PEMBENTUKAN KEPUTUSAN GUBERNUR JAMBI BERDASARKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
JUAN STEVA DEWANGGA B10012263
Pembentukan Keputusan Gubernur Jambi Berdasarkan Peraturan
Dasar pembentukan produk hukum daerah terdapat pada Pasal 18 ayat (6)
Amandemen ke 2 (dua) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi daerah”. Ada 3 (tiga) macam produk hukum daerah, yaitu: Peraturan Daerah (PERDA); dan Peraturan Kepala Daerah
(PERKADA)/Keputusan Kepala Daerah. keputusan kepala daerah adalah suatu peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang bersifat penetapan
(beschikking). Namun,ada beberapa problematika masalah yang terjadi di dalam pembentukan produk hukum daerah khususnya Keputusan Gubernur Jambi, sehingga Keputusan Gubernur Jambi tidak dapat diselesaikan tepat waktu sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui siapakah yang berwenang dalam penyusunan Keputusan Gubernur Jambi dan bagaimana prosedur penyusunan Keputusan Gubernur Jambi. Penelitian ini dilakukan melalui metode yuridis empiris dengan pendekatan analisis kualitatif yang mengkaji Penyusunan Keputusan Gubernur Jambi berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem koordinasi dalam pembentukan keputusan Gubernur Jambi yang diterapkan pada saat ini tidah efektif, dikarenakan banyaknya jenjang pengkoreksian keputusan tersebut yang mengakibatkan lambatnya sistem birokrasi yang ada di pemerintahan provinsi Jambi. Selanjutnya, yang menjadi kendala dalam penyusunan keputusan Gubernur Jambi ialah Kurangnya pemahaman dari SKPD pengusul tengtang hukum, teknik perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan.
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PERSETUJUAN SKRIPSI
Nama : Juan Steva Dewangga
Nomor Induk Mahasiswa : B10012263
Program Kekhususan : Hukum Administrasi Negara
Judul Skripsi :Pembentukan Keputusan Gubernur Jambi
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
Telah disetujui oleh Pembimbing pada tanggal seperti tertera di bawah ini untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Fakultas Hukum
Universitas Jambi
Jambi, 26 Januari 2016
Pembimbing I Pembimbing II
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
Program Kekhususan : Hukum Administrasi Negara
Judul Skripsi : Pembentukan Keputusan Gubernur Jambi
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Fakultas Hukum
Universitas Jambi, pada Tanggal 22 Februari 2016 dan dinyatakan LULUS
TIM PENGUJI
NAMA JABATAN TANDA TANGAN
Afif Syarif, S.H., M.H. Ketua Tim Penguji
Ivan Fauzani Raharja, S.H., M.H. Sekretaris
Nopyandri, S.H., LL.M Penguji Utama
Dr. Helmi, S.H., M.H. Anggota
Rahayu Repindowaty, S.H., LL.M. Anggota
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jambi
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan sepengetahuan saya belum
pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana, baik
Universitas Jambi maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing skripsi.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis telah dirujuk dalam
skripsi ini dan juga telah disebutkan dalam footnote dan daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar
yang telah saya peroleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Jambi, 26 Januari 2016
yang membuat pernyataan,
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis tujukan kehadirat Allah SWT. Atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“PENYUSUNAN KEPUTUSAN GUBERNUR JAMBI BERDASARKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Jambi.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.
Helmi, S.H.,M.H. dan Ibu Rahayu Repindowaty H, S.H.,LL.M. Sebagai
pembimbing skripsi ini yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan
masukan dan pemikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapat bantuan dari
berbagai pihak, baik bantuan moril maupun materil, untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Johni Najwan,S.H., M.H., Ph.D. selaku Rektor Universitas
Jambi, yang telah banyak memberikan berbagai pelayanan dan
kemudahan kepada penulis selama masa pendidikan di Universitas
Jambi.
2. Bapak Taufik Yahya, S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jambi yang telah memberikan kemudahan dalam
pengurusan izin penelitian guna kelancaran penulisan skripsi ini dan
3. Ibu Latifah Amir, S.H., M.H. Selaku Ketua Bagian Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah
membantu penulis salah satunya dalam memberikan rekomendasi.
4. Ibu Fitria, S.H., M.H. Selaku Sekretaris Bagian Hukum Administrasi
Negara Fakultas Hukum Universitas Jambi yang telah membantu
penulis salah satunya dalam urusan administrasi.
5. Ibu Elly Sudarti, S.H., M.H. Pembimbing akademik penulis selama
studi di Fakultas Hukum Universitas Jambi dari pertama kuliah sampai
selesai.
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi khususnya
Bapak/Ibu Dosen bagian Hukum Administrasi Negara yang telah
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis dalam masa
perkuliahan.
7. Kedua Orang Tua Ibunda Intan Suri. S.Sos. dan Ayahnda Tafsil yang
telah memberikan kasih sayang tiada tara, doa, dan semangat kepada
penulis sehingga termotivasi dalam menyelesaikan skripsi.
8. Kedua Saudara penulis, Adik Kevin Dwiva Shangra dan Adik Keysa
Triva Maharani yang telah memberikan semangat, doa, dan motivasi
kepada penulis.
9. Seluruh Staf Tata Usaha pada Fakultas Hukum Universitas Jambi yang
telah banyak memberikan kemudahan kepada penulis dibidang
10.Bapak M. Jaelani, S.H., M.H. Selaku Kepala Biro Hukum Setda
Provinsi Jambi dan Seluruh Staf Biro Hukum Setda Provinsi Jambi
yang telah menerima saya untuk melaksanakan penelitian di Kantor
Biro Hukum Setda Provinsi Jambi.
11.Semua pihak terutama sahabat-sahabat yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu yang telah memberikan banyak waktu, dorongan
semangat serta doa selama kuliah.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga memdapat
imbalan dan pahala dari Allah SWT. Dalam penulisan skripsi ini sangat jauh dari
kesempurnaan, penulis menghargai kritik dan saran yang bertujuan untuk
membangun.
