• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika Penulisan

Dalam dokumen Pembentukan Keputusan Gubernur Jambi Ber (Halaman 33-47)

JAMBI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ”.

H. Sistematika Penulisan

Setelah penulis menjelaskan masalah yang telah disebutkan terdahulu, maka untuk lebih lengkap dan jelasnya penulisan skripsi ini, penulis juga menjelaskan sistematika penelitian.

Tulisan ini terdiri dari empat bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dan masing-masing mempunyai keterkaitan satu sama lain. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai pembahasan skripsi ini, akan dikemukakan sistematikanya sebagai berikut:

Bab I, Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, mafaat penelitian, Landasan konsepsional, landasan teoritis, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini merupakan bab permasalahan yang akan dikaji pada bab pembahasan dengan menggunakan teori-teori yang tertulis didalam landasan teoritis.

Bab II, Bab ini merupakan tinjauan umum sebagai landasan dalam melakukan analisis atas permasalahan yang terdiri dari makna produk hukum Daerah, Hielarki produk hukum Daerah, dan bentuk Keputusan Gubernur.

Bab III, Bab ini adalah bab pembahasan yang terdiri dari:

1. Kewenangan dalam tahap pembentukan dan pengkoreksian Keputusan

Gubernur Jambi.

2. Prosedur pembentukan Surat Keputusan Gubernur Jambi.

Bab IV, Bab ini merupakan bab penutup yang meberikan dan menggambarkan kesimpulan dari masalah yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya dan disertai dengan beberapa saran.

Produk hukum daerah atau disingkat dengan PHD adalah salah satu bagian perundang-undangan positif di negara Indonesia. Namun, produk hukum daerah hanya berlaku bagi di daerahnya dimana produk hukum tersebut di tetapkan. Untuk memahami makna produk hukum daerah, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan makna dari peraturan perundang-undangan.

Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud, peraturan adalah hukum yang in

abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan

tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general). 36 Istilah

perundang-undangan (legislation atau gesetzgebung) mempunyai 2 (dua)

pengertian yang berbeda, yaitu:

1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses

membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan

2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang merupakan

hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat

maupun di tingkat daerah.37

Senada dengan yang di sampaikan oleh SF. Marbun dan Moh. Mahfud. Satjipto Rahardjo menyebutkan peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

36Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 129.

1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

2. Bersivat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa

yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

3. Ia memiliki kekuatan untuk mengkoreksi dan memperbaiki dirinya

sendiri. Adalah lazim bagi suatu perundang-undangan mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan

kembali.38

Pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum pada

Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 bahwa “Peraturan perundang-undangan

adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui

prosedur yang ditetapkan didalam peraaturan perundang-undangan”.

Selanjutnya, dijelaskan oleh Bagir Manan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang

mempunyai (manajemen) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.39

Dengan pengertian yang lebih luas dibandingkan Bagir Manan, Reed

Dickerson mengemukakan peraturan perundang-undangan adalah: “... aturan-

aturan tingkah laku yang mengikat secara umum dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan”.40

Dalam kontek pembentukan hukum nasional, A. Hamid Attamimi menggaris bawahi 3 (tiga) fungsi utama ilmu perundang-undangan, yaitu:

38Ridwan HR, Op.Cit, hal. 130. 39Yuliandri, Op.Cit., hal. 38. 40Aziz Syamsuddin, Op.Cit., hal. 34.

1. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang senantiasa berkembang;

2. Untuk menjembatani lingkup hukumm adat dengan hukum yang tidak

tertulis lainnya; atau

3. Untuk memenuhi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis bagi

masyarakat.41

Profesor Maria Farida Indrati (1998) mengemukakan dua pendapat ahli yang selama ini berkecimpung dalam bidang pembentukan peraturan perundang- undangan, yaitu pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S.

Attamimi.42

I.C. Van Der Vlis membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut kedalam asas formal dan asas material. Asas formal yang dimaksud Van Der Vlies meliputi:

1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);

2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);

3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);

4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);

5. Asas konsensus (het beginsel van consesus).

Sedangkan asas material, menurut Vlies meliputi:

1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van

duidelijke systematiek);

2. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);

3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het

rechtsgelijkheidsbeginsel);

4. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheidsbeginsel); dan

5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van

de individuele rechtbedeling).43

41Ibid., hal. 19. 42Ibid., hal. 34. 43Ibid.

