• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT TIONGHOA DI MEDAN

4.4 Sistem Kepercayaan

Kementrian Agama menetapkan agama yang resmi yang di akui di Indonesia adalah Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Atas dasar Undang-Undang Administrasi Kependudukan Tahun 2006 mengakibatkan tidak mungkinnya masyarakat Indonesia memilih agama di luar dari enam kepercayaan yang telah diresmikan negara untuk dicantumkan di kartu tanda pengenal penduduk. Menurut data sensus tahun 2000, hampir 90 persen orang-orang Tionghoa di Indonesia memeluk agama Buddha dan Kristen Katolik dan Protestan. Meski penduduk Indonesia mayoritas beragama Muslim, tetapi etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam sangatlah sedikit. Sensus di Tahun 2003 menyebutkan bahwa hanya 5,41 persen Etnik Tionghoa yang memeluk agama Islam, Ananta, Arifin dan Bakhtiar dalam Siahaan, (2012 : 34). Namun, etnik Tionghoa masih dipengaruhi oleh agama atau kepercayaan turun-temurun dari leluhur mereka. Beberapa ajaran atau kepercayaan itu adalah Konfusianisme, Taoisme.

Berdasarkan data BPS kota Medan tahun 2010, terdapat 202.839 jiwa etnis Tionghoa di Kota Medan dan mayoritas sebanyak 112.456 jiwa beragama Buddha. Sisanya menganut agama lain seperti kristen protestan, katolik, islam, taoisme dan konghucu. Masyarakat Tionghoa Penganut Buddhisme di Kota Medan pun terdiri dari beberapa aliran seperti Theravāda, Mahāyāna, dan

Maitreya, namun penganut Buddhisme terbanyak di Medan berasal dari aliran

Mahāyāna.

Pada ketiga aliran Buddhisme tersebut, ada yang melakukan meditasi dan ada yang tidak. Aliran yang melakukan meditasi dan menjadikannya kewajiban adalah penganut Buddhisme aliran Theravāda, sedangkan pada aliran Mahāyāna terdapat meditasi tetapi tidak wajib dilakukan dan pada aliran Maitreya tidak terdapat meditasi.

4.4.1 Buddhisme

Agama Buddha berasal dari India bagian utara yang dipelopori oleh Buddha Gautama atau Bhagava. Beliau adalah seorang pangeran yang dinamai Siddharta. Siddharta dilahirkan pada tahun 623 SM, sekitar 2600 tahun yang lalu. Konsep ajaran agama Buddha yang terkenal adalah kepercayaan mereka tentang teori karma. Kata karma diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai did (perbuatan) atau action (tindakan), tetapi arti yang sebenarnya lebih luas dari pada itu, cakupannya tidak hanya sebatas tindakan yang bersifat lahiriah, tetapi juga termasuk segala yang ada dalam ucapan dan pikiran seorang individu.

Menurut Buddhisme, semua fenomena yang terjadi pada alam semesta atau lebih spesifik pada individu, merupakan manifestasi dari jiwanya. Kapan pun individu itu bertindak, berbicara atau bahkan berpikir, maka jiwanya saat itu juga sedang berbuat sesuatu, dan sesuatu yang diperbuatnya itu pasti akan menghasilkan akibatnya, entah kapan pun waktunya di masa yang akan datang. Akibatnya itu merupakan balasan Karma. Karma adalah sebab dan balasannya adalah akibat. Keberadaan seorang individu disusun dari rangkaian sebab dan akibat.

Hidup yang berlangsung saat ini hanya merupakan satu aspek dari keseluruhan proses yang ada. Kematian bukan akhir dari keberadaan, melainkan hanya aspek lain dari proses yang ada. Menjadi apa seorang individu dalam hidupnya saat ini, merupakan akibat dari perbuatan yang telah ia lakukan di masa lampau, dan apa yang dilakukannya saat ini akan menentukan keberadaannya di masa yang akan datang. Rangkaian kausa ini disebut Samsara

dan Roda Kelahiran . Inilah sumber utama timbulnya penderitaan hidup dalam keberadaan individu, (Robert, 2010:150).

Di Indonesia, penyebaran agama Buddha dimulai di masa pemerintahan Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit. Agama buddha berkembang dengan pesat . Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan masyarakat setempat di Indonesia tercermin lewat bangunan candi-candi bercorak Buddhis yang dibangun dengan megah pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Syailendra. Pembangunan candi-candi bercorak agama buddha seperti Borobudur, Mendut dan Pawon menunjukkan kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat tinggi, (Robert, 2010:152).

Agama buddha di Medan diakui keberadaannya oleh penduduk setempat. Banyak masyarakat Tionghoa di Medan memeluk agama Buddha sebagai kepercayaan mereka. Tempat-tempat beribadah bagi penganut agama Buddha juga banyak didirikan di wilayah sekitar kota Medan. Masyarakat Tionghoa di Medan yang memeluk agama Buddha merayakan hari besar atau hari suci mereka setiap tahun, yang disebut dengan Hari Waisak dan dijadikan sebagai hari libur nasional.