Jambi, Januari 2016
penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH A. Makna Produk Hukum Daerah ... 25
B. Heirarki Produk Hukum Daerah ... 37
C. Bentuk Surat Keputusan Gubernur ... 40
BAB III. PENYUSUNAN KEPUTUSAN GUBERNUR JAMBI A. Kewenangan Penyusunan Keputusan Gubernur Jambi .... 47
B. Prosedur Penyusunan Keputusan Gubernur Jambi ... 51
BAB IV. PENUTUP A. Kesimpulan ... 67
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu perundang-undangan akhir-akhir ini sangat populer terutama untuk
membentuk suatu undangan yang baru. Ilmu pengetahuan
perundang-undangan dikembangkan di Eropa Barat di negara-negara yang berbahasa Jerman
dan Belanda.1 Di Indonesia istilah negara hukum berasal dari bahasa Jerman,
staatslehre dan masuk kedalam kepustakaan Indonesia melalui bahasa Belanda,
rechtsstaat.2Untuk lebih memahami pengertian dari Rechtsstaat, Burkens, et al
mengemukakan pendapat yaitu:
“Negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan
dibawah kekuasaan hukum. Dalam Rechtsstaat, menurutnya adalah
ikatan antara negara dan hukum tidak lah berlansung dalam kaitan yang lepas atau pun bersifat kebetulan, melalinkan hakikat yang hakiki”.3
Dari kutipan tersebut diatas, artinya bahwa kekuasaan pemerintah dalam
suatu negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum
dalam penyelenggaraan pemerintah disuatu negara harus berdasarkan kekuasaan.
Hal ini lah yang mungkin dimaksud ikatan yang hakiki oleh Burkens, et al.
Kesimpulannya, kekuasaan pemerintah dengan hukum tidak dapat dipisahkan satu
1Maria Farida Indrati S. Ilmu perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukan, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hal. 1.
2Hotman P. Sibue, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2010, hal. 47.
3Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintah
dengan yang lainnya karena hukum dan kekuasaan merupakan 2 (dua) unsur yang
bersahaja.
Sebagai telaah sejarah perundang-undangan (wetshistorie), dapat
dikemukakan bahwa sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 Republik Indonesia telah
melewati 4 (empat) kali berlakunya Undang Dasar, yaitu: (1)
Undang Dasar 1945; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat; (3)
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia dan; (4) Undang-Undang-Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diubah (amendemen) dengan 4
empat kali perubahan.
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menyatakan dengan jelas bahwa “Negara Indonesia adalah Negara kesatuan
yang berbentuk Republik”. Dalam perubahan kedua UUD 1945 tersebut di Pasal
18 dirumuskan secara keseluruhan sebagai berikut:
1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
2) Pemerintah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantu.
3) Pemeritah daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah
pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokrasi.
5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintah yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat.
6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan
7) Susunan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Dari penjelasan diatas menunjukan bahwa, Pemerintah daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan, dan berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan lainnya dalam rangka melaksanakan otonomi dan tugas pembantu.
Selanjutnya, terkait dengan penjelasan diatas Rozali Abdullah berpendapat bahwa “penyelenggaraan otonomi daerah harus pula didasarkan pada prinsip -prinsip demokrasi, peran serta, musyawarah, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah”.4
Pemerintah daerah memiliki hak otonom untuk mengatur setiap urusan
pemerintah daerah yang dituangkan didalam bentuk peraturan
perundang-undangan atau produk hukum daerah.Tertuang di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dikatakan
oleh Rangkuti dan Siti Sundari bahwa, “undang-undang merupakan landasan
hukum yang menjadi dasar pelaksana dari seluruh kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah”.5
Dari kutipan di atas, tentunya pelaksanaan dari kebijakan yang akan
dibentuk oleh pemerintah harus berlandasan hukum yang baik dan tepat. Selama
landasan hukum dibentuk dengan baik, tepat dan yang berkeadilan sosial yang
4Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Suatu Alternatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 18
5Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,
mengutamakan kepentingan umum, tentunya setiap kebijakan yang dibentuk dan
dijalankan oleh pemerintah dapat dirasakan secara positif oleh masyarakat. Hal ini
berkolerasi dengan yang diamanatkan di dalam idiologi negara Indonesia yaitu
sila ke-5 (lima) yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Selanjutnya Daud Busro dan Abu Bakar Busro juga berpendapat, “negara hukum
adalah negara yang berdasarkan hukum yang menjamin keadilan bagi warganya”.6
Negara hukum adalah negara yang berlandasan hukum dalam berbangsa
dan bernegara untuk menjamin semua hak-hak rakyat yang bersifat sosial, adil,
bermartabat, dan menjamin hak asasi manusia. Dengan kata lain, negara hukum
sangat identik dengan sebutan negara hukum berdimensi kepastian hukum atau
negara hukum formal. Menurut Julius stahl, ada 4 (empat) unsur negara hukum formal, yaitu: “1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM); 2. Pemisahan kekuasaan; 3. Setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan undang-undang; 4. Adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri”.7
Dari unsur-unsur negara hukum formal yang tertulis diatas, maka sangat
lah menjadi tugas mutlak untuk suatu pemegang kekuasaan negara membentuk
suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Dijelaskan oleh Bagir Manan, bahwa “yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh lembaga
6Hotman P. Sibue, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum
dan/atau pejabat negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku”.8
Pengertian yang dikemukakan oleh Bagir Manan yang tertulis diatas,
Yuliandri mengambil suatu kesimpulan secara lebih luas bahwa:
“peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan atribusi dan delegasi. Dalam rumusan lain dapat juga diartikan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.9
Dari kutipan yang tertulis diatas, hal ini sesuai dengan pandangan Van Der
Tak yang mendefinisikan peraturan perundangan-undangan secara umum yaitu “peraturan perundang-undangan sebagi kaidah hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum”.10
Memenuhi amanat Pasal 22A amandemen kedua UUD 1945, DPR
bersama dengan Presiden telah membentuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Selanjutnya, dengan
dibentuknya Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksana Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
8 Yuliandri, Op.Cit., hal. 38 9Ibid., hal. 41.
Dari latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011,
Yuliandri merangkum 2 (dua) alasan yang bisa menggambarkan pentingnya
undang-undang ini:
1. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti , baku, dan standar yang semua mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan;
2. Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses
pembentukan peraturan perundang-undangan , maka negara republik indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum perlu memiliki peraturan mengenai peraturan pembentukan
perundang-undangan.11
Pasal 18 UUD 1945 merupakan dasar hukum penyelenggaraan otonomi
daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab
kepada daerah. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah, maka setiap pemerintah daerah diwajibkan mengatur
wilayahnya sendiri dan hanya sedikit urusan daerah yang kewenangannya masih
ditangani oleh pemerintah pusat. Untuk itu setiap daerah memerlukan adanya
suatu produk hukum daerah yang mengatur perkembangan pembangunan dan
setiap aktifitas masyarakat yang ada didaerahnya.
