• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Perkawinan Menurut Hukum Negara

3.1.1. Konsep Perkawinan Menurut Hukum Negara

Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Batas umur menikah di Indonesia telah diatur dalam undang-undang perkawinan, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua. Dengan kata lain bagi laki-laki atau perempuan yang telah mencapai umur 21 tahun tidak perlu ada izin dari orangtua untuk menikah. Hal ini juga sudah diperjelas pada Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa yang perlu memakai izin dari orangtua untuk melakukan perkawinan ialah seorang anak yang masih dibawah umur 17 tahun baik itu bagi laki-laki maupun perempuan.

Oleh karena itu hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, agar segala sesuatu yang bersifat konflik dalam rumah tangga dapat diselesaikan atau dirundingkan secara bersama-sama oleh suami istri.

3.1.2. Syarat-Syarat Pengesahan Perkawinan Menurut Hukum Negara

Dalam hal ini syarat-syarat yang mengatur tentang sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, berlaku secara umum dalam arti berlaku bagi semua umat beragama yaitu umat Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha maupun penganut kepercayaan lainnya. Hal ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian maka syarat-syarat

sahnya perkawinan telah diatur dalam Pasal 6 sampai dengan 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang persyaratan dari masing-masing hukum agama dianggap saling melengkapi. Namun yang membedakannya adalah administrasinya saja jika perkawinan menurut agama islam maka orang tersebut dapat mengurusnya ke Kantor Urusan Agama (KUA) dan jika perkawinan dilaksanakan menurut agama Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu maupun Budha dapat mendatangi Kantor Pencatatan Cipil setempat yang ada di daerahnya.

13

Oleh karena itu terdapat dua (2) syarat-syarat untuk dapat

melangsungkan suatu

syarat Materil berikut kejelasannya dibawah :

a. Syarat-syarat Formil di Kantor Urusan Agama (KUA) adalah sebagai berikut :

1. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Pengantin masing- masing 1 (satu) lembar.

2. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di atas segel/materai bernilai Rp.6000,- (enam ribu rupiah) diketahui oleh Kepala Dusun setempat.

3. Surat Pengantar dari Kepala Dusun setempat.

4. Surat keterangan untuk nikah dari Kepala Dusun setempat yaitu Model N1, N2, N4, baik itu calon Pengantin laki-laki maupun calon pengantin Perempuan. 5. Melengkapi Pas photo calon pengantin ukuran 2×3 masing-masing 4 (empat)

lembar, dan jika bagi anggota ABRI/TNI/POLRI harus berpakaian dinas.

6. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat Talak/Cerai dari Pengadilan Agama, kalau Duda/Janda mati harus ada surat kematian Model N6 dari Kepala Dusun setempat.

7. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi :

• Calon Pengantin Laki-laki yang umurnya kurang dari 19 tahun.

• Calon Pengantin Perempuan yang umurnya kurang dari 16 tahun.

• Laki-laki yang mau berpoligami.

8. Izin Orang Tua surat Model N5 bagi calon pengantin yang umurnya kurang dari 19 dan 16 Tahun baik laki-laki maupun perempuan.

9. Bagi calon pengantin yang akan menikah bukan di wilayahnya menikah di ke Kecamatan lain, maka harus ada surat Rekomendasi Nikah dari KUA setempat. 10.Bagi anggota ABRI/TNI/POLRI dan Pegawai Negeri Sipil harus ada surat Izin

Menikah dari Pejabat Atasan, Komandan maupun Kepala.

11.Kedua calon pengantin mendaftarkan diri ke KUA tempat akan dilangsungkannya akad nikah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja dari

waktu melangsungkan Perkawinan. Apabila kurang dari 10 (sepuluh) hari kerja, harus melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Kepala Dusun setempat.

b. Syarat-syarat materil terdapat 2 bagian yaitu syarat materiil umum dan syarat materil khusus yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

1. Syarat materiil secara umum adalah sebagai berikut :

a. Harus ada persetujuan dari kedua belah pihak calon Pengantin.

14

(4). Hubungan susuan anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan.

