TESIS
Oleh
JEFFRY
107011010/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
JEFFRY
107011010/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 107011010 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Pembimbing Pembimbing
(Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Mahmul Siregar SH, MHum
Nama : JEFFRY
Nim : 107011010
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Judul Tesis : ANALISIS KLAUSULA FORCE MAJEURE
DALAM SUATU PERJANJIAN (STUDI TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 587 PK/ PDT/ 2010
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan
saya seniri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister
Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan
saya tersebut.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : JEFFRY
i
apa yang telah diperjanjikan dan apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan disebut sebagai prestasi. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika para pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/wanprestasi. Untuk melepaskan dirinya dari tuntutan membayar ganti rugi, Pihak yang dituduh melakukan wanprestasi dapat memberikan pembelaan di depan hakim. Salah satunya adalah dengan membuktikan telah terjadiforce majeure. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana pentingnya mencantumkan klausula force majeure dalam suatu perjanjian, bagaimana suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia dan bagaimana penerapan klausulaforce majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No.587/PK/Pdt/2010.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dan analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman klausula force majeure dalam suatu perjanjian merupakan hal yang penting karena ketiadaan klausulaforce majeuredalam kontrak dianggap sebagai ketidakcermatan dalam pembuatan kontrak yang dapat menyebabkan sengketa diantara para pihak. Dikarenakan ruang lingkup force majeure yang sangat luas, untuk menetapkan suatu keadaan memaksa (force majeure) bisa dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur dariforce majeureyaitu peristiwa tersebut merupakan hal yang tidak terduga, di luar kemauan, kemampuan dan kendali para pihak, tidak dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, tidak ada itikad buruk, para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut, menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak, terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak diaksanakannya prestasi para pihak, dan kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. Dalam penerapan batasan force majeure pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 587 Pk/Pdt/2010, ketika terjadi perbedaan persepsi mengenai banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc merupakanforce majeureatau bukan, oleh Mahkamah Agung diputuskan banjir yang terdapat dalam klausulaforce majeure di perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini ketika dianalisis, banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc ini memang tidak memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu banjir tersebut dapat diprediksi/ diduga akan terjadi.
ii
agreement, the parties involved in the agreement must perform what has been promised and what has been agreed to be their obligations in the agreement. The obligation to perform what has been promised is called achievement. But, what is always found in implementation of an agreement is that the parties involved do not obey and do what they have promised /breach of contract. To avoid from the claim to pay compensation, the party who is accused of breaching of contract can depend him/herself before the judge. One of the ways used is to prove that there has been a force majeure. The problems discussed in this study were: how important to include the clause of force majeure in an agreement is, how a force majeure meets the concept of civil law in Indonesia, and how the Indonesian Supreme Court applied the clause of force majeure in its Decision No. 587/PK/Pdt/2010.
This analytical descriptive study employed normative juridical approach by studying the materials of secondary data obtained through library research. characteristic of this research is descriptive analysis and analysis data conducted in qualitative.
The result of this study showed that the inclusion of the clause on force majeure in a contract agreement is important because the absence of the clause on force majeure in a contract agreement is regarded as negligence that can result in dispute between the parties involved. Since the scope of force majeure is very broad, a condition can be called a force majeure if it meets the elements of force majeure such as an incident which occurs unexpectedly and outside the will, capability and control of the parties involved. There is no bad faith of the parties involved and even, the parties involved have done anything they could do to avoid from the incident that inflicts loss to both or one of the parties involved in the agreement. This incident can delay, inhibit, prevent the implementation of the achievements made by the parties, and this incident influences the implementation of agreement very much. The definition of force majeure applied in the Decision of Indonesian Supreme Court No. 587/PK/Pdt/2010 was based on the different perception about “flood” (whether blood belongs to force majeure or not) in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. Then the Indonesian Supreme Court decided that “flood” stated in the clause on force majeure in the agreement cannot be categorized as force majeure. After being analyzed, it was found out that the “flood” in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. did not meet the elements of force majeure thatthe flood can be predicted / expected.
iii
segala anugerah dan kesempatan yang telah diberikan oleh-Nya mulai dari masa
perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian tesis seperti sekarang ini di
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini diberi judul “ANALISIS KLASULA FORCE MAJEURE
DALAM SUATU PERJANJIAN (STUDI TERHADAP PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NO. 587 PK/PDT/2010)”.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis tidak lupa ingin mengucapkan
terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut di bawah ini. Beliau-beliau
tersebut merupakan panutan dan juga motivasi yang mendukung Penulis dari awal
masa perkuliahan hingga sekarang sampai selesainya tesis ini. Penulis menghaturkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan berharga yang telah
diberikan untuk dapat menyelesaikan studi Strata-II Program Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
iv
arahan yang berarti serta dengan sabar memberikan petunjuk dalam penulisan ini.
4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing Utama
penulis dalam penulisan tesis ini, atas ilmu dan pengajaran serta bimbingan dan
arahan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II penulis
yang banyak memberikan masukan masukan yang berarti untuk penulisan ini,
serta informasi dan tata cara penulisan tesis yang benar.
6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan
juga Dosen Pembimbing III penulis yang telah dengan sabar memberikan
masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta informasi dan tata cara penulisan
tesis yang benar.
7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum, selaku Dosen Penguji penulis yang telah
dengan sabar memberikan masukan yang berarti untuk penulisan ini, serta
informasi dan tata cara penulisan tesis yang benar.