Produk hukum daerah adalah peraturan daerah yang diterbitkan oleh
kepala daerah dalam rangka pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Tujuan dibentuknya produk hukum daerah yaitu agar lebih tercapai koordinasi
antara Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disingkat dengan SKPD dalam
penyiapan rancangan Produk hukum daerah dan efektifitas proses
pengharmonisasian dalam rancangan yang baik dan berkualitas.
Ada 2 (dua) sifat dari produk hukum daerah yang disebutkan dalam Pasal
2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah menyebutkan bahwa “Produk hukum daerah bersifat: a.
Pengaturan b. Penetapan”.
Terkait dengan keterangan di atas, ada dua sifat dari produk hukum daerah
yakni bersifat pengaturan dan bersifat penetapan. Dijelaskan di dalam Pasal 51
Permendagri No. 1 Tahun 2014 bahwa “penyusunan produk hukum daerah yang
bersifat penetapan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf b meliputi: a.
Keputusan Kepala daerah; b. Keputusan DPRD; c. Keputusan pimpinan DPRD; dan d. Keputusan Badan Kehormatan DPRD”.
Mengiat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwa “Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintah daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokrasi”. Dapat kita simpulkan bahawa
keputusan kepala daerah yang dimaksud pada Pasal 51 Permendagri No. 1 Tahun
2014 adalah keputusan kepala daerah sesuai dengan masing-masing daerah yang
telah diamanatkan UUD 1945. Keputusan Gubernur untuk tingkat Provinsi, dan
Keputusan Bupati/Walikota untuk tingkat Kabupaten/Kota.
Menimbang pada penulisan skripsi ini yang berkonsentrasi terhadap suatu
produk hukum daerah yang bersifat penetapan atau Keputusan Gubernur Jambi.
“penetapan (beschikking) adalah tindakan pemerintah dalam jabatan, yang secara sepihak dan disengaja dalam suatu ikhwal tertentu, menetapkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang sedang berjalan atau yang menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum baru, atau menolak salah satu yang dimaksud”.12
Keputusan tata usaha negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang
sarjana Jerman, Otto Mayer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini
dipergunakan di negara Belanda dengan istilah beschikking oleh Van Vollenhoven
dan C.W Van Der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti A.M. Donner, H.D.
Van Wijk/Willem Kojnenbelt, dan lain-lain dianggap sebagai “de vader van het
modern beschikkingsbegrip” (Bapak dari konsep bescikking yang modern).13
Secara umum, beschikking dapat diartiakan sebagai keputusan yang
berasal dari organ pemerintahan yang ditujukkan untuk menimbulkan akibat
hukum atau berbuatan hukum publik bersegi satu yang dilakukan oleh alat-alat
pemerintah berdasarkan kewenangan kekuasaan yang istimewa. Secara teoritis
dalam hukum administrasi negara, dikenal ada beberapa macam bentuk
keputusan, yaitu:
1. keputusan Deklaratoir dan Keputusan Konstitutif,
2. keputusan yang menguntungkan dan yang memberikian beban,
3. keputusan Eenmalig dan keputusan yang permanen,
4. keputusan yang bebas dan yang terikat,
5. keputusan positif dan negatif, dan yang terakhir keputusan
perorangan dan kebendaan.14
12 Amrah Muslimin, Beberapa Azas dan Pengertian-Pengertian pokok tentang
Administrasi dan Hukum Administrasi, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hal. 109.
Menurut Rozali Abdullah, Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk
melaksanakan peraturan daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan
lain yang berlaku. Keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.15
Terkait produk hukum daerah khususnya yang bersifat penetapan salah
satunya Keputusan Gubernur disebutkan dalam Pasal 1 angka 23 Peraturan
Gubernur Jambi Nomor 28 Tahun 2011 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkung Pemerintah Provinsi Jambi “Keputusan Gubernur adalah naskah dinas dalam bentuk dan susunan produk hukum yang bersifat penetapan, individual, konkrit, dan final”.
Keputusan Gubernur memiliki sifat konkrit, individual dan final. Konkrit
artinya objek yang diputuskan dalam keputusan tersebut tidak abstrak, tetapi
berwujut, tertentu atau dapat ditentukan; Individual artinya keputusan itu tidak
ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju; Final
artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.16
Dari penjelasan yang tertulis di atas, artinya keputusan Gubernur
merupakan salah satu dari produk hukum daerah yang di keluarkan oleh Gubernur
sebagai kepala daerah untuk menjalankan otonomi daerah dan sebagai tugas
pembantu. Namun saat pelaksanakan pembentukan Keputusan Gubernur Jambi,
15Rozali Abdullah, Op.Cit., hal. 43
16
ada beberapa problematika masalah yang terjadi. sehingga
pembentukanKeputusan Gubernur Jambi tidak dapat diselesaikan tepat waktu
sesuai dengan yang diharapkan.17 Dengan memperhatikan amanat dari isi Pasal 2
huruf e PERGUB Jambi No. 28 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa:
Asas tata naskah dinas terdiri atas:
a. asas efisien dan efektif;
b. asas pembakuan;
c. asas akuntabilitas;
d. asas keterkaitan;
e. asas kecepatan dan ketepatan; dan
f. asas keamanan.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (5) PERGUB Jambi No. 28 Tahun 2011 yang menjelaskan bahwa “Asas kecepatan dan ketepatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e, yaitu tata naskah dinas diselenggarakan tepat waktu dan
tepat sasaran”.
Selain dari pada itu, problematika penyusunan Keputusan Gubernur Jambi
telah ditemukan secara langsung dan nyata oleh penulis pada saat melaksanakan
program Praktek Kerja Lapangan atau disingkat PKL yang diselenggarakan
dikantor Biro Hukum Setda Provinsi Jambi pada tanggal 3 Agustur 2015 sampai
dengan 18 September 2015. Pada saat itu penulis ditempatkan pada bagian
Perundang-undangan untuk fokus dalam hal pengkoreksian Keputusan Gubernur
Jambi.
