A. Pabrik Kelapa Sawit
5. Sistem Penanganan Limbah Pabrik Kelapa Sawit
Perhitungan besarnya beban pencemaran yang masuk ke lingkungan tergantung pada kegiatan yang ada disekitar lingkungan tersebut. Untuk daerah pemukiman beban pencemaran biasanya diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan rata-rata perorang membuang limbah. Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan ukuran industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, dan derajat pengolahan air limbah yang ada. Selain limbah cair, limbah padat (sampah) juga merupakan beban pencemaran yang dapat masuk ke lingkungan baik secara langsung maupun tak langsung.
Secara konvensional pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) dilakukan dengan sistem kolam yang terdiri dari kolam anaerobik
dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-120 hari (Wulfert et al., 2000). Keuntungan dari cara ini antara lain adalah:
• Sederhana
• Biaya investasi untuk peralatan rendah • Kebutuhan energi rendah
Akan tetapi bila ditelaah lebih lanjut, sistem kolam mempunyai beberapa kerugian antara lain :
• Kebutuhan areal untuk kolam cukup luas, yaitu sekitar 5 ha untuk pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 30 ton/jam.
• Perlu biaya pemeliharaan untuk pembuangan dan penanganan Lumpur dari kolam. Untuk PKS yang menggunakan separator 2 fase, praktis semua lumpur (sludge) yang berasal dari buah mengalir ke kolam. Padatan tersuspensi dari Lumpur ini tidak akan/sedikit didegradasi sehingga konsentrasinya akan semakin meningkat dan akan mengendap di dasar kolam akan semakin menurun sehingga waktu retensi limbah akan turun dan kapasitas perombakkan kolam juga turun. Disamping itu pembuangan lumpur juga tidak dapat dilakukan pada semua bagian kolam karena luas dan dalamnya kolam.
• Hilangnya nutrisi
Semua nutrisi yang berasal dari limbah (N, P, K, Mg, Ca) akan hilang pada waktu limbah dibuang ke sungai.
• Emisi gas metana ke udara bebas
Hampir semua bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik tersuspensi didegradasi secara anaerobik menjadi gas metana dan karbondioksida. Emisi gas metana ke udara bebas dapat menyebabkan efek rumah kaca yang besarnya 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida. Jumlah gas metan yang diproduksi kolam limbah anaerobik sekitar 10 m3 setiap ton TBS diolah.
Dengan memperhatikan kerugian pada penggunaan sistem kolam, maka perlu dikembangkan konsep alternatif pengolahan LCPKS secara terpadu.
Konsep Alternatif Pengolahan LCPKS
Pada tahap pertama, lumpur/padatan tersupsensi dipisahkan dengan
dekanter atau dissolved air floatation dengan tujuan : • Mengurangi kandungan COD, BOD, nitrogen dan pasir
• Mengurangi masalah pada proses pengolahan berikutnya seperti foaming, sedimentasi dan penyumbatan pipa outlet reaktor karena adanya lumpur.
Setelah lumpur dipisahkan, limbah cair yang kandungan utamanya adalah padatan terlarut di pompakan ke reaktor anaerobik (unggun tetap/fixed bed, up flow anaerobic sludge blanket atau lainnya), dimana akan terjadi : • Perombakan bahan organik menjadi biogas
• Proses perombakan terjadi dalam waktu yang singkat dengan kinerja yang tinggi
• Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dan disimpan
LCPKS yang telah didegradasi secara anaerobik dapat digunakan sebagai air irigasi (aplikasi lahan/land application) untuk :
• memanfaatkan nutrisi dalam limbah • menghemat areal untuk kolam
• meminimalisasi pencemaran dan konsumsi energi
Apabila aplikasi lahan tidak dapat dilakukan, limbah dapat diolah lebih lanjut secara aerobik (kolam aerobik atau activated sludge system) sampai memenuhi baku mutu lingkungan sebelum dibuang ke sungai.