8. Bapak dan Ibu Guru Besar juga segenap Dosen dan staf pengajar Magister
v
Universitas Sumatera Utara yang selalu membantu kelancaran dalam manajemen
administrasi yang diperlukan.
10. Kedua Orang Tua yang sangat saya cintai dan sayangi, Ke Kai Cuan dan Siaw
Hui Tjokroahdymulya serta juga kepada adik yang tersayang, Jennifer.
11. Dokter Fran Efendy yang selalu memberikan semangat bagi penulis.
12. David Lau, Edo Wijaya yang selalu memberikan semangat bagi penulis.
13. Muhammad Yusuf Sihite, SH, MH, atas masukan mengenai penulisan tesis ini
dan Lesly Xaviera SH, MH yang memberikan semangat bagi penulis.
14. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara stambuk 2010-Group A, Group B dan Group C yang telah
berjuang bersama-sama selama ini serta telah memberikan banyak dukungan dan
kerjasamanya selama penulis menjalankan pendidikan. Semoga sukses untuk kita
semua.
15. Dan tidak lupa juga seluruh staf dan pegawai di Fakultas Hukum, Program Pasca
Sarjana Ilmu Hukum, perpustakaan pusat USU, dan juga staf di pusat dokumen
dan informasi hukum atas segala bantuannya.
Tesis yang telah diselesaikan dengan segenap hati dan pemikiran ini tentunya
kekurangan-vi
lagi mengucapkan terima kasih. Semoga tesis ini sedikit banyak juga dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Agustus 2012 Hormat Penulis,
vii
1. Nama : Jeffry
2. Tempat/Tanggal lahir : Medan, 3 Maret 1989
3. Jenis Kelamin : Laki-Laki
4. Status : Belum menikah
5. Agama : Kristen Protestan
6. Alamat : Jalan Wahidin Nomor 81i, Medan.
7. No. Handphone : 0819617303
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Ke Kai Cuan
2. Nama Ibu : Siaw Hui Tjokroahdymulya
3. Nama Adik : Jennifer
III. PENDIDIKAN
1. SD : SD WIYATA DHARMA, Medan (1994-2000)
2. SMP : SMP WIYATA DHARMA, Medan (2000-2003)
3. SMA : SMA WIYATA DHARMA, Medan (2003-2006)
4. Strata I: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2006-2010)
viii
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... . 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 9
1. Kerangka Teori ... 9
2. Kerangka Konsepsi ... 12
G. Metode Penelitian ... 15
1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 16
2. Sumber Data ... 17
3. Teknik Pengumpulan Data ... 18
4. Analisis Data ... 19
H. Sistematika Penulisan ... 20
BAB II PENTINGNYA PENCANTUMAN KLAUSULA FORCE MAJEURE DALAM PERJANJIAN ………....……... 22
A. Pelaksanaan Suatu Perjanjian ... 22
1. Syarat sah perjanjian ... 22
2. Prestasi ... 31
ix
3. Alasan Pentingnya Mencantumkan Klausula
Force Majeuredalam perjanjian ... 57
BAB III SUATU KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE) YANG MEMENUHI KONSEP HUKUM PERDATA DI INDONESIA ... 61
A. Unsur-UnsurForce Majeuredi Indonesia ... 61
B. Ruang lingkupForce Majeuredi Indonesia... 65
C. Akibat dariForce Majeuredi Indonesia ... 72
D. Sistem PembuktianForce Majeuredi Indonesia ... 75
E. Force Majeuredalam sistemCommon Law... 76
BAB IV PENERAPAN MENGENAI FORCE MAJEURE OLEH MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DALAM PUTUSAN MARI NO. 587 PK/PDT/2010 ... 82
A. Kasus Posisi ... 82
B. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung .... 92
C. Analisis Kasus ... 93
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 106
A. Kesimpulan ... 106
B. Saran ... 108
i
apa yang telah diperjanjikan dan apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban untuk melaksanakan apa yang diperjanjikan disebut sebagai prestasi. Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika para pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/wanprestasi. Untuk melepaskan dirinya dari tuntutan membayar ganti rugi, Pihak yang dituduh melakukan wanprestasi dapat memberikan pembelaan di depan hakim. Salah satunya adalah dengan membuktikan telah terjadiforce majeure. Dalam penelitian tesis ini membahas mengenai bagaimana pentingnya mencantumkan klausula force majeure dalam suatu perjanjian, bagaimana suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia dan bagaimana penerapan klausulaforce majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No.587/PK/Pdt/2010.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dan analisis data dilakukan secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencantuman klausula force majeure dalam suatu perjanjian merupakan hal yang penting karena ketiadaan klausulaforce majeuredalam kontrak dianggap sebagai ketidakcermatan dalam pembuatan kontrak yang dapat menyebabkan sengketa diantara para pihak. Dikarenakan ruang lingkup force majeure yang sangat luas, untuk menetapkan suatu keadaan memaksa (force majeure) bisa dilihat dari terpenuhinya unsur-unsur dariforce majeureyaitu peristiwa tersebut merupakan hal yang tidak terduga, di luar kemauan, kemampuan dan kendali para pihak, tidak dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, tidak ada itikad buruk, para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut, menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak, terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak diaksanakannya prestasi para pihak, dan kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. Dalam penerapan batasan force majeure pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 587 Pk/Pdt/2010, ketika terjadi perbedaan persepsi mengenai banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc merupakanforce majeureatau bukan, oleh Mahkamah Agung diputuskan banjir yang terdapat dalam klausulaforce majeure di perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini ketika dianalisis, banjir dalam perkara antara CV.Borco Utama melawan Transenergy Grinding Inc ini memang tidak memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu banjir tersebut dapat diprediksi/ diduga akan terjadi.
