• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.2 Sistem Mukosiliar Sinonasal .1Mukosa sinonasal.1Mukosa sinonasal

2.2.1.1 Epitel

Epitel hidung dan sinus paranasal terdiri dari tiga jenis sel yaitu sel basal, sel goblet dan sel kolumnar bersilia ataupun sel kolumnar yang tidak bersilia. Epitel merupakan barier mekanik yang utama untuk melawan infeksi. Sel silia mendominasi permukaan epitel respiratori. Setiap sel silia memiliki kira-kira 150 sampai 200 silia. Tugas dari silia adalah untuk membersihkan palut ledir yang dihasilkan oleh sel goblet dan sekresi serus dari kelenjar hidung ke nasofaring. Sel

basal menunjukkan adanya hubungan morfologi antara epitel kolumner dengan sel goblet dan dengan membran dasar epitel di sisi yang lain. Epitel respiratori berbeda dengan tipe epitel yang lain karena adanya peningkatan ekspresi dari beberapa molekul adhesi seperti intracellular adhesion molecule-1 dan ICAM-1 dan peningkatan sintesis sitokin seperti interleukin 1. Selain ke empat tipe sel yang telah disebutkan epitel juga mengandung sel-sel imunokompeten seperti CD8-positive T cells dengan sel mast, makrofag dan MHC-II bearing dendritic cells yang berfungsi sebagai antigen-presenting cells (Probst dkk., 2006).

2.2.1.2 Palut lendir

Palut lendir merupakan lapisan mukus dengan ketebalan 10-15 µm, bersifat agak asam dengan pH antara 5,5-6,5. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisilia yang tipis dengan viskositas rendah disebut dengan sol phase. Lapisan yang lain adalah lapisan yang lebih kental dan tebal, yang ada di atas lapisan perisilia disebut dengan gel phase yang tampak sebagai plak terputus-putus. Partikel tak larut yang tertangkap di plak mukus akan bergerak bersama dengan plak tersebut akibat adanya gerakan silia (Ballenger, 2003).

Materi yang mudah larut seperti droplet, formaldehid dan CO2 akan larut di lapisan perisilia. Mukus hidung secara efektif menyaring dan mengeluarkan hampir 100% partikel yang berukuran lebih besar dari 4µm. Mukus hidung diproduksi sekitar 1-2 liter setiap hari dengan kandungan glikoprotein 2,5-3%, garam 1-2% dan air 95%. Musin adalah salah satu glikoprotein yang menyebabkan mukus bersifat protektif selain melubrikasi permukaan mukosa (Probst dkk., 2006). Palut lendir didapatkan di seluruh rongga hidung kecuali

vestibulum, sinus, telinga tengah, tuba Eustachius dan percabangan bronkus, mungkin terus sampai ke alveolus dalam bentuk pelembab. Gerakan silia yang ada di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersama dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya secara berkesinambungan ke arah faring dan esofagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Lendir ini diproduksi oleh kelenjar mukus dan serosa, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa (Ballenger, 2003).

2.2.1.3 Silia

Pada manusia, silia ditemukan di sepanjang traktus respiratorius kecuali vestibulum nasi, dinding posterior orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia juga ditemukan pada tuba Eustachius, sebagian besar di telinga tengah dan sinus paranasal (Ballenger, 2003).

Silia pada manusia luasnya sekitar 6 µm di atas permukaan luminal dari sel dan lebar kira-kira sekitar 0,3 µm. Kurang lebih 200 silia ditemukan pada masing-masing sel pada hidung. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat di bawah permukan sel. Setiap silia diselubungi oleh lanjutan membran sel atau membran plasma. Di dalam silia ada sehelai filamen atau fibril yang disebut aksonema. Di bawah aksonema terdapat badan basal yang silindris dan pendek, lebih ke bawah lagi fibril memanjang sampai ke sitoplasma apikal dan disini disebut sebagai tempat akar. Silia tertanam dengan kuat dan mungkin tempat akar ini meneruskan impuls saraf dari satu silia ke silia di sebelahnya sehingga dapat timbul irama yang selaras. Filamen ini adalah pasangan tubulus yang tersusun seperti roda pedati, ada 9 pasangan terletak di bagian luar sepanjang

perifer aksonema dan satu pasang di tengah yang dapat dilihat pada Gambar 2.2

(Ballenger, 2003)

Kesembilan pasangan luar ini masing-masing terdiri dari dua mikrotubulus juksta: subfibril A yang letaknya agak di sentral dan subfibril B yang letaknya agak ke tepi dan berukuran lebih pendek. Terdapat dua lengan yang tersusun dengan teratur yang terdiri dari ATPase yang dinamakan lengan dynein yang menghubungkan subfibril A dengan B dari pasangan sebelahnya. Selain itu, ada penghubung lain antara subfibril A dan B dari pasangan sebelahnya yang tersusun teratur seperti halnya dynein yang disebut neksin. Dari A menuju pasangan yang di tengah ada jari-jari radial. Pada dasar silia, pasangan tubulus sentral berakhir dan masing-masing pasangan perifer melanjutkan diri ke bawah untuk masuk ke badan basal sebagai tripel karena tambahan subfibril C (Ballenger, 2003).

