• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Sistem Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah adalah pengaturan yang berhubungan dengan pengendalian timbulan sampah, penyimpanan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan, pengolahan dan pembuangan sampah dengan cara yang merujuk pada dasar-dasar yang terbaik mengenai kesehatan masyarakat, ekonomi, teknik, konservasi, estetika dan pertimbangan lingkungan yang lain dan juga tanggap terhadap perilaku massa.

Pengelolaan persampahan mempunyai tujuan yang sangat mendasar yang meliputi meningkatkan kesehatan lingkungan dan masyarakat, melindungi sumber daya alam (air), melindungi fasilitas sosial ekonomi dan menunjang sektor strategis .

Sistem pengelolaan sampah pada dasarnya dilihat sebagai komponen-komponen sub sistem yang saling mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan yaitu kampus yang bersih, sehat dan teratur. Komponen-komponen tersebut meliputi :

1. Sub sistem teknis Operasional (sub sistem teknik)

2. Sub sistem organisasi dan manajemen (sub sistem Institusi) 3. Sub sistem hukum dan Peraturan (sub sistem Hukum) 4. Sub sistem Pembiayaan (sub sistem finansial)

2.4.1 Aspek Teknis Operasional

Aspek teknis operasional ini meliputi sistem pewadahan, sistem pengumpulan, sistem transfer dan transportasi dan sistem pembuangan akhir. Elemen-elemen yang terdapat pada pengelolaan sampah dan hubungan antar elemen tersebut dapat dilihat pada diagram berikut:

Tabel 2.3 Hubungan antara elemen-elemen pengelolaan sampah

Sumber: Tchobanoglous, 1993

2.4.1.1 Sistem Pewadahan

Pewadahan merupakan langkah awal dalam sistem pengelolaan sampah. Pewadahan sangat dibutuhkan karena sampah yang dihasilkan bila dibiarkan akan berdampak pada kesehatan masyarakat dan estetika. Setiap sampah yang ditimbulkan dari sumber akan ditampung dalam suatu wadah, baik itu permanen ataupun tidak. Sumber Sampah Pewadahan Pengumpulan Transfer dan Transport Pengolahan Pembuangan akh

Pewadahan sampah merupakan cara penampungan sampah sementara di sumbernya baik individual maupun komunal. Wadah sampah individual biasanya ditempatkan di depan rumah atau bangunan lainnya. Sedangkan wadah sampah komunal ditempatkan di tempat terbuka yang mudah diakses. Sampah diberi wadah untuk memudahkan dalam pengangkutan (Damanhuri, 2004).

Pewadahan adalah aktivitas menampung sampah sementara dalam suatu wadah individual atau komunal ditempat sumber sampah (SNI 19-2454-2002). Pewadahan merupakan tahap awal dalam sistem pengelolaan sampah terpadu metode 3R yang merupakan komponen yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dalam pemilihan teknologi untuk pewadahan, maka ada beberapa kriteria yang sebaiknya diikuti dengan benar yaitu :

1. Volume pewadahan minimal dapat menampung sampah dari penghuni untuk jangka waktu minimal 3 hari untuk sampah non organik dan 1 hari untuk sampah organik

2. Terbuat dari bahan yang cukup kuat, tahan basah untuk sampah organik, sehingga umur teknis dari pewadahan minimal dapat mencapai 6 bulan 3. Pada metode pewadahan terpilah sesuai prinsip 3R maka setiap wadah dapat

menyimpan sesuai jenis sampah yang akan disimpan. Oleh karena itu, pada perencanaan perlu dirujuk hasil penelitian lapangan komposisi sampah setempat

4. Bahan wadah yang paling baik dapat diperoleh secara lokal

5. Pada metode pewadahan terpilah 3R, warna wadah sebaiknya spesifik untuk tiap jenis sampah

6. Wadah dilengkapi dengan tutup untuk menambah estetika yang lebih baik 7. Mudah dalam operasi pemasukan sampah maupun pengosongan sampah 8. Mudah dalam perawatan