17
Dari pengalaman penulis pada saat mengikuti PKL sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas, penulis banyak menemukan Keputusan Gubernur Jambi
yang di ajukan oleh setiap SKPD yang pada teknik penulisannya tidak sesuai
dengan apa yang diamanat di dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena
itu penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut yang dianalisis dengan
UU No. 12 Tahun 2011, Permendagri No. 1 Tahun 2014, dan Pergub Jambi No.
28 Tahun 2011 dengan judul “PEMBENTUKAN KEPUTUSAN GUBERNUR
JAMBI BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat dirumuskan yang menjadi
pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Siapa yang berwenang dalam pembentukan dan pengkoreksian Keputusan
Gubernur Jambi?
2. Bagaimana prosedur pembentukan Keputusan Gubernur Jambi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui siapakah yang berwenang dalam pembentukan dan
pengkoreksian Keputusan Gubernur Jambi.
2. Untuk mengetahui prosedur pembentukanKeputusan Gubernur Jambi.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan akan dapat memberikan manfaat,
1. Manfaat secara akademis atau teoritis yaitu bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya dapat mengetahui sekaligus memahami
tentang kewenangan dalam pembentukan Keputusan Gubernur Jambi dan
memahami dalam pembentukan Keputusan Gubernur Jambi.
2. Manfaat secara praktis yaitu untuk bahan masukan ataupun saran kepada
pihak yang berkesangkutan atau berperan penting dalam penyusunan
Keputusan Gubernur Jambi terkait dengan problematika dalam
pembentukan Keputusan Gubernur Jambi dalam upaya untuk
memaksimalkannya.
E. Kerangka Konseptual
Adapun untuk memahami secara jelas inti subtansi atau maksud dan tujuan
penelitian ini, maka penulis menguraikan arti kata dari judul skripsi ini sebagai
berikut:
1. Pembentukan, disebutkan pada Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011, “pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahap perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan”.
2. Keputusan Gubernur, berdasarkan pada Pasal 1 PERGUBJambi No. 28
Tahun 2011, yang dimaksud Keputusan Gubernur adalah naskah dinas
dalam bentuk dan susunan produk hukum yang bersifat penetapan,
3. Peraturan Perundang-undangan,menurut Yuliandri:
“peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah yang dibentuk berdasarkan atribusi dan delegasi. Dalam rumusan lain dapat juga diartikan, bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.18
Berdasarkan dari pengertian yang tertulis di atas, maka yang dimaksud
dengan judul skripsi ini yaitu, mengkaji prosedur pembentukan Keputusan
Gubernur Jambikhususnya Keputusan Gubernur Jambi pada bulan
Agustus-September tahun 2015berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundang-undangan yang dimaksud meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan;
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Produk
Hukum Daerah;
c. Peraturan Gubernur Jambi Nomor 28 Tahun 2011 tentang Tata Naskah
Dinas Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jambi.
F. Landasan Teoritis
Menurut Abdul Latief, “ada 3 (tiga) dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis”.19Ada tiga poin pokok landasan yang disebutkan oleh Abdul Latief
didalam bukunya, yang pertama adalah Landasan Filosofis. Mengingat kata-kata
yang disampaikan oleh filsuf Romawi terkenal yaitu Marcus Tullius Cicerito yang
menyampaikan “Dimana ada masyarakat, disitu ada hukum (Ubi Societas Ibi
Ius)”.20 Pada saat masyarakat berada disuatu tempat, maka ketika itu juga hukum
dibutuhkan disana.
Fisafat atau pemahaman hidup masyarakat didalam suatu bangsa tidak
luput dengan nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Menurut Supardan Modeong yang diungkapkan didalam bukunya bahwa “moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan
cita-cita yang dijujung tinggi. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik”.21
Selanjutnya Supardan Modeong juga mengungkapkan pada bukunya bahwa: “landasan filosofis didalam peraturan secara visual dapat dibagi tiga, yaitu landasan filosofis vertikal (transidental), landasan filosofis horisontal, dan
landasan filosifis massive”.
Dalam teori teknik pembentukan peraturan perundang-undangana,
landasan filosofis adalah salah satu bagian yang tidak bisa ditinggalkan. Menurut Abdul Latief yang diungkapkan didalam bukunya bahwa “mereka yang mengukur kebaikan hukum dari “rechtsidee” tentu akan menekankan aspek filosofis”.22
Selain dari pendapat yang dikemukakan diatas, Menurut Rosidi Rangga Wijaya bahwa“penerapan hukum yang dibentuk tanpa memperhatikan tata nilai
20Supardan Modeong, Teknik Perundang-Undangan di Indonesia, Perca, Jakarta, 2007. hal. 58.
21Ibid.
yang merupakan moral bangsa akan sia-sia, karena pasti tidak akan ditaati. Semua
nilai yang menjadi acuan dalam masyarakat terakumulasi dalam Pancasila, karena
Pancasila adalah pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah atau jalan hidup (way of life) bangsa, dan banyak lagi sebutan lainnya”.23
Selanjutnya yang kedua adalah landasan sosiologis. Menurut Amiroedin
Syarif “suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kebutuhan, keyakinan, dan kesadaran hukum masyarakat”24 dalam hal ini bermakna bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk harus dimengerti oleh masyarakat sesuai
dengan gambaran hidup masyarakat yang berkaitan. Ini artinya, dari unsur
sosiologis didalam suatu perundang-undangan sangat lah penting untuk dimaknai.
Karena, didalam kajian hukum yang dilatar belakangi oleh keadaan sosial, pasti
akan merujuk atau berimbas pada suatu pemahaman secara sosiologis. Hal ini sesuai dengan padangan Abdul Latief yang menyebutkan bahwa “mereka yang melihat hukum sebagai gejala sosial akan melihat unsur sosiologis sangat penting”.25
Landasan yang terakhir atau yang ketiga adalah landasan yuridis.
Landasan yuridis atau landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi
landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah peraturan
23Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 60. 24Ibid.
atau sederajat peraturan perundangan undangan yang lebih tinggi dan menjadi
dasar kewengan (bevogheid competentie).26
Mengutip pendapat dari Bagir Mana, mengemukakan bahwa “dasar yuridis sangat lah penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
karena akan menunjukkan:
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2. Keharusan ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
3. Keharusan harus mengikuti tata cara tertentu. Apa bila tata cara
tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.”27
Beranjak dari landasan-landasan pembentukan peratura
perundang-undangan, Profesor Maria Farida Indrati (1998) mengemukakan dua pendapat ahli
yang selama ini berkecimpung dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, yaitu pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S.