Pada dasarnya, pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi mempunyai kesamaan dalam kontek azas formal. Namun Hamid

Attamimi medambahkan dua azas yang berbeda yaitu “azasnya dapat dikenali dan

azas materi muatan yang tepat.”44 Akan tetapi, asas-asas material pembentuak

undang-undang, “Attamimi menggaris bawahi, sepatutnya memenuhi beberapa

penyesuaian antara lain:

1. Asas harus sesuai dengan cita hukum dan fundamental negara;

2. Asas harus sesuai dengan hukum dasar negara;

3. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas

hukum; dan

4. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan

sistem konstitusi.45

Merujuk dari azas-azas yang dikemukakan oleh I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi. Aziz Syamsuddin menambahkan satu azas yang tidak boleh ditinggalkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia menyebutkan bahwa“Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi”.46

Dalam membentuk peraturan perundang-undangan legal drafter harus

sunggguh-sungguh memperhatikan asas pembentukan peraturan perundang- undangan. Legal drafting adalah pengonsepan atau hukum perancangan yang

44Ibid., hal.35. 45Ibid. 46Ibid., hal. 30

berarti “cara penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan sesuai

tuntutan teori, asas dan kaedah perancangan peraturan perundang-undangan”.47

Dalam amanat di dalamBab II tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dirumuskan bahwa pembentuakn peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

1. Kejelasan tujuan

2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat

3. Kesuain antar jenis, hielarki, dan materi muatan.

4. Dapat dilaksanakan.

5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan

6. Kejelasan rumusan

7. Keterbukaan

Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 juga dirumuskan asas-asas yang harus tercermin dalam muatan peraturan perundang-undangan, yakni sebagai berikut: 1. Asas pengayoman 2. Asas kemanusiaan 3. Asas kebangsaan 4. Asass kekeluargaaan 5. Asas kenusantaraan

6. Asas bhinneka tugal ika

7. Asas keadilan

8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

9. Asas ketertiban dan kepastian hukum

10.Asas keseimbaan, keserasian, dan keselarasan.

Sesuai dengan apa yang disebutkan sebelumnya, ada salah satu asas yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu

47Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrullah, Legal Drafting, PT. Perca, Jakarta, 2007, hal. 20.

Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Ini artinya adanya suatu konsekuensi suatu hielarki perundang-undangan

Bagir Manan menyimpulkan secara lebih konkrit bahwa peraturan perundang-undangan mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan

baik dibuat pada tingkat pusat pemerintahan negara maupun di tingkat daerah.48

Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan poin-poin penting yang disampaikan oleh Bagir Manan, yaitu:

1. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan negara di

tingkat pusat; dan

2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan negara di

tingkat daerah.

Dari yang disebutkan oleh Bagir Manan di atas, dapat di kaitan dengan asas yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Ini artinya peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah negara di tingkat daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang yang dibuat oleh pemerintahan negara di tingkat pusat.

Menurut H. Abdul Latief, produk hukum daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah

satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-

undangan daerah.49Tujuan dibentuknya produk hukum daerah yaitu agar lebih

tercapai koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam penyiapan rancangan Produk hukum daerah dan efektifitas proses pengharmonisasian dalam rancangan yang baik dan berkualitas.

Di dalam pembentukan produk hukum daerah, ada beberapa landasan yang

sangat penting untuk dipahami. Menurut Abdul Latief, “ada 3 (tiga) dasar agar

hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis”.50Ada tiga poin pokok landasan yang disebutkan oleh

Abdul Latief didalam bukunya, yang pertama adalah Landasan Filosofis.

Mengingat kata-kata yang disampaikan oleh filsuf Romawi terkenal yaitu Marcus Tullius Cicerito yang menyampaikan “Dimana ada masyarakat, disitu ada hukum

(Ubi Societas Ibi Ius)”.51 Pada saat masyarakat berada disuatu tempat, maka ketika itu juga hukum dibutuhkan disana.

Fisafat atau pemahaman hidup masyarakat didalam suatu bangsa tidak luput dengan nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Menurut Supardan Modeong yang diungkapkan didalam bukunya bahwa “moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-

49Ibid., hal. 58

50Abdul Latief, Op. Cit., hal. 54.

51Supardan Modeong, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Perca, Jakarta, 2007, hal. 58.

cita yang dijujung tinggi. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan

dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik”.52

Selain dari pendapat yang dikemukakan diatas, Menurut Rosidi Rangga Wijaya bahwa“penerapan hukum yang dibentuk tanpa memperhatikan tata nilai yang merupakan moral bangsa akan sia-sia, karena pasti tidak akan ditaati. Semua nilai yang menjadi acuan dalam masyarakat terakumulasi dalam Pancasila, karena Pancasila adalah pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah atau jalan hidup (way of life) bangsa, dan banyak lagi sebutan lainnya”.53

Selanjutnya yang kedua adalah landasan sosiologis. Menurut Amiroedin

Syarif “suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kebutuhan, keyakinan, dan kesadaran hukum masyarakat”54 dalam hal ini bermakna bahwa peraturan

perundang-undangan yang dibentuk harus dimengerti oleh masyarakat sesuai dengan gambaran hidup masyarakat yang berkaitan.