ii
agreement, the parties involved in the agreement must perform what has been promised and what has been agreed to be their obligations in the agreement. The obligation to perform what has been promised is called achievement. But, what is always found in implementation of an agreement is that the parties involved do not obey and do what they have promised /breach of contract. To avoid from the claim to pay compensation, the party who is accused of breaching of contract can depend him/herself before the judge. One of the ways used is to prove that there has been a force majeure. The problems discussed in this study were: how important to include the clause of force majeure in an agreement is, how a force majeure meets the concept of civil law in Indonesia, and how the Indonesian Supreme Court applied the clause of force majeure in its Decision No. 587/PK/Pdt/2010.
This analytical descriptive study employed normative juridical approach by studying the materials of secondary data obtained through library research. characteristic of this research is descriptive analysis and analysis data conducted in qualitative.
The result of this study showed that the inclusion of the clause on force majeure in a contract agreement is important because the absence of the clause on force majeure in a contract agreement is regarded as negligence that can result in dispute between the parties involved. Since the scope of force majeure is very broad, a condition can be called a force majeure if it meets the elements of force majeure such as an incident which occurs unexpectedly and outside the will, capability and control of the parties involved. There is no bad faith of the parties involved and even, the parties involved have done anything they could do to avoid from the incident that inflicts loss to both or one of the parties involved in the agreement. This incident can delay, inhibit, prevent the implementation of the achievements made by the parties, and this incident influences the implementation of agreement very much. The definition of force majeure applied in the Decision of Indonesian Supreme Court No. 587/PK/Pdt/2010 was based on the different perception about “flood” (whether blood belongs to force majeure or not) in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. Then the Indonesian Supreme Court decided that “flood” stated in the clause on force majeure in the agreement cannot be categorized as force majeure. After being analyzed, it was found out that the “flood” in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. did not meet the elements of force majeure thatthe flood can be predicted / expected.
1
A. Latar Belakang
Pada zaman modern ini, perkembangan arus globalisasi dunia dan kerjasama
di segala bidang berkembang sangat pesat. Dampak yang dirasakan akibat dari
perkembangan tersebut salah satunya adalah di sektor ekonomi. Arah kebijakan
bidang ekonomi adalah mempercepat pemulihan ekonomi dan mewujudkan landasan
yang lebih kukuh bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan yang diprioritaskan
berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan, dilakukan antara lain melalui pembangunan
dibidang ekonomi.1
Dengan perkembangan yang sangat pesat di sektor ekonomi maka berdampak
pada berkembang pesatnya hukum perjanjian dimana masyarakat semakin banyak
yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan masyarakat lainnya, yang
kemudian menimbulkan berbagai macam perjanjian, diantaranya adalah perjanjian
jual beli, perjanjian sewa menyewa dan sebagainya.
Penyebab tumbuh dan berkembangnya hukum perjanjian adalah karena
pesatnya kegiatan bisnis yang dilakukan dalam masyarakat modern dan pesatnya
transaksi yang dilakukan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Pada dasarnya
1
suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan
diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya
senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi
para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling
mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar
menawar.2
Pada umumnya perjanjian berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba
dipertemukan melalui kesepakatan. Melalui perjanjian perbedaan tersebut diakomodir
dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak.
Dalam perjanjian, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan
tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodir melalui
mekanisme hubungan perikatan yang bekerja secara seimbang.3
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu
kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya
perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum
bagi para pihak yang membuatnya.4 Melalui perjanjian maka terciptalah suatu
hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak
yang membuat perjanjian.
2
Agus Yudha Hernoko,Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal. 1
3Ibid
.
4
Dalam dunia bisnis sangat penting mewujudkan kesepakatan mengenai suatu
transaksi dengan menuangkannya kedalam suatu penjanjian. Banyak manfaat yang
bisa didapatkan dari menuangkan isi kesepakatan ke dalam perjanjian. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari timbulnya masalah baik pada saat pelaksanaan dari
perjanjian tersebut. Sehingga pembuatan suatu perjanjian itu dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum dan kejelasan hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak.
Dalam pelaksanaan suatu perjanjian kadang terjadi permasalahan dimana
salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang disepakati dalam
perjanjian atau disebut juga sebagai wanprestasi. Pihak yang merasa dirugikan dapat
meminta ganti rugi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1243 KUHPerdata yaitu:
"penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya."
Akan tetapi tidak semua tindakan wanprestasi dapat dituntut ganti kerugian,
karena apabila tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak bukan
karena kelalaiannya maka pihak tersebut dapat terbebas dari pembayaran ganti
kerugian. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan 1245 KUHPerdata.
Dalam Pasal 1244 KUHPerdata menyebutkan :
Dan dalam Pasal 1245 KUHPerdata menyebutkan :
"Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang".
