i
TESIS
PAJANAN DEBU KAYU SEBAGAI FAKTOR RISIKO
RENDAHNYA KECEPATAN TRANSPOR MUKOSILIAR
HIDUNG PADA PEKERJA PABRIK PENGOLAHAN KAYU
“M” DI KABUPATEN BADUNG
SILUH KOMANG WINDU SUMERTINI NIM 1014078204
Tesis ini diajukan sebagai karya akhir untuk memperoleh gelar magister dalam Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
TESIS
PAJANAN DEBU KAYU SEBAGAI FAKTOR RISIKO
RENDAHNYA KECEPATAN TRANSPOR MUKOSILIAR
HIDUNG PADA PEKERJA PABRIK PENGOLAHAN KAYU
“M” DI KABUPATEN BADUNG
SILUH KOMANG WINDU SUMERTINI NIM 1014078204
Tesis ini diajukan sebagai karya akhir untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
PPDS I ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA – RSUP SANGLAH
DENPASAR
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Karya akhir ini disetujui dan dipertahankan di depan tim penguji serta
dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal ………
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L(K) Pro. dr. N.T Suryadhi, MPH, Ph.D
NIP : 19691005 199903 1 001 NIP : 19430215 1969 02 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana,
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK
NIP : 19580521 198503 1 002
Ketua Program Studi Ilmu Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNUD Kesehatan THT-KL FK UNUD
dr. IDG Arta Eka Putra, Sp.T.H.T.K.L (K) dr. Eka Putra S., Sp.T.H.T.K.L(K)
NIP: 19670624 199610 1 001 NIP: 19610615 198709 1 001
iv
Panitia penguji tesis berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No. ………, tertanggal ……….
Ketua : dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.THT-KL(K)
Anggota :
1. Prof. dr. N.T Suryadhi, MPH, Ph.D
2. Prof. dr. Wayan Suardana, Sp.THT-KL(K) 3. Prof. Dr. dr. N.Adiputra, M.OHM
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah / Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah dan rahmat-NYA, akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis untuk memperoleh gelar keahlian di bidang THT-KL. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan keilmuan di bidang THT-KL.
Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran serta berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok - Bedah Kepala Leher.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (Combined degree).
vi
motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir selama penulis mengikuti pendidikan spesialis.
4. Sekretaris Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, dr. I Wayan Sucipta, Sp. T.H.T.K.L, sebagai, atas segala bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis.
5. Ketua Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L dr. I Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp. T.H.T.K.L (K) sebagai, atas segala kesempatan, bimbingan dan motivasinya.
6. Sekretaris Program Studi PPDS-1 Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L sekaligus Pembimbing 1 dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp. T.H.T.K.L (K) FICS sebagai, atas segala kesempatan, bimbingan, dan motivasinya.
7. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).
8. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D sebagai pembimbing II atas segala waktu dan bimbingannya selama ini.
9. dr. Luh Made Ratnawati, Sp. T.H.T.K.L atas segala dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir pendidikan.
vii
11. Kepala-kepala divisi dan para konsultan di Bagian/SMF T.H.T.K.L FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan bimbingan selama saya mengikuti pendidikan.
12. Para senior, rekan residen, dokter muda atas bantuan dan kerjasamanya selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian berlangsung.
13. Paramedis di poliklinik THT dan OK VI IBS RSUP Sanglah atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menempuh pendidikan dan penelitian.
14. Ayahanda, I G. Made Sukandera (alm) serta ibunda tercinta Ni Ketut Witi, kakak-kakak terkasih maupun keluarga besar Jero Menesa atas segala pengorbanan, dukungan material, doa dan motivasinya selama penulis menempuh pendidikan spesialis.
15. Suami tercinta, dr. Fahrul Bukhori, M. Biomed.,Sp.PD. dan anakku tersayang, Dzakira Latifa Az-zahra atas pengertian dan pengorbanan dalam mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan.
16. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya atas semua kebaikan yang telah dilakukan.
Denpasar, Januari 2016
viii
ABSTRAK
PAJANAN DEBU KAYU SEBAGAI FAKTOR RISIKO RENDAHNYA KECEPATAN TRANSPOR MUKOSILIAR HIDUNG PADA PEKERJA
PABRIK PENGOLAHAN KAYU “M” DI KABUPATEN BADUNG
Windu Sumertini SK, Suryadhi NT, Nuaba GA
PPDS 1 ILMU KESEHATAN T.H.T.K.L FK UNUD / RSUP SANGLAH
Latar Belakang : debu kayu merupakan pajanan akibat kerja, yang paling sering terjadi pada pekerja pabrik pengolahan kayu. Pajanan debu kayu dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan kecepatan transpor mukosiliar.
Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pajanan debu kayu sebagai faktor risiko rendahnya kecepatan transpor mukosiliar pada pekerja pabrik pengolahan kayu “M” di Kabupaten Badung. Material dan Metode: penelitian ini adalah penelitian analitik komparatif numerik berpasangan 2 kelompok dengan desain kasus kontrol. Penelitian melibatkan 60 subjek penelitian, yang dibagi menjadi 2 kelompok masing-masing 30 sampel kelompok terpajan dan 30 sampel tidak terpajan debu kayu yang diambil dari bagian administrasi dengan matching
umur dan jenis kelamin. Dilakukan pemeriksaan transpor mukosiliar dengan menaruh tablet sakarin di hidung, kemudian waktu diukur sampai terasa manis di tenggorok. Hasil Penelitian: Risiko terjadinya kecepatan transpor mukosiliar yang rendah pada kelompok yang terpajan 15,2 kali dibandingkan dengan yang tidak terpajan (nilai P <0,05). Pajanan debu kayu adalah faktor risiko rendahnya kecepatan transpor mukosiliar. Kesimpulan: Pajanan debu kayu adalah faktor risiko rendahnya kecepatan transpor mukosiliar hidung pada pekerja pabrik pengolahan kayu “M” di Kabupaten Badung. .
