• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Negara Lain Dalam Persiapan Perubahan Sistem Publikasi Positif

Dalam dokumen TIM PENYUSUN LAPORAN (Halaman 31-0)

BAB II Tinjauan Pustaka

II.4 Upaya Negara Lain Dalam Persiapan Perubahan Sistem Publikasi Positif

Sebagian besar ahli setuju bahwa berbagai jenis sistem pendaftaran tanah merupakan elemen penting untuk perkembangan ekonomi pasar. Tanah adalah sumberdaya fundamental yang paling efektif digunakan dan dipertukarkan saat hak atas tanah telah teregister. Dalam upaya merancang sistem pendaftaran tanah yang baru, terdapat hal-hal penting yang harus dilakukan guna memperoleh keberhasilan dalam penerapan sistem pendaftaran tanah yang baru (Hanstad, 1998).

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

22

Kondisi penting untuk memperoleh keberhasilan (Hanstad, 1998), antara lain:

Pemilik tanah dan orang lain harus secara umum memahami dan mendukung pengenalan sistem pendaftaran tanah yang baru. Sebelum merancang sistem pendaftaran tanah yang baru, masyarakat diharuskan untuk terlabih dahulu memperoleh sosialisasi dari pemerintah. Pada sosialisasi ini masyarakat perlu mengetahui dan memahami dengan baik sistem pendaftaran yang baru, baik keuntungan dan kelebihan sistem maupun ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam sistem pendaftaran yang baru,.

Pemerintah harus memahami biaya pengeluaran dan durasi operasi yang dibutuhkan pada sistem pendaftaran tanah yang baru. Pendaftaran tanah adalah sebuah investasi jangka panjang. Untuk persiapan penerapan sistem pendaftaran tanah yang baru, pemerintah akan membutuhkan jumlah anggaran yang cukup besar, sementara, pemeliharaan terhadap pelaksanaan sistem pendaftaran tanah selanjutnya adalah tanggungjawab permanen yang harus sangat diperhatikan. Oleh sebab itu, apabila sistem pendaftaran tanah yang baru tidak dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan, maka sistem pendaftaran tanah ini sebaiknya dihentikan karena akan membutuhkan biaya yang semakin mahal.

Hak atas tanah dan batas-batas properti harus dapat dikenali dan didefinisikan dengan jelas. Hak atas tanah yang ada pada pengguna tanah dan batas-batas kepemilikan tanah mereka harus dapat dikenali/diketahui dan didefinisikan dengan jelas agar tidak menimbulkan sengketa yang berkepanjangan. Penentuan batas-batas kepemilikan properti dapat dilakukan dengan cara meletakkan pagar buatan, pagar dari tanaman, tanggul, sungai, dan sebagainya, bahkan cara ini dapat mengurangi biaya.

Pelaksanaan survei tanah yang berkualitas dan jumlah pegawai juru ukur harus sesuai dengan jumlah bidang tanah yang harus disertifikatkan. Kompilasi dan pemeliharaan sistem pendaftaran tanah sangat bergantung pada jumlah ketersediaan pegawai juru ukur tanah yang kompeten, profesional, dan berkualitas.

Harus tersedia sistem pembangunan hak atas tanah. Agar pendaftaran tanah dapat berhasil dengan baik, maka diperlukan sistem kepemilikan hak atas tanah yang telah dibangun dan dikembangkan. Sistem pendaftaran tanah meregister hak tanah secara legal. Namun demikian, apabila hak-hak atas tanah tersebut masih bersifat ambigu, tidak ada, atau kurang baik, maka pendaftaran hak-hak atas kepemilikan tanah menjadi mahal dan boros.

Kesimpulan

Dari uraian tinjauan pustaka mengenai sistem pendaftaran tanah di atas ditemukan beberapa hal yang menjadi perhatian utama dalam upaya perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif. Guna merealisasikan penerapan sistem publikasi positif, terdapat hal-hal penting yang harus diperhatikan, yaitu pemerintah harus memahami keadaan yang membuat pendaftaran tanah sangat diperlukan, pemerintah harus mampu memenuhi

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 23 kondisi prasyarat, dan pemerintah diharapkan melakukan berbagai upaya agar memperoleh keberhasilan.

