• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Batasan Masalah D. Tujuan Penulisan E. Manfaat Penulisan F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

BAB II SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL A. Pemodelan Matematis

B. Persamaan Diferensial C. Matriks Jacobian

D. Nilai Eigen dan Vektor Eigen E. Persamaan Karakteristik F. Polinomial Karakteristik G. Kriteria Routh-Hurwitz H. Titik Kesetimbangan

I. Kestabilan Titik Kesetimbangan J. Bilangan Reproduksi Dasar K. Matriks Generasi Berikutnya L. Metode Runge-Kutta Orde Empat

BAB III MODEL MATEMATIS PENYEBARAN COVID-19 YANG MELIBATKAN PENURUNAN KEKEBALAN TUBUH

A. Asumsi-Asumsi yang Digunakan B. Penyusunan Model

C. Analisis Titik Kesetimbangan

D. Analisis Kestabilan Titik Kesetimbangan E. Bilangan Reproduksi Dasar

BAB IV PENYELESAIAN NUMERIS DENGAN METODE RUNGE-KUTTA ORDE EMPAT

A. Skema Penyelesaian Model dengan Menggunakan Metode Runge-Kutta Orde Empat

B. Penyelesaian Model

C. Analisis Pengaruh Adanya Penurunan Kekebalan Tubuh D. Penyelesaian Model dengan Adanya Laju Vaksinasi E. Analisis Pengaruh Adanya Vaksinasi

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

7 BAB II

PEMODELAN MATEMATIS DAN SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL

Dalam bab ini akan dibahas mengenai landasan teori yang menjadi dasar dari skripsi ini. Landasan teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah pemodelan matematis, persamaan diferensial, matriks Jacobian, nilai eigen dan vektor eigen, persamaan karakteristik, polinomial karakteristik, kriteria Routh-Hurwitz, titik kesetimbangan, kestabilan titik kesetimbangan, bilangan reproduksi dasar, matriks generasi berikutnya , dan metode Runge-Kutta orde empat.

A. Pemodelan Matematis

Pada bagian ini akan dijelaskan pemodelan matematis dan langkah-langkah dalam penyusunan model matematis yang baik. Referensi yang digunakan diambil dari buku A First Course in Mathematical Modeling, fifth edition (Giodarno, et al., 2014).

Pemodelan matematis merupakan salah satu cara untuk menggambarkan permasalahan kompleks ke dalam bentuk matematika. Model matematis merupakan penyederhanaan dan konstruksi matematika terkait bagian dari kenyataan atau fenomena dunia nyata yang dirancang untuk suatu tujuan tertentu. Model matematis dapat berupa persamaan atau pertidaksamaan.

Model matematis yang dibentuk harus mampu menjelaskan permasalahan yang sedang diamati.

Model matematis yang baik dapat disusun melalui beberapa langkah.

Langkah-langkah dalam penyusunan model matematis tersebut adalah:

1. