• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren

a. Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren

Menurut Halim dkk, (2005:70-72) secara etimologi, manajemen berasal dari kata manage atau manus (latin) yang berarti memimpin, menangani, mengatur atau membimbing.

Berkaitan dengan hal tersebut, di dalam buku Halim dkk, (2005:70-72) seorang ilmuwan yaitu George R Terry, (1972) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manajemen yaitu sebuah proses khas, yang terdiri dari tindakan-tindakan; perencanaan, pengorganisasian, penggiatan, dan pengawasan. Ini semua dilakukan untuk menentukan atau mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan SDM, dan juga sumber daya lainnya.

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa manajemen adalah

applied science (ilmu aplikatif), dimana jika dijabarkan menjadi sebuah proses tindakan meliputi beberapa hal:

1) Perencanaan(Planning)

Fungsi perencanaan mencakup penetapan tujuan, standart, penentuan aturan prosedur, pembuatan recana serta ramalan (prediksi) apa yang diperkirakan terjadi.

19

Fungsi pengorganisasian ini meliputi: pemberian tugas yang terpisah kepada masing-masing pihak, membentuk bagian, mendelagasikan, atau menetapkan jalur wewenang/tanggung jawab dan sistem komunikasi, serta mengkoordinir kerja setiap bawahan dalam suatu tim kerja yang solid dan terorganisir.

3) Penggerakan (Actuating)

Setelah kegiatan perencanaan/pengorganisasian, pimpinan perlu dapat menggerakkan kelompok secara efisien dan efektif ke arah pencapaian tujuan. Dalam menggerakkan kelompok ini pimpinan menggunakan berbagai sarana meliputi: komunikasi, kepemimpinan, perundingan-perundingan, pemberian instruksi, dan lain-lain. Dengan

actuating ini, pimpinan berusaha menjadikan organisasi bergerak dan berjalan secara aktif dan dinamis.

4) Pengawasan (Controlling)

Fungsi ini bisa juga disebut dengan pengendalian/evaluasi.Ketika organisasi telah bergerak dan berjalan, pimpinan harus selalu mengadakan pengawasan atau pengendalian agar gerakan atau jalannya organisasi benar-benar sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan baik mengenai arahnya maupun caranya.

Melalui empat tahapan itulah manajemen dapat bergerak, tentunya hal itu juga bergantung tingkat kepemimpinan seorang manajer. Artinnya adalah proses manajerial sebuah organisasi akan bergerak apabila para manajernya mengerti dan paham secara benar akan apa yang dilakukannya

20

Satu hal yang harus diperhatikan seorang manajer adalah penetapan tujuan. Tujuan hakikatnya merupakan pedoman dan landasan bagi segenap tindakan dalam proses manajerial. Sebagai faktor yang penting, paling tidak perumusan tujuan manajerial akan memiliki fungsi:

a) Menjadi dasar bagi penentuan sasaran, strategi, kebijakan, dan langkaah-langkah operasional organisasi (pesantren)

b) Untuk memberikan inspirasi dan motivasi bagi pelaksana

c) Untuk dijadikan standar evaluasi/pengawasan terhadap pelaksanaan rencana organisasi.

Dengan demikian, tujuan yang hendak dirumuskan haruslah memenuhi sifat-sifat: jelas dan tegas,spesifik dan diupayakan terukur, realistis dan ekonomis.

b. Tujuan Pendidikan Pondok Pesantren

Menurut Ajaran Islam, semua yang ada diciptakan oleh Allah SWT, dengan sengaja dan penuh makna atau tujuan. Tidak satupun dari yang ada ini diciptakan dengan sia-sia atau tanpa tujuan. Manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, yaitu mengabdi kepada-Nya dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Secara umum, tujuan pesantren adalah membina kepribadian santri agar menjadi seorang muslim, mengamalkan ajaran-ajaran Islam serta menanamkan rasa keagamaan pada semua segi kehidupannya dan menjadikan santri sebagai manusia yang berguna bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara. (Haryanto, 2012:47)

Sedangkan tujuan pendidikan pesantren menurut Dhofier, (1983:21) bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan dunia,

21

tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.

Jadi tujuan pendidikan tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Setiap murid diajarkan agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain.

Salah satu cita-cita pendidikan pesantren yaitu latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Tuhan.

