tidak semuanya memiliki sahala. Sahala biasanya dimiliki oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang penting serta yang memiliki kekuatan lebih. Memiliki sahala dapat diartikan di dalam Batak Toba sudah berhasil di duniawi.
Sahala juga merupakan sebuah kualitas dan dapat hilang, Sahala juga dipercaya dapat berpindah ke tubuh orang lain (Pederson 1970 :29-30).
Begu, merupakan perwujutan dari tondi seseorang yang telah
meninggal lalu mendiami suatu tempat, dimana tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia. Begu yang sangat ditakuti adalah begu dari orang yang mati mendadak, orang yang tidak mempunyai anak, perempuan yang meninggal saat melahirkan (begu ini diyakini sangat
jahat), dan begu penderita kusta yang bunuh diri. Beberapa begu yang diyakini oleh orang Batak Toba :
1. Homang, roh ini hidup di hutan, suka menculik anak-anak, dan kelakuannya jahat.
2. Solobean, roh ini hidup di air yang membuat pelayaran berbahaya
3. Sumangot, roh leluhur yang sudah meninggal menduduki tempat yang khusus, terutama mereka yang di waktu hidupnya tergolong orang kaya, mempunyai kekuasaan, dan keturunannya banyak.
4. Sombaon, roh yang bertempat tinggal di pegunungan, di hutan rimba yang gelap dan mengerikan, atau disebuah sungai besar.
5. Silan, roh dari nenek moyang pendiri huta/kampung dari suatu marga.
6. Begu ganjang, roh yang sangat ditakuti, karena dapat membinasakan orang lain menurut perintah pemeliharanya.
Penduduk yang ditinggal di Desa Pararungan secara mayoritas sudah menganut agama Kristen, namun masih ada sekitar 10 keluarga yang masih menganut aliran kepercayaan Ugamo Malim Najumanghon Uras.
Ugamo merupakan kata serapan dari bahasa Indonesia yang bermakna agama, sedangkan kata malim berarti suci atau bersih. Dengan kata lain ugamo malim merupakan suatu agama yang berlandaskan prinsip kesucian dalam menjalani kehidupan bagi penganutnya. Parmalim merupakan sebutan yang
terbentuk dari imbuhan par- berarti yang melakukan dan malim yang berarti suci/bersih, bila disatukan membangun suatu definisi orang yang berlaku atau bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip kesucian (Torang Naiborhu, 2008:73).
Ugamo Malim Najumanghon Uras adalah salah satu “sekte” dari kepercayaan Malim yang awalnya berasal dari daerah Habinsaran di pedalamam Kabupaten Tobasa. Kemudian menyebar ke daerah-daerah lain di pinggiran Tobasa dan di sekitaran Kabupaten Asahan. Ugamo Malim Najumanghon Uras tersebar dari beberapa punguan (kelompok), yakni di Habinsaran Kecamatan Parsoburan Desa Panamparan dan Pararungan, di Desa Meranti Timur Dusun Lobu Jior, Lobu Rappa, Adian Baja, di Desa Meranti Tonga di Dusun Jambu Dolok dan Batu Rangin, di desa Meranti Utara di Dusun Batu Mamak.
Dalam peribadatannya Parmalim Najumanghon uras memiliki keyakinan kepada Mulajadi na Bolon sebagai awal dari segalanya, maha mutlak dan tidak terganggu gugat serta Raja Sisingamangaraja Patuan raja malim sebagai perantara yang mengajarkan ajaran dari Mulajadi na bolon kepada manusia di dunia. Terdapat kepercayaan mengenai tondi yang merupakan manifestasi dari kuasa yang dimiliki Debata Mulajadi na bolon. Secara fungsional Mulajadi Nabolon terbagi tiga yang disebut tri tunggal sebagai wujud kuasa Mulajadi Nabolon, yaitu :Batara Guru, Ompu Tuan Soripada dan Ompu Tuan Mangalabulan. Batara Guru merupakan dewa yang memberikan kepintaran, tempat bertanya dan pemberi talenta. Ompu tuan soripada merupakan sebagai dewa yang memberi mata pencaharian, kekayaan, kejayaan dan kesusahan bagi
manusia. Sedangkan Tuan Sori Mangaraja adalah dewa yang memberikan ilmu kedukunan, kesaktian, kekuatan dan ilmu keberanian (Tobing 1956:46-55).
Dari segi atribut yang dikenakan di dalam kegiatan keagamaan terdapat karakteristik dari ugamo malim Najumanghon Uras, contoh dari pakain yang dikenakan, Parmalim Najumanghon Uras mengenakan gotong gotong berwarna dan pakaian serba hitam. Dalam peribadatannya parmalim na Jumanghon uras memiliki keyakinan kepada Mulajadi na Bolon sebagai awal dari segalanya, sebagai yang Maha mutlak, dan tidak terganggu gugat dan raja Sisingamangaraja Patuan raja malim sebagai perantara doa-doa yang disampaikan, dan pujian-pujian itu disampaikan melalui gondang batak. Dan struktur yang diberi kepercayaan untuk mengatur jalanya ritual terdiri dari :
Sesepuh
Ulu Punguan
Panitangi
Raja Parbaringin
Raja Partahi
Pada semua kegiatan ritual yang dilaksanakan parmalim najumanghon uras, doa atau tonggo yang diucapkan ditujukan kepada para tondi sahala melalui perantaraan jujungan raja Sisingamangaraja patuat raja malim, berikut ini tondi yang dipercaya dalam ugamo malim najumanghon uras.
Debata mulajadi na bolon, merupakan Tuhan atas segala hal yang ada di alam semesta, pencipta alam semesta dan segala isinya,
Debata na tolu Batara guru, Bane bulan, Bale sori: merupakan
representasi dari kekuatan mulajadi na bolon, sumber pengetahuan dan lain sebagainya,
Si Boru Deak parujar: perancang tanah tempat manusia berpijak untuk hidup,
Sisingamagaraja najomolo tubu: merupakan perantaraan yang
mengajarakan ajaran yang diberikan mulajadi na bolon untuk dianut manusia,
Tuan saribu raja, martua raja rum, martua raja sinambur,
Raja parhabinsaran,
Boru Tolam banua, inang boru pormalima, inang si boru pinahot,
Tuan saribu raja,
Boru Saniang Naga Parmual sitiotio,
Raja hasahatan, tu Raja hatorusan.
Masing-masing dari sahala tondi tersebut memiliki peranannya dalam kehidupan manusia yang berada di bumi ini menurut ajaran parmalim najumanghon uras, oleh sebab itu setiap dari sahala tondi tersebut selalu diucapkan di dalam tonggo yang disampaikan partamiang pada pelaksanaan suatu ritual.
Tujuan di bentuk organisasi agama suku ini untuk menyatukan orang Batak menentang masuknya agama wahyu seperti agama kristen yang dibawakan oleh misionaris ke Tanah Batak. Pada prinsipnya aliran kepercayaan ini juga berlandasan kepada Ompu Mulajadi Nabolon yang di akui sebagai pencipta (Situmorang 1993b:98-120).
2.6 Penduduk, Sistem Bahasa dan Mata Pencaharian
Penduduk yang mendiami wilayah Desa Pararungan adalah suku Batak
Penduduk yang mendiami wilayah Desa Pararungan adalah suku Batak