ix
ABSTRACT
WOD DUST EXPOSED AS A RISK FACTOR THE ALTERATION OF MUCOCILIARY NASAL TRANSPORT RATES IN WOODWORKERS
WHO WORKED AT “M” WOOD FACTORY, BADUNG REGENCY
Windu Sumertini SK, Suryadhi NT, Nuaba GA
Department of Ear, Nose, Throat-Head and Neck Surgery (ENT-HNS), Faculty of Medicine Udayana University/Sanglah Hospital, Denpasar. Introduction: wood dust is the most common occupational exposure in furniture industry. Wood dust exposed for a long time can caused alteration of mucocilliary transports rates. Objective: the aim of this study was to prove that wood dust exposure was a risk factor for alteration of mucocilliary transport rates in
woodworkers who worked at “M” wood factory, Badung Regency. Materials and
Methods: a case control, analitic observational study was performed. Sixty sample were included in this study. Among 60 samples, 30 samples were exposured by wood dust and 30 samples were taken from the administration department as control with matching of age and sex. Mucocilliary transport time was measured using saccharine test, by placing saccharine tablet approximately 1 cm behind the anterior end of inferior turbinate. Time elapsing until the first experience of sweet taste at oropharynx was recorded. Results: Risk of delayed nasal mucocilliary transport speed in woodworkers 15.2 times compared with control ( P <0.05). Wood dust exposure was statistically significant influential to the mucocilliary transport speed with P value < 0,05. Conclusion: wood dust exposed was a risk factor for the alteration of mucocilliary nasal transport rates in
woodworkers who worked at “M” wood factory, Badung Regency.
xi
2.2 Sistem Mukosiliar Sinonasal ... 12
2.2.1 Mukosa Sinonasal ... 12
2.2.2 Transpor Mukosiliar ... 17
2.2.3 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar ... 19
2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Waktu Transpor Mukosiliar .... 21
2.3 Debu Kayu dalam Industri Pengolahan Kayu ... 23
2.3.1 Debu kayu ... 25
2.3.2 Ukuran Partikel Debu Kayu ... 25
2.3.3 Jenis Kayu ... 27
2.3.4 Konsentrasi Partikel Debu ... 27
2.3.5 Lama Pekerjaan ... 28
2.3.6 Tempat dan Proses Pengolahan Kayu ... 28
2.4 Pengukuran Debu Kayu dan Nilai Batas Ambang ………29 2.4.1 Pengukuran Debu Kayu……….29 2.4.2 Nilai Ambang Batas Debu Kayu………...30
xii
4.4.1 Hubungan antar variabel penelitian ... 43
4.4.2 Definisi operasional variabel ... 44
4.5 Bahan dan Alat Penelitian ... 46
5.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Pajanan ... 53
5.2 Analisis Bivariat Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kecepatan Transpor Mukosiliar pada Pekerja Pabrik Pengolahan Kayu “M” di Kabupaten Badung ... 56
BAB VI PEMBAHASAN ... 59
xiii
6.2 Analisis Bivariat Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kecepatan Transpor Mukosiliar pada Pekerja Pabrik Pengolahan Kayu “M” di
Kabupaten Badung ... 65
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 67
7.1 Simpulan ... 67
7.2 Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 69
LAMPIRAN ... 73
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Anatomi hidung...8
Gambar 2.2 Susunan ultrastruktur tubulus silia pada berbagai tingkatan ...16
Gambar 2.3 Siklus normal silia ...17
Gambar 3.1 Konsep penelitian ...37
Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian ...39
Gambar 4.4.1 Hubungan antar variabel penelitian ...43
xv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Penelitian...54
xvi
DAFTAR SINGKATAN
DM Diabetes Millitus
Cm centimeter
ICAM-1 Intercellular Adhesion Molecule 1 CD 8 Cluster of Differentiation 8
MHC-II Major Histocompatibility Complex II
µm micrometer
CO2 Karbondioksida ATP Adenosin Trifosfat
mm milimeter
Hz Hertz
PCD Primary Ciliary Dyskinesia NMC Nasal Mucociliary Clearance HVAS High Volume Air Sampler LVAS Low Volume Air Sampler PDS Personal Dust Sampler NAB Nilai Ambang Batas APD Alat Perlindungan Diri
SD Standar Deviasi
OR Odd Ratio
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Ethical Clearance
Lampiran 2 Surat Permohonan Ijin Penelitian Lampiran 3 Surat Pernyataan Persetujuan Lampiran 4 Lembar Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Debu adalah salah satu pajanan yang utama dari lingkungan pekerjaan. Bekerja di lingkungan yang berdebu menyebabkan terhirupnya partikel debu oleh saluran nafas yang menyebabkan gangguan kesehatan saat partikel tersebut terkumpul di saluran nafas dan kontak langsung dengan jaringan yang melapisi saluran pernafasan. Pengaruh dari debu industri terhadap saluran nafas tergantung dari tipe debu yang dihirup, tempat di saluran nafas di mana dia menempel, ukuran dari partikel debu tersebut, struktur anatomi dari saluran nafas dan proses fisiologis bernafas itu sendiri.
Kayu adalah salah satu dari sumber daya alam yang paling penting di dunia sebagai bahan baku industri, konstruksi dan bahan bakar. Penggunaan kayu secara luas menjadikannya sebagai bahan pajanan tersering yang berhubungan dengan pekerjaan. Pada tahun 2000, diperkirakan 13 juta orang bekerja di bidang kehutanan di seluruh dunia dan sebanyak 3,5 juta orang bekerja di industri mebel. Di Uni Eropa diperkirakan saat ini ada 3,6 juta pekerja yang terpajan debu kayu (Lange, 2008).
pekerja penggergajian kayu. Pada tahun 1968, hubungan antara adenoma kavum nasi dengan pekerja industri mebel ditemukan. Sejak saat itu, berbagai penelitian epidemilogikal telah dilakukan dan menunjukkan adanya hubungan antara debu kayu dan karsinoma sinonasal khususnya tipe adenokarsinoma (Lange, 2008).