Keadaan yang membuat pendaftaran tanah menjadi sangat diperlukan, antara lain: (1) belum kuatnya jaminan kepastian hukum hak atas tanah yang menimbulkan ketidakamanan dan ketidakpastian hak kepemilikan tanah; (2) terdapat perkembangan awal dari pasar tanah; (3) terdapat permasalahan sengketa tanah yang cukup tinggi dan berlarut-larut; (3) terdapat kebutuhan untuk menyediakan dasar kredit, terutama bagi para petani; (4) terdapat upaya melakukan perumusan pelaksanaan redistribusi tanah dengan cari legalisasi dan redistribusi tanah.

Selain itu, terdapat beberapa kondisi prasyarat yang harus dipenuhi oleh Indonesia dalam upaya merealisasikan sistem publikasi positif, yaitu: (1) tercapainya cakupan wilayah bidang tanah bersertifikat mencapai 80% dari wilayah nasional; (2) tercapainya cakupan peta dasar pertanahan mencapai 80% dari wilayah nasional; (3) terpenuhinya tata batas kawasan hutan dengan peta skala kadastral dipublikasi dan terintegrasi dengan sistem pendaftaran tanah nasional; serta (4) terpenuhinya pemetaan tanah adat/ulayat. Agar penerapan sistem publikasi yang baru dalam sistem pendaftaran tanah memperoleh keberhasilan, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah, antara lain:

1. Pemahaman pemerintah terkait biaya pengeluaran dan durasi operasi yang dibutuhkan pada sistem pendaftaran tanah yang baru. Pada dasarnya, pendaftaran tanah adalah sebuah investasi jangka panjang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengetahui kemampuan anggaran biaya pemerintah. Namun, apabila sistem pendaftaran tanah yang baru tidak dapat dilakukan secara efisien dan berkelanjutan, maka sebaiknya dihentikan karena akan membutuhkan biaya yang semakin mahal.

2. Sosialisasi dan Evaluasi. Seluruh penduduk Indonesia, baik masyarakat maupun pemerintah, harus mengenal, memahami, dan mendukung sistem publikasi yang baru untuk sistem pendaftaran tanah melalui sosialisasi dari pemerintah (BPN) . Selain sistem publikasi sebelumnya dalam sistem pendaftaran tanah dari penduduk. Tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui berbagai kekurangan dan kelebihan, baik halangan maupun kualitas pelayanan pendaftaran tanah. Melalui upaya sosialisasi dan evaluasi ini diharapkan dapat mencegah timbulnya permasalahan yang sama dalam penerapan sistem publikasi tanah yang baru.

3. Perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem pendaftaran tanah.

Berbagai peraturan perundang-undang tentang pendaftaran tanah di Indonesia harus diamandemen sesuai dengan penerapan sistem publikasi tanah yang baru. Pasal-pasal yang mengalami perubahan harus sangat jelas dan dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Kejelasan dalam perundang-undangan akan sangat membantu pemerintah daerah dalam melakukan tugas-tugasnya. Hal-hal yang harus ada dalam isi undang-undang pendaftaran tanah yang baru, antara lain:

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

24

Penerapan tiga prinsip utama di dalam hukum indefeasible.

Penentuan jenis kompensasi ganti rugi atas kesalahan dalam register (immediate indefeasible atau deffered indefeasible),

 Penentuan tanah yang dapat didaftarkan atau dilegalisasikan. Tanah-tanah ini berupa tanah yang diperoleh sebelum 17 Agustus 1945 (sebelum Indonesia merdeka), tanah waris dari pendudukan penjajah, tanah wakaf yang sebelumnya dimiliki secara mutlak dan secara sah telah diberikan, dan sebagainya.

4. Terselesaikannya berbagai isu dan permasalahan terkait pertanahan. Berbagai isu dan permasalahan terkait pertanahan di Indonesia harus dapat terselesaikan dengan baik.

