• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Kerangka Konseptual

I. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan karya ilmiah maka penulis akan menjabarkan metode penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab dengan perincian sebagai berikut:

BAB I Bab pendahuluan ini memiliki komposisi latar belakang permasalahan, identifikasi, pembatasan serta rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual dan metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II Pada bab ini komposisi yang dimuat oleh penulis terkait dengan kajian teori mengenai Gambaran Umum Gadai seperti pengertian, rukun dan syarat serta dasar hukum gadai. Dan juga konsep Perlindungan Hukum Konsumen, Asas dan Tujuan, serta Teori Hukum Kontrak, Asas dan Syarat Sahnya sebuah Perjanjian.

BAB III Dalam bab ini berisi data-data penelitian seperti gambaran umum, profil, sejarah, visi dan misi, struktur organisasi, produk Bank DKI Syariah, serta prosedur dan mekanisme gadai emas.

BAB IV Bab ini berisi mengenai analisis data yang telah diperoleh, lalu mengaitkan data tersebut dengan regulasi dan teori-teori yang ada dengan bahasan mengenai perlindungan hukum nasabah gadai syariah dan juga konsep kesesuaian praktik dan kontrak gadai pada Bank DKI Syariah Cabang Fatmawati.

BAB V Dalam bab penutup ini penulis akan menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah di jabarkan pada bab sebelumnya, serta pemberian beberapa pendapat dan saran.

12 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis

1. Gambaran Umum Gadai a. Pengertian Gadai

Secara etimologis Ar-rahn memiliki arti tsubut (tetap), dawam (terus-menerus) dan habs (menahan).8 Adapun secara terminologi Arrahn adalah menahan harta jaminan milik debitur atas segala pinjaman yang diberikan oleh kreditur tanpa menghilangkan hak kepemilikan barang tersebut.9

Sedangkan pengertian gadai yang termaktub dalam Pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh seseorang yang mempunyai piutang atas sesuatu barang bergerak, yaitu barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh orang yang mempunyai utang atau orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.10

Selain pengertian rahn yang telah di tuangkan di atas, terdapat juga pengertian gadai (rahn) yang telah di ungkapkan oleh pakar ekonomi islam Muhammad Syafi’i Antonio telah mendefinisikan bahwasanya gadai syariah adalah menahan salah satu harta milik nasabah sebagi barang jaminan atas utang/pinjaman yang diterimanya. Barang jaminan tersebut memiliki nilai ekonomis.

Dengan demikian, pihak yang menahan atau menerima gadai memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.11

8 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002). h. 105

9 Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). h 1

10 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insani, 2001). h 130

11 Antonio. h 128

13

Berdasarkan pengertian gadai yang telah dikemukakan di atas, bahwa gadai (rahn) adalah menahan barang yang bersifat materi milik seseorang yang melakukan sebuah pinjaman untuk dijadikan sebagai jaminan atas utang tersebut. Dan debitur rida atas barangnya untuk dijadikan sebagai pengganti dari sebagian atau seluruh jumlah utangnya yang tidak dapat dibayarkan kepada kreditur.

b. Rukun dan Syarat Gadai

Akad adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang berkeinginan untuk mengikatkan diri.12 Oleh sebab itu sebelum menyatakan hak dan kewajiban dalam sebuah akad maka terlebih dahulu para pihak untuk memenuhi rukun dan syarat dari sebuah gadai syariah menurut ulama syafiiyah terdiri dari aqid, marhun, marhun bih, dan shighat.13 Rukun tersebut memiliki ketentuan syariah yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya yaitu:

1) Aqid, pelaku atau para pihak harus memiliki kecakapan hukum dan kemampuan dalam melaksanakannya.

2) Marhun. (Objek yang digadaikan):

a) Dapat diperjual belikan b) Berupa harta yang bernilai.

c) Dapat ditentukan spesifikasinya d) Kepemilikan mutlak

3) Marhun bih. (Utang) a) Marhun bih harus jelas

12 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia (Yogyakarta: Gajah Mada University, 2007). h 10

13 Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012).

h 202

14

b) Memungkinkan pemanfaatan, jika utang tidak bisa dimanfaatkan maka tidak sah.

c) Marhun bih itu dapat dilunasi dengan marhun

4) Shighat, ijab qabul adalah pernyataan baik secara tertulis atau pun lisan antara para pihak yang menunjukkan adanya kesepakatan transaksi gadai tersebut.