Mengingat bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sampah, maka wadah sampah yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut (Damanhuri, 2004):

a. Kuat dan tahan terhadap korosi b. Kedap air

c. Tidak mengeluarkan bau

d. Tidak dapat dimasuki serangga dan binatang

e. Kapasitasnya sesuai dengan sampah yang akan ditampung

Dalam penentuan jenis dan sistem pewadahan yang akan digunakan perlu diperhatikan faktor-faktor berikut (Damanhuri, 2004):

a. Pengaruh pewadahan terhadap komponen sampah b. Tipe wadah/kontainer yang akan digunakan c. Lokasi kontainer

d. Kesehatan masyarakat dan segi estetika

Berdasarkan ketentuan dari SNI 19-2454-2002 jenis pewadahan terbagi dua, yaitu:

1. Pewadahan individual

Pewadahan individual adalah aktivitas penanganan penampungan sampah sementara, dalam suatu wadah khusus untuk dan dari sampah individu

2. Pewadahan komunal

Pewadahan komunal adalah aktivitas penanganan penampungan sampah sementara, dalam suatu wadah bersama baik dari berbagai sumber maupun sumber umum

Berdasarkan letak dan kebutuhan dalam sistem penanganan sampah maka pewadahan sampah dapat dibagi menjadi beberapa tingkat (level), yaitu (Damanhuri, 2004):

1) Level-1: wadah sampah yang menampung sampah langsung di sumbernya. Pada umumnya wadah sampah pertama ini diletakkan di tempat-tempat yang terlihat dan mudah dicapai oleh pemakai, misalnya diletakkan di dapur, di ruang kerja dan sebagainya. Biasanya wadah sampah jenis ini adalah tidak statis, tetapi mudah diangkat dan dibawa ke wadah sampah level-2

2) Level-2: bersifat sebagai pengumpul sementara, merupakan wadah yang menampung sampah dari wadah level-1 maupun langsung dari sumbernya. Wadah sampah level-2 ini diletakkan di luar kantor, sekolah, rumah, atau tepi jalan atau dalam ruang yang disediakan, seperti dalam apartemen bertingkat. Melihat perannya yang berfungsi sebagai titik temu antara sumber sampah dan sistem pengumpul, maka guna kemudahan dalam pemindahannya, wadah sampah ini seharusnya tidak bersifat permanen, seperti yang diarahkan dalam SNI tentang pengelolaan sampah di Indonesia namun pada kenyataannya di permukiman pemanen, akan dijumpai wadah

sampah dalam bentuk bak sampah permanen di depan rumah, yang menambah waktu operasi untuk pengosongannya.

3) Level-3: merupakan wadah sentral, biasanya bervolume besar yang akan menampung sampah dari wadah level-2, bisa sistem memang membutuhkan. Wadah sampah ini sebaiknya terbuat dari konstruksi khusus dan ditempatkan sesuai dengan sistem pengangkutan sampahnya. Mengingat bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sampah tersebut, maka wadah sampah yang digunakan sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai berikut: kuat dan tahan terhadap korosi, kedap air, tidak mengeluarkan bau, tidak dapat dimasuki serangga dan binatang, serta kapasitasnya sesuai dengan sampah yang akan ditampung.

Jenis-jenis pewadahan yang biasa digunakan adalah (Damanhuri, 2004):

a. Untuk pemukiman, biasanya digunakan kantong plastik ( 30 liter), bin atau tong plastik m ( 40 liter) dan bak sampah

b. Untuk pasar, biasanya digunakan bin atau tong (70 liter, 120 liter, 240 liter), bak sampah dan gerobak sampah (1 m3)

c. Untuk pertokoan, biasanya digunakan kantong plastik (30 liter) dan bin atau tong (40 liter, 70 liter, 120 liter, 240 liter)

d. Untuk bangunan institusi, biasanya digunakan kontainer (1m3, 8m3) dan bak sampah

e. Untuk tempat umum dan jalan taman, biasanya digunakan bin (120 liter, 240 liter), tong (70 liter) dan bak sampah

