• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM PERTANIAN DI DESA MUNTE

3.1. Jenis Produk Pertanian

Masyarakat Desa Munte mayoritas adalah petani dan jenis tanaman yang mereka tanam ada bermacam-macam. Dahulu tanaman yang terkenal dari desa ini adalah tanaman Padi. Namun disebabkan oleh beberapa hal, para petani kini secara perlahan-lahan mulai beralih ke tanaman lain dan secara perlahan-lahan pula pola tanam yang ada di desa ini juga berubah.

Selain menghasilkan Padi, Desa Munte umumnya menghasilkan tanaman palawija. Tanaman palawija adalah tanaman muda yang umurnya hanya berkisar 3 sampai 6 bulan saja. Tanaman palawija juga dapat dipanen lebih dari sekali hingga tanaman tersebut mati. Contoh tanaman palawija yang ada di desa ini adalah tanaman Kacang Panjang, Cabai, Sayur Pahit, dan Buncis. Masyarakat mengakui bahwa perawatan tanaman palawija ini lebih mudah. Saat diwawancarai Pak Rahmat Tarigan mengungkapkan hal seperti di bawah ini:

“sinuan si bage maka banci ndatken hasil si mbue, la sekali ngenca banci perani. Apai ka adi sangana ka merga kurang dekah akap sinuan e maka mate”.

Artinya: tanaman seperti itulah yang bisa memberikan hasil yang banyak, tidak hanya sekali dipanennya. Apalagi kalau harganya sedang tinggi maunya tanaman tersebut hidup lebih lama lagi.

Bila petani menanam tanaman palawija, dalam setahun petani dapat menanamnya dalam beberapa jenis (hal ini disesuaikan dengan harga pasar dan juga musim yang sedang berlangsung). Dengan satu jenis tanaman palawija petani dapat memanen hasil tanamannya dalam beberapa kali. Artinya akan jauh lebih

dibandingkan dengan tanaman Padi, tidak hanya lebih sulit cara perawatannya, perhatian yang lebih pun harus dilakukan. Dalam setahun petani dapat memanen Padi 2 sampai 3 kali saja.

Desa Munte adalah juga merupakan sebuah Kecamatan di Kabupaten Karo. Kecamatan Munte mencakup 22 desa dan seluruh desa mayoritas penduduknya adalah petani. Sama halnya dengan Desa Munte, desa lainnya juga menanam tanaman yang sama karena faktor musim dan jenis tanah yang hampir sama. Tak jarang bila petani Desa Munte membutuhakn tenaga kerja yang banyak maka mereka meminta petani atau buruh tani dari desa lain untuk membantu mereka. Tapi petani atau buruh tani tersebut akan dibayar upahnya per hari dan juga transportasi disediakan.

Umumnya tanaman Padi ditanam di sawah, namun ada beberapa petani yang menanam Padi di lahan kering. Padi inilah yang disebut dengan “page tuhur”. Padi ini tidak memerlukan debet air yang banyak, hanya mengandalakan air hujan saja dan itupun pada saat tertentu saja, misalnya setelah masa tanam. Namun para petani tetap kewalahan menghadapi burung-burung ketika akan tiba masa panen, burung pengganggu ini disebut dengan “burung gereja”. Burung- burung tersebut akan mulai menyerang ketika Padi sudah mulai menguning. Dan cara petani menghalau burung-burung tersebut sama halnya dengan mengahalau burung dari tanaman Padi yang ditanam di sawah dan juga menggunakan alat-alat yang sama. Menurut beberapa orang yang telah mengonsumsi beras yang ditanam di sawah dan juga beras yang ditanam di lahan kering, rasanya berbeda. Ada yang mengatakan kalau beras dari Padi yang ditanam di sawah lebih enak dan ada juga yang mengatakan beras dari Padi yang ditanam di lahan yang kering lebih enak.

Padi yang ditanam di lahan kering pada umumnya adalah beras merah dan memiliiki batang yang lebih tinggi dan biji yang lebih besar. Bila dibandingkan setelah dimasak pun beras yang ditanam di lahan kering lebih besar nasinya daripada beras yang ditanam di sawah.