Gerakan silia terjadi karena tubulus saling meluncur di atas tubulus lainnya, sehingga timbul gerakan seperti mencukur dan mengakibatkan silia menunduk. Energi untuk itu berasal dari lengan dynein atau ATPase yang memecah adenosin trifosfat atau ATP. Pada waktu menunduk terjadi proses penembatan kembali jari-jari. Poros gerakan silia adalah garis tegak lurus pada bidang yang menghubungkan pasangan tubulus sentral. Sleigh berpendapat bahwa tekanan yang terasa oleh silia akibat kontak dengan silia di sebelahnya yang menunduk merupakan stimulus untuk menunduk mengikuti irama yang beraturan (Ballenger, 2003).

Gambar 2. 2 Susunan ultrastruktur tubulus silia pada berbagai tingkatan (Ballenger, 2003)

Sel-sel bersilia gugur dan diganti secara teratur. Kemungkinan besar sel-sel basal mempunyai potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel goblet atau sel-sel bersilia sesuai kebutuhan. Belum diketahui dengan jelas apa yang mengontrol gerak silia. Pada manusia tidak ada saraf pengontrol. Adenosin trifosfat merupakan sumber energi utama pada aktivitas silia mamalia (Ballenger 2003).

Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Ada gerak maju yang kuat dan efektif, pada saat ini silia tegak sepenuhnya dan ujungnya sampai mencapai lapisan mukus superfisial yang menyelimutinya. Kemudian gerak kembali, dengan arah yang berlawanan, tidak begitu kuat, lebih lambat dan silianya melengkung sehingga tidak sampai mencapai lapisan mukus di permukaan. Arah gerak silia dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gerak silia tejadi 12 sampai 1400 kali/menit (Ballenger, 2003).

Silia ini terkoordinasi dengan baik. Gerakannya dapat mengalirkan lapisan mukus yang menyelimutinya, yang di depan meneruskan beban yang disampaikan

oleh silia di belakangnya. Gerakan ini merupakan gerakan berkesinambungan bukan gerakan sinkron. Silia merupakan struktur yang tangguh. Aktivitasnya berlangsung terus tanpa kehilangan kekuatan meskipun selalu basah oleh sekret purulen berbulan-bulan lamanya. Kekeringan akan cepat menimbulkan kerusakan silia yang sifatnya permanen. Silia harus selalu diselimuti oleh lapisan lendir agar dapat tetap aktif (Ballenger, 2003).

Gambar 2. 3 Siklus normal silia (Ballenger, 2003)

Beberapa macam virus saluran pernafasan terutama virus influenza mampu menghambat gerak silia. Pada pemeriksaan silia yang terpajan oleh virus pada silia, yang menyebabkan menurunnya gerak silia (Ballenger, 2003).

2.2.2 Transpor mukosiliar

Sistem transpor mukosiliar adalah mekanisme pertahanan tubuh yang penting dari dunia luar termasuk partikel dan bakteri. Transpor mukosiliar adalah

sistem pembersihan yang terdiri dari dua sistem yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia mendorong gumpalan mukus. Ujung silia yang dalam posisi tegak masuk, menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah faring. Lapisan cairan perisilia di bawahnya juga turut serta dialirkan ke arah posterior oleh silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Branovan, 2004; Ballenger, 2003). Metachrony adalah koordinasi gerakan silia yang mencegah tabrakan antar silia di saat fase gerakan yang berbeda, selain menyebabkan aliran mukus yang bersifat unidireksional. Gerakan silia tersebut akan menimbulkan arus pada cairan perisilia berupa hentakan yang sangat efektif. Plak mukus yang bergerak akibat pergerakan lapisan perisilia dan gerakan ujung silia yang meregang adalah faktor utama transpor mukosiliar (Baroody, 2001).