Terselesaikannya isu dan permasalahan pertanahan dengan baik merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pemerintah dalam upaya perubahan sistem publikasi positif. Hal ini mengacu pada uraian di atas bahwa penerapan sistem publikasi positif dianggap siap apabila: (1) jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah sudah jelas; (2) tidak ada lagi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah oleh satu kelompok atau individu tertentu; (3) kinerja pelayanan pertanahan sudah optimal dengan jumlah juru ukur yang memadai. Peningkatan kinerja juru ukur dapat dilakukan melalui pelatihan, pemantauan kinerja juru ukur setiap provinsi, hingga penerapan transparansi kinerja juru ukur pertanahan; serta (4) ketersediaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sudah terjamin.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 25

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI KAJIAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas wilayah sebesar 189,073 juta Ha dengan jumlah pulau kurang lebih sebanyak 17.508 pulau. Luas wilayah Indonesia terdiri dari luas daratan sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairan sebesar 3.257.483 km2. Batas wilayah administrasi Indonesia, yaitu:

 Utara: Malaysia, Singapura, Filipina, dan Laut Cina Selatan

 Selatan: Australia dan Samudera Hindia

 Barat: Samudera Hindia

 Timur: Papua Nugini, Timor Leste, dan Samudera Pasifik

Indonesia secara umum terdiri dari kawasan hutan dan kawasan budidaya. Kawasan hutan di Indonesia diklasifikasikan menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi.

Luas kawasan hutan di Indonesia ini mendominasi sebagian besar wilayah daratan, yaitu mencapai 124.022.848,67 Ha. Sementara itu, kawasan budidaya diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis penggunaan, seperti permukiman, industri, pertanian, dan sebagainya. Luas kawasan budidaya di Indonesia adalah sekitar 64.324.754,31 Ha dari seluruh wilayah daratan (lebih lengkap lihat Tabel III.1)

Seluruh kawasan budidaya (kawasan non-hutan) di Indonesia harus didaftarkan dan memiliki sertifikat hak atas tanah untuk setiap peruntukkannya. Pendaftaran hak atas tanah di Indonesia diatur oleh sistem pendaftaran tanah publikasi negatif bertendensi positif (lihat penjelasan pada Bab II). Akan tetapi, sistem publikasi ini ternyata sering menimbulkan masalah pertanahan. Salah satu upaya penyelesaian masalah pertanahan ini adalah mengganti sistem publikasi negatif bertendensi positif menjadi sistem publikasi positif murni. Ada beberapa hal penting yang harus dicapai agar sistem publikasi positif dapat diterapkan di Indonesia, salah satunya adalah tercapainya cakupan peta dasar pertanahan hingga 80% dan tercapainya cakupan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi hingga 70%

pada seluruh provinsi di Indonesia. Untuk mengetahui capaian cakupan peta-peta tersebut pada masing-masing provinsi, kajian ini melakukan identifikasi pada lima provinsi pilihan.

Provinsi-provinsi ini antara lain Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara.

Namun demikian, pada bab ini akan dibahas terlebih dahulu tentang deskripsi umum kelima provinsi pilihan dan kasus-kasus pertanahan. Deskripsi umum meliputi kondisi geografis wilayah, luas administrasi, luas darat dan laut, hingga luas kawasan hutan dan budidaya.

Sedangkan, pembahasan lebih lanjut tentang cakupan peta pendaftaran tanah dan cakupan peta bidang tanah terdigitasi akan di bahas pada Bab IV.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

26

Tabel III.1 Luas Kawasan Hutan dan Budidaya di Indonesia Tahun 2013

No. Provinsi Luas Hutan (Ha)

Luas Budidaya (Ha)

Luas Wilayah Daratan Provinsi

(Ha)