Attamimi.28
26Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 64. 27Ibid., hal. 67.
I.C. Van Der Vlis membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut kedalam asas formal dan asas material. Asas
formal yang dimaksud Van Der Vlies meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consesus).
Sedangkan asas material, menurut Vlies meliputi:
1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke systematiek);
2. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum(het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheidsbeginsel); dan
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van
de individuele rechtbedeling).29
Pada dasarnya, pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S.
Attamimi mempunyai kesamaan dalam kontek azas formal. Namun Hamid Attamimi medambahkan dua azas yang berbeda yaitu “azasnya dapat dikenali dan azas materi muatan yang tepat.”30 Akan tetapi, asas-asas material pembentukan
undang-undang, “Attamimi menggaris bawahi, sepatutnya memenuhi beberapa
penyesuaian antara lain:
1. Asas harus sesuai dengan cita hukum dan fundamental negara;
2. Asas harus sesuai dengan hukum dasar negara;
3. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas
hukum; dan
4. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan
sistem konstitusi.31
29Ibid.
Merujuk dari azas-azas yang dikemukakan oleh I.C. Van Der Vlies dan
pendapat A. Hamid S. Attamimi. Aziz Syamsuddin menambahkan satu azas yang
tidak boleh ditinggalkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia menyebutkan bahwa“Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi”.32
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian agar terlaksana dengan maksimal, maka peneliti
mempergunakan beberapa metode sebagi berikut:
1. Tipe Penelitian
Tipe dari penelitian ini adalah yuridis empiris. Tipe penelitian ini
mengkaji Pembentukan Keputusan Gubernur Jambi berdasarkan Peraturan
perundang-undangan.
2. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan aspek metodologi penelitian, penulis menggunakan
tipe penelitian kualitatif. Melalui pendekatan kualitatif ini diharapkan
dapat menggambarkan mengenai kualitas, realitas sosial dan persepsi nara
sumber dari sarana penelitian. Sedangkan berdasarkan spesifikasinya,
penelitian yang penulis lakukan bersifat Deskriptif Analisis yakni
memahami makna interaksi objek penelitian yang ingin penulis teliti
kemudian dianalisa sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan juga landasan teoritis yang telah di paparkan sebelumnya.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi
Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
Keputusan Gubernur Jambi pada bulan Agustus – September tahun
2015. Alasan penulis memilih meneliti Keputusan Gubernur Jambi
pada bulan Agustus-September tahun 2015, dikarenakan setiap
tahunya pada bulan Agustus dan bulan September jumlah Keputusan
Gubernur yang diajukan oleh setiap SKPD pada bulan tersebut lebih
banyak dibandingkan dengan bulan lainnya.33
b. Sampel Penelitian dan Teknik Penarikaan Sampel
Adapun sampel dalam penelitian ini diambil dari jumlah
populasi dengan menggunakan teknik penarikan sampel Purposive
Sample. Bahder Johan Nasution menjelaskan bahwa, Purposive
Sample artinya memilih sampel berdasarkan penelitian tertentu karena
unsur-unsur atau unit-unit yang dikaji dianggap mewakili populasi.
Pemilihan terhadap unsur-unsur atau unit-unit yang dijadikan sampel
harus berdasarkan pada alasan yang logis, artinya dalam pengambilan
sampel diambil unit-unit sampel sedemikian rupa sehingga sampel
33
tersebut benar-benar mencerminkan ciri-ciri dari populasi yang
ditentukan.34
Berdasarkan penjelasan di atas, sampel dalam penelitian ini adalah
10% (sepuluh persen) dari jumlah Keputusan Gubernur Jambi pada
bulan Agustus-September tahun 2015. Jumlah Keputusan Gubernur
Jambi pada bulan Agustus-September tahun 2015 terhitung sejumlah
26 (dua puluh enam) Keputusan Gubernur Jambi. 10% (sepuluh
persen) dari 26 (dua puluh enam) adalah 2,6 (dua koma enam) dan
dibulatkan menjadi 3 (tiga). Maka sampel dalam penelitian ini adalah
3 (tiga) Keputusan Gubernur Jambi pada bulan Agustus-September
tahun 2015.
4. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh lansung dari penelitian
lapangan di lingkungan pemerintahan Provinsi Jambi khususnya di
kantor Biro Hukum Setda Provinsi Jambi.
Data primer dalam penelitian ini meliputi hasil wawancara.
Wawancara dilakukan terhadap informan dengan alat pencatatan dan
recorder. Informan penelitian ini adalah Kepala Biro Hukum Setda
Provinsi Jambi, Kepala Bagian Perundang-Undangan Biro Hukum
Setda Provinsi Jambi dan KASUBAG Rancangan Hukum Biro
Hukum Setda Provinsi Jambi.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian
kepustakaan, seperti buku-buku dokumen terkait dengan isu hukum
yang sedang dilakukan penelitian. Data sekunder terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang terkait dengan pembentukan
Keputusan Gubernur Jambi berdasarkan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan; Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Produk Hukum
Daerah;Peraturan Gubernur Jambi Nomor 28 Tahun 2011
tentang Tata Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintahan
Provinsi Jambi.
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah berupa semua publikasi
tentang hukum. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan hasil
dokumen-dokumen penelitian lainnya.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier ini diperoleh dari kamus besar bahasa
5. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengelolaan data yang
dibentuk dengan teori-teori yang didapat sebelumnya. Bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang
dikumpulkan oleh penulis kemudian diinventarisasi dan diklasifikasikan
berdasarkan studi dokumen atau penyesuaian dengan masalah yang
dibahas. Bahan yang diperoleh kemudian dipaparkan, disistematisasi,
kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.
Bahder Johan Nasution menjelaskan di dalam bukunya bahwa,
teknik analisis pada dasarnya adalah analisis deskriptif diawali dengan
teknik analisis data dan informasi yang sama menurut sub aspek.