Selain keganasan, para pekerja industri kayu juga mengalami gangguan yang bersifat non keganasan. Gangguan ini lebih sering terjadi dan mengganggu kualitas hidup pekerja di antaranya adalah asma, rinitis, bronkitis dan keluhan pada mata (Lange, 2008).
Hidung adalah salah satu organ yang memiliki peran penting dalam pertahanan tubuh terhadap dunia luar. Ada tiga fungsi utama dari hidung yakni penghidu, pernafasan dan sebagai proteksi. Adanya lapisan mukosa yang senantiasa basah dan adanya silia di permukaan mukosa hidung meningkatkan kontak dengan udara inspirasi yang menyebabkan fungsi penghidu dapat maksimal, udara dihangatkan dan dilembabkan dengan efisien serta penyaringan udara inspirasi sebelum mencapai saluran nafas bagian bawah (Walsh dan Korn, 2006).
Transpor mukosiliar bekerja secara simultan untuk membersihkan partikel-partikel asing yang mengendap di saluran nafas bagian atas. Pajanan debu kayu dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu fungsi transpor mukosiliar. Selain adanya pajanan debu kayu, beberapa faktor dapat mempengaruhi fungsi mukosiliar hidung yaitu umur, infeksi, alergi, merokok, pemakaian obat tetes hidung, status gizi, gangguan atau kelainan anatomi hidung, penyakit sistemik seperti DM.
Untuk memeriksa waktu transpor mukosiliar hidung dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti tes sakarin, pemeriksaan dengan metilen biru, dan pemeriksaan dengan mikroskop elektron. Tes sakarin merupakan pemeriksaan yang murah, relatif aman, cepat dan hasilnya cukup akurat untuk mengetahui waktu transpor mukosiliar hidung (Marks, 2000).
Pabrik pengolahan kayu “M” merupakan pabrik pengolahan kayu terbesar
yang ada di Desa Lukluk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Pabrik ini memiliki jumlah pekerja 190 orang. Pabrik ini menggunakan bahan baku terbanyak jenis kayu keras (hardwood) seperti jenis kayu merbau dan bangkirai. Pabrik pengolahan kayu “M” mengolah kayu gelondongan menjadi furniture yang
kayu terhadap transpor mukosiliar hidung pada pekerja pabrik pengolahan kayu “M” di Kabupaten Badung.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pajanan debu kayu dapat sebagai faktorr risiko dari rendahnya kecepatan transpor mukosiliar hidung pada pekerja di pabrik pengolahan kayu “ M “ di Kabupaten Badung ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.3 Membuktikan pajanan debu kayu sebagai faktor risiko yang berhubungan dengan rendahnya kecepatan transpor mukosiliar hidung pada pekerja di
pabrik pengolahan kayu “M” di Kabupaten Badung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dalam bidang akademik dapat meningkatkan pengetahuan tentang akibat pajanan debu kayu terhadap kecepatan transpor mukosiliar hidung pada pekerja pabrik pengolahan kayu.
1.4.2 Dalam bidang riset, penelitian ini dapat memperkaya teori yang telah ada.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hidung dan Sinus Paranasal 2.1.1 Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian karena merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung berbentuk piramid, kira-kira dua perlima bagian atasnya terdiri dari tulang dan tiga perlima bawahnya tulang rawan (Ballenger, 2003).
Rangka hidung bagian luar dibentuk oleh dua os nasal, prosesus frontal os maksila, kartilago lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior atau kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago septum nasi (Ballenger, 2003). Bagian lateral dari ala nasi juga dibentuk oleh beberapa kartilago berukuran kecil yang biasa disebut kartilago alar minor. Bentuk dan stabilitas dari kartilago alar yang meliputi krus medial dan lateral menentukan bentuk tip nasi dan hidung. Selain krus media, bagian inferior septum dan kolumela juga memiliki peranan pada stabilitas hidung (Probst dkk., 2006).
Kavum nasi dimulai di bagian anterior yang disebut vestibulum nasi dengan batas posteriornya limen nasi atau nasal valve. Nasal valve adalah daerah tersempit dari traktus respiratorius atas dan merupakan daerah yang memiliki peran utama pada aerodinamik dari aliran udara pada hidung (Probst dkk, 2006).
Septum nasi adalah sekat yang membagi kavum nasi menjadi dua ruang yaitu kavum nasi kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum kuadrilateral, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posteroinferior septum nasi dibentuk oleh os vomer, krista maksila, krista palatina serta krista sphenoid (Ballenger, 2003).
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sphenoid (Ballenger, 2003).
Dinding lateral hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosessus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial (Ballenger, 2003).
konka ke empat yang disebut konka suprema. Meatus inferior adalah meatus yang paling besar dari ke tiga meatus yang ada. Meatus inferior merupakan tempat bermuaranya duktus naso lakrimalis. Meatus media adalah tempat bermuaranya sinus frontal, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid. Meatus superior atau fisura etmoid adalah celah sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media, tempat bermuaranya sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid (Ballenger, 2003).
Hidung tersusun atas otot-otot yang berukuran kecil. Otot-otot di daerah hidung terdiri dari otot proserus, otot nasalis, otot depresor septi, otot dilator nares posterior, otot dilator nares anterior dan kaput angularis otot kuadratus labii superior (Ballenger, 2003).
Gambar 2. 1 Anatomi hidung (Putz dan Pabst, 2000)
cabang sfenopalatina arteri maksilaris interna dan cabang etmoidalis arteri oftalmika. Venanya bermuara di vena fasialis anterior dan vena oftalmika (Ballenger, 2003).