Tipikal Pola dan karakteristik pewadahan sampah dapat dilihat pada tabel 2.4

Tabel 2.4 Pola dan Karakteristik Pewadahan Sampah

No Karakteristik dan Pola Pewadahan

Individual Komunal

1. Bentuk Jenis - Kotak, silinder, kontainer, bin (tong), semua tertutup dan kantong

- Kotak, silinder, kontainer, bin (tong), semua tertutup dan kantong

2. Sifat - Ringan, mudah

dipindahkan dan dikosongkan

- Ringan, mudah dipindahkan dan dikosongkan

3. Bahan - Logam, plastik,

fiberglass (GRP), kayu, bambu, rotan, kertas

- Logam., plastik, fiberglass (GRP), kayu, bambu, rotan 4. Volume - Pemukiman dan toko

kecil ukuran 10-40 ltr - Kantor, toko besar,

hotel, rumah makan ukuran 100– 500 ltr;

- Pinggir jalan dan taman ukuran 30–40

ltr

- Untuk pemukiman dan pasar ukuran 100-1000 ltr;

5. Pengadaan - Pribadi, instansi, pengelolaan.

- Intstansi pengelola.

Sumber: Damanhuri, 2004

2.4.1.2 Sistem Pengumpulan

Pengumpulan sampah merupakan kegiatan operasi yang dimulai dari sumber sampah ke tempat pembuangan sementara (transfer), sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir. Dalam pengelolaan persampahan diperkirakan 50% sampai 70 % biaya yang digunakan pada sistem pengumpulan ini. Oleh sebab itu sistem ini perlu diperhatikan sebaik-baiknya agar persentase tersebut dapat dikurangi sehingga biaya pengelolaan sampah dapat ditekan. Pengumpulan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (Damanhuri, 2004):

1. Secara langsung (door to door)

Pada sistem ini proses pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan bersamaan. Sampah dari tiap-tiap sumber akan diambil, dikumpulkan dan langsung diangkut ke tempat pemprosesan, atau ke tempat pembuangan akhir 2. Secara tidak langsung (Communal)

Pada sistem ini, sebelum diangkut ke tempat pemprosesan, atau ke tempat pembuangan akhir, sampah dari masing-masing sumber akan dikumpulkan dahulu oleh sarana pengumpul, seperti dalam gerobak sampah. Dalam hal ini, TPS dapat pula berfungsi sebagai lokasi pemprosesan skala kawasan guna mengurangi jumlah sampah yang harus diangkut ke pemprosesan akhir. Pada sistem communal ini, sampah dari masing-masing sumber akan dikumpulkan dahulu dalam gerobak tangan (hand cart) atau yang sejenis dan diangkut ke TPS. Gerobak tangan merupakan alat pengangkutan sampah sederhana yang paling umum dijumpai di kota-kota di Indonesia, dan memiliki kriteria persyaratan sebagai berikut:

a. Mudah dalam loading dan unloading

b. Memiliki kontruksi yang ringan dan sesuai dengan kondisi jalan yang ditempuh

c. Mempunyai tutup

Sistem pengumpulan dapat dibedakan berdasarkan model operasi, perlengkapan yang digunakan dan jenis sampah yang dikumpulkan. Berdasarkan model operasi, sistem pengumpulan dapat dibagi atas:

1. Hauled Container System (HCS)

Kontainer dibawa ke tempat pengumpulan, dikosongkan dan dikembalikan ke lokasi semula

2. Stationary Container System (SCS)

Kontainer tetap di tempat semula, sampah dipindahkan ke kontainer kosong yang dibawa sebelumnya