Selanjutnya, melakukan interprestasi untuk memberi makna terhadap tiap
sub aspek dan hubungan satu sama lain. Kemudian setelah itu dilakukan
analisis atau interprestasi keseluruhan aspek untuk memahami makna
hubungan antara aspek yang satu dengan yang lainnya dan dengan
keseluruhan aspek yang menjadi pokok permasalahan penelitian yang
dilakukan secara induktif sehingga memberikan gambaran hasil secara
utuh.35
Oleh penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini analisisi yang
digunakan adalah analisis kualitatif, artinya bertitik tolak pada aturan
hukum yang berlaku yang berkembang melalui pembahasan dalam bahan
hukum sekunder. Kemudian dengan logika berpikir deduktif, maka semua
bahan diseleksi dan diolah serta dianalisis dengan memaparkan apa adanya
(deskriptif), maka dengan mengungkapkan permasalahan, juga dengan
penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wacana baru
dalam rangka Pembentukan Keputusan Gubernur Jambi.
H. Sistematika Penulisan
Setelah penulis menjelaskan masalah yang telah disebutkan terdahulu,
maka untuk lebih lengkap dan jelasnya penulisan skripsi ini, penulis juga
menjelaskan sistematika penelitian.
Tulisan ini terdiri dari empat bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab dan
masing-masing mempunyai keterkaitan satu sama lain. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jelas mengenai pembahasan skripsi ini, akan dikemukakan
sistematikanya sebagai berikut:
Bab I, Bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, mafaat penelitian,
Landasan konsepsional, landasan teoritis, metode penelitian, dan
sistematika penelitian. Bab ini merupakan bab permasalahan yang akan
dikaji pada bab pembahasan dengan menggunakan teori-teori yang tertulis
didalam landasan teoritis.
Bab II, Bab ini merupakan tinjauan umum sebagai landasan dalam
melakukan analisis atas permasalahan yang terdiri dari makna produk
hukum Daerah, Hielarki produk hukum Daerah, dan bentuk Keputusan
Bab III, Bab ini adalah bab pembahasan yang terdiri dari:
1. Kewenangan dalam tahap pembentukan dan pengkoreksian Keputusan
Gubernur Jambi.
2. Prosedur pembentukan Surat Keputusan Gubernur Jambi.
Bab IV, Bab ini merupakan bab penutup yang meberikan dan
menggambarkan kesimpulan dari masalah yang telah penulis uraikan pada
Produk hukum daerah atau disingkat dengan PHD adalah salah satu bagian
perundang-undangan positif di negara Indonesia. Namun, produk hukum daerah
hanya berlaku bagi di daerahnya dimana produk hukum tersebut di tetapkan.
Untuk memahami makna produk hukum daerah, maka terlebih dahulu penulis
akan memaparkan makna dari peraturan perundang-undangan.
Menurut SF. Marbun dan Moh. Mahfud, peraturan adalah hukum yang in
abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan
tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general). 36 Istilah
perundang-undangan (legislation atau gesetzgebung) mempunyai 2 (dua)
pengertian yang berbeda, yaitu:
1. Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses
membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; dan
2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang merupakan
hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah.37
Senada dengan yang di sampaikan oleh SF. Marbun dan Moh. Mahfud.
Satjipto Rahardjo menyebutkan peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
36Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 129.
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
2. Bersivat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa
yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengkoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Adalah lazim bagi suatu perundang-undangan mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan
kembali.38
Pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum pada
Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 bahwa “Peraturan perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan didalam peraaturan perundang-undangan”.
Selanjutnya, dijelaskan oleh Bagir Manan bahwa yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan
ditetapkan serta dikeluarkan oleh lembaga dan/atau pejabat negara yang
mempunyai (manajemen) fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.39
Dengan pengertian yang lebih luas dibandingkan Bagir Manan, Reed
Dickerson mengemukakan peraturan perundang-undangan adalah: “... aturan
-aturan tingkah laku yang mengikat secara umum dapat berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan”.40
Dalam kontek pembentukan hukum nasional, A. Hamid Attamimi
menggaris bawahi 3 (tiga) fungsi utama ilmu perundang-undangan, yaitu:
1. Untuk memenuhi kebutuhan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang senantiasa berkembang;
2. Untuk menjembatani lingkup hukumm adat dengan hukum yang tidak
tertulis lainnya; atau
3. Untuk memenuhi kebutuhan kepastian hukum tidak tertulis bagi
masyarakat.41
Profesor Maria Farida Indrati (1998) mengemukakan dua pendapat ahli
yang selama ini berkecimpung dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, yaitu pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S.
Attamimi.42
I.C. Van Der Vlis membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut kedalam asas formal dan asas material. Asas
formal yang dimaksud Van Der Vlies meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consesus).
Sedangkan asas material, menurut Vlies meliputi:
1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke systematiek);
2. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheidsbeginsel); dan
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van
de individuele rechtbedeling).43
Pada dasarnya, pendapat I.C. Van Der Vlies dan pendapat A. Hamid S.
Attamimi mempunyai kesamaan dalam kontek azas formal. Namun Hamid
Attamimi medambahkan dua azas yang berbeda yaitu “azasnya dapat dikenali dan
azas materi muatan yang tepat.”44 Akan tetapi, asas-asas material pembentuak
undang-undang, “Attamimi menggaris bawahi, sepatutnya memenuhi beberapa
penyesuaian antara lain:
1. Asas harus sesuai dengan cita hukum dan fundamental negara;
2. Asas harus sesuai dengan hukum dasar negara;
3. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas
hukum; dan
4. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan berdasarkan
sistem konstitusi.45
Merujuk dari azas-azas yang dikemukakan oleh I.C. Van Der Vlies dan
pendapat A. Hamid S. Attamimi. Aziz Syamsuddin menambahkan satu azas yang
tidak boleh ditinggalkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ia menyebutkan bahwa“Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi”.46
Dalam membentuk peraturan perundang-undangan legal drafter harus
sunggguh-sungguh memperhatikan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan. Legal drafting adalah pengonsepan atau hukum perancangan yang
berarti “cara penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan sesuai
tuntutan teori, asas dan kaedah perancangan peraturan perundang-undangan”.47
Dalam amanat di dalamBab II tentang asas pembentukan peraturan
perundang-undangan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dirumuskan bahwa
pembentuakn peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1. Kejelasan tujuan
2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat
3. Kesuain antar jenis, hielarki, dan materi muatan.
4. Dapat dilaksanakan.
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
6. Kejelasan rumusan
7. Keterbukaan
Dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 juga dirumuskan asas-asas
yang harus tercermin dalam muatan peraturan perundang-undangan, yakni sebagai
berikut:
8. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum
10.Asas keseimbaan, keserasian, dan keselarasan.