Apabila energi menjadi faktor yang penting, fraksi lumpur dapat diolah secara anaerobik dalam reaktor anaerobik berpengaduk untuk produksi biogas. Lumpur yang sudah diolah dapat digunakan sebagai pupuk bersama dengan limbah cair untuk memanfaatkan nutrisinya. Lumpur juga dapat dikeringkan dengan drum drier untuk dijadikan pakan ternak. Pemanfaatan lain dari lumpur adalah untuk produksi kompos bersama-sama dengan tandan kosong sawit. Lumpur dicampur dengan TKS yang telah dirajang dan dibiarkan beberapa minggu sampai menjadi kompos. Dengan cara ini akan terjadi penguapan air pada lumpur. Tumpukan kompos ini harus dibalik secara periodik agar proses penguapan maksimal.
Pada Gambar 2 terlihat beberapa variasi dan konsep alternatif pengolahan LCPKS. Apabila pabrik menggunakan sistem dekender 3 fase, maka tidak diperlukan proses pemisahan lumpur, tetapi proses pengolahan lumpur dan limbah cair adalah serupa. Proses utama dari konsep ini adalah pengolahan secara anaerobik dan pemisahan lumpur.
16 Gambar 2. Konsep pengolahan limbah terpadu (PKS dengan separator 2 fase)
39 Pengelolaan limbah cair dan lumpur dengan teknologi sistem kolam
Teknologi sistem kolam merupakan penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) yang dianggap paling mudah dan murah bagi pabrik kelapa sawit karena limbah diolah dengan menggunakan prinsip instalasi penanganan air limbah (IPAL) yang bersifat end of pipe. Gambar 3 menunjukkan proses penanganan limbah cair kelapa sawit dengan menggunakan teknologi sistem kolam (PPKS, 2000).
Gambar 3. Teknologi penanganan sistem kolam (PPKS, 2000) • Recovery Tank
Berfungsi untuk mengurangi kadar minyak dari dalam limbah. • Deoiling Pond
Berfungsi untuk menangkap minyak yang masih tersisa di dalam limbah, sehingga hanya tersisa 0,4% - 0,6%.
• Cooling Pond
Berfungsi untuk menurunkan suhu limbah menjadi 20-40 0C, agar mikroorganisme dapat menguraikan limbah. Cooling Pond dapat digantikan dengan Cooling Tower, yang memiliki fungsi sama namun lebih menghemat lahan.
Recovery Tank Deoiling Tank Cooling Pond/Tower Netralization Seedling Pond Primary Anerobic Pond Secondary Anerobic Pond Facultative Pond
Aerobic Pond FinalPond
Public River
40 • Netralization Pond
Berfungsi untuk menaikan pH limbah dari 4 menjadi 7,0 – 7,5, dengan menambahkan kaustik soda (NaOH) atau kapur tohor (CaO).
• Seedling Pond
Berfungsi untuk mengembangbiakan bakteri. Jika sudah siap akan dialirkan ke kolam anaerobik.
• Primary Anaerobic Pond
Berfungsi untuk mengubah bahan organik majemuk oleh bakteri menjadi asam-asam organik yang mudah menguap.
• Secondary Anaerobic Pond
Merupakan kelanjutan dari Primary Anaerobic Pond, yang berfungsi untuk mengubah asam organik mudah menguap terutama asam asetat menjadi gas seperti metan, karbondioksida dan hidrogen sulfida. • Facultative Pond
Berfungsi untuk menguraikan limbah oleh bakteri fakultatif yang pada penguraian sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh bakteri obligat. Dan sebagai kolam transisi sebelum masuk ke aerobic pond.
• Aerobic Pond
Berfungsi untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana oleh aktivitas mikroorganisme yang memiliki. Bahan organik disintesis menjadi sel-sel baru, dan hasilnya berupa produk akhir (CO2, H2O, dan
NH3) yang stabil.
• Final Pond
Berfungsi sebagai penampungan sementara limbah yang telah diolah, dan untuk menguji apakah baku mutunya sesuai dengan peraturan pemerintah pusat dan atau daerah, sebelum dikeluarkan dari sistem pengolahan air limbah.
Pengelolaan limbah cair dengan teknologi aplikasi lahan
Pemanfaatan limbah cair PKS dengan teknologi aplikasi lahan dilakukan dengan cara mengalirkan limbah yang berasal dari kolam penanganan limbah cair ke parit-parit yang ada di perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan limbah cair PKS menjadi pupuk dikarenakan
41 komposisi limbah cair yang masih banyak mengandung unsur-unsur hara yang tinggi.