Arti persetujuan dalam hal ini, yaitu tidak seorang-pun dapat memaksa calon Pengantin perempuan dan calon Pengantin laki-laki, tanpa persetujuan kehendak yang bebas dari mereka. Persetujuan dari kedua belah pihak calon Pengantin adalah syarat yang relevan untuk membina keluarga.

b. Usia calon Pengantin laki-laki sekurang-kurangnya harus sudah mencapai 19 tahun dan pihak calon Pengantin perempuan harus sudah berumur 16 tahun. c. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain.

2. Syarat materiil secara khusus, yaitu :

a. Tidak melanggar larangan perkawinan yang diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 8, pasal 9 dan pasal 10, yaitu larangan perkawinan antara dua orang yaitu :

(1). Hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

(2). Hubungan darah garis keturunan ke samping yaitu antara saudara dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. (3). Hubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

14

(5). Hubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

(6). Mempunyai hubungan dengan agama atau peraturan yang berlaku dilarang kawin.

(7). Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

b. Izin dari kedua orang tua bagi calon pengantin yang belum berumur 19 dan 16 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Yang berhak memberi izin kawin yaitu :

(1). Orang tua dari kedua belah pihak calon Pengantin.

Jika kedua orang tua masih ada, maka izin diberi bersama oleh kedua orang tua calon Pengantin. Jika orang tua laki-laki telah meninggal dunia, pemberian izin perkawinan beralih kepada orang tua perempuan yang bertindak sebagai wali. Jika orang tua perempuan sebagai wali, maka hal ini bertentangan dengan perkawinan yang diatur Hukum Islam karena menurut Hukum Islam tidak boleh orang tua perempun bertindak sebagai wali.

(2). Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya disebabkan :

(a). Oleh karena misalnya berada di bawah kurang sehat (b). Berada dalam keadaan tidak waras.

(c). Tempat tinggalnya tidak diketahui.

Maka izin cukup diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(3). Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari : (a). wali yang memelihara calon Pengantin.

(b). keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (4) Jika ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 2, 3 dan 4 atau seorang atau lebih diantara orang-orang tidak ada menyatakan pendapatnya. Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melangsungkan perkawinan bertindak memberi izin perkawinan. Pemberian izin dari Pengadilan diberikan :

(a). atas permintaan pihak yang hendak melakukan perkawinan.

(b). setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 2, 3 dan 4.

3.1.3. Pencatatan Perkawinan Menurut Hukum Negara

Dalam hal ini yang menyangkut sahnya suatu perkawinan dan pencatatannya dapat ditentukan bahwa :

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi yang non-muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di dalam agama dan kepercayaan masyarakat.

2. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama Katolik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan perkawinan tersebut dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

3.2. Perkawinan Menurut Agama Islam

3.2.1. Konsep Perkawinan Menurut Agama Islam

15

Berdasarkan hukum Islam untuk menunjukkan makna perkawinan, Al- Quran memaknai perkawinan tersebut dengan istilah “Mitsaqon Gholidon” artinya perjanjian yang teguh. Istilah tersebut pertama-tama menunjuk pada perjanjian antara Allah dengan para nabi atau para rasulnya. Dengan menggunakan istilah “Mitssaghan Ghalidzhan” untuk perkawinan, Al-Quran secara tidak langsung menunjukkan kesucian hubungan antara Allah dengan manusia yang dipilihnya. Dengan demikian maka dalam suatu perkawinan diyakini adanya campur tangan Allah didalamnya bahkan Al-Quran memandang perkawinan sebagai suatu hal dalam rangka mentaati agama yang disebut degan

syariat. Sebuah Perkawinan merupakan perintah Allah walaupun perkawinan itu

termasuk dalam bidang muamalat atau hubungan antara manusia dengan manusia. Nabi Muhammad dalam hadist menggarisbawahi pandangan sebagai “setengah

menyangkut Tuhan sehingga tidak mengherankan lagi bagi umat untuk berkeluarga.