Terdapat beberapa aliran agama Buddha di Medan, di antaranya Theravāda, Mahāyāna, dan Maitreya. Berdasarkan data departemen keagamaan Buddha Sumatera utara tahhu 2010, Vihara di Medan di dominasi oleh aliran Mahāyāna, hal ini mungkin didukung oleh kultur budaya dan upacara penghormatan leluhur yang menjadi kepercayaan etnis Tionghoa di Medan masih kental. Aliran Mahāyāna terbuka terhadap upacaraa-upacara yang dilakukan para penganutnya yang berkaitan dengan kebudayaan lokal. Berbeda

dengan aliran Theravāda yang hanya menitikberatkan kepada ritual keagamaan saja dan tidak terbuka terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Penganut Maitreya juga terbilang cukup banyak karena salah satu Vihara Maitreya terbesar di Asia Tenggara, terdapat di Medan yaitu Maha Vihara Maitreya yang terdapat di kompleks cemara asri.

4.4.1.1 Theravāda

Theravāda adalah kata dalam bahasa Pāli yang secara harfiah berarti Ajaran Sesepuh atau Pengajaran Dahulu, merupakan mazhab tertua Agama Buddha yang masih bertahan dan ditemukan di

Theravāda mempromosikan konsep Vibhajjavada, yang secara harfiah

berarti “Pengajaran Analisis”. Doktrin ini mengatakan bahwa wawasan harus datang dari pengalaman, penerapan pengetahuan, dan penalaran kritis siswa.

Theravāda juga hanya mengakui Buddha Gotama atau sakyamuni sebagai

Buddha sejarah yang hidup pada masa sekarang. Meskipun demikian Theravāda mengakui pernah ada dan akan muncul Buddha-Buddha lainnya, (Gombrich, 1996:150).

Berdasarkan data dari CIA World Factbook Tahun 2006, Theravāda tersebar paling banyak di Sri langka dengan penganut 70% dari total jumlah

penduduk, dan sebagian besar benua di

minoritas dari Barat Daya banyak popularitas di

Penyebaran agama Buddha Theravāda di Indonesia dimulai atas prakarsa Bapak Tri-Dharma Kwee Tek Hoay pada tahun 1934 yang diawali dengan kunjungan Bhante Narada dari Srilangka ke Candi Borobudur untuk penanaman pohon bodhi. Disinilah cikal bakalnya penyebaran agama Buddha dimulai, (Sudirman, 2010).

Penganut Buddha Theravāda di Medan terbilang tidak terlalu banyak, hal ini dibuktikan oleh vihara-vihara aliran Theravāda yang terdapat di Medan berjumlah lebih sedikit daripada Vihara aliran lain. Hal ini mungkin disebabkan oleh aliran Theravāda yang lebih menekankan kepada unsur realitas dan menitikberatkan pada usaha untuk pencapaian nibbana, berbeda dengan Mahāyāna yang amat terbuka dan menerima tradisi masyarakat setempat khususnya Tionghoa serta pemujaan terhadap dewa-dewi.

Meditasi adalah salah satu kewajiban dalam aliran Theravāda, karena tujuan utama dari meditasi adalah pemutusan reinkarnasi dan pencapaian nibbana atau kelenyapan. Meditasi dalam Theravāda dibagi atas dua jenis, yaitu

samatha dan vipassana. Samatha adalah meditasi untuk ketenangan batin

sedangkan vipasssana adalah meditasi untuk pengembangan wawasan.

Masyarakat Tionghoa penganut Theravāda di kota Medan, kebanyakan rutin menyempatkan diri untuk melakukan meditasi. Vihara-vihara aliran Theravāda di Medan pun memiliki jadwal tertentu untuk meditasi. Tak hanya meditasi samatha, vihara-vihara aliran Theravāda juga mengadakan retret meditasi vipassana atau sebagai ujian meditasi yang biasanya dilakukan selama seminggu tanpa berbicara kepada siapapun dan berkonsentrasi terus terhadap objek meditasi yang ditentukan misalnya nafas. Tak hanya meditasi rutin di

Vihara seperti meditasi samatha, retret meditasi vipassana juga diikuti oleh penganut Buddhisme Theravāda di Medan dengan antusias.

4.4.1.2 Mahāyāna

Mahāyāna adalah kata dalam bahasa sanskerta yang terdiri dari dua kata yakni mahā (besar) dan yāna (kendaraan), jadi secara etimologis berarti kendaraan besar. Aliran Buddhisme ini disebut dengan Mahāyāna karena dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan sebagai sebuah kereta besar yang memuat penumpang banyak.