Keadaan seperti yang tersebut diatas disebut juga keadaan memaksa (force
majeure). Di dalam suatu perjanjian pada umumnya selalu memasukkan klausula
mengenai force majeure ini agar para pihak mengerti pembatasan antara kelalaian
yang disebabkan oleh para pihak itu sendiri dan kelalaian yang terjadi karena adanya
keadaan yang memaksa. Akan tetapi walaupun telah dimasukkan ke dalam suatu
perjanjian klausula mengenaiforce majeure ini, tetap saja timbul masalah mengenai
sejauh mana dan bagaimana suatu keadaan bisa dimasukkan kedalam keadaan
memaksa (force majeure) seperti yang terjadi dalam perkara antara Transenergy
Grinding, Inc melawan CV.Borco Utama.
Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 587 PK/Pdt/2010 diterangkan bahwa
Transenergy Grinding, Inc yang berkedudukan di Houston, Texas menganggap
CV.Borco Utama yang berkedudukan di Jakarta Selatan tidak mempunyai itikad baik
dalam melaksanakan kewajiban yang tertera dalam perjanjian jual beli batu bara yang
telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, sehingga Transenergy
Grinding, Inc mengalami kerugian yang sangat besar yang disebabkan oleh CV.Borco
Utama sehingga kemudian Transenergy Grinding, Inc mengajukan gugatan perdata
pada tahapan peninjauan kembali yang diajukan oleh CV.Borco Utama kepada
Mahkamah Agung.
CV. Borco Utama sebagai pihak yang dianggap melakukan wanprestasi,
memakai alasanforce majeure yaitu terjadinya banjir sebagai salah satu alasan untuk
melakukan peninjauan kembali sebagai usaha terakhir untuk terlepas dari tanggung
jawabnya dalam membayar ganti kerugian. Mahkamah Agung dalam Putusan No.
587 PK/Pdt/2010 menolak permohonan peninjauan kembali CV.Borco Utama dan
juga mendefenisikan batas ruang lingkup klasulaforce majeure banjir yang berbeda
dengan batas ruang lingkup klasulaforce majeure yang jelas tertera dalam perjanjian
yang telah disepakati kedua belah pihak, dimana menurut Mahkamah Agung, banjir
bukan termasuk sebagai force majeure di dalam perkara ini sehingga gugatan tetap
dimenangkan oleh Transenergy Grinding, Inc.
Meskipun menurut Mahkamah Agung perbedaan persepsi mengenai
pembatasan force majeure dalam kasus ini bukan merupakan alasan untuk
permohonan peninjauan kembali, Kasus ini sangat menarik untuk diteliti karena
menjadi suatu pertanyaan sebenarnya bagaimana batasan dan penerapan suatu
keadaan dapat disebut sebagai keadaan memaksa (force majeure).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dalam bentuk
Tesis dengan judul "Analisis Klausula Force Majeure dalam suatu Perjanjian (Studi
B. Perumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pentingnya pencantuman klausula keadaan memaksa (force
majeure)dalam suatu perjanjian?
2. Bagaimanakah suatu keadaan memaksa (force majeure) yang memenuhi
konsep hukum perdata di Indonesia?
3. Bagaimanakah penerapan klausula keadaan memaksa (force majeure) oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No. 587
PK/Pdt/2010?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk
lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis5. Tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan pentingnya mencantumkan
klausula keadaan memaksa (force majeure)dalam suatu perjanjian.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis suatu keadaan memaksa (force majeure)
yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia.
5
3. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan klausula keadaan memaksa
(force majeure) oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan
MARI No. 587 PK/Pdt/2010.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis, sebagai berikut:
1. Secara teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui dan juga
mengembangkan Ilmu Hukum Kenotariatan pada umumnya, khususnya
hukum perjanjian, serta menambah pengetahuan dan wawasan juga sebagai
referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas
Sumatera Utara Medan, khususnya dalam hal klausula mengenai force
majeuredalam suatu perjanjian.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
kalangan akademisi, praktisi maupun masyarakat umumnya serta dapat
bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan objek pembahasan
sudah pernah dilakukan oleh program S1 Fakultas Hukum Sumatera Utara:
1. Edi Santa Sembiring dengan judul skripsi "Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung
Jawab Perusahaan Apabila Terjadi Keadaan Memaksa (Force Majeure) Pada
Saat Melaksanakan Pekerjaan Pemborongan (PT. Medan Smart Jaya)".
2. Mansur Sidauruk dengan judul skripsi "Analisis Yuridis Tentang Berlakunya
Force MajeureTerhadap Wanprestasi Dalam Kontrak Leasing".
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas
Sumatera Utara umumnya dan perpustakaan Universitas Sumatera Utara, penelitian
yang dilakukan peneliti lebih memfokuskan pada analisis klasula keadaan memaksa
(force majeure) dalam suatu perjanjian berdasarkan studi kasus pada putusan
Mahkamah Agung, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul,
permasalahan serta metode penelitian belum pernah dilakukan oleh peneliti lain,
maka berdasarkan hal tersebut, penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Penulis bertanggung jawab sepenuhnya apabila ternyata dikemudian hari
dapat dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari teori hukum sebagai
landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan
postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga
penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas dalam bahasa
dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.6
M.Solly Lubis menyatakan konsep teori merupakan:
"Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun
permasalahan (problem) yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan,
pegangan teori, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya, ini
merupakan masukan eksternal bagi peneliti".7
Berdasarkan pengertian teori dan kegunaan serta daya kerja teori tersebut di
atas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang Analisis klausula Force
Majeure dalam suatu perjanjian (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 587
PK/PDT/2010), dalam ilmu hukum dikenal adanya 2 (dua) macam ajaran atau teori
yang berkaitan dengan force majeure, yakni ajaran atau Teori Ketidakmungkinan,
dan Teori Ajaran Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori Ketidakmungkinan, dan Teori Ajaran Penghapusan atau Peniadaan
Kesalahan (afwesigheid van schuld) ini dijadikan acuan dalam penelitian ini sebagai
6
W. Friedman,Teori dan Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hal.2.
7
tolak ukur menganalisis klausula force majeure dengan permasalahan yang akan
diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling
sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:8
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;
b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,
membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui
serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan peneliti.