1 Aceh 3.388.280,71 2.293.894,50 5.682.175,21

2 Bali 127.271,01 430.782,66 558.053,67

3 Banten 201.787,00 732.307,14 934.094,14

4 Bengkulu 924.631,00 1.081.984,64 2.006.615,64

5 DI Yogyakarta 16.819,52 298.332,38 315.151,90

6 DKI Jakarta 475,45 64.623,82 65.099,27

7 Gorontalo 824.668,00 420.247,38 1.244.915,38

8 Jambi 2.107.779,00 2.769.107,17 4.876.886,17

9 Jawa Barat 816.603,00 2.875.796,22 3.692.399,22

10 Jawa Tengah 647.133,00 2.788.249,39 3.435.382,39

11 Jawa Timur 1.357.640,00 3.439.007,49 4.796.647,49

12 Kalimantan Barat 8.168.088,47 6.420.377,40 14.588.465,87

13 Kalimantan Selatan 1.779.982,00 1.965.240,50 3.745.222,50

14 Kalimantan Tengah 12.697.165,00 2.602.813,50 15.299.978,50

15 Kalimantan Timur 13.952.513,00 4.258.575,96 18.211.088,96

16 Kalimantan Utara 1.326.458,49 1.326.458,49

17 Kep. Bangka

Belitung 654.562,00 1.008.077,41 1.662.639,41

18 Kep. Riau 603.354,32 229.819,83 833.174,15

19 Lampung 1.004.735,00 2.417.687,64 3.422.422,64

20 Maluku 3.923.559,96 720.481,21 4.644.041,17

21 Maluku Utara 2.515.220,00 629.517,46 3.144.737,46

22 Nusa Tenggara

Barat 1.035.838,00 928.105,55 1.963.943,55

23 Nusa Tenggara

Timur 1.686.640,00 3.030.839,11 4.717.479,11

24 Papua 29.368.482,00 1.746.190,12 31.114.672,12

25 Papua Barat 9.377.855,06 521.870,51 9.899.725,57

26 Riau 7.121.344,00 1.805.133,04 8.926.477,04

27 Sulawesi Barat 1.107.058,00 570.776,65 1.677.834,65

28 Sulawesi Selatan 2.118.992,00 2.375.862,88 4.494.854,88

29 Sulawesi Tengah 3.964.840,00 2.078.666,53 6.043.506,53

30 Sulawesi Tenggara 2.326.419,00 1.273.329,97 3.599.748,97

31 Sulawesi Utara 695.162,00 750.253,17 1.445.415,17

32 Sumatera Barat 2.342.894,00 1.848.089,33 4.190.983,33

33 Sumatera Selatan 3.422.937,17 5.195.630,61 8.618.567,78

34 Sumatera Utara 3.742.120,00 3.426.624,65 7.168.744,65

INDONESIA 124.022.848,67 64.324.754,31 188.347.602,98 Sumber: Direktorat Pemetaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN

(2014, dalam Kementerian PPN/Bappenas, 2015)

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 27 III.1 Gambaran Umum Provinsi Kajian

Pada bagian ini, terlebih dahulu akan diuraikan tentang kondisi umum masing-masing provinsi kajian seperti yang tercantum pada Tabel III.2 di bawah. Kondisi umum masing-masing provinsi menguraikan tentang luas wilayah administrasi, luas darat dan laut, luas kawasan hutan dan kawasan budidaya, serta luas lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). LP2B merupakan salah satu bagian dari kawasan non-hutan. LP2B merupakan lahan yang tidak boleh dimanfaatkan selain untuk lahan produksi pangan. Di samping itu, LP2B juga salah satu upaya pemerintah untuk melindungi lahan pertanian pangan akibat adanya peningkatan laju konversi lahan sawah atau pertanian pangan yang cukup pesat setiap tahunnya.

Tabel III.2 Kondisi Umum Provinsi Kajian

No Provinsi

Utara 18.186.065 11.051.503 7.134.562 3.055.795 4.078.767 0 2 Sumatera

Selatan 8.708.732

Tidak Teridentifik

asi

8.708.732 3.466.900 5.241.832 759.240

3

Nusa Tenggara Barat

4.931.219 2.915.904 2.015.315 1.071.722 943.593 828.401

4 Kalimantan

Selatan 3.725.445 43.464 3.681.981 1.739.696 1.942.285 353.803 5 Sulawesi

Sumber: Kantor Wilayah BPN Masing-masing Provinsi Kajian, 2016

Akan tetapi, Tabel III.2 di atas tidak menunjukkan adanya penetapan lahan untuk LP2B di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Diduga, pemerintah daerah kedua provinsi ini belum menetapkan lahan-lahan yang khusus diperuntukkan sebagai LP2B guna mendukung ketahanan pangan di daerah mereka. Selain itu, pada pembagian wilayah administrasi yang khusus untuk kawasan laut di kedua provinsi ini juga tidak teridentifikasi jumlahnya. Tidak teridentifikasinya luas kawasan laut di kedua provinsi ini dapat disebabkan oleh data yang dimiliki Kanwil BPN kedua provinsi belum tersusun dengan baik atau belum valid. Lebih lanjut tentang deskripsi masing-masing provinsi kajian diuraikan sebagai berikut.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