Ketentuan Rahn Emas berdasarkan Fatwa DSN Nomor.26/DSN-MUI/III/2002 tentan Rahn Emas yaitu:

1) Rahn Emas diperbolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn).

2) Ongkos dan biaya penyimpanan barang (Marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin)

3) Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.

4) Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad ijarah. Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang).

Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu

15

menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya". (Al-Baqarah 283).

b) Hadits Artinya: " Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau". (HR.

Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).

2. Gambaran Umum Perlindungan Konsumen a. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum sejatinya telah diatur oleh negara melalui pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pada alinea ke-4 dengan menyebutkan Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Serta menjunjung tinggi pengakuan akan harkat dan martabat manusia melalui filosofi dasar ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan juga keadilan sebagaimana termaktub dalam butir pancasila.

Atas dasar tersebut sejumlah ahli telah mengungkapkan pendapatnya mengenai pengertian dari perlindungan hukum secara khusus diantaranya:

Menurut Satjipto Raharjo mendefinisikan, “Perlindungan Hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan

16

orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum”.14

Menurut Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa, “Perlindungan Hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan”.15

Dari uraian diatas dapat digambarkan bahwasanya perlindungan hukum adalah sebuah usaha untuk mempertahankan hak seseorang dari perbuatan orang lain yang bersifat merugikan, dan ketentuan tersebut telah dijamin oleh hukum.

Penting adanya perlindungan hukum atas subjek hukum agar segala ketentuan haknya tidak direnggut secara sepihak oleh orang lain. Hal tersebut dilakukan guna mencapai tujuan hukum yakni keadilan, kepastian serta kemanfaatan hukum.

b. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang dibuat untuk menjadi pelindung hak konsumen, hal ini dibutuhkan karena notabennya ketika konsumen bersinggungan langsung dengan pelaku usaha jasa keuangan maka kedudukan konsumen relatif tidak seimbang. Berikut pengertian mengenai perlindungan konsumen.:

Undang-undang Perlindungan Konsumen mengacu pada proses pembuatan kontrak bahwa proses pembuatan kontrak termasuk tahapan lahirnya sebuah kontrak yang mengikat perjanjian diantara pihak yang berakad. Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

14 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000). h.6

15 Philipus M.Hadjon, Perlindungan Bagi Rakyat Di Indonesia (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987). h.1-2

17

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.16

Berdasarkan pasal 1 ayat 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2013, perlindungan konsumen adalah perlindungan terhadap konsumen dengan cakupan perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Hukum perlindungan konsumen Menurut Sidobalok adalah

“Keseluruhan peraturan dan hukum yang mengatur hak dan kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.”17

c. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Didalam perlindungan konsumen terdapat asas sebagaimana pasal 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: “Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala kegiatan dalam melaksanakan perlindungan konsumen harus berkontribusi untuk memberikan manfaat seluas-luasnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha.

2) Asas keadilan dimaksud agar terjadi sebuah pelaksanaan yang adil dan menyeluruh antara para pihak dalam hal menjalankan hak dan kewajibannya.

16 Abdul R Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori Dan Contoh Kasus (Jakarta:

Prenada Media Group, 2007). h 221

17 “Pengertian Perlindungan Konsumen, Tujuan Dan Asasnya,” accessed April 15, 2020, https://www.seputarpengetahuan.co.id/2018/06/pengertian-perlindungan-konsumen-tujuan-asas-asas.html.

18

3) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan kesinambungan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan guna memberikan pertanggungan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam pelaksanaan penggunaan produk yang digunakan.

5) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar para pihak menjalankan norma-norma yang telah ditentukan oleh sehingga mendapatkan sebuah rangkaian kepastian hukum dalam pelaksanaannya.