Menurut J.Satrio di dalam Teori Ketidakmungkinan berpendapat bahwa
keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan
prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
1) Ketidakmungkinan dalam keadaan memaksa yang subjektif;
2) Ketidakmungkinan dalam keadaan memaksa yang objektif.9
8
Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal.121.
9
Ajaran keadaan memaksa yang subjektif diartikan bahwa tidak di penuhinya
prestasi oleh debitur sifatnya relatif. Artinya barangkali hanya pihak debitur sendiri
yang tidak dapat memenuhi prestasi, sedangkan bila orang lain yang mengalami
peristiwa dimaksud ada kemungkinan orang tersebut dapat memenuhi prestasinya.
Sehingga untuk ajaran keadaan memaksa yang subjektif atau relatif ini dapat pula
dikatakan sebagai “difficultas”. Pada keadaan memaksa yang subjektif ini, perikatan
atau perjanjian tersebut tidak berarti menjadi batal, akan tetapi hanya berhenti
berlakunya untuk sementara waktu. Apabila keadaan memaksa tersebut sudah tidak
ada, maka perikatan atau perjanjian tersebut berlaku kembali.10Jadi teori subjektif ini
memperhatikan pribadi daripada debitur pada waktu terjadinya overmacht, misalnya
kesehatan, kemampuan keuangan debitur, dan lain-lain.
Teori subjektif yang bersifat relatif disamakan dengan ini Inspanning theory/
teori upaya. Teori Upaya yang dikemukakan oleh Houwing yaitu jika debitur telah
berusaha sebaik mungkin sesuai dengan ukuran yang wajar dalam masyarakat, maka
tidak dipenuhi prestasinya dan ia tidak dapat dipersalahkan.11
Kemudian dalam teori keadaan memaksa yang objektif, debitur baru bisa
mengemukakan adanyaovermachtkalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak
mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya). Disini ketidak mungkinan
berprestasi bersifat absolut, siapun tak bisa. Kalau setiap orang tak bisa, maka hal itu
10
Purwahid Patrik,Hukum Perdata I (Azas-Azas Hukum Perikatan), (Semarang: Seksi Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1986), Hal.21.
11
berarti ketidakmungkinan untuk memberikan prestasi di sini bersifat mutlak
(permanen).12
Teori atau ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan (afwesigheidvan
schuld), berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitur atau
overmachtpeniadaan kesalahan. Sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi
tidak boleh atau bisa dipertanggung jawabkan.13
Teori-teori yang disebutkan diatas dipandang tepat untuk menganalisis
rumusan permasalahan karena tidak ada pengaturan secara umum dalam
perundang-undangan mengenai keadaan memaksa (force majeure) sehingga teori-teori diatas
dijadikan tolak ukur dalam dalam menetapkan suatu keadaan memaksa (force
majeure), yang mana dalam penelitian ini untuk menganalisis bagaimana suatu
peristiwa banjir dapat didefenisikan sebagai keadaan memaksa (force majeure).
2. Kerangka Konsepsi
Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori
dan observasi, antara abstraksi dan relitas.14
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstrak yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
operasional.15Oleh karena itu, kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu
pengarah atau pedoman yang lebih kongkrit dari kerangka teoritis yang seringkali
12
J.Satrio,op.cit, hal.254.
13
M.Yahya Harahap,Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986),hal.84.
14
Masri Singarimbun dkk,Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal.34.
15
bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi
pegangan kongkrit dalam proses penelitian. Jadi jika teori berhadapan dengan sesuatu
hasil kerja yang telah selesai, maka konsepsi masih merupakan permulaan dari
sesuatu karya yang setelah diadakan pengolahan akan dapat menjadikan suatu teori.16
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan
dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menguraikan beberapa konsepsi
dan pengertian dari istilah yang digunakan sebagaimana yang terdapat di bawah ini:
a. Perjanjian
Pengertian perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal17.
Hal ini sesuai dengan pengertian perjanjian yang diatur dalam buku ketiga
tentang perikatan. Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah : suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih.18
b. Klausula
Klausula (clause) dalam suatu perjanjian adalah kalimat atau bagian dari
kalimat yang merupakan bagian dari substansi dokumen hukum tertulis yang
tercantum dalam suatu pasal, atau ketentuan terpisah dari pasal atau ketentuan lain.
16
Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2003), hal.5.