Dalam rongga hidung transpor mukosiliar menggerakkan mukus ke arah nasofaring dengan pengecualian di bagian anterior konka inferior yang mengarah ke depan. Arus ke arah depan ini menyebabkan partikel yang berada pada lokasi tersebut semakin bergerak ke rongga hidung. Partikel yang dialirkan ke belakang ke arah nasofaring tertelan secara berkala (Baroody, 2001).

Produksi mukus sinus paranasal lebih sedikit dibanding dengan mukosa hidung. Penelitian transpor mukosiliar sinus maksila dilakukan dengan memasukkan tinta India ke dalam sinus dan mengamati pergerakannya. Hasilnya berupa suatu gerakan yang berbentuk bintang memancar ke dasar sinus ke berbagai arah menuju ostium sinus maksila. Pada sinus frontal transpor mukosiliar

berbentuk kurva besar mulai dari bagian medial ke arah atap dan melengkung ke lateral lalu ke bawah dan menuju duktus nasofrontalis. Pada sinus etmoid dan sfenoid tidak ada deskripsi yang jelas mengenai pola transpor mukosiliar (Baroody, 2001).

2.2.3 Pemeriksaan fungsi mukosiliar

Pengukuran transpor mukosiliar secara in vivo dapat dilakukan dengan beberapa cara. Kecepatan kerja mukosiliar dapat diukur dengan mengikuti suatu partikel yang larut di permukaan mukosa. Partikel ini akan bergerak bersama gumpalan mukus. Materi yang rasanya manis misal sakarin, akan bersatu dengan cairan perisilia dan akan dirasakan penderita pada saat sampai di faring (Walsh dan Korn, 2006; Ballenger, 2003; Marks, 2000). Tes sakarin adalah cara yang sederhana untuk mengetahui fungsi mukosiliar. Tes sakarin pertama kali diperkenalkan oleh Andersen dkk. pada tahun 1974 yang kemudian dimodifikasi oleh Rutland dan Cole. Tes ini memiliki kelebihan yaitu harga yang terjangkau, sederhana, mudah dikerjakan dan efektif untuk mengukur transpor mukosiliar hidung. Tes ini dilakukan dengan menempatkan 0,5 mm sakarin pada anterior konka inferior kira-kira 1 cm dari bagian akhir untuk menghindari daerah dengan metaplasia sel skuamosa. Tes dilakukan dalam posisi duduk, dengan kepala

terfiksir 10˚ untuk menghindari partikel sakarin jatuh ke arah posterior. Subjek yang dites tidak boleh makan, minum atau menelan untuk menghindari batuk dan bersin. Subjek juga diinstruksikan sebelumnya untuk tidak menggunakan obat-obatan seperti obat anestesi, analgetik, barbiturat, penenang, antidepresi, alkohol

dan kopi selama kurang lebih 12 jam sebelum tes dilakukan (Baby dkk., 2014; Valia dkk., 2008; Proenca dkk., 2011). Waktu kemudian diukur sampai terasa sesuatu yang manis di mulut, yang normalnya memerlukan waktu 20 menit atau kurang. Apabila waktunya lebih dari satu jam, maka perlu dilakukan tes ulang karena kemungkinan sakarinnya terjatuh dan pastikan penderita bisa mengecap rasa manis. Apabila tes sakarin menunjukkan pemanjangan waktu dari nilai normal atau ada kecurigaan abnormalitas yang spesifik dari silia dapat dilakukan pemeriksaan silia secara langsung dengan mengambil contoh silia menggunakan

Rhinoprobe dan meneliti aktivitasnya menggunakan mikroskop fase kontras dengan sel fotometrik. Frekuensi dari gerak silia dapat diukur dengan real-time analyzer dan dinyatakan dengan satuan Hertz atau Hz. Nilai normal dari frekuensi gerak silia adalah 12 sampai 15 Hz. Teknik pemeriksaan ini belum banyak tersedia di sentra pelayanan kesehatan (Ballenger, 2003; Marks, 2000).

Selain tes sakarin, tes serupa yang dapat dilakukan untuk mengukur transpor mukosiliar adalah tes yang menggunakan droplet biru metilen yang diteteskan di bagian depan hidung, kemudian dilakukan pengamatan orofaring untuk melihat adanya sisa warna di orofaring. Warna biasanya akan tampak dalam 20 menit. Tes ini lebih objektif dibandingkan tes sakarin karena tes ini tidak tergantung dari persepsi pasien meskipun kurang tepat karena orofaring tidak dapat diamati secara terus menerus selama 20 menit untuk mengamati munculnya warna di orofaring (Marks, 2000).