Tanaman palawija yang ditanam di Desa Munte adalah tanaman Sayur- sayuran seperti Kacang Panjang, Buncis, Cabai, dan Sayur Pahit. Tanaman ini ada yang ditanam di lahan kering/ladang dan ada juga yang ditanam di sawah yang memang sudah kering atau yang sengaja memang dikeringkan. Sama halnya dengan tanaman Padi, tanaman palawija juga membutuhkan pupuk. Pupuk yang biasa digunakan petani untuk tanaman mereka adalah seperti pupuk urea (PUSRI), Amapos (SS), Garam (ZA), Paten Kali (KCL), dan NPK. Selain pupuk anorganik petani juga sering menggunakan pupuk organik seperti kotoran hewan peliharaan petani sendiri, misalnya kotoran kerbau atau lembu, dan ayam. Selain itu tanaman-tanaman ini juga membutuhkan penyemprotan yang rutin. Hal ini untuk menghindari munculnya penyakit dan juga hama. Hama yang sering muncul pada tanaman ini adalah ulat. Penyemprotan ini menggunakan pestisida dan penyemprotan ini dilakukan 2 sampai 3 kali dalam seminggu.

Di Desa Munte terdapat juga tanaman Jeruk. Namun kini tanaman Jeruk yang ada sudah rata-rata berumur tua dan hasilnya juga sudah mulai menurun bahkan perlahan-lahan sudah mulai ditebang batangnya. Tanaman Jeruk yang tumbuh di desa ini kurang baik. Menurut pengakuan petani hal ini disebabkan karena tanah yang tidak cocok. Buah yang dihasilkan pun kurang manis rasanya dan ada juga yang asam. Tanaman Jeruk tersebut pun tidak berumur lama karena tidak dirawat sebagaimana mestinya.

Tanaman Cokelat juga terdapat di Desa Munte ini. Tanaman ini mulai berkembang sekitar tahun 1999, ketika PPL (petugas penyuluh lapangan) datang ke desa ini dan mengusulkan untuk menanam tanaman Cokelat. Awalnya hanya beberapa orang petani saja yang mengikuti saran tersebut. Melihat tanaman Cokelat tersebut mulai berkembang dan juga menghasilkan, secara perlahan-lahan para petani mulai berlomba menanam Cokelat. Akhirnya, hampir semua petani kini memiliki tanaman Cokelat.

Cara perawatan tanaman Cokelat tidak susah, tidak perlu terlalu sering disiangi dan pemberian pupuk pun boleh dilakukan 2-3 kali dalam setahun. Pupuk yang diberikan pun tidak hanya pupuk anorganik saja, pupuk buatan atau pupuk organik juga sering digunakan. Tanaman Cokelat ini dapat dipanen seminggu sekali atau pada masa “pemberasenna” buah Cokelat ini dapat dipanen 2 sampai 3 kali dalam seminggu.

Penduduk Desa Munte pada umumnya mengonsumsi hasil tanaman mereka sendiri. Jarang mereka membeli produk pertanian dari daerah lain kecuali produk tersebut memang tidak dihasilkan oleh petani di Desa Munte. Ada juga petani yang menanam tanaman produk daerah lain setelah mengkonsumsi produk tersebut. Hasilnya, ada yang berhasil dan ada juga yang gagal. Bila berhasil maka ada juga petani yang mengikuti jejak petani tersebut. Namun tidak semua petani yang mengikuti jejak yang berhasil, ada juga diantara mereka yang gagal. Ketika diwawancarai bapak Wanta Bangun mengakui bahwa faktor coba-cobalah yang membuat dia berhasil menanam Buncis.

“paksa sange erga buncis murah denga, mami ndu nggule buncis rumah. Dung man ku ukuri ka kai nge ndia suan maka rulih ateku. Pagi kucubakenlah nuan buncis ateku sebab biasana dung erga murah kelang 3

ntah 4 bulan nggo ka merga erga sinuan-sinuan. Pas kel perkiraenku nda sebab pas kenca rani, erga buncis nda nggo merga”.

