JAMBI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ”.
H. Sistematika Penulisan
Setelah penulis menjelaskan masalah yang telah disebutkan terdahulu, maka untuk lebih lengkap dan jelasnya penulisan skripsi ini, penulis juga menjelaskan sistematika penelitian.
Tulisan ini terdiri dari empat bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dan masing-masing mempunyai keterkaitan satu sama lain. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai pembahasan skripsi ini, akan dikemukakan sistematikanya sebagai berikut:
Bab I, Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, mafaat penelitian, Landasan konsepsional, landasan teoritis, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini merupakan bab permasalahan yang akan dikaji pada bab pembahasan dengan menggunakan teori-teori yang tertulis didalam landasan teoritis.
Bab II, Bab ini merupakan tinjauan umum sebagai landasan dalam melakukan analisis atas permasalahan yang terdiri dari makna produk hukum Daerah, Hielarki produk hukum Daerah, dan bentuk Keputusan Gubernur.
Bab III, Bab ini adalah bab pembahasan yang terdiri dari:
1. Kewenangan dalam tahap pembentukan dan pengkoreksian Keputusan
Gubernur Jambi.
2. Prosedur pembentukan Surat Keputusan Gubernur Jambi.
Bab IV, Bab ini merupakan bab penutup yang meberikan dan menggambarkan kesimpulan dari masalah yang telah penulis uraikan pada bab-bab sebelumnya dan disertai dengan beberapa saran.
Produk hukum daerah atau disingkat dengan PHD adalah salah satu bagian perundang-undangan positif di negara Indonesia. Namun, produk hukum daerah hanya berlaku bagi di daerahnya dimana produk hukum tersebut di tetapkan. Untuk memahami makna produk hukum daerah, maka terlebih dahulu penulis akan memaparkan makna dari peraturan perundang-undangan.
Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud, peraturan adalah hukum yang in
abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan
tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general). 36 Istilah
perundang-undangan (legislation atau gesetzgebung) mempunyai 2 (dua)
pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses
membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan
2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang merupakan
hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.37
Senada dengan yang di sampaikan oleh SF. Marbun dan Moh. Mahfud. Satjipto Rahardjo menyebutkan peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
36Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 129.
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersivat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa
yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengkoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu perundang-undangan mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan
kembali.38
Pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum pada
Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 bahwa “Peraturan perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan didalam peraaturan perundang-undangan”.
Selanjutnya, dijelaskan oleh Bagir Manan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang
mempunyai (manajemen) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.39
Dengan pengertian yang lebih luas dibandingkan Bagir Manan, Reed
Dickerson mengemukakan peraturan perundang-undangan adalah: “... aturan-
aturan tingkah laku yang mengikat secara umum dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan”.40
Dalam kontek pembentukan hukum nasional, A. Hamid Attamimi menggaris bawahi 3 (tiga) fungsi utama ilmu perundang-undangan, yaitu:
38Ridwan HR, Op.Cit, hal. 130. 39Yuliandri, Op.Cit., hal. 38. 40Aziz Syamsuddin, Op.Cit., hal. 34.
1. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang senantiasa berkembang;
2. Untuk menjembatani lingkup hukumm adat dengan hukum yang tidak
tertulis lainnya; atau
3. Untuk memenuhi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis bagi
masyarakat.41
Profesor Maria Farida Indrati (1998) mengemukakan dua pendapat ahli yang selama ini berkecimpung dalam bidang pembentukan peraturan perundang- undangan, yaitu pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S.
Attamimi.42
I.C. Van Der Vlis membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut kedalam asas formal dan asas material. Asas formal yang dimaksud Van Der Vlies meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consesus).
Sedangkan asas material, menurut Vlies meliputi:
1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke systematiek);
2. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheidsbeginsel); dan
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van
de individuele rechtbedeling).43
41Ibid., hal. 19. 42Ibid., hal. 34. 43Ibid.