Saraf motorik untuk hidung berasal dari saraf fasialis. Saraf sensoris termasuk cabang infratroklearis dan cabang nasalis saraf oftalmikus dari saraf trigeminus dan saraf infraorbita cabang saraf maksilaris dari saraf trigeminus (Ballenger, 2003).
Mukosa sinonasal terdiri dari lapisan epitel, lamina propia, sub mukosa dan periosteum. Epitel kavum nasi adalah epitel kolumnar berlapis semu bersilia dengan sel-sel goblet di dalamnya. Tiga fungsi utama dari hidung adalah fungsi penghidu, respirasi dan proteksi. Ke tiga fungsi di atas ditunjang oleh anatomi dari kavum nasi, yang membutuhkan daerah permukaan yang luas. Aliran turbulensi udara hidung adalah fisiologi utama dari fungsi hidung. Aliran turbulensi udara ini meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung, memberi pengaruh tidak saja pada fungsi respirasi tetapi juga fungsi penghidu dan proteksi ( Walsh dan Korn, 2006) .
Kondisi dari mukosa hidung, kelembaban serta permukaan dari kavum nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara inspirasi, dapat memaksimalkan fungsi penghidu, menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk sebelum mencapai saluran nafas bagian bawah (Walsh dan Korn, 2006).
kecil mencapai mukosa dan dibalut oleh mukus. Adanya bersihan mukosiliar akan membawa partikel yang telah dibalut oleh mukus termasuk di dalamnya bahan patogen keluar dari hidung dan sinus (Walsh dan Korn, 2006).
2.1.2 Anatomi sinus paranasal
Kavum nasi dikelilingi oleh ruangan yang berisi udara yang dikenal dengan nama sinus paranasal. Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada setiap sisi hidung: sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri , sinus maksilaris kanan dan kiri, serta sinus sphenoid kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostiumnya masing-masing (Ballenger, 2003).
Sinus paranasal secara klinis dibagi menjadi dua yakni kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila dan sel-sel anterior sinus etmoid yang bermuara di meatus media. Kelompok posterior terdiri dari sinus sphenoid dan sel- sel posterior sinus etmoid yang bermuara di meatus superior (Ballenger, 2003).
kavum nasi, Dinding superiornya adalah dasar orbita, sedangkan dasar sinus maksila adalah prosesus alveolar dari maksila. Ostium alami dari sinus maksila berada di superior dinding medial sinus dan drainasenya mengalir ke arah infundibulum etmoid dan hiatus semilunaris (Rice dan Schaefer, 2004).
Sinus frontal memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Kadang- kadang juga ada sinus yang rudimenter. Sinus ini berhubungan dengan meatus media melalui duktus nasofrontal, yang berjalan ke bawah dan belakang serta bermuara meatus media (Ballenger, 2003).
Sel-sel atau labirin etmoid terletak di kiri-kanan kavum nasi kira-kira sebelah lateral di setengah atau sepertiga atas hidung dan di sebelah medial orbita. Ada dua kelompok sel-sel: kelompok anterior yang bermuara ke meatus media dan kelompok posterior yang bermuara ke meatus superior. Sel-sel posterior jumlahnya lebih sedikit tapi berukuran lebih besar (Ballenger, 2003).
Sinus sfenoid terletak di dalam korpus os etmoid, ukuran serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum tulang yang tipis. Masing-masing sinus sfenoid berhubungan dengan meatus superior melalui celah kecil menuju ke resesus sfeno-etmoidalis (Ballenger, 2003). Untuk drainase, sinus sfenoid tergantung dari aliran mukosiliar (Rice dan Schaefer, 2004).
2.1.3 Fungsi hidung dan sinus paranasal
nasi yang bersilia meningkatkan kontak dengan udara inspirasi yang dapat memaksimalkan fungsi penghidu, menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk sebelum mencapai saluran pernafasan bagian bawah (Walsh dan Korn, 2006).
Aliran turbulensi udara pada hidung merupakan fisiologi utama dari hidung. Aliran turbulensi dari udara pada kavum nasi meningkatkan kontak antara udara inspirasi dengan mukosa hidung yang tidak hanya berperan dalam fungsi respirasi tetapi juga penghidu dan pertahanan tubuh (Walsh dan Korn, 2006).
Banyak teori yang mengemukakan fungsi sinus paranasal tetapi tidak ada yang diterima secara umum. Fungsi sinus paranasal di antaranya meliputi meringankan tulang tengkorak, sebagai kotak resonansi suara, meningkatkan fungsi penghidu, melembabkan udara inspirasi dan membantu regulasi dari tekanan intranasal (Walsh dan Korn, 2006).
2.2 Sistem Mukosiliar Sinonasal 2.2.1 Mukosa sinonasal
2.2.1.1 Epitel
basal menunjukkan adanya hubungan morfologi antara epitel kolumner dengan sel goblet dan dengan membran dasar epitel di sisi yang lain. Epitel respiratori berbeda dengan tipe epitel yang lain karena adanya peningkatan ekspresi dari beberapa molekul adhesi seperti intracellular adhesion molecule-1 dan ICAM-1 dan peningkatan sintesis sitokin seperti interleukin 1. Selain ke empat tipe sel yang telah disebutkan epitel juga mengandung sel-sel imunokompeten seperti CD8-positive T cells dengan sel mast, makrofag dan MHC-II bearing dendritic cells yang berfungsi sebagai antigen-presenting cells (Probst dkk., 2006).
2.2.1.2 Palut lendir
Palut lendir merupakan lapisan mukus dengan ketebalan 10-15 µm, bersifat agak asam dengan pH antara 5,5-6,5. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisilia yang tipis dengan viskositas rendah disebut dengan sol phase. Lapisan yang lain adalah lapisan yang lebih kental dan tebal, yang ada di atas lapisan perisilia disebut dengan gel phase yang tampak sebagai plak terputus-putus. Partikel tak larut yang tertangkap di plak mukus akan bergerak bersama dengan plak tersebut akibat adanya gerakan silia (Ballenger, 2003).
vestibulum, sinus, telinga tengah, tuba Eustachius dan percabangan bronkus, mungkin terus sampai ke alveolus dalam bentuk pelembab. Gerakan silia yang ada di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersama dengan materi-materi asing yang terperangkap olehnya secara berkesinambungan ke arah faring dan esofagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Lendir ini diproduksi oleh kelenjar mukus dan serosa, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa (Ballenger, 2003).