Artinya: dulu ketika harga Buncis murah, mami kam menggulai Buncis di rumah. Selesai makan saya berpikir apa yang akan saya tanam supaya berhasil. Besok saya akan mencoba untuk menanam Buncis sebab biasanya setelah harga murah sekitar 3 atau 4 bulan kemudian harga tanaman sudah mulai meninggi lagi. Perkiraan saya tepat sekali, ketika saya panen harga Buncis sudah tinggi.

Setelah itu banyak petani yang mengikuti jejak bapak Wanta Bangun ini, namun tidak semuanya yang berhasil. Apabila hasil panen melebihi untuk dikonsumsi sendiri petani biasanya menjual hasil pertanian mereka.

Pemasaran hasil tanaman para petani dapat dilakukan di Desa Munte itu sendiri dan juga dapat dijual ke pasar yang ada di Ibukota Kabupaten yakni Kabanjahe, tetapi hal ini tergantung pada jenis tanamannya. Umumnya hasil tanaman yang dijual ke Kabanjahe adalah tanaman Sayur-sayuran yang sebagian kecil telah dijual di desa itu sendiri untuk dikonsumsi oleh masyarakat desa. Biasanya para petani menjual hasil tanaman mereka ke Kabanjahe pada hari Senin, karena hari tersebut adalah hari pajaknya atau sering disebut dengan “pajak singa” dan harga barang pada hari tersebut dapat lebih tinggi bila dibandingkan dengan hari biasa.

Tanaman lain seperti Cokelat atau Kemiri dapat dijual di Desa Munte atau ada juga petani yang menjual hasil pertanian mereka ke Tigabinanga. Para agen yang datang ke desa ini juga nantinya menjual barang mereka ke Tigabinanga. Agen-agen tersebut ada yang berasal dari Desa Munte sendiri dan ada juga yang berasal dari daerah lain. Biasanya mereka membeli barang dengan harga sedikit lebih murah dari harga pasar.

Bila ada petani yang tidak merasa puas dengan harga yang ditawarkan oleh agen, biasanya mereka menjual langsung hasil pertaniannya ke Tigabinanga. Perbedaan harganya memang tidak terlalu jauh namun para petani tetap merasa rugi, apalagi bila petani memiliki hasil pertanian yang banyak. Para agen atau petani yang menjual barang mereka ke Tigabinanga biasanya menjual barang mereka pada hari Selasa karena pada hari tersebut merupakan hari pajak di daerah tersebut.

Hasil tanaman petani seperti sayur-sayuran yang dikonsumsi oleh masyarakat desa itu sendiri dijual di pajak sore (tiga karaben). Pajak sore ini ada setiap sore dan bertempat di “losd silima merga” kecuali hari Jumat. Hari Jumat pajak sore akan berpindah ke “losd tiga” yang letaknya lebih jauh dari losd silima merga. Losd tiga memang sedikit lebih besar dari losd silima merga. Biasanya pajak sore yang hari Jumat akan lebih meriah dibandingkan dengan pajak sore pada hari lainnya, karena para petani dari desa lain banyak berdatangan untuk menjual hasil pertanian mereka sekaligus untuk berbelanja keperluan sehari-hari mereka juga.

3.2. Sistem Pengetahuan Petani Tentang Tanah, Bibit, Musim, Pasar, serta Hama dan Penyakit

3.2.1. Sistem Pengetahuan Petani Tentang Tanah

Bagi masyarakat Karo secara umum tanah merupakan salah satu wujud dari kekayaan yang dimiliki. Tanah yang dimiliki biasanya didapatkan dari warisan dan hal tersebut telah mendarah daging dan telah berlaku secara turun- temurun. Tanah yang dimiliki seseorang mencerminkan identitasnya pada orang

lain. Bagi masyarakat Karo tanah sangat dianggap berharga karena hanya tanah yang dapat dan lebih sering terwariskan, karena tidak semua keluarga yang memiliki kekayaan seperti emas, atau benda lain yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya.