28

a. Provinsi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara secara geografis terletak antara 1 - 4 Lintang Selatan dan 98 - 100 Bujur Timur. Provinsi Sumatera Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh dan Selat Malaka di sebelah Utara; Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Barat, dan Samudera Indonesia di sebelah Selatan; Provinsi Aceh dan Samudera Indonesia di sebelah Barat; dan Selat Malaka di sebelah Timur. Luas administrasi Provinsi Sumatera Utara adalah sekitar 18.186.065 Ha yang terbagi menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Sumatera Utara hanya terbagi menjadi kawasan hutan (tanpa LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menjadi 25 kabupaten dan 8 kota. Data yang diperoleh dari Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa tidak ada lahan yang digunakan untuk LP2B. Lebih lengkap tentang pembagian wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada Gambar III.1.

Gambar III.1 Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2016 Sumber: Kanwil BPN Sumatera Utara, 2016

b. Provinsi Sumatera Selatan

Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak antara 1 - 4 Lintang Selatan dan 102 - 106 Bujur Timur. Provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di sebelah Utara; Provinsi Lampung di sebelah Selatan; Provinsi Bangka Belitung di sebelah Timur; dan Provinsi Bengkulu di sebelah Barat. Luas administrasi Provinsi Sumatera Selatan adalah sekitar 8.708.732 Ha yang terbagi menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Sumatera Selatan ini terbagi menjadi kawasan hutan (termasuk LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menjadi 13 kabupaten dan 4 kota. Akan tetapi, data yang diperoleh dari Kanwil BPN Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa luas kawasan perairan tidak teridentifikasi (Kanwil BPN Provinsi Sumatera Selatan, 2016). Lebih lengkap tentang pembagian wilayah Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada Gambar III.2 beriku.

Luas Kawasan Hutan 3.055.795 Ha

LP2B 0 Ha (Tidak Ada)

Luas Kawasan Budidaya

4.078.767 Ha

Luas Provinsi 18.186.065 Ha

Luas Daratan 7.134.562 Ha 7.134.561,69 Ha

Luas Laut 11.051.503 Ha (Tidak

Ada)

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 29 Gambar III.2 Penggunaan Lahan di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2016

Sumber: Kanwil BPN Sumatera Selatan, 2016 c. Provinsi Nusa Tenggara Barat

Provinsi Nusa Tenggara Barat secara geografis terletak antara 8 - 9 Lintang Selatan dan 115 - 119 Bujur Timur. Provinsi Nusa Tenggara Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Laut Flores di sebelah Utara; Samudera Hindia di sebelah Selatan; Provinsi Nusa Tenggara Timur di sebelah Timur; dan Provinsi Bali di sebelah Barat. Luas administrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sekitar 4.931.219 Ha yang terbagi menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Nusa Tenggara Barat ini terbagi menjadi kawasan hutan (termasuk LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menajdi 9 kabupaten dan 1 kota (Kanwil BPN Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2016). Lebih lengkap tentang pembagian wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada Gambar III.3.

Gambar III.3 Penggunaan Lahan di Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2016 Sumber: Kanwil BPN Nusa Tenggara Barat, 2016

d. Provinsi Kalimantan Selatan

Provinsi Kalimantan Selatan secara geografis terletak antara 1 - 4 Lintang Selatan dan 114

- 116 Bujur Timur. Provinsi Kalimantan Timur di sebelah Utara; Laut Jawa di sebelah Selatan; Selat Makasar di sebelah Timur; dan Provinsi Kalimantan Tengah di sebelah Barat.