Pengumpulan sampah merupakan subsistem setelah pewadahan. Pengumpulan sampah dapat dilakukan langsung oleh kendaraan pengangkut sampah atau tidak langsung melalui penggunaan gerobak atau motor sampah. Pada kasus sistem pengelolaan sampah 3R maka pengumpulan dilakukan melalui penggunaan gerobak atau motor sampah. Dalam perencanaan teknologi pengumpulan maka digunakan beberapa kriteria sebagai berikut :

1. Volume gerobak atau motor sampah 1 m3 atau disesuaikan dengan kondisi timbulan yang ada

2. Kondisi topografi yang berbukit hanya dapat dilayani dengan motor sampah 3. Kondisi topografi yang datar dapat menggunakan gerobak atau motor sampah 4. Pengumpulan sampah terpilah dapat dilakukan menggunakan sarana sebagai

berikut:

a. Gerobak atau motor sampah 3R yang bersekat sesuai jenis sampah yang

terpilah digunakan sesuai hasil pemilahan

5. Mempunyai umur teknis minimal 1 tahun

Pola pengumpulan sampah terdiri dari (Damanhuri, 2004)

1.) Pola individu langsung oleh truk pengangkut ke pemprosesan. Syaratnya adalah sebagai berikut:

a. Bila kondisi topografi bergelombang (rata-rata >5%), hanya alat pengumpul mesin yang dapat beroperasi, sedang alat pengumpul non-mesin akan sulit beroperasi

b. Kondisi jalan cukup lebar dan operasi tidak mengganggu pemakai jalan lainnya

c. Kondisi dan jumlah alat memadai d. Jumlah timbulan sampah >0,3 m3/hari

e. Biasanya daerah layanan adalah pertokoan, kawasan pemukiman yang tersusun rapi, dan jalan protokol

f. Layanan dapat pula diterapkan pada daerah gang. Petugas mengangkut tidak masuk ke gang, hanya akan memberi tanda bila sarana pengangkut ini datang, misal dengan bunyi-bunyian

2.) Pola individu tidak langsung, yakni dengan menggunakan pengumpul sejenis gerobak sampah. Syaratnya adalah sebagai berikut:

a. Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. Lahan ini dapat difungsikan sebagai tempat pemprosesan sampah skala kawasan

b. Kondisi topografi relatif datar (rata-rata <5%), dapat digunakan alat pengumpul non mesin (gerobak, becak)

d. Lebar jalan atau gang cukup lebar untuk dapat dilalui alat pengumpul tanpa mengganggu pemakai jalan lainnya

e. Terdapat organisasi pengelola pengumpulan sampah, dengan sistem pengendaliannya

3.) Pola komunal langsung oleh truk pengangkut. Syaratnya adalah sebagai berikut:

a. Alat angkut terbatas

b. Kemampuan pengendalian personil dan peralatan relatif rendah

c. Alat pengumpul sulit menjangkau sumber-sumber sampah individual (kondisi daerah berbukit, gang/jalan sempit)

d. Peran serta masyarakat tinggi

e. Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan di lokasi yang mudah dijangkau oleh alat pengangkut (truk)

f. Pemukiman tidak teratur

4.) Pola komunal tidak langsung. Syaratnya adalah sebagai berikut: a. Peran serta masyarakat tinggi

b. Wadah komunal ditempatkan sesuai dengan kebutuhan dan dilokasi yang mudah dijangkau alat pengumpul

c. Lahan untuk lokasi pemindahan tersedia. Lahan ini dapat difungsikan sebagai tempat pemeprosesan sampah skala kawasan

d. Bagi kondisi topografi yang relatif datar (rata-rata <5%) dapat digunakan alat pengumpul non mesin (gerobak, becak) dan bagi kondisi topografi >5%

dapat digunakan cara lain seperti pukulan, kontainer kecil beroda dan karung

e. Harus ada organisasi pengelola pengumpulan sampah 5.) Pola penyapuan jalan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Juru sapu harus mengetahui cara penyapuan untuk setiap daerah pelayanan (tanah, lapangan rumput dan lain-lain)

b. Penanganan penyapuan jalan untuk setiap daerah berbeda tergantung pada fungsi dan nilai daerah yang dilayani

c. Pengumpulan sampah hasil penyapuan jalan diangkut ke lokasi pemindahan untuk kemudian diangkut ke pemerosesan akhir

d. Pengendalian personel dan peralatan harus baik

Gambar 2.2 Pola Pengumpulan Sampah Sumber: SNI 19-2454-2002

Keterangan:

: Sumber timbulan sampah pewadahan individual

: Gerakan alat pengumpul : Pewadahan komunal : Gerakan alat pengangkut

: Lokasi pemindahan : Gerakan penduduk ke wadah komunal

Perencanaan operasional pengumpulan harus memperhatikan (Damanhuri, 2004): 1. Ritasi antara 1-4 rit per hari

2. Periodisasi: untuk sampah mudah membusuk maksimal 3 hari sekali namun sebaiknya setiap hari, tergantung dari kapasitas kerja, desain peralatan, kualitas kerja, serta kondisi komposisi sampah. Semakin besar persentase sampah organik, periodisasi pelayanan semakin sering. Untuk sampah kering, periode pengumpulannya dapat dilakukan lebih dari 3 hari 1 kali. Sedang sampah B3 disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku

3. Mempunyai daerah pelayanan tertentu dan tetap

4. Mempunyai petugas pelaksana yang tetap dan perlu dipindahkan secara periodik

5. Pembebanan pekerjaan diusahakan merata dengan kriteria jumlah sampah terangkut, jarak tempuh, kondisi daerah, dan jenis sampah yang akan terangkut

2.4.1.3 Sistem Transfer dan Transportasi

Transfer dan transport merupakan fasilitas yang digunakan untuk memindahkan sampah dari satu lokasi ke lokasi lain. Hal ini dilakukan jika jarak angkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) cukup jauh. Operasi transfer harus cocok untuk semua jenis kendaraan pengumpul dan sistem konveyor.

Pengangkutan sampah adalah sub-sistem yang bersasaran membawa sampah dari lokasi pemindahan atau dari sumber secara langsung menuju Tempat Pemprosesan Akhir (TPA). Pengangkutan sampah merupakan salah satu komponen penting dan membutuhkan perhitungan yang cukup teliti, dengan sasaran mengoptimalisasikan waktu angkutan yang diperlukan dalam sistem tersebut (Damanhuri, 2004).

Faktor-faktor yang menyebabkan diperlukan operasi transfer : 1) Menghindari terjadinya pembuangan sampah illegal

2) Lokasi TPA yang jauh dari tempat pengumpulan, lebih dari 10 mil 3) Kapasitas kendaraan pengumpulan yang kecil

4) Daerah pelayanan kecil

5) Menggunakan sistem HCS dengan kontainer kecil 6) Menggunakan sistem pengumpulan secara hidrolis Transfer station dibedakan atas:

1. Direct Load

Pada jenis ini sampah langsung di masukkan ke trailer/kendaraan angkut dipadatkan dan dibawa ke TPA

2. Storage Load

Sampah dimasukkan ke wadah penampungan dengan kapasitas penyimpanan 1-3 hari, baru dibawa ke TPA

3. Kombinasi Direct Load dan Storage Load

TPS TPA

Pool Kendaraan

Sistem pengangkutan (transport) sampah dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini :

1.) Non kontainer

Untuk pengumpulan sampah yang dilakukan dengan menggunakan LPS non kontainer, sistem yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut :

a. Kendaraan pengangkut yang keluar dari pool lokasi kendaraan langsung menuju ke LPS untuk mengangkut sampah menuju LPA

b. Setelah sampah dibuang, kendaraan kembali menuju ke LPS yang sama atau yang lain untuk kembali mengangkut sampah pada ritase berikutnya.

