• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistematika Penulisan Kajian

Dalam dokumen TIM PENYUSUN LAPORAN (Halaman 15-0)

BAB I Pendahuluan

I.5 Sistematika Penulisan Kajian

Secara garis besar, sistematika penulisan kajian ini terdiri dari 6 (enam) bab. Bab 1 berisi latar belakang kajian, tujuan dan sasaran kajian, lingkup dan batasan kajian, justifikasi pemilihan lokasi kajian, serta metodologi penelitian. Bab 2 memaparkan kajian pustaka mengenai sistem pendaftaran tanah, jenis publikasi dalam pendaftaran tanah, dan lesson learn dari beberapa negara yang telah menerapkan sistem pendaftaran tanah publikasi positif. Bab 3 menyajikan deskripsi gambaran lokasi kajian secara umum. Bab 4 menguraikan hasil analisis capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat, faktor-faktor penghambat capaian peta, sumber daya manusia bidang pertanahan, serta upaya perbaikan kondisi pertanahan. Bab 5 berisi tentang analisis perubahan peraturan perundang-undangan terkait pertanahan di Indonesia. Sementara, bab 6 berisi kesimpulan dan rekomendasi kajian.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tanah, Kasus-kasus Pertanahan, dan Faktor Pemicu Sengketa Pertanahan

Tanah merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Tanah adalah harta atau properti yang tidak bergerak, sehingga secara fisik tidak dapat dipindahkan dari satu orang ke orang lain. Tanah bersifat permanen, yaitu tidak dapat semakin naik, semakin turun, atau hancur seperti properti lainnya (Hanstad, 1998), sehingga dapat dicatat atau direkam sampai kapanpun. Tanah dapat menjadi rumah, sumber pendapatan, tempat untuk berbisnis, akses ke lahan lain, keamanan pinjaman, dan sebagainya (Land Registration Act 2002; Zevenbergen, 2002). Di samping itu, tanah juga memiliki makna yang multidimensi, baik dari sisi ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya (Adhie dan Menggala, 2002;

Zevenbergen, 2002). Dari sisi ekonomi, tanah didefinisikan sebagai sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan dan aset (industri, pertanian komersial). Dari sisi politik, tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan bagi masyarakat.

Dari sisi sosial budaya, tanah dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya, jaminan sosial penduduk, tempat untuk hidup. Sementara itu, dari sisi hukum, tanah merupakan dasar kekuatan untuk yurisdiksi.

Namun demikian, berbagai aspek penting tanah dalam kehidupan manusia seringkali menyebabkan timbulnya konflik kecenderungan orang untuk mempertahankan tanahnya dengan cara apapun apabila melanggar hak-haknya. Konflik pertanahan ini juga sering menimbulkan tindak kekerasan. Pada dasarnya, akar permasalahan munculnya kasus pertanahan ini adalah disebabkan oleh belum baiknya sistem administrasi pertanahan dan kendala dalam peraturan mengenai kerangka waktu dalam pelaksanaannya. Bahkan, saat ini, masalah pertanahan di Indonesia dianggap sebagai persoalan yang tidak dapat diselesaikan menggunakan pendekatan hukum saja, tetapi juga menggunakan pendekatan holistik (komprehensif) seperti politik, sosial budaya, ekonomi, dan ekologi.

II.1.1 Kasus-kasus Pertanahan

Secara umum, permasalahan atau kasus pertanahan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu sengketa pertanahan, konflik pertanahan, dan perkara pertanahan yang membutuhkan penanganan atau penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional (Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan). Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis.

Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, serta sengketa pidana terkait kepemilikan transaksi, pendaftaran penjaminan, pemanfaatan, penguasaan, dan sengketa hak ulayat.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

8

Konflik pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang telah berdampak luas secara sosio-politis. Sementara, perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI (http://www.bpn.go.id. Diakses pada Juli 2016). Pada tahun 2014, Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional mencatat bahwa terdapat 11.736 kasus pertanahan yang masuk ke BPN-RI sejak tahun 2010 hingga 2014. Sementara, jumlah kasus pertanahan yang masuk ke BPN-RI tahun 2014 adalah sebanyak 5.878 kasus. Kasus-kasus tersebut terdiri dari kasus yang belum terselesaikan di tahun 2013 sebanyak 1.927 kasus dan kasus baru di tahun 2014 sebanyak 3.906 kasus. Dari 5.878 kasus tersebut, jumlah kasus yang telah selesai hingga akhir tahun 2014 sebanyak 2.910 kasus (57,92%) (Laporan Kinerja BPN, 2014).