Landasan yang terakhir atau yang ketiga adalah landasan yuridis.

Landasan yuridis atau landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi

landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah peraturan atau sederajat peraturan perundangan undangan yang lebih tinggi dan menjadi

dasar kewengan (bevogheid competentie).55

52Ibid.

53Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 60. 54Ibid.

Mengutip pendapat dari Bagir Mana, mengemukakan bahwa “dasar yuridis sangat lah penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menunjukkan:

1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-

undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.

2. Keharusan ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-

undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.

3. Keharusan harus mengikuti tata cara tertentu. Apa bila tata cara

tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.

4. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang- undangan tingkat lebih bawah.”56

Dari beberapa landasan yang disebutkan di atas, landasan yuridis adalah menjadi catatan penting yang harus dipertimbangkan di dalam pembentukan produk hukum daerah. karena, tanpa adanya kewenangan dan pengaturan yang diamanatkan di dalam peraturan yang lebih tinggi produk hukum daerah tidak dapat disahkan.

Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas

dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan

pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertuli. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.

Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan

atas aturan atau rules and procedures (regels).57

Produk hukum daerah pada hakikatnya meliputi semua peraturan yang dibuat oleh lembaga pemerintah yang ada baik dalam meliputi provinsi,

kabupaten dan kota, maupun desa.58Materi muatan produk hukum daerah meliputi

keseluruhan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantu dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih

lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.59

Dasar pembentukan produk hukum daerah terdapat pada Pasal 18 ayat (6) Amandemen ke 2 (dua) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah”. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah ada 3 (tiga) macam produk hukum yang utama yang dapat dihasilkan oleh suatu daerah,

yaitu:Peraturan Daerah (PERDA); dan Peraturan Kepala Daerah

(PERKADA)/Keputusan Kepala Daerah.60

Dari yang tersebut sebelumnya, dapat dijelaskan pertama, Peraturan

Daerah atau disingkat dengan PERDA. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. hal ini tersirat didalam Pasal 5 ayat (1) bahwa “presiden berhak mengajukan rancangan

57Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 128.

58Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 76.

59Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrullah, Op.Cit., hal. 23.

60

undang-undang kepada DPR”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa peraturan daerah itu semacam undang-undang (pada tingkat daerah).

Meskipun undang-undang menyebutkan bahwa kepala daerah menetapkan peraturan daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, tidak berarti semua kewenangan membuat peraturan daerah ada pada kepala daerah. namun, DPRD juga memiliki kekuasaan yang juga menentukan dalam pembentukan peraturan daerah. DPRD dilengkapi dengan hak-hak inisiatif dan hak mengadakan perubahan. Bahka persetujuan itu sendiri mengandung kewenangan menentukan (dicicive).Tanpa persetujuan DPRD tidak akan ada peraturan daerah.61

Kewenangan membuat peraturan daerah merupakan wujud nyata dari pelaksanaan hak otonomi dari suatu daerah dan sebaliknya peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi darah. Peraturan daerah hanya ditandatangani oleh kepala daerah dan tidaak ditandatangani oleh

pimpinan DPRD.62

Perda yang dibentuk oleh suatu daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat setalah di undangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah. Rozalli Abdullah juga berpandangan bahwa perda yang baik itu

61Abdul Latief, Op.Cit., hal. 59 62Rozali Abdullah, Op.Cit.,

adalah yang memuat ketentuan memihak kepada kepantingan rakyat banyak,

menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan berwawasan lingkungan dan budaya.63

Kedua Peraturan Kepala Daerah/keputusan kepala daerah. Kepala daerah

mempunyai kewenangan membuat ketetapan (beschikking) dan peraturan

kebijaksanaan (beleidregels atau pseudowetgeving) seperti membuat jutlak dan

juknis, contohnya “Peraturan Gubernur Jambi Nomor 28 Tahun 2011 tentang Tata

Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jambi.64

Dari penjelasan di atas, maka dapat di bedakan bahwa peraturan kepala daerah adalah suatu peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang bersifat

pengaturan (regeling). Sedangkan keputusan kepala daerah adalah suatu peraturan

perundang-undangan di tingkat daerah yang bersifat penetapan (beschikking).

Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan daerah yang bersangkutan, peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dalam rangka menjalankan tugas wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah

(pimpinan eksekutif daerah).65 Sama halnya dengan PERDA, peraturan kepala

daerah dan keputusan kepala daerah juga tidak boleh bertentangan dengan

kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.66

63Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otononomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah

Secara Lansung, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 132. 64Abdul Latief, Op.Cit., hal. 62.

65Ibid.

Dalam dokumen Pembentukan Keputusan Gubernur Jambi Ber (Halaman 33-47)

Dokumen terkait