2.2.1.3 Silia
Pada manusia, silia ditemukan di sepanjang traktus respiratorius kecuali vestibulum nasi, dinding posterior orofaring, sebagian laring dan cabang terminal bronkus. Silia juga ditemukan pada tuba Eustachius, sebagian besar di telinga tengah dan sinus paranasal (Ballenger, 2003).
perifer aksonema dan satu pasang di tengah yang dapat dilihat pada Gambar 2.2
(Ballenger, 2003)
Kesembilan pasangan luar ini masing-masing terdiri dari dua mikrotubulus juksta: subfibril A yang letaknya agak di sentral dan subfibril B yang letaknya agak ke tepi dan berukuran lebih pendek. Terdapat dua lengan yang tersusun dengan teratur yang terdiri dari ATPase yang dinamakan lengan dynein yang menghubungkan subfibril A dengan B dari pasangan sebelahnya. Selain itu, ada penghubung lain antara subfibril A dan B dari pasangan sebelahnya yang tersusun teratur seperti halnya dynein yang disebut neksin. Dari A menuju pasangan yang di tengah ada jari-jari radial. Pada dasar silia, pasangan tubulus sentral berakhir dan masing-masing pasangan perifer melanjutkan diri ke bawah untuk masuk ke badan basal sebagai tripel karena tambahan subfibril C (Ballenger, 2003).
Gambar 2. 2 Susunan ultrastruktur tubulus silia pada berbagai tingkatan (Ballenger, 2003)
Sel-sel bersilia gugur dan diganti secara teratur. Kemungkinan besar sel-sel basal mempunyai potensi untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel goblet atau sel-sel bersilia sesuai kebutuhan. Belum diketahui dengan jelas apa yang mengontrol gerak silia. Pada manusia tidak ada saraf pengontrol. Adenosin trifosfat merupakan sumber energi utama pada aktivitas silia mamalia (Ballenger 2003).
Gerak maju dan mundurnya silia disebut irama. Ada gerak maju yang kuat dan efektif, pada saat ini silia tegak sepenuhnya dan ujungnya sampai mencapai lapisan mukus superfisial yang menyelimutinya. Kemudian gerak kembali, dengan arah yang berlawanan, tidak begitu kuat, lebih lambat dan silianya melengkung sehingga tidak sampai mencapai lapisan mukus di permukaan. Arah gerak silia dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gerak silia tejadi 12 sampai 1400 kali/menit (Ballenger, 2003).
oleh silia di belakangnya. Gerakan ini merupakan gerakan berkesinambungan bukan gerakan sinkron. Silia merupakan struktur yang tangguh. Aktivitasnya berlangsung terus tanpa kehilangan kekuatan meskipun selalu basah oleh sekret purulen berbulan-bulan lamanya. Kekeringan akan cepat menimbulkan kerusakan silia yang sifatnya permanen. Silia harus selalu diselimuti oleh lapisan lendir agar dapat tetap aktif (Ballenger, 2003).
Gambar 2. 3 Siklus normal silia (Ballenger, 2003)
Beberapa macam virus saluran pernafasan terutama virus influenza mampu menghambat gerak silia. Pada pemeriksaan silia yang terpajan oleh virus pada silia, yang menyebabkan menurunnya gerak silia (Ballenger, 2003).
2.2.2 Transpor mukosiliar
sistem pembersihan yang terdiri dari dua sistem yang bekerja secara simultan. Sistem ini tergantung dari gerakan aktif silia mendorong gumpalan mukus. Ujung silia yang dalam posisi tegak masuk, menembus gumpalan mukus dan menggerakkannya ke arah posterior bersama-sama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah faring. Lapisan cairan perisilia di bawahnya juga turut serta dialirkan ke arah posterior oleh silia, tetapi mekanismenya belum diketahui dengan jelas (Branovan, 2004; Ballenger, 2003). Metachrony adalah koordinasi gerakan silia yang mencegah tabrakan antar silia di saat fase gerakan yang berbeda, selain menyebabkan aliran mukus yang bersifat unidireksional. Gerakan silia tersebut akan menimbulkan arus pada cairan perisilia berupa hentakan yang sangat efektif. Plak mukus yang bergerak akibat pergerakan lapisan perisilia dan gerakan ujung silia yang meregang adalah faktor utama transpor mukosiliar (Baroody, 2001).
Dalam rongga hidung transpor mukosiliar menggerakkan mukus ke arah nasofaring dengan pengecualian di bagian anterior konka inferior yang mengarah ke depan. Arus ke arah depan ini menyebabkan partikel yang berada pada lokasi tersebut semakin bergerak ke rongga hidung. Partikel yang dialirkan ke belakang ke arah nasofaring tertelan secara berkala (Baroody, 2001).
berbentuk kurva besar mulai dari bagian medial ke arah atap dan melengkung ke lateral lalu ke bawah dan menuju duktus nasofrontalis. Pada sinus etmoid dan sfenoid tidak ada deskripsi yang jelas mengenai pola transpor mukosiliar (Baroody, 2001).