RPJMN 2015 – 2019 menyebutkan bahwa permasalahan dan isu strategis bidang pertanahan di Indonesia disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Belum kuatnya jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah. Permasalahan utama ini ditunjukkan dengan kondisi cakupan peta dasar pertanahan, jumlah bidang tanah bersertifikat, kepastian batas kawasan hutan dan non-hutan, tingkat penyelesaian kasus pertanahan, dan penetapan batas tanah adat/ulayat yang masih rendah.

2. Masih terjadinya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T), serta kesejahteraan masyarakat yang masih rendah.

3. Kinerja pelayanaan pertanahan yang belum optimal. Kondisi ini disebabkan oleh kurangnya jumlah pegawai juru ukur pertanahan sehingga menghambat kinerja pelayanan pertanahan.

4. Belum terjaminnya ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

a. Klasifikasi Kasus Pertanahan

Kasus pertanahan di Indonesia dapat dikategorikan berdasarkan obyek dan subyeknya.

Berdasarkan obyeknya, kasus-kasus pertanahan tersebut dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu (1) pendudukan dan penyerobotan tanah-tanah perkebunan yang telah dilekati oleh Hak Guna Usaha (HGU), baik yang masih berlaku maupun yang sudah berakhir; (2) sengketa kawasan hutan; (3) sengketa yang berkaitan dengan kawasan pertambahan; (4) tumpang tindih atau sengketa batas, tanah bekas milik adat (girik), dan tanah bekas eigendom.

Eigendom adalah suatu institusi tanah milik golongan Eropa maupun golongan Timur Asing pada masa pemerintahan Hindia Belanda; (5) tukar-menukar tanah bengkok desa/tanah kas desa menjadi aset Pemerintah Daerah; (6) tanah eks partikelir; dan (7) putusan pengadilan yang tidak dapat diterima dan dijalankan (Bappenas, 2013). Sementara itu, berdasarkan subyeknya, kasus-kasus pertanahan terbagi menjadi kasus pertanahan antar-instansi pemerintah, pemerintah dengan masyarakat, dan antar anggota masyarakat.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 9 1) Kasus Pertanahan antar Instansi Pemerintah

Kasus pertanahan antar-instansi pemerintah (baik antar-instansi pemerintahan pusat maupun antar-wilayah kabupaten/kota) cenderung terkait dengan kewenangan dalam pengaturan wilayah secara sektoral terhadap hamparan fisik tanah. Kasus pertanahan antar-instansi pemerintah terbagi menjadi beberapa kelompok sebagai berikut.

Kasus Pertanahan antar Instansi Pemerintah Pusat

Kasus pertanahan antar-instansi pemerintah pusat terkait dengan kewenangan kementerian/lembaga dalam mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah secara sektoral. Misalnya antara kementerian kehutanan dan pertambangan, kehutanan dan BPN, pertambangan dan kehutanan, perkebunan dan kehutanan, pertambangan dan BPN, pertambangan dan kementerian lingkungan.

Kasus Pertanahan antar Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat

Kasus pertanahan antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat ataupun kementerian berkenaan dengan kewenangan atas wilayah, misalnya antara kementerian kehutanan dan pemerintah kabupaten/kota terkait dengan kawasan hutan.

Kasus Pertanahan antar Daerah – Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota

Kasus pertanahan antar-pemerintah daerah biasanya terjadi antar-wilayah kabupaten/kota berkenaan dengan batas wilayah. Batas wilayah yang berupa unsur geografis, seperti sungai, berpotensi memunculkan konflik batas wilayah. Beberapa kasus yang pernah muncul berkaitan dengan batas wilayah ini adalah konflik antara Kabupaten Ciamis dan Cilacap serta Kabupaten Pasuruan dan Sidoarjo.