Tabel 2.5 Pengangkutan Sampah Non Container

Sumber: Tchobagnolous, 1993

2.) Sistem Kontainer

Ada dua jenis sistem pengangkutan sampah dengan menggunakan container antara lain: HCS (Hauled Container System) yaitu kontainer yang berfungsi sebagai pengumpul sampah diangkut menuju LPA dan LPS (Stationary Container Sistem) yaitu dengan kondisi kontainer tetap berada ditempatnya. Keduanya memiliki cara persamaan tersendiri dalam menentukan jumlah sampah terangkut dan ritasi yang dapat diperoleh.

Untuk pengumpulan sampah dengan sistem kontainer, terdapat beberapa pola 5pengangkutan sebagai berikut :

a.) Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara 1 (Gambar 2.3)

1. Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke TPA

2. Kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula

3. Menuju ke kontainer isi berikutnya untuk diangkut ke TPA 4. Kontainer kosong dikembalikan ke tempat semula

5. Demikian seterusnya sampai rute terakhir

Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 1 dapat dilihat pada gambar berikut ini

Gambar 2.3 Pola Pengangkutan dengan Sistem Pengosongan Kontainer Cara 1

Sumber: Tchobagnolous, 1993

b.) Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara 2 (Gambar 2.4) TPA isi A kosong A B B C pool 1 2 3 4 5 kontainer C 6 7 8 9 10 Ke pool

1. Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama untuk mengangkut sampah ke pemerosesan atau TPA

2. Kemudian kendaraan dengan kontainer kosong menuju ke lokasi kedua untuk menurunkan kontainer kosong dan membawa kontainer isi untuk diangkut ke TPA

3. Demikian seterusnya sampai terakhir

4. Pada rute terakhir, kontainer kosong dari TPA menuju ke lokasi kontainer pertama

5. Sistem ini diberlakukan pada kondisi tertentu misal untuk pengambilan pada jam tertentu atau mengurangi kemacetan lalu lintas

Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 2 dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.4 Pola Pengangkutan dengan Sistem Pengosongan Kontainer cara 2

Sumber: Tchobagnolous, 1993

c.) Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara 3 (Gambar 2.5)

1. Kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kosong menuju lokasi kontainer isi untuk mengganti dan langsung membawanya ke TPA

TPA isi A kosong A B B C pool 1 2 3 4 5 kontainer Ke lokasi kontainer 6 7

2. Kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari TPA menuju ke kontainer isi berikutnya

3. Demikian seterusnya sampai rute terakhir

Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 3 dapat dilihat pada gambar berikut ini

Gambar 2.5 Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 3

Sumber: Tchobagnolous, 1993

d.) Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer Cara 4 (Gambar 2.6)

1. Kendaraan dari pool menuju kontainer pertama, sampah dituangkan kedalam truk kompaktor dan meletakkan kembali kontainer kosong; 2. Kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga truk penuh,

kemudian langsung ke TPA;

3. Demikian seterusnya sampai rute terakhir.

Pola pengangkutan dengan sistem kontainer tetap dapat dilihat pada gambar berikut ini TPA isi kosong pool 1 2 3 4 5 kontainer 6 7 Ke pool

Gambar 2.6 Pola Pengangkutan dengan Sistem Kontainer Tetap Sumber: Tchobagnolous, 1993

Bila mengacu pada sistem di negara maju, maka pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan dua metode (Damanhuri, 2004):

1. Hauled Container System (HCS)

Adalah sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya dapat dipindah-pindahkan dan ikut dibawa ke tempat pembuangan akhir. HCS merupakan sistem wadah angkut untuk daerah komersil (kontainer dibawa ke tempat pengumpulan, dikosongkan dan dikembalikan ke lokasi semula).