Selain nilai tanah seperti yang telah dijelaskan diatas, dengan bermata pencaharian bertani pengalaman-pengalaman bertani pun dimiliki oleh petani di Desa Munte. Pengetahuan-pengetahuan atau pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh petani didapatkan secara turun-temurun dan juga dari orang-orang yang terlebih dahulu telah berhasil. Petani mengharapkan hasil yang baik dari setiap tanaman yang mereka tanam, meskipun hal tersebut tidak selalu tercapai.

Permukaan tanah yang ada di Desa Munte berbentuk seperti kuali yang artinya tanah yang digunakan masyarakat untuk bertani berbukit-bukit sedangkan tanah yang digunakan sebagai pemukiman berdataran rendah. Masyarakat mengakui tanahnya yang subur sehingga cocok untuk pertanian.

Tanah yang subur menurut para petani adalah tanah yang memiliki warna hitam kecokelatan dan juga gembur. Tanah hitam kecokelatan dan juga berpasir juga dianggap baik. Tanah yang seperti ini sangat cocok untuk tanaman Padi dan juga untuk tanaman palawija. Selain itu tanah yang juga dianggap baik adalah tanah yang berminyak. Tanah yang demikian adalah tanah yang agak lembab dan pada tanah yang seperti ini rumput mudah dicabut karena tanahnya yang gembur. Berbeda dengan tanah lain yang dianggap subur oleh petani tanah “merebben” hanya dapat menghasilkan dalam bebrapa waktu tertentu saja karena tingkat kesuburan dan warnanya akan berubah. Bila sudah demikian maka tanah terrsebut akan ditinggalkan dalam jangka waktu tertentu. Awalnya tanah ini subur,

berwarna hitam, tetapi lama-kelamaan akan berubah berwarna kecokelatan dan hanya cocok ditanami Jagung.

Tanah yang kering adalah tanah yang kurang baik bagi petani di Desa Munte. Tanah seperti ini biasanya dibiarkan saja atau ditanami dengan tanaman Jagung atau Cokelat. Selain itu tanah liat juga dianggap tidak baik karena tidak akan menghasilkan apa-apa. Di tanah liat tersebut akan tumbuh ilalang yang sangat mengganggu pertumbuhan tanaman yang ditanam oleh petani atau di tanah liat tersebut akan dibangun gubuk untuk tempat berlindung bagi petani atau sering disebut dengan istilah “sapo”.

Bila petani sudah merasa kalau tanah yang dimiliki sudah tidak baik lagi maka petani membiarkan tanahnya begitu saja, tidak ditanami apa-apa. Bila tetap ditanami tidak akan memberikan hasil yang maksimal bagi petani, karena unsur hara dalam tanah sudah berkurang. Berkurangnya unsur hara yang ada dalam tanah diakibatkan oleh pemakaian pupuk dan obat-obatan kimia dalam jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang lama juga. Tanah tersebut akan dibiarkan ditumbuhi semak belukar selama 1 sampai 3 tahun. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk menyuburkan kembali tanah tersebut. Setelah itu baru petani akan menanami kembali tanahnya. Hasilnya tanaman yang mereka tanam dapat tumbuh dengan subur.

3.2.2. Sistem Pengetahuan Petani Tentang Bibit

Untuk mendapatkan tanaman yang baik dan subur maka masalah yang sangat penting untuk diperhatikan adalah bibitnya. Bibit yang akan digunakan hendaknya sudah terpilih kualitasnya karena bibit sangat menentukan

perkembangan, pertumbuhan serta hasil tanaman. Penggunaan bibit yang baik diyakini menjadi kunci utama dalam keberhasilan tanaman yang ditanam oleh petani.

Dalam penggunaan bibit petani dapat membeli atau membuat bibit yang digunakan sendiri. Tetapi petani mengakui lebih baik membuat sendiri bibit yang digunakan karena akan memberikan hasil yang lebih baik. Petani memilih tanaman yang berkualitas baik untuk dijadikan sebagai bibit. Bibit ditentukan menurut ukuran, warna, bentuk dan juga umur tanaman yang dijadikan bibit. Selain itu petani harus memastikan bahwa bibit yang dipilih tersebut bebas dari penyakit dan juga hama. Tidak jarang bila petani ingin mendapatkan bibit yang baik, mereka membelinya dari petani lain yang tanamannya dianggap lebih baik.