Pada dasarnya, pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi mempunyai kesamaan dalam kontek azas formal. Namun Hamid
Attamimi medambahkan dua azas yang berbeda yaitu “azasnya dapat dikenali dan
azas materi muatan yang tepat.”44 Akan tetapi, asas-asas material pembentuak
undang-undang, “Attamimi menggaris bawahi, sepatutnya memenuhi beberapa
penyesuaian antara lain:
1. Asas harus sesuai dengan cita hukum dan fundamental negara;
2. Asas harus sesuai dengan hukum dasar negara;
3. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas
hukum; dan
4. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan
sistem konstitusi.45
Merujuk dari azas-azas yang dikemukakan oleh I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S. Attamimi. Aziz Syamsuddin menambahkan satu azas yang tidak boleh ditinggalkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia menyebutkan bahwa“Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi”.46
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan legal drafter harus
sunggguh-sungguh memperhatikan asas pembentukan peraturan perundang- undangan. Legal drafting adalah pengonsepan atau hukum perancangan yang
44Ibid., hal.35. 45Ibid. 46Ibid., hal. 30
berarti “cara penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan sesuai
tuntutan teori, asas dan kaedah perancangan peraturan perundang-undangan”.47
Dalam amanat di dalamBab II tentang asas pembentukan peraturan perundang-undangan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dirumuskan bahwa pembentuakn peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1. Kejelasan tujuan
2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
3. Kesuain antar jenis, hielarki, dan materi muatan.
4. Dapat dilaksanakan.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
6. Kejelasan rumusan
7. Keterbukaan
Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 juga dirumuskan asas-asas yang harus tercermin dalam muatan peraturan perundang-undangan, yakni sebagai berikut: 1. Asas pengayoman 2. Asas kemanusiaan 3. Asas kebangsaan 4. Asass kekeluargaaan 5. Asas kenusantaraan
6. Asas bhinneka tugal ika
7. Asas keadilan
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum
10.Asas keseimbaan, keserasian, dan keselarasan.
Sesuai dengan apa yang disebutkan sebelumnya, ada salah satu asas yang sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu
47Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrullah, Legal Drafting, PT. Perca, Jakarta, 2007, hal. 20.
Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Ini artinya adanya suatu konsekuensi suatu hielarki perundang-undangan
Bagir Manan menyimpulkan secara lebih konkrit bahwa peraturan perundang-undangan mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan
baik dibuat pada tingkat pusat pemerintahan negara maupun di tingkat daerah.48
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan poin-poin penting yang disampaikan oleh Bagir Manan, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan negara di
tingkat pusat; dan
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan negara di
tingkat daerah.
Dari yang disebutkan oleh Bagir Manan di atas, dapat di kaitan dengan asas yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Ini artinya peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah negara di tingkat daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang yang dibuat oleh pemerintahan negara di tingkat pusat.
Menurut H. Abdul Latief, produk hukum daerah diartikan sebagai peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah
satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-
undangan daerah.49Tujuan dibentuknya produk hukum daerah yaitu agar lebih
tercapai koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam penyiapan rancangan Produk hukum daerah dan efektifitas proses pengharmonisasian dalam rancangan yang baik dan berkualitas.
Di dalam pembentukan produk hukum daerah, ada beberapa landasan yang
sangat penting untuk dipahami. Menurut Abdul Latief, “ada 3 (tiga) dasar agar
hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis”.50Ada tiga poin pokok landasan yang disebutkan oleh
Abdul Latief didalam bukunya, yang pertama adalah Landasan Filosofis.
Mengingat kata-kata yang disampaikan oleh filsuf Romawi terkenal yaitu Marcus Tullius Cicerito yang menyampaikan “Dimana ada masyarakat, disitu ada hukum
(Ubi Societas Ibi Ius)”.51 Pada saat masyarakat berada disuatu tempat, maka ketika itu juga hukum dibutuhkan disana.
Fisafat atau pemahaman hidup masyarakat didalam suatu bangsa tidak luput dengan nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Menurut Supardan Modeong yang diungkapkan didalam bukunya bahwa “moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-
49Ibid., hal. 58
50Abdul Latief, Op. Cit., hal. 54.
51Supardan Modeong, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Perca, Jakarta, 2007, hal. 58.
cita yang dijujung tinggi. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan
dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik”.52
Selain dari pendapat yang dikemukakan diatas, Menurut Rosidi Rangga Wijaya bahwa“penerapan hukum yang dibentuk tanpa memperhatikan tata nilai yang merupakan moral bangsa akan sia-sia, karena pasti tidak akan ditaati. Semua nilai yang menjadi acuan dalam masyarakat terakumulasi dalam Pancasila, karena Pancasila adalah pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah atau jalan hidup (way of life) bangsa, dan banyak lagi sebutan lainnya”.53
Selanjutnya yang kedua adalah landasan sosiologis. Menurut Amiroedin
Syarif “suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kebutuhan, keyakinan, dan kesadaran hukum masyarakat”54 dalam hal ini bermakna bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk harus dimengerti oleh masyarakat sesuai dengan gambaran hidup masyarakat yang berkaitan.