Sedangkan tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:18

1) Meningkatkan kualitas konsumen dalam hal melindungi dirinya dari unsur kerugian.

2) Menjamin harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari segal hal negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

3) Meningkatkan kualitas konsumen dalam mempertahankan hak-haknya.

4) Mewujudkan sistem perlindungan konsumen yang menjamin tegaknya kepastian hukum dan keterbukaan informasi.

5) Menuntut keharusan bagi pelaku usaha untuk bersikap bertanggung jawab guna menjaga perlindungan bagi konsumennya.

18 Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori Dan Contoh Kasus. h 221

19

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen.

3. Hukum Kontrak

a. Pengertian Perjanjian

Perjanjian memiliki definisi yang beragam menurut para sarjana hukum nasional. Secara umum, perjanjian yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti bahwasanya perjanjian adalah sebuah persetujuan baik tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

Wirjono Prodjodikoro, mendefinisikan bahwa “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.19

Subekti mengatakan, “asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda) yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian tidak sah dan tidak mengikat sebagai Undang-undang”.20

Berdasarkan uraian para ahli diatas dapat digambarkan bahwasanya perjanjian adalah sebuah kesepakatan untuk menentukan hak dan kewajiban yang dapat di negosiasikan terlebih dahulu oleh kedua belah pihak selama hal tersebut tidak bertentangan dengan

perundang-19 Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Jakarta: Mandar Maju, 2011). h.4

20 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1996). h.15

20

undangan, ketertiban umum ataupun kesusilaan. Para pihak pun dituntut untuk melaksanakan apa yang telah mereka sepakati di awal, dan jika salah satu tidak melaksanakannya maka pihak yang lain dapat melakukan tuntutan terhadap prestasi tersebut.

b. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Syarat sahnya suatu perjanjian termaktub dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berbunyi: “Untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat: Sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal”.21

Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. Dalam arti, bahwa salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah satu pihak yang dirugikan atau pihak yang tidak cakap. Sedangkan dalam hal apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapdat dikategorikan batal demi hukum.

c. Asas-asas Perjanjian

21 R. Subekti R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT. Balai Pustaka, 2014). Pasal 1320

21

Dalam hukum perjanjian dikenal tiga asas penting, yaitu asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda.

Berikut penjelasan dari asas tersebut:

1) Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme adalah bahwa suatu perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak.

Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.22

2) Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.

Salim HS menyatakan, bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.23

3) Asas Pacta Sunt Servanda

Asas Pacta Sunt Servanda berhubungan dengan akibat dari perjanjian, yaitu asas yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 KUHPer yang menyebutkan: semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

22 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: PT Intermasa, 1990). h 15

23 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) (Jakarta: sinar grafika, 2011). h 158

22

B. Review Penelitian Terdahulu

Sebelum dilakukannya penelitian lebih lanjut, sudah terdapat beberapa kajian yang memiliki hubungan yang erat dengan penelitian penulis. Namun, terdapat aspek perbedaan serta persamaan diantaranya:

Penelitian yang dilakukan Anggia Jancynthia Nurizki Wardhani dilakukan pada Bank Syariah Mandiri Cabang Surabaya hal tersebut dilatar belakangi karena BSM telah meraih sebuah penghargaan bergengsi dari sebuah majalah investor pada tahun 2008 sebagai Bank Umum Syariah terbaik. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis pendekatan studi kasus.24

Sebelum menjalankan produk gadai emasnya pihak Bank terlebih dahulu melakukan kualifikasi terhadap nasabah yang ingin mengajukan sebuah pembiayaan. Dengan cara diajukannya sebuah kontrak yang akan mengikat antara kedua belah pihak. Hal tersebut dilakukan guna menghindari risiko kerugian yang mugkin kelak akan diderita oleh bank atas perilaku nasabah yang hendak melakukan wanprestasi.

Berdasarkan hasil penelitian, segala pelaksanaan ketentuan yang terkait dengan gadai emas di Bank BRI Syariah KCP Dharmahusada telah sesuai dengan Fatwa DSN MUI. Akan tetapi terdapat kesenjangan dalam hal prosedur penetapan jumlah biaya ijarah yang masih dilakukan penilaiannya terhadap jumlah nominal pinjaman yang diberikan kepada nasabah, tentu hal tersebut bertentangan dengan Fatwa DSN MUI No.25.