Setelah pemilihan bibit, maka bibit tersebut disemai terlebih dahulu hingga beberapa waktu. Waktu penyemaian disesuaikan dengan bibit yang ditanam. Setelah disemai kemudian bibit-bibit tersebut masih dipilih yang baik lagi, karena tidak semua bibit-bibit tersebut tumbuh dengan baik. Biasanya bibit yang siap tanam berumur berkisar antara 30 sampai 40 hari.

Sebelum bibit dipindahkan dari tempat penyemaian terlebih dahulu disiapkan lahan untuk menanamnya. Setelah cukup umur bibit dipindahkan ke tempat yang sudah ditentukan. Bila tanaman tersebut sudah berumur 3 minggu, tiba waktunya untuk pemberian pupuk. Sebelum pemberian pupuk dilakukan baiknya dilakukan penyiangan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk menghindari rumput yang dapat memakan pupuk yang hendak diberi ke tanaman. Pupuk diberi tidak terlalu dekat dengan tanaman, alasannya karena pupuk dapat membuat batang tanaman menjadi panas hingga tanaman tersebut dapat mati.

Selain pemberian pupuk tanaman palawija juga membutuhkan beberapa kali penyemprotan. Tujuannya adalah untuk menghindari atau mengusir penyakit atau hama yang menyerang tanaman tersebut. Penyemprotan yang dilakukan petani menggunakan pestisida. Biasanya petani akan menyemprot tanaman mereka 2 sampai 3 kali dalam seminggu. Sebaiknya jangan menggunakan pestisida yang terlalu banyak karena akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Selain itu penggunaan pestisida juga dapat menimbulkan penyakit bagi yang mengkonsumsi tanaman yang menggunakan pestisida. Dampak negatif lain yang ditimbulkan oleh pemakaian pestisida adalah menimbulkan penyakit atau hama lain yang mengganggu tanaman. Hal ini disebabkan oleh pemakaian pestisida yang berlebihan. Oleh karena itu hendaknya para petani berhati-hati dalam menggunakan pestisida yang digunakan.

3.2.3. Sistem Pengetahuan Petani Tentang Musim

Secara umum pengetahuan petani tentang musim sama dengan pengetahuan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Musim dikenal ada dua, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Begitu juga dengan para petani di Desa Munte. Musim hujan disebut dengan “wari perudan” dan musim kemarau disebut dengan “wari perlego”. Menurut pandangan dan berdasarkan pengalaman petani di Desa Munte musim hujan berlaku mulai dari bulan September sampai dengan bulan Maret tahun berikutnya dan musim kemarau berlaku mulai dari bulan April sampai dengan bulan Agustus. Akan tetapi kini musim hujan dan musim kemarau tidak dapat lagi diprediksikan masa berlangsungnya.

Untuk menghindari kerugian para petani di Desa Munte kini mulai menanam tanaman yang dianggap sesuai dengan musim yang sedang berlangsung. Bila musim hujan tiba maka para petani akan menanam tanaman yang membutuhkan debet air yang banyak, seperti tanaman sayur-sayuran dan begitu juga dengan sebaliknya.

Apabila musim kemarau berlangsung terlalu lama masyarakat di Desa Munte yang penduduknya mayoritas petani pernah melakukan ritual memanggil hari hujan yang disebut dengan “ndilo wari udan” atau sering juga disebut dengan istilah “dogal-dogal”. Pada tahun 2008 lalu masyarakat Desa Munte pernah melakukan ritual tersebut. Ketika itu musim kemarau sudah berlangsung selama 7 bulan. Hasil tanaman petani pun banyak yang tidak berhasil. Sungai irigasi yang ada di desa tersebut pun perlahan-lahan debet airnya mulai berkurang, hingga menimbulkan kekeringan pada lahan pertanian petani. Padahal sungai tersebut menjadi salah satu harapan petani. Hingga suatu hari timbul kesepakatan masyarakat untuk melaksanakan ritual “ndilo wari udan”. Kesepakatan ini muncul setelah diadakan musyawarah terlebih dahulu.