17
R. Subekti,Hukum Perjanjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1980), hal.1.
18
c. Prestasi
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah
“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal
yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu,
pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan
dalam kontrak yang bersangkutan.19
d. Wanprestasi
Wanprestasi, artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan
dalam perikatan atau perjanjian.20
e. Force majeure
Black’s Law Dictionary, 2nd Pocket Edition, defines Force Majeure as “An
event or effect that can be neither anticipated nor controlled. The term includes both
acts of nature (e.g., floods and hurricanes) and acts of people (e.g., riots, strikes, and
wars).”21(Suatu peristiwa yang tidak dapat diantisipasi maupun dikontrol. Termasuk
kejadian alam maupun tindakan manusia).
Force majeure merupakan istilah yang sama dengan overmacht dan juga
keadaan yang memaksa.
f. Kerugian
19
Munir Fuady,Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 87.
20
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan,(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hal.99.
21
Pengertian kerugian adalah penurunan nilai benda atau barang, atau biaya
tambahan yang perlu dikeluarkan, atau kehilangan peluang untuk melakukan sesuatu
aktifitas yang bernilai ekonomis.22
g. Ganti Rugi
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perjanjian,
barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi
perjanjiannya tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya,
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya
(Pasal 1243 KUH Perdata). Dengan demikian pada dasarnya, ganti-kerugian itu
adalah ganti-kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi.23
h. Banjir
Banjir adalah peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan
merendam daratan yang mana diakibatkan oleh volume air di suatu badan air seperti
sungai atau danau yang meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari
batasan alaminya.24
G. Metode Penelitian
Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan
dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna
22
Heni Suhaeni, Kerugian Sosial Pendudukan Kawasan Pemukiman Pantai, diakses dari http://sim.nilim.go.jp/GE/SEMI3/PROSIDING/11-HEN.docpada tanggal 16 Pebruari 2012.
23
Rohma Dijawi, Ketentuan-ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak, Kontrak Bisnis (Perjanjian), diakses dari http://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/ pada tanggal 16 Pebruari 2012.
24
terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau
menjawab problemnya.25
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika
dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala
hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya juga diadakan pelaksanaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atau permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala-gejala yang
bersangkutan.26
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis
normatif yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder
yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan sistematika hukum serta
mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum
lainnya yang relevan dengan perumusan penelitian.27
Sifat penelitian penulisan ini adalah deskriptif analitis. Bersifat deskriptif
maksudnya penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis
tentang permasalahan yang diteliti. Analitis dimaksudkan berdasarkan gambaran
25
Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal.2.
26
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, PenelitianHukum Normatif-suatu tinjauan singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hal.1.
27
fakta yang diperoleh akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab
permasalahan.28
2. Sumber Data
Data yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yang terdiri dari :
1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3) Putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010;
4) Putusan MARI No. 1787K/Pdt/2005
5) Undang-Undang nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo Peraturan
Pemerintah nomor 29 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi;
6) Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
7) Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
8) Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara;
9) Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan;
10) Keppres nomor 80 Tahun 2003, yang telah diubah beberapa kali
berturut-turut dengan Kepres nomor 61 Tahun 2004, Peraturan Presiden nomor 32
28
Tahun 2005, Peraturan Presiden nomor 70 Tahun 2005, Peraturan Presiden
nomor 8 Tahun 2006, Peraturan Presiden nomor. 79 Tahun 2006, Peraturan
Presiden nomor 85 Tahun 2006, dan Peraturan Presiden nomor 95 Tahun
2007 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah;
11) Peraturan Bank Indonesia nomor 8/20/PBI/2006 tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat;
12) Peraturan Bank Indonesia nomor 9/2/PBI/2007 tentang Laporan Harian
Bank Umum;
13) Peraturan Bank Indonesia nomor 10/4/PBI/2008 tentang Laporan
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
oleh Bank Perkreditan Rakyat;
14) Surat Edaran Bank Indonesia nomor 11/21/DKBU tentang Batas Maksimum
Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat;
15) Prinsip UNIDROIT.
b. Bahan Hukum sekunder yang terdiri dari pendapat para ahli yang termuat dalam
literatur, artikel, media cetak maupun media elektronik.
c. Bahan Hukum Tersier terdiri dari kamus hukum, atau ensiklopedia yang
berhubungan dengan materi penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) dan studi
penelitian yang dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan
cara menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat juga sejarah atau latar
belakang pemikiran tentang klasulaforce majeure.
Pemikiran dan gagasan serta konsepsi tersebut dapat diperoleh melalui
peraturan perundang-undangan yang berlaku, literatur dari para pakar yang relevan
dengan objek penelitian ini, artikel yang termuat dalam bentuk jurnal, makalah
ilmiah, ataupun yang termuat dalam data elektronik seperti pada website dan
sebagainya maupun dalam bentuk dokumen atau putusan berkaitan dengan
permasalahan penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode analisis kualitatif.
Metode penelitian kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif,29 yaitu metode
yang lebih menekankan pada pencarian makna sesuai dengan realitas. Metode ini
akan menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan
berupa data deskriptif mengenai subjek yang diteliti.30
Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul, yang kemudian akan dianalisis dengan metode kualitatif sehingga dapat
ditarik kesimpulan dengan cara deduktif dan diharapkan dapat menjawab
permasalahan dalam penelitian ini.
29
Miles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif; Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1992), hal. 15-20.
30
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah selanjutnya adalah
mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.31
Langkah selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut ke
dalam satuan-satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Data
yang dikategorisasikan, kemudian ditafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara
menjadi teori substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dengan menggunakan
logika berpikir deduktif yaitu dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kearah
kesimpulan yang lebih bersifat khusus.