Aliran ini mempercayai adanya dewa-dewa lain yang berperan dalam kehidupan mereka, seperti Dewa Bumi, Dewi Kasih Sayang, Dewa Langit dan sebagainya. Hal ini dipengaruhi oleh kebudayaan-kebudayaan tempatnya berkembang, seperti Cina yang sejak berabad-abad sebelumnya telah memiliki keyakinan yang kuat terhadap dewa-dewa penjaga alam dan arwah leluhur; dan lain sebagainya, (Dewi, 2010).

Menurut Harvey (2010), dalam jurnalnya yang berjudul Introduction to Buddhism, Mahayana menyebar keseluruh menganut ajaran Mahayana sekarang ini adal serta Tibet.

Ajaran Mahāyāna di Indonesia erat dengan sekte Zen. Hal ini dikarenakan perantau Tionghoa yang datang ke Indonesia mayoritas berasal dari Fujian dan Guan Dong, Tiongkok Selatan dimana sekte ini sangat dominan di propinsi tersebut.

Penganut Mahāyāna di Kota Medan terbilang banyak, hal ini dibuktikan oleh Vihara-Vihara aliran Mahāyāna yang tersebar di Medan. Asal- usul

Masyarakat Tionghoa di Medan pada umumnya berasal dari daerah fujian, dimana di daerah tersebut sekte Mahāyāna sangat dominan, jadi tidak heran mengapa suku Tionghoa di Medan banyak yang menganut agama Buddha aliran Mahāyāna.

Meditasi juga terdapat dalam aliran Mahāyāna, tetapi jenisnya berbeda dengan aliran Buddhisme lain. Dalam aliran Mahāyāna terdapat meditasi nianfo, yaitu meditasi yang menekankan kepada keBuddhaan. Ada terdapat beberapa cara dalam melakukan meditasi ninafo, yaitu melafalkan nama Buddha, melihat objek Patung Buddha sambil mengucapkan nama Buddha di dalam hati, mengeja nama Buddha dengan suara lantang, dan lain sebagainya.

Para penganut Mahāyāna di kota Medan tidak terlalu menekankan peribadatan meditasi, mereka kebanyakan lebih menekankan kepada bentuk ibadah lain seperti pelimpahan jasa, puja bakti, bahkan upacara-upacara adat yang sebenarnya tidak berkenaan dengan keagamaan seperti penghormatan leluhur, dan lain sebagainya. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakwajiban bermeditasi dalam paham Mahāyāna.

4.4.1.3 Maitreya

DalamBodhisattvaMaitreya adalah datang. Istilah Maitreya (Sankserta) atau Metteyya (Pali) berasal dari kata metta atau cinta kasih ini adalah Buddha masa depan yang sangat dinantikan tetapi hingga saat ini belum dilahirkan. Dalam sebagai Mile Pusa (彌勒菩薩).

Dalam sehingga Buddha bukanlah menunjuk kepada

Sudirman (2010), Buddha yang akan datang setelah Buddha Sakyamuni adalah Buddha Maitreya yang sekarang ini masih bergelar sebagai Buddha). Maitreya bertempat tinggal di tinggal bagi para bodhisatva sebelum mencapai tingkat ke-buddha-an. Buddha Sakyamuni juga bertempat tinggal di sini sebelum terlahir sebagai Siddharta Gautama di dunia.

Penyebaran aliran Maitreya di Indonesia berasal dari Taiwan sekitar Tahun 1950-an. Di taiwan, aliran Maitreya berdiri sendiri sebagai sebuah agama baru dan tidak mendompleng agama Buddha dan mereka menyebutnya sebagai agama I Kuan Tao, (Hendrik, 2008).

Penganut aliran maitreya di Medan terbilang cukup banyak. Salah satu vihara aliran Maitreya terbesar di Asia tenggara yaitu Maha Vihara Maitreya yang berada di kompleks Cemara Asri terdapat di Kota ini. Hal ini cukup untuk membuktikan bahwa tidak sedikit penganut aliran maitreya yang terdapat di Kota Medan.

Tidak ada ajaran yang jelas mengenai meditasi dalam aliran Maitreya, mereka beranggapan bahwa meditasi bukanlah suatu kewajiban karena misi utama Maitreya adalah mengahadirkan dunia yang aman sentosa di Bumi ini. Menurut Jhon, (2014), bermeditasi adalah menyelamatkan diri sendiri menurut pandangan aliran maitreya, maka hal tersebut tidak diajarkan. Sesuai dengan perkataan sang Buddha yaitu “dengan melindungi diri sendiri, seseorang melindungi orang lain, dengan melindungi orang seseorang melindungi diri sendiri”. Meditasi dianggap suatu bentuk keegoisan karena hanya bermanfaat bagi diri sendiri.

Dokumen terkait