Persamaan penelitian Anggia Jancynthia Nurizki Wardhani dengan skripsi penulis adalah terletak pada kesamaan analisa akad yang sama yaitu akad Rahn serta pada pelaksanaan praktik yang dijalankan oleh pihak bank yang diindikasikan dapat merugikan konsumen sektor jasa keuangan secara

24 Wardhani, “Kesesuaian Produk Emas Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Di Bank Syariah Mandiri Surabaya.”

23

tidak langsung atas perbuatan tersebut. Sedangkan perbedaannya terletak pada studi kasus yang memfokuskan peneliti pada Bank DKI Syariah serta aspek perlindungan konsumen sektor jasa keuangan terhadap praktik dan klausul kontrak yang juga memiliki indikasi dapat merugikan konsumen sektor jasa keuangan.

Selanjutnya dalam pembahasan gadai emas yang dilakukan oleh Maulidizen di BRI Syariah Cabang Pekan Baru25, dapat disimpulkan bahwasanya banyak segi manfaat yang dihasilkan dari pembiayaan gadai emas diantaranya dapat memudahkan nasabah untuk memenuhi biaya yang dibutuhkan secara cepat dan tanpa harus kehilangan hak milik emasnya.

Akan tetapi dalam metode pelunasan apabila setelah 4 hari jatuh tempo nasabah tidak memiliki itikad baik untuk melunasi utang tersebut, maka pihak bank diperbolehkan untuk melelang barang gadai emas yang digadaikan kepadanya. Namun dalam pelaksanaan eksekusi emas nasabah yang dilakukan oleh pihak bank tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur yang berlaku di BRI Syariah, seharusnya yang ditempuh adalah jalur lelang yang melibatkan berbagai macam kalangan untuk membelinya, tetapi dalam praktiknya yang dilakukan hanyalah menelpon toko emas yang berada diwilayah setempat lalu melakukan negosiasi sampai adanya kesepakatan jual beli, dan hasil penjualan tersebut digunakan untuk menutupi biaya nasabah.

Persamaan penelitian Maulidizen dengan penulis adalah terletak pada analisis praktik gadai emas, akan tetapi terdapat perbedaan yang mana penulis akan menganalisis serta mengaitkan praktik yang di indikasikan tidak sesuai dengan SOP tersebut dengan ketentuan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.

25 Ahmad Maulidizen, “Aplikasi Gadai Emas Syari’ah: Studi Kasus Pada BRI Syari’ah Cabang Pekanbaru” 1 (2016).

24

Penelitian selanjutnya yakni dalam sektor Keuangan Mikro Syariah dengan objek pada BMT Al Muqrin Pondok Cabe Pamulang Banten yang di lakukan oleh Imam Sofi’i.26 Hasil dalam penelitian tersebut tidak ditemukan perbedaan akad dalam transaksi gadai emas pada umumnya sebagaimana telah diatur oleh Fatwa DSN. Akan tetapi masih terdapat unsur yang tidak sesuai dalam pelaksanaannya secara langsung dengan fatwa dalam hal penerapan biaya ijarah yang masih dikaitkan dengan jumlah pinjaman nasabah.

Sebelum melakukan pembiayaan gadai emas pihak BMT terlebih dahulu mengajukan sebuah kontrak yang terdiri dari tiga prinsip akad yakni qardh, ijarah dan juga rahn. Akad qardh dipergunakan untuk memberikan uang pembiayaan kepada nasabah, dan akad rahn diaplikasikan untuk menggadaikan barang nasabah, serta akad ijarah dipergunakan untuk mencari laba keuntungan BMT dalam hal pemeliharaan barang jaminan kepemilikan nasabah.