2.2.3 Pemeriksaan fungsi mukosiliar
Pengukuran transpor mukosiliar secara in vivo dapat dilakukan dengan beberapa cara. Kecepatan kerja mukosiliar dapat diukur dengan mengikuti suatu partikel yang larut di permukaan mukosa. Partikel ini akan bergerak bersama gumpalan mukus. Materi yang rasanya manis misal sakarin, akan bersatu dengan cairan perisilia dan akan dirasakan penderita pada saat sampai di faring (Walsh dan Korn, 2006; Ballenger, 2003; Marks, 2000). Tes sakarin adalah cara yang sederhana untuk mengetahui fungsi mukosiliar. Tes sakarin pertama kali diperkenalkan oleh Andersen dkk. pada tahun 1974 yang kemudian dimodifikasi oleh Rutland dan Cole. Tes ini memiliki kelebihan yaitu harga yang terjangkau, sederhana, mudah dikerjakan dan efektif untuk mengukur transpor mukosiliar hidung. Tes ini dilakukan dengan menempatkan 0,5 mm sakarin pada anterior konka inferior kira-kira 1 cm dari bagian akhir untuk menghindari daerah dengan metaplasia sel skuamosa. Tes dilakukan dalam posisi duduk, dengan kepala
terfiksir 10˚ untuk menghindari partikel sakarin jatuh ke arah posterior. Subjek
dan kopi selama kurang lebih 12 jam sebelum tes dilakukan (Baby dkk., 2014; Valia dkk., 2008; Proenca dkk., 2011). Waktu kemudian diukur sampai terasa sesuatu yang manis di mulut, yang normalnya memerlukan waktu 20 menit atau kurang. Apabila waktunya lebih dari satu jam, maka perlu dilakukan tes ulang karena kemungkinan sakarinnya terjatuh dan pastikan penderita bisa mengecap rasa manis. Apabila tes sakarin menunjukkan pemanjangan waktu dari nilai normal atau ada kecurigaan abnormalitas yang spesifik dari silia dapat dilakukan pemeriksaan silia secara langsung dengan mengambil contoh silia menggunakan
Rhinoprobe dan meneliti aktivitasnya menggunakan mikroskop fase kontras dengan sel fotometrik. Frekuensi dari gerak silia dapat diukur dengan real-time analyzer dan dinyatakan dengan satuan Hertz atau Hz. Nilai normal dari frekuensi gerak silia adalah 12 sampai 15 Hz. Teknik pemeriksaan ini belum banyak tersedia di sentra pelayanan kesehatan (Ballenger, 2003; Marks, 2000).
Selain tes sakarin, tes serupa yang dapat dilakukan untuk mengukur transpor mukosiliar adalah tes yang menggunakan droplet biru metilen yang diteteskan di bagian depan hidung, kemudian dilakukan pengamatan orofaring untuk melihat adanya sisa warna di orofaring. Warna biasanya akan tampak dalam 20 menit. Tes ini lebih objektif dibandingkan tes sakarin karena tes ini tidak tergantung dari persepsi pasien meskipun kurang tepat karena orofaring tidak dapat diamati secara terus menerus selama 20 menit untuk mengamati munculnya warna di orofaring (Marks, 2000).
pergerakan radioisotop yang diamati dengan menggunakan radioisotope scanner
di daerah nasofaring. Teknik pemeriksaan ini juga memungkinkan kita untuk mengukur pergerakan mukus yang dinyatakan dalam milimeter gerakan permenit. Pada orang dewasa yang sehat, rata-rata gerakan sebesar 9 mm/ menit. Kekurangan dari tes ini adalah relatif mahal dan memerlukan waktu yang relatif lama (Marks, 2000).
Apabila waktu transpor mukosiliar dan frekuensi gerak silia abnormal, maka sampel dapat diteliti dengan spatula atau melalui biopsi langsung untuk diteliti dengan mikroskopi elektron, untuk menegakkan diagnosis seperti primary ciliary dyskinesia atau PCD. Selain itu, pemeriksaan kadar nitrit oksida juga penting untuk mengetahui metabolisme silia. Pada PCD, kadar nitrit oksida menjadi penanda tidak langsung metabolisme silia yang mengalami penurunan (Ballenger, 2003;Walsh dan Korn, 2006).
2.2.4. Faktor - faktor yang mempengaruhi waktu transpor mukosiliar
Beberapa faktor dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar di antaranya umur, infeksi, alergi, merokok, pemakaian obat tetes hidung, indeks massa tubuh, gangguan atau kelainan anatomi hidung dan penyakit sistemik seperti DM.
Infeksi hidung dan sinus paranasal kronik dilaporkan dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Pada infeksi terjadi gangguan viskoelastisitas mukus yang dapat menyebabkan gangguan transpor mukosiliar (Majima dkk., 1993).
Pada kasus rinitis alergi yang sangat lama terjadi pemanjangan waktu transpor mukosiliar yang berkaitan dengan perubahan sifat aliran mukus hidung (Yadav dkk., 2003).
Merokok dapat mempengaruhi kecepatan transpor mukosiliar. Hal ini dapat disebabkan oleh efek siliostatik dari asap tembakau. Pemanjangan NMC dapat juga disebabkan oleh penurunan jumlah silia atau perubahan viskoelastisitas mukus. Selain itu peningkatan NMC juga berhubungan dengan peningkatan lamanya durasi merokok dimana subjek yang merokok lebih dari 5 tahun memiliki waktu transpor mukosiliar lebih lambat (Baby dkk., 2014).
Obat-obatan topikal pada hidung seperti dekongestan topikal dari penelitian yang dilakukan sebelumnya diketahui dapat mempengaruhi waktu transpor mukosiliar. Zhang dkk. telah melakukan penelitian mengenai pengaruh obat tetes hidung oksimetasolin terhadap waktu transpor mukosiliar. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa oksimetasolin konsentrasi 0,05% tidak menyebabkan efek inhibisi yang nyata terhadap frekuensi gerak siliar hidung secara invitro, walaupun terjadi pemanjangan transpor mukosiliar invivo tetapi masih dalam kisaran normal (Zhang dkk., 2008).
waktu transpor mukosiliar hidung. Laki-laki cenderung mempunyai waktu transpor yang lebih panjang bila dibandingkan dengan wanita (Valdez dan Cruz, 2009).