Sesuai dengan apa yang disebutkan sebelumnya, ada salah satu asas yang
sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yaitu
Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Ini
artinya adanya suatu konsekuensi suatu hielarki perundang-undangan
Bagir Manan menyimpulkan secara lebih konkrit bahwa peraturan
perundang-undangan mencakup segala bentuk peraturan perundang-undangan
baik dibuat pada tingkat pusat pemerintahan negara maupun di tingkat daerah.48
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan poin-poin penting yang disampaikan oleh
Bagir Manan, yaitu:
1. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan negara di
tingkat pusat; dan
2. Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan negara di
tingkat daerah.
Dari yang disebutkan oleh Bagir Manan di atas, dapat di kaitan dengan
asas yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
undangan yang berkedudukan lebih tinggi. Ini artinya peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah negara di tingkat daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang yang dibuat oleh
pemerintahan negara di tingkat pusat.
Menurut H. Abdul Latief, produk hukum daerah diartikan sebagai
peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah
satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan
perundang-undangan daerah.49Tujuan dibentuknya produk hukum daerah yaitu agar lebih
tercapai koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam penyiapan
rancangan Produk hukum daerah dan efektifitas proses pengharmonisasian dalam
rancangan yang baik dan berkualitas.
Di dalam pembentukan produk hukum daerah, ada beberapa landasan yang
sangat penting untuk dipahami. Menurut Abdul Latief, “ada 3 (tiga) dasar agar
hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis”.50Ada tiga poin pokok landasan yang disebutkan oleh
Abdul Latief didalam bukunya, yang pertama adalah Landasan Filosofis.
Mengingat kata-kata yang disampaikan oleh filsuf Romawi terkenal yaitu Marcus Tullius Cicerito yang menyampaikan “Dimana ada masyarakat, disitu ada hukum
(Ubi Societas Ibi Ius)”.51 Pada saat masyarakat berada disuatu tempat, maka ketika itu juga hukum dibutuhkan disana.
Fisafat atau pemahaman hidup masyarakat didalam suatu bangsa tidak
luput dengan nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut. Menurut Supardan Modeong yang diungkapkan didalam bukunya bahwa “moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan
49Ibid., hal. 58
50Abdul Latief, Op. Cit., hal. 54.
cita yang dijujung tinggi. Didalamnya ada nilai kebenaran, keadilan, kesusilaan
dan berbagai nilai lainnya yang dianggap baik”.52
Selain dari pendapat yang dikemukakan diatas, Menurut Rosidi Rangga Wijaya bahwa“penerapan hukum yang dibentuk tanpa memperhatikan tata nilai yang merupakan moral bangsa akan sia-sia, karena pasti tidak akan ditaati. Semua
nilai yang menjadi acuan dalam masyarakat terakumulasi dalam Pancasila, karena
Pancasila adalah pandangan hidup, cita-cita, dan falsafah atau jalan hidup (way of life) bangsa, dan banyak lagi sebutan lainnya”.53
Selanjutnya yang kedua adalah landasan sosiologis. Menurut Amiroedin
Syarif “suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kebutuhan, keyakinan, dan kesadaran hukum masyarakat”54 dalam hal ini bermakna bahwa peraturan
perundang-undangan yang dibentuk harus dimengerti oleh masyarakat sesuai
dengan gambaran hidup masyarakat yang berkaitan.
Landasan yang terakhir atau yang ketiga adalah landasan yuridis.
Landasan yuridis atau landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi
landasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah peraturan
atau sederajat peraturan perundangan undangan yang lebih tinggi dan menjadi
dasar kewengan (bevogheid competentie).55
52Ibid.
53Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 60. 54Ibid.
Mengutip pendapat dari Bagir Mana, mengemukakan bahwa “dasar yuridis sangat lah penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan
karena akan menunjukkan:
1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan. Setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.
2. Keharusan ada kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
3. Keharusan harus mengikuti tata cara tertentu. Apa bila tata cara
tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.”56
Dari beberapa landasan yang disebutkan di atas, landasan yuridis adalah
menjadi catatan penting yang harus dipertimbangkan di dalam pembentukan
produk hukum daerah. karena, tanpa adanya kewenangan dan pengaturan yang
diamanatkan di dalam peraturan yang lebih tinggi produk hukum daerah tidak
dapat disahkan.
Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan
pemerintah harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertuli. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku
lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan
atas aturan atau rules and procedures (regels).57
Produk hukum daerah pada hakikatnya meliputi semua peraturan yang
dibuat oleh lembaga pemerintah yang ada baik dalam meliputi provinsi,
kabupaten dan kota, maupun desa.58Materi muatan produk hukum daerah meliputi
keseluruhan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantu dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.59
Dasar pembentukan produk hukum daerah terdapat pada Pasal 18 ayat (6) Amandemen ke 2 (dua) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah”. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah ada 3 (tiga) macam produk hukum yang utama yang dapat dihasilkan oleh suatu daerah,
yaitu:Peraturan Daerah (PERDA); dan Peraturan Kepala Daerah
(PERKADA)/Keputusan Kepala Daerah.60
Dari yang tersebut sebelumnya, dapat dijelaskan pertama, Peraturan
Daerah atau disingkat dengan PERDA. Perda ditetapkan oleh kepala daerah
setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. hal ini tersirat didalam Pasal 5 ayat (1) bahwa “presiden berhak mengajukan rancangan
57Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 128.
58Supardan Modeong, Op.Cit., hal. 76.
59Supardan Modeong dan Zudan Arif Fakrullah, Op.Cit., hal. 23.
60
undang-undang kepada DPR”. Dengan demikian dapat diartikan bahwa peraturan daerah itu semacam undang-undang (pada tingkat daerah).