Luas administrasi Provinsi Kalimantan Selatan adalah sekitar 3.725.445 Ha yang terbagi menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Kalimantan Selatan terbagi

Luas Kawasan Hutan 3.466.900 Ha

LP2B 759.240 Ha

Luas Kawasan Budidaya

5.241.832 Ha Luas Daratan

8.708.732 Ha

Luas Laut 0 Ha (Tidak Ada) Luas Provinsi

8.708.732 Ha

Luas Kawasan Hutan 1.071.722 Ha

LP2B 828.401 Ha

Luas Kawasan Budidaya

943.593 Ha

Luas Provinsi 4.931.219 Ha

Luas Daratan 2.015.315 Ha 7.134.561,69 Ha

Luas Laut 2.915.904 Ha (Tidak

Ada)

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

30

menjadi kawasan hutan (termasuk LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menjadi 11 kabupaten dan 2 kota (Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Selatan, 2016). Lebih lengkap tentang pembagian wilayah Provinsi Kalimantan Selatan dapat dilihat pada Gambar III.4.

Gambar III.4 Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016 Sumber: Kanwil BPN Kalimantan Selatan, 2016

e. Provinsi Sulawesi Utara

Provinsi Sulawesi Utara secara geografis terletak antara 0 - 3 Lintang Utara dan 123 - 126 Bujur Timur. Provinsi Sulawesi Utara berbatasan dengan Negara Filipina di sebelah Utara; Laut Maluku dan Teluk Tomini di sebelah Selatan; Laut Maluku dan Samudera Pasifik di sebelah Timur; dan Laut Sulawesi dan Provinsi Gorontalo di sebelah Barat. Luas administrasi Provinsi Sulawesi Utara adalah sekitar 1.527.283 Ha yang terbagi menjadi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan Provinsi Sulawesi Utara terbagi menjadi kawasan hutan (tanpa LP2B) dan kawasan budidaya, serta terbagi menjadi 11 kabupaten dan 4 kota (Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Utara, 2016). Akan tetapi, data yang diperoleh dari Kanwil BPN Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa luas kawasan perairan tidak teridentifikasi dan tidak ada lahan khusus yang digunakan untuk LP2B. Lebih lengkap tentang pembagian wilayah Provinsi Sulawesi Utara dapat dilihat pada Gambar III.5 berikut.

Gambar III.5 Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2016 Sumber: Kanwil BPN Sulawesi Utara, 2016

Luas Kawasan Hutan 1.739.696 Ha

LP2B 353.803 Ha Luas Kawasan Budidaya

1.942.285 Ha

Luas Provinsi 3.725.445 Ha

Luas Daratan 3.681.981 Ha

Luas Laut 43.464 Ha

Luas Kawasan Hutan 778.504 Ha

LP2B 0 Ha

Luas Kawasan Budidaya

748.779,525 Ha

Luas Provinsi 1.527.283 Ha

Luas Daratan 1.527.283 Ha

Luas Laut 0 Ha (Tidak Ada)

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 31 III.2 Kasus-kasus Pertanahan di Provinsi Kajian

Kasus pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara pertanahan yang diampaikan kepada Kementerian ATR/BPN untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selama ini, penyelesaian kasus pertanahan dilaksanakan oleh BPN melalui mekanisme Gelar Kasus Pertanahan (Pasal 1 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011). Tabel III.3 di bawah menunjukkan jumlah kasus masing-masing provinsi kajian pada masing-masing jenis kasus pertanahan.