Proses pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit sebelum dialirkan ke lahan-lahan (flat bed) perkebunan sama dengan teknologi sistem kolam hingga pada proses pengendapan di kolam anaerobik. Penanganan ini dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai parameter limbah cair seperti BOD (< 5000 ppm) dan COD (< 10000 ppm) sehingga lahan dapat menyerap limbah tersebut sebagai pupuk cair organik. Gambar 4 berikut ini adalah yang menunjukkan teknologi yang menggunakan aplikasi lahan (PTPN IV, 2004).
Gambar 4. Teknologi aplikasi lahan (PTPN IV, 2004)
Pengelolaan limbah padat dengan teknologi mulsa
Penanganan limbah padat berupa tandan kosong sawit dengan menggunakan tekologi mulsa merupakan teknologi penanganan yang paling mudah dan murah diantara sistem penanganan limbah padat lainnya. Proses teknologi mulsa hanya dilakukan dengan meletakkan dan mengatur tandan kosong sawit pada bagian-bagian dari lahan perkebunan sebagai pupuk organik. Penyebaran TKS harus sesuai dengan prosedur
42 agar tidak memicu pembususkan pada tanaman kelapa sawit (PPKS, 2000).
Selain pemanfaatan nilai haranya, dengan teknologi mulsa juga dapat diperoleh keuntungan sebagai berikut.
• Perbaikan struktur tanah oleh mikroorganisme pada pelapukan tandan buah sawit
• Pengurangan erosi tanah karena pembentukan lapisan pelindung
• Perbaikan penahanan air dan pengurangan penguapan oleh lapisan yang terbentuk.
Ada beberapa kerugian pemanfaatan mulsa sebagai pengganti pupuk anorganik, yaitu dapat terjadinya pembentukan jamur karena masih memiliki nilai hara yang tinggi sehingga menimbulkan pencemaran bau pada areal perkebunan. Kontrol yang kurang terhadap nilai-nilai parameter juga dapat memicu proses anaerob yang menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit.
Pengelolaan limbah cair dan limbah padat (TKS) dengan teknologi pengomposan
Teknologi pembuatan kompos (Gambar 5) pada pabrik kelapa sawit terdiri dari 5 tahapan proses, yaitu : (PTPN IV, 2003)
i) Pencacahan Tandan Kosong Sawit
Pencacahan dilakukan untuk mengecilkan ukuran tandan kosong sawit sehingga bidang kontak proses dapat menjadi lebih besar dan proses pengomposan dapat berjalan dengan baik.
ii) Pembuatan Tumpukan
Pembuatan tumpukan dimaksudkan agar bahan pembuatan dapat ditangani dengan mudah dan bahan tidak bercecer ke mana-mana. Pembuatan tumpukan umunya memiliki lebar 3 meter dan tinggi mencapai 1,2 meter, sedangkan panjangnya tergantung ketersediaan lahan dan produksi kompos.
iii)Pembalikan
Pembalikan dilakukan agar seluruh bagian tumpukan memperoleh aerasi yang cukup sehingga pengomposan dapat berjalan dengan baik.
43 Pembalikan dilakukan 3 – 5 kali dalam seminggu.
iv) Penyiraman Limbah Cair PKS
Penyiraman dengan menggunakan limbah cair PKS bertujuan untuk menambah unsur hara dalam produk pengomposan. Penyiraman dilakukan 3 - 5 kali seminggu.
v) Pengeringan/Penjemuran
Pengeringan dilakukan dengan cara penjemuran dimaksudkan untuk mengurangi kadar air pada produk kompos yang diproduksi.
Beberapa keuntungan penggunaan teknologi kompos, yaitu proses terjadi secara aerobik, tanpa penambahan mikroorganisme, waktu pengomposan 6-8 minggu, mutu produk tinggi dan homogen, resiko kegagalan kecil, memanfaatkan limbah cair, dan kebutuhan tenaga kerja rendah.
Gambar 5. Teknologi Pengomposan (PPKS, 2000)