H. Sistematika Penulisan
Bab I merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang segala hal yang
umum dalam sebuah karya tulis ilmiah yang berisikan latar belakang, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, kerangka teori
dan konsepsi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang pentingnya pencantuman klausula force majeure
dalam perjanjian yang terdiri dari pelaksanaan suatu perjanjian, force majeure, dan
alasan pentingnya pencantuman klausulaforce majeuredalam Perjanjian.
Bab III membahas tentang bagaimana suatu keadaan memaksa (force
majeure) yang memenuhi konsep hukum perdata di Indonesia yang terdiri dari
unsur-unsur force majeuredi Indonesia, ruang lingkup force majeure di Indonesia, sistem
31
pembuktian force majeure di Indonesia, dan force majeure dalam sistem common
law.
Bab IV membahas tentang penerapan force majeure oleh Mahkamah Agung
Republik Indonesia dalam perkara dengan putusan MARI No. 587 PK/Pdt/2010 yang
terdiri dari kasus posisi, pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung, dan analisis
kasus.
Bab V merupakan bab yang membahas mengenai kesimpulan dan saran.
Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dari seluruh penulisan yang telah
diuraikan dalam bab-bab sebelumnya sekaligus memberikan saran-saran terhadap
22
A. Pelaksanaan Suatu Perjanjian. 1. Syarat sah perjanjian
Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:32
a. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai
subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang
menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan
hubungan hukum.
Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum
tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya
harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai
kepentingan sendiri, ada organisasi33;
b. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam
membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan
tawar-menawar diantara mereka;
32
Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, (Jakarta: Sarana Bhakti Persada, 2005), Hal 5-6.
33
c. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh
pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya,
para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;
d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling
berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi,
bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya;
e. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan
ketentuan yang ada;
f. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat
tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu
perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Agar suatu perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mempunyai arti bahwa para pihak
masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak tanpa adanya paksaan, kekeliruan, dan
penipuan.34
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat
barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak
lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut;
adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal
1324 BW); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga
adanya tipu muslihat (Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar
“sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.35
Sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, di mana
kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.36
Menurut Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance), bahwa pada
prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran (offer)
dari salah satu pihak dan dikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak
lain dalam kontrak tersebut.37
b. Cakap untuk membuat perikatan;
34
Ridhuan Syahrani,Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), Hal. 214.
35
SieInfokum - Ditama Binbangkum, Perjanjian, diakses dari http://www.jdih.bpk.go.id /informasihukum/Perjanjian.pdf, pada tanggal 10 Pebruari 2012.
36
J. Satrio,Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), Hal. 165.
37
Membuat suatu perjanjian adalah melakukan suatu hubungan hukum. Yang
dapat melakukan suatu hubungan hukum adalah pendukung hak dan kewajiban, baik
orang atau badan hukum, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika yang
membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, badan hukum tersebut harus
memenuhi syarat sebagai badan hukum yang sah. Suatu badan, perkumpulan, atau
badan usaha dapat berstatus sebagai badan hukum bila telah memenuhi beberapa
syarat, yaitu:38
1) Syarat materiil (menurut doktrin)
a) Harta kekayaan yang terpisah, dipisahkan dari kekayaan anggotanya.
b) Tujuan tertentu (bisa idiil/komersial)
c) Punya hak/kewajiban sendiri, dapat menuntut/dituntut
d) Punya organisasi yang teratur, tercermin dari Anggaran Dasar/ Anggaran
Rumah Tangga.
2) Syarat Formal
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sehubungan dengan permohonan untuk
mendapatkan status sebagai badan hukum biasanya diatur dalam peraturan
yang mengatur tentang badan hukum yang bersangkutan. Misalnya
pengesahan perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum diatur dalam
Undang-Undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
pengesahan yayasan sebagai badan hukum diatur dalam Undang-Undang
38
nomor 16 tahun 2001 Jo Undang-Undang nomor 28 tahun 2004 tentang
Yayasan, dimana agar perseroan terbatas dan yayasan dapat berstatus sebagai
badan hukum yang sah, akta pendirian perseroan terbatas dan yayasan yang
telah dibuat oleh notaris harus mendapat pengesahan dari menteri.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat tersebut di atas, barulah badan hukum itu
dapat disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban atau sebagai subyek hukum yang
dapat melakukan hubungan hukum.39
Apabila yang membuat perjanjian adalah orang, dia harus cakap menurut
hukum. Pasal 1330 BW menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan :
1) Orang-orang yang belum dewasa;
Ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut memberikan
arti yang luas mengenai kecakapan bertindak dalam hukum, yaitu bahwa:40
a) seorang baru dikatakan dewasa jika ia:
(1) telah berumur 21 tahun; atau
(2) telah menikah;
Hal kedua membawa konsekuensi hukum bahwa seorang anak yang
sudah menikah tetapi kemudian perkawinannya dibubarkan sebelum ia
genap berusia 21 tahun tetap dianggap telah dewasa.
39
Mohd.Syaufii Syamsuddin,op.cit,Hal 13.
40
b) anak yang belum dewasa, dalam setiap tindakannya dalam hukum diwakili
oleh:
(1) orang tuanya, dalam hal anak tersebut masih berada di bawah kekuasaan
orang tua (yaitu ayah dan ibu secara bersama-sama);
(2) walinya, jika anak tersebut sudah tidak lagi berada di bawah kekuasaan
orang tuanya (artinya hanya ada salah satu dari orang tuanya saja).