Hauled Container System dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a. Konvensional

Wadah sampah yang telah berisi penuh akan diangkut ke tempat pembongkaran, kemudian setelah dikosongkan wadah sampah tersebut dikembalikan ke tempat semula

b. Exchange container

Wadah sampah yang telah berisi penuh akan diangkut dan tempatnya akan langsung diganti oleh wadah kosong yang telah dibawa

2. Stationary Container System (SCS)

Sistem pengumpulan sampah yang wadah pengumpulannya tidak dibawa berpindah-pindah (tetap). Wadah pengumpulan ini dapat berupa wadah yang

TPA

isi kosong

Truk pemadat dari pool kontainer

dapat diangkat atau yang tidak dapat diangkat. SCS merupakan sistem wadah tinggal yang ditujukan untuk melayani daerah pemukiman (kontainer tetap di tempat semula, sampah dipindahkan ke kontainer kosong yang dibawa sebelumnya)

2.4.2 Aspek Non Teknis

Operasi suatu sistem pengelolaan persampahan sangat ditentukan oleh peraturan-peraturan yang mendukungnya. Peraturan-peraturan tersebut melibatkan wewenang dan tanggung jawab badan pengelola serta partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kebersihan dan pembayaran retribusi.

Keberhasilan pengelolaan persampahan bukan hanya tergantung aspek teknis semata, tetapi mencakup juga aspek non teknis, seperti bagaimna mengatur sistem agar dapat berfungsi, bagaimana lembaga atau organisasi yang sebaiknya mengelola, bagaimana membiayai sistem tersebut dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana melibatkan masyarakat penghasil smpah dalam aktivitas penanganan sampah. Departemen Pekerjaan Umum ejak tahun 1980-an menggariskan bahwa kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia merupakan sebuah sistem yang terdiri dari 5 komponen sub sistem, yaitu :

a. Peraturan/hukum

b. Kelembagaan dan organisasi c. Teknik operasional

d. Pembiayaan

1. Pengaturan/ Legalitas

Aspek pengaturan didasarkan atas kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, dimana sendi-sendi kehidupan bertumpu pada hukum yang berlaku. Manajemen persampahan kota di Indonesia membutuhkan kekuatan dan dasar hukum. Peraturan yang diperlukan dalam penyelenggaraan sistem pengelolaan sampah di perkotaan antara lain adalah yang mengatur tentang :

a. Keterlibatan umum yang terkait dengan penanganan sampah b. Rencana induk pengelolaan sampah kota

c. Bentuk lembaga dan organisasi pengelola d. Tata cara penyelenggaraan pengelolaan e. Besaran tarif jasa pelayanan atau restribusi

Pengelolaan persampahan ini diatur dengan peraturan-peraturan yang berlaku yang disertai dengan pembinaan, pengawasan dan sanksi-sanksi untuk menegakkan hukum. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa setiap sendi-sendi kehidupan di negara Indonesia berpijak pada hukum. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan persampahan, setiap kawasan perumahan, kawasan komersil, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya diwajibkan memiliki instalasi pemilahan sampah.

Pemerintah akan memberikan sanksi yang keras baik berupa sanksi administratif maupun pidana bagi yang melanggar. Semua peraturan ini tidak saja melibatkan pihak pengelolanya saja, melainkan harus didukung oleh peran serta masyarakatnya dalam hal pengumpulan, pemeliharaan kebersihan serta

kedisiplinan dalam pembayaran iuran retribusi sampah.

2. Aspek Pembiayaan

Struktur pembiayaan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu (Damanhuri, 2004) :

1.) Biaya investasi

Merupakan biaya yang diperlukan untuk pengadaan perangkat keras (peralatan dan sasaran) dan pengadaan lunak seperti studi/perencanaan induk program persampahan, penyusunan sistem prosedur, pendidikan dan latihan awal serta biaya insidentil penerapan sistem baru

2.) Biaya operasional, seperti : a. Gaji dan upah

b. Transportasi, seperti bahan bakar c. Perawatan dan perbaikan

d. Pendidikan dan latihan

e. Administrasi kantor dan lapangan

Aspek pembiayaan merupakan sumber daya penggerak agar roda system pengelolaan persampahan di kota tersebut dapat bergerak dengan lancar. Diharapkan bahwa sistem pengelolaan sampah di Indonesia akan menuju pada pembiayaan sendiri, termasuk disini dengan pembentukan perusahaan daerah

Dokumen terkait