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Berdasarkan Hukum Islam juga perkawinan adalah “aqad” (perikatan) antara wali perempuan calon isteri dengan laki-laki calon suaminya. Aqad nikah itu harus diucapkan oleh wali perempuan dengan jelas berupa “ijab” (serah) dan “kabul” (diterima) oleh si calon suami, yang dilaksanakan dihadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Jika tidak demikian maka perkawinan tidak akan sah secara islam.

Apa yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam perkawinan menurut Hukum Islam terdapat hal-hal sebagai berikut:

1. Perkawinan adalah aqad (ijab, qubul) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.

2. Perkawinan itu harus dilakukan dengan adanya kemauan bebas dari kedua belah pihak untuk membentuk keluarga/rumah tangga.

3. Perkawinan itu bertujuan untuk memperoleh keturunan.

4. Perkawinan itu merupakan syariat untuk mentaati agama karena diyakini bahwa dalam perkawinan ada campur tangan Tuhan didalamnya.

5. Perkawinan bukan hanya merupakan hubungan antara manusia dengan manusia tetapi juga hubungan antara manusia dengan Tuhan.

3.2.2. Syarat, Rukun, Pantangan dan Persyaratan Untuk Melaksanakan Perkawinan Menurut Agama Islam.

16

A.Syarat-syarat Perkawinan Yang Sah Menurut Agama Islam.

Dalam ajaran agama islam ada aturan yang harus dipatuhi oleh kedua calon Pengantin beserta keluarganya agar perkawinan yang dilakukan sah secara agama islam sehingga mendapatkan ridho dari Allah Yang Maha Esa. Untuk itu ada beberapa syarat, rukun, pantangan dan persyaratan dalam suatu perkawinan dalam agama islam.

1. Untuk Calon Pengantin Laki-Laki yaitu : a. Harus beragama Islam.

b. Tidak dalam paksaan dari siapapun untuk melangsungkan perkawinan harus dari kehendaknya sendiri.

c. Sehat jasmani dan rohani.

d. Harus Laki-laki dan bukan seorang waria/bencong. e. Tidak memiliki lebih dari satu istri.

f. Tidak dalam ibadah ihram naik haji atau umroh. g. Bukan mahram calon istri.

h. Harus yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi, maksud dari halal untuk dinikahi adalah bahwa si calon istri bukan seorang tuna susila.

i. Tidak pernah terkena sanksi hukum dan layak untuk berumah tangga. j. Tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan.

16

2. Untuk Calon Pengantin Perempuan yaitu : a. Harus beragama Islam.

b. Seorang perempuan normal dan bukan lesbian. c. Sehat jasmani dan rohani.

d. Bukan mahram calon suami.

e. Mengizinkan seseorang wali untuk menikahkannya.

f. Tidak dalam masa iddah (masa menunggu perkawinan lain) . g. Tidak dalam bersuami.

h. Belum pernah li'an pengertian dari li’an adalah putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya, dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah. Oleh karena itu Jika li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut, maka perkawinan itu putus selama-lamanya.

i. Tidak dalam masa ibadah ihram haji atau umrah. 3. Syarat Wali Pengantin Perempuan yaitu :

a. Seorang Laki-laki beragama yang beragama islam.

b. Tidak ada halangan atas perwaliannya dalam perkawinan tersebut. c. Mempunyai hak atas perwaliannya.

4. Syarat bebas halangan perkawinan bagi kedua calon Pengantin yaitu : a. Tidak adanya hubungan sedarah terdekat disebut dengan nasab. b. Tidak adanya hubungan persusuan disebut dengan radla'ah.

d. Tidak adanya Li'an (putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama- lamanya).

e. Jika laki-laki mempunyai istri lebih dari 1 orang harus mendapat izin istrinya, maupun izin dari Pengadilan Agama.

f. Tidak dalam masa ihram haji atau sedang umrah.

g. Tidak berbeda agama, maksud dari tidak berbeda agama harus sesama beragama islam.

h. Tidak talak ba'in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya i. Tidak dalam masa permaduan.

j. Si perempuan tidak dalam masa iddah (masa menunggu perkawinan lain). k. Si perempuan tidak berstatus suami orang lain.

