• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang segala hal yang umum dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori dan konsepsi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas tentang pentingnya pencantuman klausula force majeure dalam perjanjian yang terdiri dari pelaksanaan suatu perjanjian, force majeure, dan alasan pentingnya pencantuman klausulaforce majeuredalam Perjanjian.

Bab III membahas tentang bagaimana suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia yang terdiri dari unsur- unsur force majeuredi Indonesia, ruang lingkup force majeure di Indonesia, sistem

31

Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 2002), hal.190

pembuktian force majeure di Indonesia, dan force majeure dalam sistem common law.

Bab IV membahas tentang penerapan force majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara dengan putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010 yang terdiri dari kasus posisi, pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung, dan analisis kasus.

Bab V merupakan bab yang membahas mengenai kesimpulan dan saran. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran terhadap data yang ada.

22

A. Pelaksanaan Suatu Perjanjian. 1. Syarat sah perjanjian

Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:32 a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai

subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum.

Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi33;

b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka;

32

Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), Hal 5-6.

33

Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http://hermansh.blogspot.com/2012/02 /syarat-sahnya-suatu-perjanjian.html, pada tanggal 11 Agustus 2012.

c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;

d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;

e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;

f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1320 BW yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau saling menyetujui kehendak masing-

masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan penipuan.34

Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.35

Sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, di mana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.36 Menurut Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance), bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan dikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam kontrak tersebut.37

b. Cakap untuk membuat perikatan;

34

Ridhuan Syahrani,Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), Hal. 214.

35

SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum/Perjanjian.pdf, pada tanggal 10 Pebruari 2012.

36

J. Satrio,Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Hal. 165.

37

Kontrak, diakses dari http://ocw.usu.ac.id/course/download/10500000010-hukum- perusahaan/kn_508_slide_hukum_kontrak_2.pdf, pada tanggal 11 Agustus 2012.

Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Suatu badan, perkumpulan, atau badan usaha dapat berstatus sebagai badan hukum bila telah memenuhi beberapa syarat, yaitu:38

1) Syarat materiil (menurut doktrin)

a) Harta kekayaan yang terpisah, dipisahkan dari kekayaan anggotanya. b) Tujuan tertentu (bisa idiil/komersial)

c) Punya hak/kewajiban sendiri, dapat menuntut/dituntut

d) Punya organisasi yang teratur, tercermin dari Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga.

2) Syarat Formal

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk mendapatkan status sebagai badan hukum biasanya diatur dalam peraturan yang mengatur tentang badan hukum yang bersangkutan. Misalnya pengesahan perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pengesahan yayasan sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang

38

nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan, dimana agar perseroan terbatas dan yayasan dapat berstatus sebagai badan hukum yang sah, akta pendirian perseroan terbatas dan yayasan yang telah dibuat oleh notaris harus mendapat pengesahan dari menteri.

Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, barulah badan hukum itu dapat disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subyek hukum yang dapat melakukan hubungan hukum.39

Apabila yang membuat perjanjian adalah orang, dia harus cakap menurut hukum. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : 1) Orang-orang yang belum dewasa;

Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut memberikan arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:40 a) seorang baru dikatakan dewasa jika ia:

(1) telah berumur 21 tahun; atau (2) telah menikah;

Hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.

39

Mohd.Syaufii Syamsuddin,op.cit,Hal 13.

40

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 2006), Hal 130.

b) anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili oleh:

(1) orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);

(2) walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).

2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;

Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada di bawah pengampuan mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau pengampunya (Pasal 433 KUHPerdata).41

Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.42

41

Mohd.Syaufii Syamsuddin,op.cit,Hal 16.

42

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya, kecuali ada hak suami yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang akan dilakukan seperti menjual rumah yang didapat setelah perkawinan, dan lain- lain. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal demi hukum (Pasal 1446 BW).43

c. Suatu hal tertentu;

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang- undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.44

Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang

43

SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit.

44

yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.45

d. Suatu sebab atau causa yang halal;

Menurut Undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan pada Pasal 1337 KUH Perdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum.46

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.47

Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:48

1) dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan;

2). dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.

45

SieInfokum - Ditama Binbangkum,loc.cit.

46

Abdulkadir Muhammad,Hukum Perikatan,(Citra Adtya Bakti: Bandung,1992), Hal 95.

47

SieInfokum - Ditama Binbangkum,loc.cit.

48

Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya49.

Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.50

49Ibid

, Hal 94.

50

Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail /cl4141 /pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 11 Agustus 2012.

2. Prestasi

Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.51

Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata). Di dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu:52

a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.

b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.

Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata).53

Prestasi dapat berwujud sebagai :54

51

Ahmadi Miru,Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal 67.

52

M. Hariyanto, Asas-asas perjanjian, diakses dari http://blogmhariyanto.blogspot.com/ 2009/07/asas-asas-perjanjian.html, pada tanggal 16 juli 2012

53

Djaja S. Meliala,op.cit,hal 98.

54

a. Benda

Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya Sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihak- pihak yang menjual tenaga atau keahliannya.

Contoh dari penyerahan hak milik adalah jual-beli mobil, dimana setelah salah satu pihak membayar harga yang disepakati untuk mobil tersebut, pihak yang lain harus menyerahkan mobil dan mobil tersebut menjadi milik seutuhnya dari pihak yang telah melakukan pembayaran sedangkan contoh penyerahan kenikmatan adalah sewa menyewa rumah dimana yang diberikan hanya kenikmatan dari rumah tersebut yang setelah berakhir perjanjiannya, rumah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”. Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi apalagi kalau ia lalai menyerahkannya.

b. Tenaga atau keahlian

Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama,

sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda. Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi berupa tenaga adalah kalau seorang yang disuruh memindahkan tumpukan pasir dari pinggir jalan ke dalam pekarangan seseorang, siapa pun yang mengangkat pasir tersebut, hasilnya pasir tersebut akan berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh.

Sementara itu, contoh suatu kontrak yang prestasinya berupa keahlian, adalah kalau seorang yang meminta pelukis untuk melukis wajahnya si pelukis tidak begitu saja dapat meminta orang lain untuk melukis wajah orang tersebut karena kemungkinan orang yang diminta menggantikannya tidak memiliki keahlian yang sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, kemungkinan lukisan wajah tersebut tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya.

c. Tidak berbuat sesuatu

Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan.

Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat:55

a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang;

b. Harus tertentu atau dapat ditentukan;

55

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal.79.

c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.

Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/ wanprestasi.

3. Wanprestasi

Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.56 Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :

“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“. Kata “perintah“ (bevel) dalam Pasal 1238 diatas mengandung suatu peringatan dan karenanya“bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (-tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan–

56

bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“.57

Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.58

Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).59

Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

57

J. Satrio,Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I),diakses dari http://www.hukum online.com/ berita/ baca/ lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j- satrio-, pada tanggal 16 juli 2012`

58

PNH Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambata, 1999), Hal.340.

59Somasi atau Teguran

, diakses dari http://www.negarahukum.com/hukum/somasi-atau- teguran.html, pada tanggal 11 Agustus 2012.

Bentuk wanprestasi/ ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu:60

a. Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;

b. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya;

c. Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; d. Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya.61

Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :62

a. Menuntut pemenuhan perikatan;

b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal- balik, menuntut pembatalan perikatan;

c. Menuntut ganti rugi;

d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi;

e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan di hadapan hakim.

Seorang Debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu:63

60

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), Hal.70.

61Ibid

.

62

a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmachtatauForce majeure); b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio non

adimpleti contractus);

Dokumen terkait