Menurut Manfred & Karcher, (1988:276) dalam sebuah buku terjemahannya ada seorang tokoh yang bernama Mastuhu berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah mengembangkan perilaku membangun, yaitu perilaku maju, modern, produktif, efektif dan efisien; tetapi juga mengembangkan perilaku yang arif bijaksana, yaitu perilaku yang mampu memehami makna kehidupan dan menyadari peranan dirinya di tengah kehidupan bersama untuk membangun masyarakatnya, sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan.

Perilaku manusia dalam kehidupan bersama ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1) Perilaku Idealis, yaitu perilaku yang berpegang pada nilai-nilai luhur yang diidealkan dan seharusnya menjadi kenyataan dalam kehidupan bersama menurut kepercayaan yang diyakini atau menurut ajaran agama yang dipeluknya.

22

2) Perilaku normatif, yaitu perilaku yang mengutamakan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dengan norma-norma atau tradisi masyarakat.

3) Perilaku realistis, yaitu perilaku yang sesuai dengan kenyataan hidup sehari-hari. Perilaku ini mengutamakan kemampuan mengatasi masalah kahidupan yang nyata secara efektif, efisien, dan produktif.

Sementara itu tujuan pendidikan dalam Islam secara garis besarnya adalah untuk membina manusia agar menjadi hamba Allah yang saleh dengan seluruh aspek kehidupannya, perbuatan, pikiran dan perasaanya. Allah berfirman:

  



Artinya:

“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan

orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa”. (Al Baqarah:21)

c. Kurikulum Pendidikan Pondok Pesantren

Dian Nafi’ dkk, (2007:85) berpendapat bahwa, prinsip-prinsip kurikulum di pesantren adalah sebagai berikut:

1) Kurikulum Bertujuan Untuk Mencetak Ulama/Generasi Baru.

Di dalam kurikulum tersebut terdapat paket mata pelajaran, pengalaman, dan kesempatan yang harus ditempuh santri. Keberhasilan pencapaian tujuan ini biasannya tidak ditentukan untuk menghasilkan 100% santri sebagai ulama. Kapasitas seorang ulama membutuhkan waktu yang lama untuk untuk dijangkau. Pesantren sadar, dalam setiap angkatan

23

mungkin hanya akan dilahirkan lulusan yang berkapasitas sebagai ulama satu dua orang saja. Itu dipandang cukup. Banyaknya santri yang diterima setiap tahun pelajaran adalah untuk memperbesar kemungkinan lahirnya seorang ulama dan menjadi pendukung tugas-tugas para ulama.

2) Struktur Dasar Kurikulum Adalah Pengajaran Ilmu Agama.

Pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan layanan pandidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi dan kelompok. Bimbingan ini bersifat menyeluruh, tidak hanya di kelas atau menyangkut penguasaan materi pelajaran, melainkan juga di luar kelas dan menyangkut pembentukan karakter, peningkatan kapasitas, pemberian kesempatan, dan tanggung jawab yang dipandang memadai bagi lahirnya lulusan yang dapat mengembangkan diri.

3) Kurikulumnya bersifat fleksibel.

Secara keseluruhan kurikulumnya bersifat fleksibel; setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya; paling tidak

separo muatan kurikulum dapat dirancang oleh santri sendiri. Kurikulum yang diterapkan tidak mengarah pada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan kaagamaan. Sifatnya yang lebih menekankan pembinaan pribadi dengan sikap hidup yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan-lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya. Meskipun pada pekembangannya banyak pesantren yang mengajarkan ilmu-ilmu umum, akan tetapi tujuan utama pendidikan di pesantren adalah penguasaan ilmu dan pemahaman keagamaan. Fleksibelitas kurikulum dapat dipandang sebagai watak pesantren dalam melayani kebutuhan dan memenuhi hak santri untuk belajar ilmu agama.

24

d. Proses Belajar Mengajar Pondok Pesantren

Proses belajar mengajar di pondok pesantren menurut Nafi’ dkk,

(2007) biasanya menggunakan metode bandongan atau wetonan dan sorogan.

Bandongan dilakukan dengan cara kyai/guru membacakan teks-teks kitab yang berbahasa Arab, menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal, dan sekaligus menjelaskan maksud yang terkandung di dalam kitab tersebut. Metode ini dilakukan dalam rangka memenuhi kompetensi kognitif santri dan memperluas referensi keilmuan bagi mereka. Memang di dalam bandongan, hampir tidak pernah terjadi diskusi antara kyai dan para santrinya, tetapi teknik ini tidak berdiri sendiri, melainkan diimbangi juga dengan sorogan dan teknik lain yang para santrinya lebih aktif.