5. Syarat-syarat sah bagi saksi-saksi Perkawinan yaitu : a. Seorang Laki-Laki.

b. Berjumlah dua (2) orang. c. Sudah dewasa / baligh.

d. Mengerti maksud dari akad nikah. c. Hadir langsung pada acara akad nikah.

6. Syarat-Syarat/Persyaratan Akad Nikah yang Sah yaitu :

a. Adanya ijab atau penyerahan dari wali pengantin perempuan. b. Adanya qabul atau penerimaan dari pengantin laki-laki.

c. Ijab memakai kata nikah atau sinonim yang setara, jadi saat akan mengucapkannya tidak begitu sulit.

d. Ijab dan qabul jelas, saling berkaitan, satu majelis dan tidak dalam masa ihrom haji/umroh.

B. Adanya rukun-rukun Perkawinan yang sah yaitu : a. Harus ada calon pengantin laki-laki dan perempuan. b. Harus ada wali nikah dari calon pengantin perempuan.

c. Harus ada dua orang saksi laki-laki dewasa / baligh yang sudah di utus. d. Harus ada ijab atau penyerahan dari wali pengantin perempuan dan ada

qabul atau penerimaan dari pengantin laki-laki.

e. Adanya mahar yang telah disediakan oleh calon Pengantin laki-laki. C. Pantangan / larangan-larangan dalam perkawinan yaitu :

a. Ada hubungan mahram antara calon Pengantin laki-laki dan perempuan. b. Jika rukun-rukun nikah tidak terpenuhi oleh orang tersebut.

c. Seseorang yang murtad atau keluar dari agama islam.

D. 17Perkawinan harus berdasarkan undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974.

a. Perkawinan didasari oleh persetujuan kedua calon Pengantin dan tidak dalam keadaan terpaksa.

b. Bagi calon Pengantin yang berusia di bawah 21 tahun harus memiliki izin dari kedua orangtua atau wali yang masih ada hubungan darah dalam garis keturunan lurus atau melalui putusan pengadilan agama setempat.

e. Umur atau usia minimal untuk melaksanakan perkawinan yaitu bagi seorang laki-laki telah berusia 19 tahun dan untuk perempuan telah berumur 16 tahun.

17

3.2.3. Tata Cara Perkawinan Menurut Agama Islam.

18

1. Khitbah atau Peminangan.

Menurut bapak Sumedi (46 tahun), dalam Islam sendiri telah memberikan arti serta konsep-konsep yang jelas dan berkaitan tentang bagaimana tata cara perkawinan menurut agama islam berlandaskan atas Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih.

Jika seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya seorang calon laki-laki tersebut meminang terlebih dahulu seorang calon perempuannya, karena dimungkinkan si perempuannya sedang dipinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam sangat melarang keras seorang muslim meminang perempuan yang sedang dipinang oleh orang lain “Muttafaq 'alaihi”

2. Adanya Aqad Nikah.

Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi a. Adanya suka sama suka dari kedua calon Pengantin dan tidak dalam paksaan. b. Adanya Ijab Qabul antara laki-laki dan perempuan.

c. Adanya mahar yang telah disediakan oleh calon Pengantin laki-laki. d. Adanya wali nikah pengantin dari perempuan.

e. Adanya Saksi-saksi yang sudah dewasa / baligh.

Menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah nikah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat, agar perkawinan tersebut mendapatkan ridho dari Allah Yang Maha Esa.

3. Walimah.

Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin

dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan bagi orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". Tercatat dalam “Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi

7:262 dari Abu Hurairah”. Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu

orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : "Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang- orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa".

3.3. Perkawinan Menurut Adat Jawa.

3.3.1. Konsep Tentang Perkawinan Adat Masyarakat Jawa.

Dalam kajian antropologi budaya, perkawinan adat merupakan variabel penting dalam kajian kebudayaan dalam masyarakat tertentu. Bahkan Wissler seperti dikutip Ihromi (1987) memasukkan perkawinan sebagai bagian dari pola budaya universal. Perkawinan dalam kajian ini merupakan pola budaya sistem keluarga dan sosial.