2) Kasus Pertanahan antar Masyarakat dan Pemerintah

Masyarakat yang dimaksudkan di sini dapat berupa orang per orang ataupun badan hukum, baik badan hukum profit maupun non-profit. Pengelompokan ini untuk menghilangkan dikotomi antara masyarakat dan swasta yang selama ini mendapatkan perlakuan berbeda.

Kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat dan instansi pemerintah terbagi menjadi tiga tipologi, yaitu a). Kasus antara masyarakat (kolektif) dan instansi pemerintah; b). Kasus antara masyarakat (perorangan) dan instansi pemerintah; dan c). Kasus antara badan hukum dan instansi pemerintah.

3) Kasus Pertanahan antar Masyarakat

Kasus pertanahan antar-masyarakat menempati porsi terbesar pada klasifikasi kasus pertanahan, yaitu 71,45% (White Paper Kementerian PPN/Bappenas, 2013). Kondisi ini mengindikasikan bahwa persoalan kesejahteraan masyarakat dan ketergantungan hidup masyarakat terhadap tanah masih sangat tinggi. Di samping itu, kepastian hukum hak atas tanah juga masih menjadi masalah yang belum terselesaikan hingga sekarang. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai strategi pengelolaan pertanahan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui keadilan penguasaan dan pemilikan tanah serta pemberian kepastian hukum hak atas tanah secara kuat.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

10

II.2 Pendaftaran Tanah dan Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah II.2.1 Pendaftaran Tanah

Dalam upaya penyelesaian kasus-kasus pertanahan di Indonesia, maka hal utama yang harus dilakukan adalah perbaikan kualitas peta pendaftaran tanah agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah. Pendaftaran tanah berasal dari istilah Cadastre (bahasa Perancis), yaitu suatu daftar yang menggambarkan seluruh persil tanah dalam suatu daerah berdasarkan pemetaan dan pengukuran yang cermat (Abdurrahman, 1985). Istilah Cadastre di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Kadaster yang sebenarnya berasal dari bahasa Latin, yaitu Capistrastrum. Namun, istilah Capistrastrum ini kemudian dalam bahasa Perancis berubah menjadi Cadastre, yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diadakan untuk kepentingan pajak tanah Romawi (Parlindungan, 1990). Pendaftaran tanah juga dapat didefinisikan sebagai proses pencatatan hak kepemilikan atau penggunaan tanah secara legal (McLaughlin dan Nichols, 1989 dalam Zevenbergen, 2002).

Sementara itu, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 mendefinisikan bahwa pendaftaran tanah merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas, luas bidang tanah, dan satuan rumah susun yang di daftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya. Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang di daftar serta pemegang haknya, hak pihak lain, dan beban-beban lain yang membebaninya.

Pendaftaran tanah juga dimaksudkan untuk mencatatkan identitas tanah yang telah dimiliki seseorang atau suatu badan dengan hak tertentu ke Kantor Pertanahan Kebupaten/Kota tempat tanah tersebut berada, kemudian pemegang hak atas tanah tersebut diberikan sertifikat hak atas tanah (Perangin, 1994; Indiraharti, 2009). Identitas tanah berisi keterangan-keterangan mengenai sebidang tanah, sehingga bidang tanah tersebut dapat dengan jelas diketahui haknya, luasnya, batas-batasnya, keadaannya, letaknya, pemiliknya, dan ciri-ciri khas lainnya (Ballantyne dan Dobbin, 2000).

a. Pendaftaran Tanah Pertama Kali

Dalam upaya pelaksanaan pendaftaran tanah perlu dilakukan kegiatan ajudikasi, yaitu kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali.

Kegiatan ajudikasi meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 11 yuridis mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dapat dilaksanakan secara sistematik atau sporadik (PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak meliputi semua obyek pendaftaran yang belum di daftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa / kelurahan.

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa / kelurahan secara individual atau massal.

Perbedaan antara pendaftaran tanah secara sistematik dengan sporadik dapat di lihat pada Tabel II.1 berikut.