Pada upacara ini dipilih sepasang muda/mudi untuk mengenakan pakaian adat lengkap. Sepasang muda/mudi ini akan memimpin masyarakat desa untuk mengelilingi desa. Selain itu ditunjuk juga beberapa orang yang mengenakan topeng yang sama seperti boneka, sehingga terlihat sama seperti orang-orangan di sawah. Orang yang mengenakan topeng tersebutlah yang disebut dengan “dogal- dogal”. Dogal-dogal ini akan bergoyang dan menari mengelilingi desa dan diikut i juga oleh masyarakat. Sambil berjalan mengelilingi desa masyarakat juga akan saling siram-siraman sampai basah kuyup, bahkan orang-orang yang melintasi

Desa Munte pada waktu itu juga ikut disirami masyarakat. Mereka tidak perduli dengan tujuan mereka, yang mereka tahu hanya menyirami setiap orang yang melintasi desa.

Air yang digunakan untuk menyirami setiap orang diambil dari rumah sendiri dan ada juga masyarakat yang mengambil air yang berasal dari parit dan disiramkan juga pada orang yang lewat. Yang harus disiram oleh setiap orang awalnya adalah “rebuna”, yang artinya “ simehangkena”. Setelah itu kemudian dapat menyirami siapa saja.

Upacara ndilo wari udan ini diadakan selama 4 hari. Setiap hari masyarakat hanya bersiram-siraman mengelilingi desa sambil menari dan pantang pergi ke lading atau “kujuma”. Selama itu pula setiap orang yang melintasi desa ini akan kena siraman masyarakat. Upacara ini dapat juga dilakukan oleh anak- anak dan artinya semua masyarakat Desa Munte ikut dalam pelaksanaan ritual tersebut. Selama berlangsungnya acara ritual “ndilo wari udan“ masyarakat kelihatan sangat gembira. Mereka bahkan rela menggunakan kendaraan sendiri sambil membawa air dan menyiram setiap orang yang dilihat tapi hanya orang yang berada dalam kawasan Desa Munte saja.

Hasil dari ritual yang dilakukan masyarakat Desa Munte tersebut kemudian membuahkan hasil. Selang beberapa hari hujan mulai turun dan tentunya masyarakat Desa Munte menyambutnya dengan gembira karena usaha mereka tidak sia-sia. Setelah itu mereka dapat menanam tanaman yang mereka inginkan dan sampai sekarang masyarakat Desa Munte belum pernah lagi melaksanakan upacara yang sama.

3.2.4. Sistem Pengetahuan Petani Tentang Pasar

Tanaman yang akan ditanam oleh petani di Desa Munte tidak ditentukan dengan sembarangan. Biasanya mereka menentukannya dengan musim yang sedang berlangsung dan juga dengan permintaan pasar. Tanaman yang disesuaikan dengan harga pasar biasanya adalah tanaman sayur-sayuran, seperti Buncis dan juga Cabai.

Mereka akan memulai menanam ketika harga pasar sedang turun. Harga yang rendah sudah berlangsung beberapa waktu ketika petani mulai melakukan masa penanaman. Dengan demikian mereka yakin ketika masa panen tiba maka harga sudah mulai tinggi lagi. Hal ini sering dilakukan oleh petani di Desa Munte, bahkan hal tersebut masih berlaku hingga sekarang. Namun tidak jarang juga dugaan mereka ini tidak tepat. Terkadang mereka juga mengalami kerugian dari hasil panen yang didapatkan. Harga tanaman yang mereka tanam tetap saja rendah, inilah resiko yang harus mereka terima. Bila sudah demikian mereka bahkan rela membiarkan tanaman mereka begitu saja. Tidak diurus hingga menyebabkan tanaman tersebut lebih cepat mati. Kemudian petani akan menggantinya dengan tanaman yang lain tetapi setelah tanaman sebelumnya mati.

Dokumen terkait