Kelainan atau gangguan anatomi hidung dapat menyebabkan gangguan waktu transpor mukosiliar. Beberapa peneliti menilai hubungan transpor mukosiliar, karakteristik histologi dan struktur mukosa pasien dengan deviasi septum nasi. Dari penelitian didapatkan mukosa septum nasi sisi yang cekung mengalami gangguan transpor mukosiliar dan diduga karena hilangnya silia, inflamasi dan berkurangnya kelenjar (Jang dkk., 2002).
Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus juga dapat mempengaruhi kecepatan transport mukosiliar. Pemanjangan waktu transpor mukosiliar pada penderita diabates mellitus yang mungkin disebabkan oleh menurunnya aktifitas ATP-ase, neuropati, berkurangnya kadar air dan elektrolit dan perubahan metabolisme karbohidrat (Selimoglu dkk., 1999).
2.3. Debu Kayu Dalam Industri Pengolahan Kayu
tersebut bergantung pada ukuran partikel debu tersebut, struktur saluran napas dan proses bernapas itu sendiri (Amin, 1996; Kauppinen dkk., 2006).
Proses penggergajian dan pengampelasan pada perusahaan kayu menghasilkan debu atau partikel kayu yang terhambur di udara dalam jumlah yang cukup banyak sehingga udara di lingkungan tersebut tidak bersih lagi. Hal ini berpengaruh pada kesehatan terutama kesehatan saluran nafas orang-orang yang berada di lingkungan tersebut khususnya karyawan yang berada di lingkungan tersebut 9 jam per hari dan minimal 6 hari per minggu. Apabila pajanan ini berlangsung terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan gangguan mukosa hidung. Gangguan dapat bersifat ringan seperti terganggunya fungsi silia hingga bersifat lebih berat berupa perubahan struktur seperti hiperplasia kelenjar mukus maupun gangguan yang benar-benar patologis seperti karsinoma in situ ( Watelet dkk., 2002; Irawan, 2004).
2.3.1 Debu kayu
Debu kayu adalah partikel-partikel zat padat atau partikel kayu yang dihasilkan oleh kekuatan alami atau mekanik seperti pada pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan, peledakan dan lain-lain (Yunus, 2009).
Debu industri yang terdapat dalam udara dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Deposit particulate matter yaitu partikel debu yang hanya berada sementara di udara dan partikel ini segera mengendap karena daya tarik bumi
2. Suspended particulate matter yaitu partikel debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap dengan ukuran 1 mikron sampai 100 mikron (Yulaekah, 2007).
2.3.2. Ukuran partikel debu kayu
Partikel dalam udara yang terhirup tidak semua mencapai paru, partikel yang berukuran besar pada umumnya tersaring di hidung oleh vibrisae atau rambut hidung. Partikel yang terhisap dapat mencapai alveoli adalah partikel dengan ukuran 0,5-0,1 mikron disebut partikel terhisap, partikel ini dapat mengendap di alveoli dan menyebabkan terjadinya pneumolinosis (Yulaekah, 2007).
Partikulat adalah zat dengan diameter kurang dari 10 mikron. Berdasarkan ukurannya partikulat dibagi dua yaitu:
Perjalanan debu masuk saluran pernafasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikulat debu yang membahayakan kesehatan ukurannya berkisar antara 0,1 mikron sampai 10 mikron. Partikel yang berukuran 5 mikron atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang memiliki ukuran kurang dari 2 mikron akan berhenti di bronkiolus dan alveolus. Sedangkan partikel yang memiliki ukuran kurang dari 0,5 mikron biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernafasan akan tetapi dikeluarkan lagi (Depkes RI, 2008).
Debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernafasan. Ukuran dari debu juga sangat menentukan lokasi tertahannya debu di saluran nafas.
Berdasarkan hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut:
1. Ukuran 5-10 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian atas. 2. Ukuran 3-5 mikron, akan tertahan oleh saluran pernafasan bagian tengah. 3. Ukuran 1-3 mikron, sampai di permukaan alveoli.
4. Ukuran 0,5-1 mikron, hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir sehingga dapat menyebabkan fibrosis pada paru-paru.
2.3.3. Jenis kayu
Kayu terbagi dua yaitu hardwood dan softwood, pada proses pembuatan
furniture ke dua jenis kayu ini biasanya banyak digunakan. Debu kayu merupakan bahan seperti serbuk coklat muda yang dihasilkan melalui proses mekanik seperti penggergajian, penyerutan dan penghalusan atau pengamplasan. Komposisi debu kayu sangat bervariasi berdasarkan jenis pohon dan utamanya terdiri atas selulosa, polyoses dan lignin. Sifat kayu terutama dipengaruhi oleh jumlah dan variasi substansi massa berberat molekul rendah yang menyusunnya termasuk di dalamnya ekstrak organik polar seperti tannins, flavonoids, quinones dan lignans, ekstrak organik non-polar seperti asam lemak, resin acids, waxes, alkohol,
terpenes, sterol, steryl ester dan gliserol dan bahan-bahan larut air seperti karbohidrat, alkaloid, protein dan material anorganik (Rowell, 2004).
2.3.4 Konsentrasi partikel debu
Semakin tinggi konsentrasi partikel debu dalam udara dan semakin lama pajanan berlangsung, jumlah partikel yang mengendap di saluran nafas khususnya paru-paru juga semakin banyak (Yunus, 2003).
2.3.5 Lama pekerjaan
keluhan batuk produktif, usia 45 tahun sampai 55 tahun sering mengeluh sesak dan hipoksemia, usia 55 tahun sampai 65 tahun timbul penyakit kor pulmonal sampai kegagalan nafas dan kematian (Triatmo dkk., 2006).