Selain bandongan atau cawisan, banyak pesantren yang juga menerapkan model kelas sebagaimana madrasah atau sekolah. Dalam model ini santri dikelompokkan menurut tingkat penguasaan ilmunya. Pada umumnya, model kelas yang ada di pesantren adalah dalam bentukmadrasah

diniyah, yaitu madrasah yang mengkhususkan diri pada penyelenggaraan pembelajaran ilmu-ilmu agama. Penjenjangan yang dilakukan oleh madrasah/ sekolah yang diterapkan di pesantren yaitu diniyah ula‟ (tingkat dasar),

wustha‟ (tingkat menengah), dan „ulya‟ (tingkat atas). Meskipun demikian, kurikulum yang digunakan pada madrasah diniyah merupakan kurikulum yang dikembangkan sendiri oleh pesantren sesuai dengan kemampuan santri dan karakteristik masing-masing pesantren.

Fleksibilitas kurikulum di pesantren dengan keterlibatan santri, misalnya dalam penentuan kitab yang dibaca dalam metode bandongan, diharapkan mampu meningkatkan kompetensi afektif santri. Minat santri

25

untuk belajar di pesantren dan agar selalu termotivasi dapat selalu ditumbuhkan jika santri ikut merasa memiliki rancangan kurikulum bagi dirinya sendiri. Aspek afektif santri di pesantren juga ditingkatkan melalui pembinaan akhlaq/kepribadian. Konsep barakah yang ada di pesantren, menjadi keyakinan seorang santri, apabila ia bersungguh-sungguh dalam belajar maka akan mendapatkan barakah dari kyai. Hal ini juga ikut andil dalam meningkatkan minat dan semangat para santri untuk belajar.

Selain itu, Kyai di pesantren juga sering menganjurkan kepada para santrinya untuk melakukan riyadhah(spiritual exercise), semisal puasa sunnah yang dianjurkan oleh agama seperti pada hari senin dan kamis, i‟tikaf, salat tahajud, dan lain sebagainya agar santri tetap terkondisi dalam semangat mencapai tujuan mulia yaitu ilmu yang bermanfaat.

Pada dasarnya hampir seluruh aktivitas di pesantren iru mencerminkan prinsip belajar melalui praktik. Prinsip ini efektif untuk melihat dan mengukur kompetensi psikomotorik santri. Aktivitas learning by doing (belajar sambil melakukan), ini seperti ikut terlibat dalam pembangunan fisik pesantren seperti pembangunan kamar mandi dan masjid, maupun non fisik seperti pemilihan dan pembentukan kepengurusan pesantren.

Aspek kognitif yang semua santri menjadi aktif adalah metode pengajaran yang menjadi ciri khas pesantren yaitu sorogan. Metode sorogan

adalah semacam metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sehingga santri memilih kitab sendiri, biasannya kita kuning, yang akan dibaca, kemudian membaca dan menerjemahkan di hadapan kyai, sementara itu kyai mendengarkan bacaan santrinya itu dan mengoreksi bacaan atau terjemahannya jika diperlukan. Metode belajar aktif ini juga efektif untuk

26

melihat kompetensi psikomotorik santri. Di dalam membaca dan menerjemahkan kitab para santri diharapkan dapat menerapkan ilmu alat, seperti nahwu (gramatika Bahasa Arab), sharaf(morfologi) dan lain-lain, yang selama ini telah mereka pelajari secara teoretis.

Penguasaan kitab kuning juga diasah melalui forum yang biasa disebut

bathsu al-masail, musyawarah atau munadharah. Di dalam forum itu, para santri biasanya mulai santri pada jenjang menengah, membahas atau mendiskusikan suatu kasus di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari untuk kemudian dicari pemecahannya secara fiqh (yurisprudensi Islam).

Pengabdian para santri senior dengan menjadi badal atau asisten kyai, dengan tugas utama menjadi asisten kyai di dalam proses belajar mengajar (PBM), merupakan usaha pesantren di dalam meningkatkan kompetensi afektif dan psikomotorik santri. Yang menjadi badal kyai ini beberapa santri senior yang dianggap mampu mewakili kyai baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren.

Dokumen terkait