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang
dewasa yang selalu berada dalam keadaan kurang akal, sakit ingatan atau boros.
Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu
menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk
mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang berada di bawah pengampuan
mengadakan perjanjian, yang mewakilinya adalah orang tuanya atau
pengampunya (Pasal 433 KUHPerdata).41
Orang yang dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas
dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan.
Kedudukannya, sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang
anak belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang
dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu
atau kuratornya.42
41
Mohd.Syaufii Syamsuddin,op.cit,Hal 16.
42
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah
Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September
1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.
Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya, kecuali ada hak suami yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang
akan dilakukan seperti menjual rumah yang didapat setelah perkawinan, dan
lain-lain. Akibat dari perjanjian yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalah batal
demi hukum (Pasal 1446 BW).43
c. Suatu hal tertentu;
Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu
hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak
jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling
sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di
tangannya si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh
undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung
atau ditetapkan.44
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka
perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang-barang
43
SieInfokum - Ditama Binbangkum, loc.cit.
44
yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan
Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.45
d. Suatu sebab atau causa yang halal;
Menurut Undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh
Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, ketentuan ini disebutkan pada
Pasal 1337 KUH Perdata. Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causa yang
tidak halal, misalnya jual beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum.46
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.47
Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam:48
1) dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian
(unsur subyektif), dan;
2). dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian
(unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para
pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.
45
SieInfokum - Ditama Binbangkum,loc.cit.
46
Abdulkadir Muhammad,Hukum Perikatan,(Citra Adtya Bakti: Bandung,1992), Hal 95.
47
SieInfokum - Ditama Binbangkum,loc.cit.
48
Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan
obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati
untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan
menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan
kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap
unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur
obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak
dapat dipaksakan pelaksanaannya49.
Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan
artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap
mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan
pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang
memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Sedangkan batal demi hukum artinya
adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan.50
49Ibid
, Hal 94.
50
2. Prestasi
Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa
yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian
tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.51
Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal
1338 ayat 3 KUHPerdata). Di dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai
dua pengertian yaitu:52
a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal
1339 KUHPerdata).53
Prestasi dapat berwujud sebagai :54
51
Ahmadi Miru,Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal 67.
52
M. Hariyanto, Asas-asas perjanjian, diakses dari http://blogmhariyanto.blogspot.com/ 2009/07/asas-asas-perjanjian.html, pada tanggal 16 juli 2012
53
Djaja S. Meliala,op.cit,hal 98.
54
a. Benda
Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan
tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya
Sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh
pihak-pihak yang menjual tenaga atau keahliannya.
Contoh dari penyerahan hak milik adalah jual-beli mobil, dimana setelah salah
satu pihak membayar harga yang disepakati untuk mobil tersebut, pihak yang lain
harus menyerahkan mobil dan mobil tersebut menjadi milik seutuhnya dari pihak
yang telah melakukan pembayaran sedangkan contoh penyerahan kenikmatan adalah
sewa menyewa rumah dimana yang diberikan hanya kenikmatan dari rumah tersebut
yang setelah berakhir perjanjiannya, rumah tersebut harus dikembalikan kepada
pemiliknya.
Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila
benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda
tersebut berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat barangnya
sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”.
Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia
dapat dituntut ganti rugi apalagi kalau ia lalai menyerahkannya.
b. Tenaga atau keahlian
Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini
terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti
sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh
orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut.
Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda.
Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi berupa tenaga adalah kalau seorang
yang disuruh memindahkan tumpukan pasir dari pinggir jalan ke dalam pekarangan
seseorang, siapa pun yang mengangkat pasir tersebut, hasilnya pasir tersebut akan
berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh.
Sementara itu, contoh suatu kontrak yang prestasinya berupa keahlian, adalah
kalau seorang yang meminta pelukis untuk melukis wajahnya si pelukis tidak begitu
saja dapat meminta orang lain untuk melukis wajah orang tersebut karena
kemungkinan orang yang diminta menggantikannya tidak memiliki keahlian yang
sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, kemungkinan lukisan wajah tersebut
tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya.
c. Tidak berbuat sesuatu
Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak
karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan.
Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat:55
a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan,
dan Undang-undang;
b. Harus tertentu atau dapat ditentukan;
55
c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.
Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah
ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan/ wanprestasi.
3. Wanprestasi
Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan
dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si
berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang
pendek.56 Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan sebagai
berikut :
“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“.
Kata “perintah“ (bevel) dalam Pasal 1238 diatas mengandung suatu peringatan
dan karenanya“bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana
dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan
debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban
prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak
yang dalam perikatan mempunyai hak (-tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang
bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun
demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan–
56
bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban
perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan
agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat
teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“.57
Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang
dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini
berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam
gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan
wanprestasi.58
Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan
tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada
pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad
baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara
dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat
beritikad buruk).59
Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah
ditentukan, maka Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya
waktu yang ditentukan.
57
J. Satrio,Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I),diakses dari http://www.hukum online.com/ berita/ baca/ lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j-satrio-, pada tanggal 16 juli 2012`
58
PNH Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta : Djambata, 1999), Hal.340.
59Somasi atau Teguran