Tabel III.3 Jumlah Kasus Pertanahan di Provinsi Kajian Provinsi

Jenis Kasus

Sumatera Utara

Sumatera Selatan

Nusa Tenggara

Barat

Kalimantan Selatan

Sulawesi Utara Penguasaan Tanah Tanpa

Hak – 22 56 1 –

Sengketa Batas – 2 8 1 –

Sengketa Waris – – 14 – –

Sengketa Tanah Adat – – 3 – –

Jual Berkali-kali – – 4 – –

Sertifikat Ganda – – – 2 –

Sertifikat Pengganti – – 1 1 –

Kekeliruan Penunjukkan

Batas – – 5 – –

Tumpang Tindih – 2 5 – –

Putusan Pengadilan – 4 9 4 –

Jumlah Kasus 0 30 105 9 0

Sumber: Kanwil BPN Masing-masing Provinsi Kajian, 2016

Tabel III.3 di atas menunjukkan bahwa di antara kelima provinsi kajian, nampak bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang paling banyak menghadapi berbagai kasus pertanahan. Banyaknya kasus pertanahan yang dihadapi oleh Provinsi Nusa Tenggara Barat diduga disebabkan oleh sebagian besar tanah di NTB masih berupa tanah adat/ulayat yang tidak mudah untuk ditentukan kepemilikan hak atas tanahnya. Di samping itu, peta-peta tanah bersertifikat di Provinsi Nusa Tenggara Barat masih banyak yang saling tumpang tindih dan masih banyak yang belum jelas jenis kepemilikan hak atas tanahnya. Sebaliknya, data dari Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa kedua provinsi tidak memiliki kasus pertanahan. Kondisi demikian diduga disebabkan oleh kurangnya data yang dimiliki masing-masing provinsi atau data yang terdapat pada Kanwil BPN kedua provinsi belum tersusun dengan baik dan rapi, sehingga belum dapat memberikan data jumlah kasus pertanahan dengan baik dan lengkap.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas

32

Selain hal tersebut, Tabel III.3 juga menunjukkan bahwa jenis kasus penguasaan tanah tanpa hak menjadi kasus paling banyak dihadapi oleh Provinsi Sumatera Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan, kasus sengketa batas dan putusan pengadilan menjadi kasus paling banyak kedua di setiap provinsi, meskipun demikian jumlah masing-masing kasus ini masih sedikit apabila dibandingkan dengan kasus penguasaan tanah tanpa hak. Akan tetapi, seluruh jumlah kasus pertanahan di setiap provinsi kajian ini belum valid dan belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya data yang diperoleh dari seluruh provinsi kajian.

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan - Bappenas 33

BAB IV

ANALISIS CAPAIAN PETA DASAR PERTANAHAN DAN PETA BIDANG TANAH BERSERTIFIKAT

Analisis capaian peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat dilakukan untuk mengetahui pencapaian kondisi prasyarat yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019.

Cakupan peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat terdigitasi akan diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendahnya persentase cakupan, yaitu (1) Sangat rendah (<20%); (2) Rendah (20% - <40%); (3) Sedang (40% - <60%); (4) Tinggi (60% - < 80%); dan (5) Sangat Tinggi (>80%). Guna mengetahui perkiraan capaian cakupan peta-peta tersebut di seluruh Indonesia, pada kajian ini di ambil sampel 5 provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Kalimantan Selatan, dan Provinsi Sulawesi Utara. Pemilihan kelima provinsi ini didasarkan pada kondisi cakupan peta dasar pertanahan maupun peta bidang tanah bersertifikat dari yang cukup rendah hingga cukup tinggi di seluruh Indonesia.

Selanjutnya, bab ini akan membahas tentang kemungkinan adanya perubahan sistem pendaftaran tanah publikasi positif di Indonesia berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari lima provinsi. Data dan informasi ini antara lain kondisi cakupan peta dasar pertanahan dan peta bidang tanah bersertifikat di provinsi kajian, faktor-faktor penghambat pencapaian cakupan peta, ketersediaan juru ukur di provinsi kajian, kasus-kasus pertanahan di provinsi kajian, serta upaya percepatan capaian cakupan peta yang diajukan oleh masing-masing provinsi kajian.

IV.1 Peta Dasar Pertanahan

Peta dasar pertanahan adalah peta yang memuat titik-titik dasar teknik pengukuran dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan, dan batas fisik bidang-bidang tanah (PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah). Peta dasar pertanahan ini dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional masing-masing provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia yang meliputi pemasangan, pengukuran, pemetaan, dan pemeliharaan titik-titik dasar teknik

Peta dasar pertanahan adalah peta yang memuat titik-titik dasar teknik pengukuran dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan, dan batas fisik bidang-bidang tanah (PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah). Peta dasar pertanahan ini dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional masing-masing provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia yang meliputi pemasangan, pengukuran, pemetaan, dan pemeliharaan titik-titik dasar teknik

Dalam dokumen TIM PENYUSUN LAPORAN (Halaman 31-0)