Persamaan penelitian Imam Sofi’i dengan skripsi penulis adalah kedua penelitian tersebut menganalisis akad yang diterapkan pada produk gadai emas syariah, dan juga prihal praktik yang memiliki potensi dapat merugikan nasabah secara tidak langsung dalam pelaksanaan penentuan biaya ijarah. Sedangkan perbedaannya terletak pada objek studi kasus yang dilakukan yaitu antara BMT dengan Bank DKI Syariah serta penulis akan membahas mengenai praktik dan klausula kontrak pembiayaan gadai emas yang dapat merugikan nasabah sektor jasa keuangan dan juga diindikasikan tidak sesuai dengan Fatwa DSN serta penulis akan mengaitkan hal tersebut dengan aspek perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.

Dalam tulisan Desmy Riani membahas tentang implementasi gadai emas pada Bank BRI Syariah.27 Dalam penelitian ini ditemukan beberapa faktor

26 Sofii, “Analisis Transaksi Gadai Emas Dalam Perspektif Islam (Studi Kasus Pada BMT Al Muqrin Pondok Cabe Pamulang Banten).”

27 Riani, “Analisa Akad Rahn Dan Penerapannya Pada Produk Gadai Emas Di Bank Syariah Mandiri.”

25

yang menyebabkan produk gadai emas yang di jalankan masih mengandung unsur ribawi diantaranya adalah terdapat penggabungan akad rahn dengan akad ijarah yang dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh syariah karena terjadi penggabungan antara akad-jual beli dengan qardh.

Faktor lain yang menyebabkan produk gadai emas pada Bank BRI Syariah mengandung unsur ribawi adalah terletak pada penetapan biaya ujroh yang mengacu pada besaran nilai pinjaman yang diberikan oleh pihak bank, bukan pada besaran sewa penyimpanan atas barang yang di jaminkan oleh nasabah.

Persamaan tulisan Desmy Riani dengan skripsi penulis adalah terletak pada analisa kontrak atau akad yang sama yaitu pembiayaan gadai emas dan juga pelaksanaan pembiayaan gadai emas yang di indikasikan dapat merugikan nasabah sektor jasa keuangan secara tidak langsung. Akan tetapi terdapat perbedaan disini yaitu penelitian Desmy Riani tidak mengaitkan pelaksanaan pembiayaan tersebut yang di indikasikan dapat merugikan nasabah dengan aspek perlindungan konsumen sektor jasa keuangan yang akan di teliti lebih dalam oleh penulis.

Secara garis besar dapat terlihat bahwa perbedaan mendasar penelitian yang akan penulis lakukan terletak pada analisis terhadap praktik pelaksanaan dan kontrak pembiayaan gadai emas di Bank DKI Syariah Cabang Fatmawati serta mengaitkannya dengan aspek perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.

26 BAB III

PROFIL BANK DKI SYARIAH A. Latar Belakang dan Sejarah Perusahaan

Semakin meningkatnya perbankan syariah saat ini tidak terlepas dari keyakinan masyarakat Indonesia dengan sistem perbankan yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah, hal ini mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan perbankan yang adil, transparan, dan dapat memberikan kemaslahatan untuk semua kalangan umat.

Bank DKI Syariah merupakan Unit Usaha Syariah (UUS) dari PT. Bank DKI berdasarkan Surat Izin Bank Indonesia No. 6/371/DPbS tanggal 8 Maret 2004. Bank DKI Syariah diresmikan operasional usahanya pada tanggal 16 Maret 2004 oleh Gubernur DKI Jakarta Bpk. H. Sutiyoso bertempat di Gedung Cabang Syariah Wahid Hasyim Jl. KH. Wahid Hasyim no, 153, Jakarta Pusat.28

Dengan pemberian modal dari PT. Bank DKI pada saat dibentuknya unit usaha syariah sebesar Rp 2 miliar. Akhir tahun 2007 meningkat menjadi Rp 100 miliar.Bank DKI Syariah bertekad untuk dapat memberikan pelayanan kepada

Dengan pemberian modal dari PT. Bank DKI pada saat dibentuknya unit usaha syariah sebesar Rp 2 miliar. Akhir tahun 2007 meningkat menjadi Rp 100 miliar.Bank DKI Syariah bertekad untuk dapat memberikan pelayanan kepada