• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Sistem Pengupahan dalam Hubungan Kerja pada Masyarakat PertanianPertanian

Hubungan kerja pada masyarakat pertanian berbeda dengan hubungan kerja pada masyarakat industri. Hubungan kerja pada masyarakat pertanian antara petani pemilik dan buruh tani terdapat unsur hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Sedangkan dalam hubungan kerja masyarakat industri hanya berkisar pada hubungan ekonomi. Sistem pengupahan dalam masyarakat pertanian lebih condong pada pola kegotongroyongan. Adapun bentuk-bentuk hubungan ketenagakerjaan dan kelembagaan upah dalam masyarakat pertanian yaitu sebagai berikut :

1. Sistem Bawon

Bawon merupakan upah natural yang diberikan pemilik lahan kepada buruh tani, khususnya untuk kegiatan panen yang merupakan bagian tertentu dari hasil panen. Collier at.al dalam Susilowati (2005) menyebutkan pada sistem bawon tradisional, panen padi merupakan aktivitas komunitas yang dapat diikuti oleh semua orang atau kebanyakan anggota komunitas dan menerima bagian tertentu dari hasil. (Susilowati, 2005 : 3). Menurut tradisi di beberapa tempat, petani tidak dapat membatasi jumlah orang yang ikut memanen. Sistem tersebut merupakan bawon yang “benar-benar terbuka” dalam artian setiap orang diijinkan untuk memanen. Sistem bawon yang lain yaitu sistem bawon yang lebih ketat adalah sistem bawon dengan peserta tertentu (yang diundang saja).

2. Sistem Kedokan

Kata kedokan berasal dari bahasa jawa yaitu “kedok” artinya bagian tertentu dari sawah. Istilah “kedokan” dibeberapa desa di Jawa Barat disebut sebagai “ceblokan” atau “ngedok-ngedok”. Kolf dalam Susilowati (2005)

mendefinisikan kedokan yaitu sistem pengupahan melalui perjanjian dan atau kesepakatan, pekerja akan melakukan pekerjaan tertentu dalam proses usaha tani padi tanpa dibayar. (Susilowati, 2005 : 3). Namun mereka akan memiliki hak untuk panen dan menerima bagian tertentu dari produksi. Tenaga kerja lain di luar kelompok pengedok tersebut tidak dapat ikut panen apabila tidak ada ijin dari kelompok pengedok, bukan dari pemilik lahan. Dengan demikian kelompok pengedok mempunyai hak untuk menentukan siapa orang-orang yang bisa terlibat dalam kegiatan panen tersebut. Dengan kata lain sistem kedokan merupakan suatu kesepakatan yang memeberikan hak berburuh panen secara terbatas kepada sekelompok pekerja terkait dengan kewajiban pekerjaan yang mereka lakukan pada proses usaha tani, seperti mencangkul oleh buruh laki-laki,memperbaiki galengan dan saluran air, dan lainnya.

Menurut Collier dalam Susilowati (2005), sistem kedokan awalnya digunakan petani agar kecukupan tenga kerja selama proses produksi dapat terjamin. (Susilowati, 2005 : 3). Dalam perkembangannya kemudian sistem tersebut banyak digunakan petani pemilik sawah untuk membatasi jumlah buruh pemanen dalam rangka menekan biaya panen. Dalam sistem kedokan, karena pemanen tidak dibayar dengan upah tunai maka pemilik lahan tidak mengeluarkan banyak biaya selama musim tanam. Besarnya bawon dan bagian kedokan bervariasi antara desa. Di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah, pengedok menerima seperlima dari bagian hasil, sementara pembawon hanya menerima seperlimabelas bagian. Sedangkan di Jawa Timur, pengedok menerima sepersepuluh bagian hasil panen.

Dalam sistem upah harian, secara teoritis tingkat upah diperhitungkan berdasarkan rata-rata produktivitas tenaga kerja perhari. Lazimnya jumlah jam kerja per hari antara kegiatan maupun antar desa bervariasi demikian pula besarnya upah harian. Dalam hubungan ketenagakerjaan di pedesaan, sifat kekerabatan dan tenggang rasa antara pemilik lahan dan buruhnya umumnya masih kuat. Ini menjadikan upah harian yang diberikan tidak hanya berupa uang namun buruh juga diberi makan dan minum bahkan diberi rokok.

4. Sistem Upah Borongan

Besar upah borongan umunya sangat tergantung dari prestasi kerja buruh tani. Semakin tinggi produktivitas kerja, secara teoritis semakin tinggi pula upah yang diterima buruh tani. Variasi produktivitas antar individu buruh tani atau kelompok buruh tani merupakan determinan upah kerja buruh tani. Terdapat beberapa hal yang mendorong munculnya sistem upah borongan yaitu pertama, jadwal tanam harus serentak untuk menghambat serangan hama wereng dan tikus, sehingga pengolahan lahan juga harus serentak. Kedua, sistem pengairan yang semakin baik memaksa petani untuk mempercepat pengolahan lahan agar dapat melakukan penanaman tepat pada waktunya. Ketiga, penggunaan bibit unggul yang berumur pendek, sehingga pengolahan lahan harus cepat dilakukan. Keempat, penggunaan traktor dengan upah borongan akan mampu menyelesaikan kegiatan pengolahan tanah dengan cepat. Kelima, upah borongan dinilai lebih murah dibandingkan upah harian. Keenam, tidak merepotkan pemilik lahan untuk menyediakan makanan.

Sistem sambatan diartikan sebagai sistem saling membantu bekerja secara bergiliran atau sistem hubungan pertukaran tenaga kerja. Pada prinsipnya sistem sambatan adalah memobilisasi tenaga kerja dari luar keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga kerja dalam keluarga usaha tani padi, terutama saat musim sibuk. Dimana petani diminta untuk bekerja membantu pemilik lahan untuk kegiatan tertentu di sawah tanpa diberi upah. Pemilik lahan hanya menyediakan makanan tetapi pada gilirannya, mereka harus mengganti bantuan tersebut secara proposional pada waktu yang diperlukan (Susilowati, 2005 :3-4).

Petani dan buruh tani di Desa Tanjung Rejo memiliki relasi kerja dan relasi sosial yang berbeda-beda yakni relasi dengan buruh tani tetap, buruh tani langganan, dan buruh tani bebas. Adanya perbedaan relasi tersebut maka sistem pengupahan yang ada di desa ini juga berbeda-beda berdasarkan relasi tersebut. Bahkan di desa ini terdapat sistem upah mingguan bagi buruh tani tetap, dimana upah diberikan kepada burh tani dalam waktu satu minggu. Buruh tani tetap mengerjakan semua pekerjaan pertanian hingga gabah dapat disimpan di lumbung padi dan siap untuk digiling menjadi beras. Pekerjaan tersebut meliputi pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengeringan. Berbeda dengan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh tani langganan dan buruh tani bebas.

BAB III

METODE PENELITIAN