Landasan yang terakhir atau yang ketiga adalah landasan yuridis.
Landasan yuridis atau landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi
landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah peraturan atau sederajat peraturan perundangan undangan yang lebih tinggi dan menjadi
dasar kewengan (bevogheid competentie).55
52Ibid.
53Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 60. 54Ibid.
Mengutip pendapat dari Bagir Mana, mengemukakan bahwa “dasar yuridis sangat lah penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan karena akan menunjukkan:
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-
undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2. Keharusan ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
3. Keharusan harus mengikuti tata cara tertentu. Apa bila tata cara
tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang- undangan tingkat lebih bawah.”56
Dari beberapa landasan yang disebutkan di atas, landasan yuridis adalah menjadi catatan penting yang harus dipertimbangkan di dalam pembentukan produk hukum daerah. karena, tanpa adanya kewenangan dan pengaturan yang diamanatkan di dalam peraturan yang lebih tinggi produk hukum daerah tidak dapat disahkan.
Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertuli. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan
atas aturan atau rules and procedures (regels).57
Produk hukum daerah pada hakikatnya meliputi semua peraturan yang dibuat oleh lembaga pemerintah yang ada baik dalam meliputi provinsi,
kabupaten dan kota, maupun desa.58Materi muatan produk hukum daerah meliputi
keseluruhan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantu dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.59
Dasar pembentukan produk hukum daerah terdapat pada Pasal 18 ayat (6) Amandemen ke 2 (dua) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah”. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah ada 3 (tiga) macam produk hukum yang utama yang dapat dihasilkan oleh suatu daerah,
yaitu:Peraturan Daerah (PERDA); dan Peraturan Kepala Daerah
(PERKADA)/Keputusan Kepala Daerah.60
Dari yang tersebut sebelumnya, dapat dijelaskan pertama, Peraturan
Daerah atau disingkat dengan PERDA. Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. hal ini tersirat didalam Pasal 5 ayat (1) bahwa “presiden berhak mengajukan rancangan
57Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 128.
58Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 76.
59Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrullah, Op.Cit., hal. 23.
60
undang-undang kepada DPR”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa peraturan daerah itu semacam undang-undang (pada tingkat daerah).
Meskipun undang-undang menyebutkan bahwa kepala daerah menetapkan peraturan daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, tidak berarti semua kewenangan membuat peraturan daerah ada pada kepala daerah. namun, DPRD juga memiliki kekuasaan yang juga menentukan dalam pembentukan peraturan daerah. DPRD dilengkapi dengan hak-hak inisiatif dan hak mengadakan perubahan. Bahka persetujuan itu sendiri mengandung kewenangan menentukan (dicicive).Tanpa persetujuan DPRD tidak akan ada peraturan daerah.61
Kewenangan membuat peraturan daerah merupakan wujud nyata dari pelaksanaan hak otonomi dari suatu daerah dan sebaliknya peraturan daerah merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi darah. Peraturan daerah hanya ditandatangani oleh kepala daerah dan tidaak ditandatangani oleh
pimpinan DPRD.62
Perda yang dibentuk oleh suatu daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan baru mempunyai kekuatan mengikat setalah di undangkan dengan dimuat dalam lembaran daerah. Rozalli Abdullah juga berpandangan bahwa perda yang baik itu
61Abdul Latief, Op.Cit., hal. 59 62Rozali Abdullah, Op.Cit.,
adalah yang memuat ketentuan memihak kepada kepantingan rakyat banyak,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan berwawasan lingkungan dan budaya.63
Kedua Peraturan Kepala Daerah/keputusan kepala daerah. Kepala daerah
mempunyai kewenangan membuat ketetapan (beschikking) dan peraturan
kebijaksanaan (beleidregels atau pseudowetgeving) seperti membuat jutlak dan
juknis, contohnya “Peraturan Gubernur Jambi Nomor 28 Tahun 2011 tentang Tata
Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jambi.64
Dari penjelasan di atas, maka dapat di bedakan bahwa peraturan kepala daerah adalah suatu peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang bersifat
pengaturan (regeling). Sedangkan keputusan kepala daerah adalah suatu peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah yang bersifat penetapan (beschikking).
Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan daerah yang bersangkutan, peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dalam rangka menjalankan tugas wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
(pimpinan eksekutif daerah).65 Sama halnya dengan PERDA, peraturan kepala
daerah dan keputusan kepala daerah juga tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.66
63Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otononomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Lansung, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 132. 64Abdul Latief, Op.Cit., hal. 62.
65Ibid.