Alternatif lain pemeriksaan transpor mukosiliar yang lain adalah dengan menggunakan radioisotop. Pemeriksaan ini dilakukan dengan berdasarkan

pergerakan radioisotop yang diamati dengan menggunakan radioisotope scanner

di daerah nasofaring. Teknik pemeriksaan ini juga memungkinkan kita untuk mengukur pergerakan mukus yang dinyatakan dalam milimeter gerakan permenit. Pada orang dewasa yang sehat, rata-rata gerakan sebesar 9 mm/ menit. Kekurangan dari tes ini adalah relatif mahal dan memerlukan waktu yang relatif lama (Marks, 2000).

Apabila waktu transpor mukosiliar dan frekuensi gerak silia abnormal, maka sampel dapat diteliti dengan spatula atau melalui biopsi langsung untuk diteliti dengan mikroskopi elektron, untuk menegakkan diagnosis seperti primary ciliary dyskinesia atau PCD. Selain itu, pemeriksaan kadar nitrit oksida juga penting untuk mengetahui metabolisme silia. Pada PCD, kadar nitrit oksida menjadi penanda tidak langsung metabolisme silia yang mengalami penurunan (Ballenger, 2003;Walsh dan Korn, 2006).

2.2.4. Faktor - faktor yang mempengaruhi waktu transpor mukosiliar

Beberapa faktor dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar di antaranya umur, infeksi, alergi, merokok, pemakaian obat tetes hidung, indeks massa tubuh, gangguan atau kelainan anatomi hidung dan penyakit sistemik seperti DM.

Peningkatan waktu NMC yang disebabkan proses penuaan menunjukkan penurunan fungsi mukosiliar yang dapat disebabkan oleh perubahan anatomi, fisiologi dan biokimia yang secara normal terjadi pada proses penuaan (Paul dkk., 2013).

Infeksi hidung dan sinus paranasal kronik dilaporkan dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Pada infeksi terjadi gangguan viskoelastisitas mukus yang dapat menyebabkan gangguan transpor mukosiliar (Majima dkk., 1993).

Pada kasus rinitis alergi yang sangat lama terjadi pemanjangan waktu transpor mukosiliar yang berkaitan dengan perubahan sifat aliran mukus hidung (Yadav dkk., 2003).

Merokok dapat mempengaruhi kecepatan transpor mukosiliar. Hal ini dapat disebabkan oleh efek siliostatik dari asap tembakau. Pemanjangan NMC dapat juga disebabkan oleh penurunan jumlah silia atau perubahan viskoelastisitas mukus. Selain itu peningkatan NMC juga berhubungan dengan peningkatan lamanya durasi merokok dimana subjek yang merokok lebih dari 5 tahun memiliki waktu transpor mukosiliar lebih lambat (Baby dkk., 2014).

Obat-obatan topikal pada hidung seperti dekongestan topikal dari penelitian yang dilakukan sebelumnya diketahui dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Zhang dkk. telah melakukan penelitian mengenai pengaruh obat tetes hidung oksimetasolin terhadap waktu transpor mukosiliar. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa oksimetasolin konsentrasi 0,05% tidak menyebabkan efek inhibisi yang nyata terhadap frekuensi gerak siliar hidung secara invitro, walaupun terjadi pemanjangan transpor mukosiliar invivo tetapi masih dalam kisaran normal (Zhang dkk., 2008).

Status gizi juga berpengaruh terhadap kecepatan transpor mukosiliar. Indeks massa tubuh juga berpengaruh terhadap kecepatan transpor mukosiliar. Orang dengan indeks massa tubuh abnormal cenderung mengalami pemanjangan

waktu transpor mukosiliar hidung. Laki-laki cenderung mempunyai waktu transpor yang lebih panjang bila dibandingkan dengan wanita (Valdez dan Cruz, 2009).

Kelainan atau gangguan anatomi hidung dapat menyebabkan gangguan waktu transpor mukosiliar. Beberapa peneliti menilai hubungan transpor mukosiliar, karakteristik histologi dan struktur mukosa pasien dengan deviasi septum nasi. Dari penelitian didapatkan mukosa septum nasi sisi yang cekung mengalami gangguan transpor mukosiliar dan diduga karena hilangnya silia, inflamasi dan berkurangnya kelenjar (Jang dkk., 2002).

Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus juga dapat mempengaruhi kecepatan transport mukosiliar. Pemanjangan waktu transpor mukosiliar pada penderita diabates mellitus yang mungkin disebabkan oleh menurunnya aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangnya kadar air dan elektrolit dan perubahan metabolisme karbohidrat (Selimoglu dkk., 1999).

Dokumen terkait