Tabel II.1 Perbandingan Pendaftaran Tanah Pertama Kali Secara Sistematik dan Secara Sporadik Perbedaan Pendaftaran Tanah Secara

Sistematik

Pendaftaran Tanah Secara Sporadik

Pelaksanaan Serentak Individu atau massal

Sumber Biaya Dibiayai oleh pemerintah Biaya pribadi Jangka Waktu

Perolehan Data

Lebih cepat mendapatkan data tentang bidang-bidang tanah yang akan di daftar

Lebih lama mendapatkan data tentang bidang-bidang tanah yang akan di daftar

Jangka Waktu Persiapan dan Pelaksanaan

Lebih memerlukan waktu yang panjang dalam persiapan dan pelaksanaannya

Tidak memerlukan waktu yang panjang dalam persiapan dan pelaksanaannya

Jumlah Objek yang

Didaftarkan

Semua obyek pendaftaran tanah didaftarkan

Hanya satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah didaftarkan

Pelaksanaan Dilaksanaan atas permintaan dari pemerintah

Dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan Sumber: Dikembangkan dari PP 24/1997 dan Analisis Penulis, 2016

b. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

 Pengumpulan dan pengolahan data fisik, dilakukan dengan dengan cara pengukuran dan pemetaan yang meliputi penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah, pembuatan peta pendaftaran, serta pembuatan daftar tanah dan surat ukur.

 Pembuktian hak dan pembukuannya

 Penerbitan sertifikat

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

12

 Penyajian data fisik dan data yuridis, meliputi peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah, dan daftar nama dengan cara pengisian, penyimpanan, pemeliharaan dan penggantiannya ditetapkan oleh Menteri

 Penyimpanan daftar umum dan dokumen

Sementara itu, kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran perubahan dan pembebanan hak serta pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Hal-hal mengenai tata cara pendaftaran tanah seluruhnya telah dimuat dalam PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.

II.2.2 Sistem Publikasi Dalam Sistem Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah di setiap negara memiliki sistem publikasi tanah yang berbeda antara satu negara dengan negara yang lain. Sistem publikasi dalam pendaftaran tanah ada dua jenis, yaitu sistem publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Perbedaan kedua sistem publikasi tersebut terletak pada jenis sistem pendaftarannya. Sistem publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak (registration of titles), sedangkan sistem publikasi negatif selalu menggunakan sistem pendaftaran akta (registration of deeds) (Harsono, 2008;

Hanstad, 1998). Di Amerika Serikat, sistem pendaftaran akta ini disebut “Land Recordation”

yang meliputi pendaftaran atau pencatatan dokumen yang mempengaruhi hak atas tanah (Hanstad, 1998).

a. Sistem Publikasi Negatif (Registration of Deeds)

Dalam sistem publikasi negatif pada sistem pendaftaran akta, Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT) tidak melakukan pengujian terhadap kebenaran data yang tercantum dalam akta (pasif). Akta pada sistem pendaftaran tanah berfungsi sebagai alat bukti peristiwa atau perbuatan hukum yang bersifat kuat. Setiap terjadi perubahan sertifikat tanah, maka wajib dibuatkan akta baru dan data yuridis yang diperlukan harus dicari di dalam akta-akta yang bersangkutan. Akan tetapi, untuk memperoleh data yuridis harus dilakukan title search yang dapat memakan waktu dan biaya karena menggunakan bantuan ahli. Selain itu, negara tidak menjamin bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat adalah benar, selama tidak dibuktikan dengan alat bukti lain. Apabila data dalam sertifikat tidak benar, baik kesalahan register ataupun penipuan, maka dapat dilakukan perubahan berdasarkan keputusan pengadilan. Namun demikian, pada sistem publikasi negatif ini, negara tidak memberikan kompensasi ganti rugi kepada pihak-pihak yang kehilangan hak atas tanahnya akibat kesalahan register ataupun penipuan.

b. Sistem Publikasi Positif (Registration of Titles)

Sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanah (registration of titles) dikenal sebagai Sistem Torrens (Carruthers, 2015). Sistem Torrens (The Real Property Art) berasal dari Australia Selatan. Kata “Torrens” merujuk pada nama penemu sistem pendaftaran ini, yaitu Robert Richard Torrens pada tahun 1858 (International Land System, 2009). Sistem

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 13 publikasi positif merupakan perbaikan atau penyempurnaan dari sistem pendaftaran sebelumnya. Perbaikan kualitas sistem pendaftaran tanah ini ditunjukkan dengan adanya kemudahan bagi para pemilik tanah untuk memperoleh data yuridis tanpa harus melakukan title search pada akta-akta yang ada serta memberikan kepastian hukum pada tanah yang didaftarkan (Xavier, 2011; Carruthers, 2015).