Goodenough seperti dikutip Tarimana (1993) mendefinisikan perkawinan sebagai:

...a male transaction and resulting contract in which a person (male or female,corporate or individual; in person or by proxy) establishes a continuing claim to the right of sexual acces to a woman—this right having priority over rights of sexual access others currently have or may subsequently acquire in relation to her (except in a similar transaction) until the contract resulting from the transaction is terminated—and in which the women involved is eligible to bear children.

... transaksi dan kontrak yang mengakibatkan laki-laki dimana seseorang (laki-laki atau perempuan, perusahaan atau perorangan; secara langsung atau melalui proxxy) menetapkan klaim terus hak acces seksual untuk perempuan- prioritas ini memiliki hak atas hak-hak seksual lain akses saat ini memiliki atau selanjutnya bisa memperoleh dalam hubungannya dengan dia (kecuali dalam transaksi yang sama) sampai kontrak yang dihasilkan dari transaksi dihentikan-dan dimana perempuan terlibat adalah memenuhi syarat untuk melahirkan anak.

Jadi perkawinan antara dua jenis kelamin yang berbeda dilakukan dalam rangka mengikat kontrak sosial antara dua keluarga. Perkawinan sebagai ikatan kontrak sosial didefinisikan oleh Keesing (1981) bahwa.

Marriage is characteristically not a relationsip between individuals but a contract between groups (often, between corporations). The relationship contractually established in marriage may endure despite the death of one partner (or even of both).

Perkawinan khas bukan hubungan antara individu tetapi

kontrak antara kelompok (sering, antara

perusahaan).Hubungan kontraktual didirikan dalam perkawinan dapat bertahan meskipun kematian salah satu pasangan (atau bahkan keduanya).

Sistem perkawinan di semua kebudayaan memiliki corak dan tujuan yang universal yakni, dalam rangka mempertahankan keturunan dan ikatan-ikatan sosial. Demikian halnya dalam kebudayaan Adat Jawa pada umumnya bersifat Bilateral yang menarik garis keturunan serentak dari bapak-ibu dan dimana

perkawinan jawa bersifat Mentas yaitu perkawinan yang tidak mengutamakan kekerabatan salah satu pihak, ini merupakan sebuah variabel kebudayaan yang cukup signifikan.

Seperti yang sudah dijelaskan oleh Keesing perkawinan di semua kebudayaan memiliki corak dan tujuan yang universal, namun secara umum di Indonesia terdapat berbagai macam konsep-konsep perkawinan adat yang dilakukan oleh setiap suku bangsa yang ada di Indonesia ini misalnya saja pada suku bangsa 19

Dalam hubungan cinta kasih antara laki-laki dengan perempuan, setelah melalui proses dan pertimbangan biasanya dimantapkan ke dalam sebuah tali perkawinan, hubungan dan hidup bersama secara resmi selaku suami istri jika dilihat dari segi hukum Negara, agama dan adat. Di Jawa seperti juga sama halnya di Desa Saentis ini, pada prinsipnya perkawinan terjadi karena keputusan dua insan yang saling jatuh cinta, itu merupakan hal yang prinsip atau yang sudah universal tidak berada dalam paksaan

Batak Toba Perkawinan yang bersifat eksogami marga, karena perkawinan semarga sangat dilarang keras. Seorang perempuan akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap menyandang marganya sendiri, selanjutnya perempuan tersebut beserta suaminya akan menyebut kelompok marga perempuan itu dengan hula-hula. Seorang perempuan tersebut akan menjadi ibu yang memberikan keturunan bagi kelompok marga suaminya.

20

19

Tulisan Gita Sarah Siallagan, Perkawinan Antarbangsa 2009. Dikelola Oleh Penulis.

. Walaupun ada juga perkawinan yang terjadi karena dijodohkan oleh orang tua pada masa lalu, sementara orang-orang

tua zaman dahulu berkilah melalui pepatah : Witing tresno jalarane soko kulino, yang artinya : Cinta tumbuh karena terbiasa.

Dokumen terkait