• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Pondok Pesantren

2. Sistem Pengajaran

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham Syafi'iyah, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang tinggal di pesantren untuk jangka waktu pendek (misalnya kurang dari satu tahun) dan tidak bercita-cita menjadi ulama, mempunyai

40

tujuan untuk mencari pengalaman dalam hal pendalaman perasaan keagamaan. Meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam tradisional. Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok: 1. Nahwu dan shorof (morfologi); 2. Fiqh; 3. Usul fiqh; 4. Hadist; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan etika, dan 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah Pengajaran kitab-kitab klasik (Dhofier, 1983: 50).

Sistem pengajaran sistem individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut sistem sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan al-Qur‟an. Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit (Dhofier, 1983: 28).

Selanjutnya dalam kelas musyawarah, sistem pengajarannya sangat berbeda dari sistem sorogan dan bandongan. Para siswa harus

41

mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kyai memimpin kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam bentuk tanya-jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa Arab, dan merupakan latihan bagi para siswa untuk menguji keterampilannya dalam menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. Sebelum menghadap kyai, para siswa biasanya menyelenggarakan diskusi terlebih dahulu antara mereka sendiri dan menunjuk salah seorang juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang disodorkan oleh kyainya. Baru setelah itu diikuti dengan diskusi bebas. Mereka yang akan mengajukan pendapat diminta untuk menyebutkan sumber sebagai dasar argumentasi (Dhofier, 1983: 31).

Madrasah atau sekolah yang diselenggarakan oleh pondok pesantren menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum di madrasah atau sekolah lain, yang telah dibakukan oleh Departemen Agama atau Departemen Pendidikan Nasional. Lembaga pendidikan formal lain diselenggarakan oleh pondok pesantren selain madrasah dan skolah, kurikulu disusun oleh penyelenggara atau pondok pesantren yang bersangkutan (Departemen Agama Republik Indonesia, 2003: 31).

Kurikulum pada pesantren salafiyah disebut manhaj, yang dapat diartikan sebgai arah pembelajaran tertentu. Manhaj pada pondok pesantren salafiyah ini berupa funun kitab-kitab yang diajarkan para santri. Dalam pembelajaran yang diberikan kepada santrinya, pondok pesantren yang menggunakan manhaj dalam bentuk jenis-jenis kitab tertentu dalam

42

cabang ilmu tertentu. Kitab ini harus dipelajari sampai tuntas, sebelum dapat naik jenjang ke kita lain yang lebih tinggi tingkat kesukarannya (Departemen Agama Republik Indonesia, 2003: 31-32).

Kompetensi standar bagi tamatan pondok pesantren adalah kemampuan menguasai (memahami, menghayati, mengamalkan, dan mengajarakan) isi kitab tertentu yang telah ditetapkan. Kompetensi standar tersebut Tercermin pada penguasaan kitab-kitab secara graduatif, berurutan dari yang ringan sampai yang berat,dari yang mudah ke kitab yang lebih sukar. Kitab yang digunakan disebut dengan kitab kuning (kitab salaf). Pada umumnya kitab-kitab tersebut dicetak di atas kertas yang bewarna kuning (Departemen Agama Republik Indonesia, 2003: 32).

Dalam tradisi intelektual Islam, penyebutan istilah kitab karya ilmiah para ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya. Kategori pertama disebut kitab-kitab klasik (al kutub al-qadimah), sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al kutub al-ashriyyah). Pengajaran kitab-kitab ini, meskipun berjenjang, materi yang diajarkan kadang-kadang beruang-ulang. Penjenjangan dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan, sehingga penguasaan santri terhadap isi/materi menjadi semakin mantap. (Departemen Agama Republik Indonesia, 2003: 32).

Kurikulum yang berkembang di pesantren selama ini menunjukkan prinsip yang tetap, yaitu: pertama, kurikulum ditujukan untuk mencetak ulama dikemudian hari. Di dalamnya terdapat paket mata pelajaran,

43

pengalaman, dan kesempatan yang harus ditempuh oleh santri. Kedua, struktur dasar kurikulum adalah pengajaran pengetahuan agama dalam segenap tingkatan dan layanan pendidikan dalam bentuk bimbingan kepada santri secara pribadi dan kelompok. Bimbingan ini bersifat menyeluruh, menyangkut pembentukan karakter, peningkatan kapasitas, pemberian kesempatan dan tanggung jawab yang dipandang memadai bagi lahirnya lulusan yang dapat mengembangnkan diri.

Ketiga, secara keseluruhan kurikulumnya bersifat fleksibel, setiap santri berkesempatan menyusun kurikulumnya sendiri sepenuhnya, paling tidak separuh muatan kurikulum dapat dirancang oleh santri sendiri. Kurikulum yang diterapkan tidak mengarah pada spesialisasi tertentu di luar penguasaan pengetahuan keagamaan. Menurut Wahid (dalam Nafi‟, dkk, 2007: 86) sifatnya lebih menekankan pada pembinaan pribadi dengan sikap hidup yang utuh telah menciptakan tenaga kerja untuk lapangan-lapangan kerja yang tidak direncanakan sebelumnya. Penyampaian materinya dikontekstualisasikan dengan kehidupan konkret di sekitarnya. Dapat dilihat dari contoh yang diangkat dalam pengajian kitab kuning yang sering dikonfrimasikan atau dikonfrontasikan dengan peristiwa yang dialami kalangan santri sendiri. Kurikulum pesantren adalah kehidupan yang ada dalam pesantren itu sendiri. Penciptaan suasana dialogis antara aspek teoritis dan pengalaman nyata di masyarakat memasukkan pesantren ke dalam pergumulan praksis bagi kehidupan para santri. Melalui pendidikan semacam itu, pesantren memiliki peluang untuk mengetahui

44

potensi, kekuatan, kelemahan dan kekurangan yang dialami oleh pesantren sendiri. Pada gilirannya, pesantren mencoba melakukan pembenahan atas kekuarangan yang ada, dan mengembangkan potensi yang dimiliki.

Dokumen terkait