Sistem publikasi positif meliputi identifikasi satu atau banyak bidang tanah dan menentukan siapa orang atau organisasi apa yang dapat memiliki hak atas sebidang tanah tersebut, yang kemudian dicatat dalam register tanah. Sebelum melakukan pencatatan, Pejabat Pendaftaran Tanah melakukan pengujian terhadap kebenaran data yang tercantum dalam akta sebelum dilakukan pendaftaran haknya dalam Buku Tanah (bersifat aktif) serta menyusun semua hal yang berkaitan dengan pencatatan hak tanah, seperti hak gadai, easements, hipotek, sewa, dan perjanjian. Pecatatan kepemilikan atas tanah meliputi pencatatan nomor seri, lokasi, dan batas-batas bidang tanah yang ditandai pada peta serta nama pemiliknya (Dale, 1995).

Dalam sistem pendaftaran tanah publikasi positif terdapat penerbitan sertifikat hak atas tanah (sertificate of title) yang digunakan sebagai alat bukti pemegang hak atas tanah yang didaftarkan. Sertifikat tanah merupakan alat bukti pemegang hak atas tanah yang paling lengkap dan tidak dapat diganggu gugat (indefeasible). Bahkan, negara menjamin bahwa data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat adalah benar. Dengan demikian, apabila ternyata terdapat kesalahan prosedur dalam pendaftarannya yang mengakibatkan kerugian bagi pihak yang mungkin lebih berhak, maka negara memberikan jaminan dana kompensasi (Hanstad, 1998; Zevenbergen, 2002). Jaminan keamanan bagi tanah yang terdaftar ada tiga kriteria, yaitu (1) benda (property) atau tanah yang terdaftar (the property register); (2) kepemilikan atau penguasaan (the proprietorship register); dan (3) jaminan hak-hak yang ada (the charges register). Perbandingan antara sistem publikasi positif dengan publikasi negatif dapat dilihat pada Tabel II.2.

Tabel II.2 Perbandingan Sistem Publikasi Dalam Pendaftaran Tanah Perbedaan Sistem Publikasi Negatif Sistem Publikasi Positif Jenis sistem

pendaftaran tanah

Akta (registration of deeds) Hak (registration of titles) Sifat

sertifikat dan buku tanah

Sebagai tanda bukti yang bersifat kuat

Sebagai tanda bukti yang bersifat mutlak fisik dan data yuridis dalam sertifikat adalah benar, selama tidak dibuktikan dengan alat bukti lain.

Apabila data dalam sertifikat tidak

Negara menjamin bahwa data fisik dan data yuridis dalam sertifikat adalah benar, tidak dapat diganggu gugat, serta memberikan kepercayaan yang

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

14

Perbedaan Sistem Publikasi Negatif Sistem Publikasi Positif benar, maka dapat dilakukan

perubahan berdasarkan keputusan pengadilan.

mutlak pada buku tanah

Kelebihan

 Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkan sertifikat dapat mengajukan keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan sertifikat

 Pihak ketiga yang memperoleh tanah dengan itikad baik bersifat pasif, karena tidak mendukung keakuratan dan kebenaran data dalam sertifikat

 Mekanisme kerja pejabat pendaftaran tanah kurang transparan, sehingga kurang dapat dipahami oleh masyarakat awam.

 Waktu sangat lama, karena pelaksanaan pendaftaran tanah bersifat aktif dan teliti;

 Pemilik hak atas tanah yang sebenarnya akan kehilangan hak

 Wewenang pengadilan diletakkan dalam wewenang administratif karena penerbitan sertifikat tidak dapat diganggu gugat.