2.3.6 Tempat dan proses pengolahan kayu
Pada pabrik pengolahan kayu terdapat beberapa bagian produksi yang berpengaruh pada kadar debu kayu yang berbeda pada masing-masing bagian. Proses pengolahan kayu pada perusahaan “M”, di Kabupaten Badung meliputi 6 bagian :
1. Penggergajian kayu
2. Penyiapan dan penyimpanan bahan baku 3. Perakitan dan pembentukan
4. Pengeringan 5. Pengamplasan
6. Furniture component yaitu pengecatan dan penyelesaian akhir atau finishing
7. Administrasi
2.4 Pengukuran Debu Kayu dan Nilai Batas Ambang 2.4.1 Pengukuran debu kayu
Kuantitas pajanan terhadap debu didefinisikan menjadi beberapa istilah yaitu kadar debu total (total dust ), kadar debu terhirup (respirable dust) dan kadar debu dosis kumulatif. Debu total dihitung dengan menggunakan pengumpul debu pasif. Debu total ini kurang berpengaruh terhadap kesehatan karena ukuran debu tidak spesifik. Kadar debu terhirup adalah partikel debu dengan diameter aerodinamik rata-rata 4 mikron (0-100 mikron), partikulat yang terhirup adalah partikel yang ditangkap oleh filter nylon cyclone diameter 10 mm dengan kecepatan 1,7 liter/menit. Sedangkan kadar debu kumulatif adalah perkalian antar kadar debu terhirup dan lama pajanan (Lange, 2008; Anonim, 1997).
Untuk mengukur kadar debu kayu di udara dapat dilakukan dengan 3 cara metode gravimetri yaitu dengan melewatkan udara dalam volume tertentu melalui glass fiber, serat gelas atau kertas saring :
a. High Volume Air Sampler atau HVAS .
b. Low Volume Air Sampler atau LVAS.
Prinsip kerja alat ini adalah dengan menangkap debu dengan ukuran yang kita inginkan dengan cara mengatur flow rate. Ukuran rate 20 liter/menit dapat menangkap partikel berukuran sebesar 10 mikron. Berat debu dapat dihitung dengan terlebih dahulu menghitung berat kertas saring sebelum dan sesudah pengukuran.
c. Personal Dust Sampler atau PDS.
Personal Dust Sampler adalah alat yang digunakan untuk menentukan banyaknya respirable dust di udara atau debu yang dapat lolos melalui filter bulu hidung manusia selama bernafas. Metodenya adalah gravimetri atau melewatkan udara melalui kertas saring dengan cara mengatur flow rate. Untuk rate 2 liter/menit dapat menangkap partikel debu yang ukurannya kurang 10 mikron. Alat ini berukuran kecil biasanya digunakan pada lingkungan kerja dan dipasangkan pada pinggang tenaga kerja (Lange, 2008).
2.4.2 Nilai ambang batas debu kayu
Parameter yang paling penting dalam menilai pencemaran debu saat bekerja adalah konsentrasi debu kayu di lingkungan kerja tersebut. Nilai ambang tersebut harus aman bagi orang yang bekerja pada proses produksi yang menghasilkan debu kayu tersebut (Depkes RI, 1997).
pada lingkungan kerja yang dianjurkan di tempat kerja yang masih dapat diterima tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan bagi para pekerja, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu. Depnaker dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No:SE 01/Men/1997 telah menetapkan tentang nilai ambang batas debu kayukeras seperti debu kayu mahoni di udara lingkungan kerja adalah sebesar 5 mg/m3 (Depkes RI, 1997). Standar debu kayu di lingkungan kerja menurut The Nasional Institute for Occupational Safety and Health atauSNIOSH adalah 1 mg/m3 untuk kayu keras dan 5 mg/m3 untuk kayu lunak untuk pekerja yang bekerja 8 jam sehari (Wawolumaya, 2001).
2.5 Pengaruh Pajanan Debu Kayu Terhadap Kerja Mukosiliar Hidung
Bekerja dalam lingkungan yang dipenuhi oleh debu kayu menyebabkan terhirupnya debu ke saluran nafas yang dapat menyebabkan masalah kesehatan apabila partikel debu tersebut mengendap dan kontak langsung dengan saluran nafas. Pada saat bernafas partikel mengendap di saluran nafas. Rute utama pernafasan adalah melalui hidung. Kemampuan mengendap dari debu kayu tergantung dari ukuran, bentuk, kelarutan dan surface chemistry (Lange, 2008).
terdeposit di sana. Ukuran partikel dari debu kayu berbeda tergantung dari tipe kayu dan pengerjaan yang dilakukan dari mana debu kayu berasal (Lange, 2008).
Terdapat beberapa mekanisme traktus respiratorius untuk menjaga permukaan mukosa bebas dari benda asing seperti partikel debu kayu. Mekanisme ini dapat bersifat absortif maupun non absortif dan bervariasi di area yang berbeda dari traktus respiratorius. Pada daerah ekstra torakal seperti hidung, partikel yang daya larutnya rendah akan dibersihkan oleh transpor mukosiliar. Partikel yang terkumpul di bagian posterior dari hidung, bergerak ke arah nasofaring akibat dari gerakan silia. Rata-rata alirannya pada orang dewasa yang sehat 5 mm/menit, dengan nilai rata-rata transpor 20 menit (Lange, 2008).
Saat ini debu kayu juga telah diketahui sebagai bahan yang bersifat lokal iritatif dan seringkali menimbulkan keluhan pada hidung terutama hidung tersumbat (Schlunssen dkk., 2002). Gangguan transpor mukosiliar hidung dan gejala gangguan hidung pada pekerja kayu sebelumnya telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Adanya gangguan transpor mukosiliar telah dilaporkan sebagai mekanisme dari keluhan hidung pada orang yang bekerja di lingkungan dengan pajanan debu kayu. Pajanan kronis dari debu kayu dapat menyebabkan gangguan dari transpor mukosiliar pada pekerja kayu (Dostbil dkk., 2011).