Meskipun undang-undang menyebutkan bahwa kepala daerah menetapkan
peraturan daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD, tidak berarti
semua kewenangan membuat peraturan daerah ada pada kepala daerah. namun,
DPRD juga memiliki kekuasaan yang juga menentukan dalam pembentukan
peraturan daerah. DPRD dilengkapi dengan hak-hak inisiatif dan hak mengadakan
perubahan. Bahka persetujuan itu sendiri mengandung kewenangan menentukan
(dicicive).Tanpa persetujuan DPRD tidak akan ada peraturan daerah.61
Kewenangan membuat peraturan daerah merupakan wujud nyata dari
pelaksanaan hak otonomi dari suatu daerah dan sebaliknya peraturan daerah
merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi darah. Peraturan
daerah hanya ditandatangani oleh kepala daerah dan tidaak ditandatangani oleh
pimpinan DPRD.62
Perda yang dibentuk oleh suatu daerah tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan
baru mempunyai kekuatan mengikat setalah di undangkan dengan dimuat dalam
lembaran daerah. Rozalli Abdullah juga berpandangan bahwa perda yang baik itu
adalah yang memuat ketentuan memihak kepada kepantingan rakyat banyak,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan berwawasan lingkungan dan budaya.63
Kedua Peraturan Kepala Daerah/keputusan kepala daerah. Kepala daerah
mempunyai kewenangan membuat ketetapan (beschikking) dan peraturan
kebijaksanaan (beleidregels atau pseudowetgeving) seperti membuat jutlak dan
juknis, contohnya “Peraturan Gubernur Jambi Nomor 28 Tahun 2011 tentang Tata
Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintahan Provinsi Jambi.64
Dari penjelasan di atas, maka dapat di bedakan bahwa peraturan kepala
daerah adalah suatu peraturan perundang-undangan di tingkat daerah yang bersifat
pengaturan (regeling). Sedangkan keputusan kepala daerah adalah suatu peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah yang bersifat penetapan (beschikking).
Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk
melaksanakan peraturan daerah yang bersangkutan, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dalam rangka menjalankan tugas
wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
(pimpinan eksekutif daerah).65 Sama halnya dengan PERDA, peraturan kepala
daerah dan keputusan kepala daerah juga tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.66
63Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otononomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah
Secara Lansung, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 132. 64Abdul Latief, Op.Cit., hal. 62.
65Ibid.
B. Hielarki Produk Hukum Daerah
Berkaitan dengan heilarki norma hukum, Hank Kelsen mengemukakan
teori jenjang norma (stufenrheorie). Teori jenjang norma mangatakan bahwa
norma-norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hielarki tata
susunan, dimana norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada
norma yang lebih tingg, demikian seterusnya sampai pada suatu norma tertinggi
yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut, dan bersifat hipotesis, serta fiktif, yaitu
norma dasar (grundnorm/besic norm/fundemental norm).67
Hans Nawiasky (1945) mengembangkan teori jenjang norma hukum
dengan mengkontekstualisasikan kepada suatu negara. Newiasky
mengelompokkan norma-norma hukum dalam suatu negara menjadi empat
kelompok besar, yaitu:
Kelompok I : norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
kelompok II : Aturan dasar/pokok negara (staatsgrundgetz
kelompok III : Undang-undang ‘formal” (formell gesetz); dan
kelompok IV : Aturan pelaksana dan aturan otonom (verodnung and
autonom satzung).
Terkait penjelasan di atas, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12
Tahun 2011 ditetapkan jenis dan hielarki peraturan perundang-undangan di
indonesia, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari ketentuan di atas, dapat diartikan bahwa adanya suatu tingkatan
peraturan perundang-undangan yang dimana setiap peraturan perundang-undangn
memiliki suatu keterkaitan sistem pengaturan dengan acuan undang-undang yang
lebih tinggi secara hielarki. Dengan adanya suatu hielarki perundang-undangan,
maka dapat dilihat dengan jelas bahwa peraturan daerah provinsi dan peraturan
daerah kabupaten/kota dengan kata lain disebut produk hukum daerah terdapat
pada jenjang peraturan perundang-undang terendah sesuai dengan hielarki
perundang-undangan di Indonesia.
Apabila kita merujuk pada teori jenjang norma dari Hans Kelsen dan teori
jengjang norma hukum dari Hans Nowiasky maka kita bisa melihat addanya
pencerminan dari dua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum
(jenis/hierarki perundang-undangan) Indonesia.
Norma hukum yang satu selalu berlaku, bersumber, dan berdasarkan pada
norma hukum yang lebih tinggi di atasnya, dan norma hukum yang lebih tinggi
seterusnya sampai pada suatu norma fundemental negara
(staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia, yaitu Pancasila.68
Selanjutnya, asas yang sangat harus dipahami adalah peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Sistem norma hukum indonesia menggaris
bawahi Pancasila merupakan norma hukum tertinggi atau sumber dari segala
sumber hukum negara. Jenjang di bawah Pancasila sekaligus menempati puncak
hielarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah UUD 1945 sebagai
aturan dasar negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz).69
Produk hukum daerah adalah suatu peraturan pelaksana dan peraturan
otonom di daerah. menurut Nawiasky, peraturan pelaksana dan peraturan otonom
merupakan peraturan perundang-undangan yang berda di bawah undang-undang,
yang memiliki fungsi yang sama, yaitu menyelenggarakan ketentuan-ketentuan
yang tercantum di dalam undang-undang.70
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Peraturan Kepala
Daerah/Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan daerah
yang bersangkutan, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
atau dalam rangka menjalankan tugas wewenang dan tanggung jawabnya sebagai
penyelenggara pemerintahan daerah (pimpinan eksekutif daerah). 71 Dari
pemaparan tersebut dapat disimpulkan dalam pembentukan peraturan kepala
daerah/keputusan kepala daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
daerah, dengan kata lain PERKADA/Keputusan Kepala Daerah harus dibentuk
berdasarkan delegasi dan atribusi yang diamanatkan di dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau PERDA.
Dikarenan PERKADA/Keputusan kepala daerah adalah suatu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk untuk melaksanakan suatu PERDA. Hal ini
artinya dapat diambil kesimpulan hielarki Produk Hukum Daerah yaitu:
1. Peraturan Daerah (PERDA)
2. Peraturan Kepala Daerah (PERKADA)/Keputusan Kepala Daerah.
C. Bentuk Keputusan Kepala Daerah
Ada beberapa unsur dalam keputusan kepala daerah (beschikking), yaitu:
1. Pernyataan kehendak sepihak;
2. Dikeluarkan oleh organ pemerintahan (bestuursorgaan);
3. Didasarkan pada kewenangan hukum yang bersifat publik
(publiekbevoegdheid);
4. Ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual;
5. Dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang
administrasi.72
Secara teoritis dalam hukum administrasi negara, dikenal ada beberapa
macam dan sifat keputusan, yaitu sebagai berikut.73