Sumber: Dikembangkan dari PP 24/1997; Effendy (1993); Dale (1995); Hanstad (1998);

Zevenbergen (2002); Suardi (2005); Xavier, 2011

II.2.3 Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Negara Lain

Subbab ini akan menguraikan tentang perbedaan antara negara yang menggunakan sistem pendaftaran tanah publikasi negatif dengan negara yang menggunakan sistem pendaftaran tanah publikasi positif. Negara yang menjadi contoh penerapan sistem pendaftaran tanah publikasi negatif adalah Indonesia, sedangkan negara yang menjadi contoh penerapan sistem pendaftaran tanah publikasi positif adalah Australia, Malaysia, Hongkong, Kanada, Inggris, Tanzania, dan Austria.

a. Sistem Pendaftaran Tanah di Indonesia

Sistem pendaftaran tanah di Indonesia menurut PP 24/1997 menggunakan sistem pendaftaran tanah publikasi negatif bertendensi positif. Maksud dari sistem publikasi negatif bertendensi positif adalah sistem pendaftaran tanah ini menggunakan sistem pendaftaran hak (sistem Torrens / registration of titles), tetapi sistem publikasinya belum dapat positif murni. Hal ini dikarenakan, data fisik dan data yuridis dalam sertifikat tanah belum pasti benar, meskipun harus diterima oleh Pengadilan sebagai data yang benar selama tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya (Indiraharti, 2009). Selain

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 15 itu, apabila suatu pihak mengalami kehilangan hak atas tanah akibat pengalihan hak atas tanah oleh pihak lain secara ilegal atau kesalahan dalam register, maka pemerintah tidak memberikan jaminan ganti rugi. Guna mengatasi kelemahan sistem publikasi dalam sistem pendaftaran tanah tersebut, selama ini Indonesia menggunakan lembaga rechtsverwerking.

Penggunaan lembaga rechtsverwerking disebabkan oleh hukum tanah Indonesia masih menggunakan dasar hukum adat dan tidak mengenal lembaga lain, seperti acquisideve verjaring atau adverse possession. Dalam hukum adat, apabila seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan oleh orang lain yang memperoleh hak atas tanah tersebut dengan itikad baik, maka pemilik tanah semula akan mengalami kehilangan hak atas tanahnya (UUPA).

b. Sistem Pendaftaran Tanah di Negara Lain

Kebalikan dari sistem pendaftaran tanah di Indonesia, sebagian besar negara-negara di dunia telah menerapkan Sistem Torrens atau sistem publikasi positif sebagai sistem pendaftaran tanahnya, terutama negara-negara maju. Beberapa contoh negara yang sudah menerapkan sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanahnya antara lain Australia, Malaysia, Hongkong, Kanada, Inggris, Tanzania, dan Austria. Dalam menerapkan sistem publikasi positif, negara-negara tersebut juga menerapkan konsep indefeasible dan indemnity sebagai bentuk pemberian kompensasi ganti rugi atas kesalahan dalam sertifikasi hak atas tanah.

Di Australia, sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem publikasi positif yang dikenal dengan nama sistem Torrens, yang diatur dalam Land Titles Act 1925. Di Malaysia, sistem pendaftaran tanah diatur di dalam National Land Code. Penerapan sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanah telah diberlakukan sejak tahun 1965. Namun demikian, di dalam penerapan sistem pendaftaran tanah publikasi positif, Malaysia juga menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam dan hukum adat (Wu dan Kepli, 2011). Sementara itu, pada

Di Australia, sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem publikasi positif yang dikenal dengan nama sistem Torrens, yang diatur dalam Land Titles Act 1925. Di Malaysia, sistem pendaftaran tanah diatur di dalam National Land Code. Penerapan sistem publikasi positif dalam sistem pendaftaran tanah telah diberlakukan sejak tahun 1965. Namun demikian, di dalam penerapan sistem pendaftaran tanah publikasi positif, Malaysia juga menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam dan hukum adat (Wu dan Kepli, 2011). Sementara itu, pada

Dalam dokumen TIM PENYUSUN LAPORAN (Halaman 15-0)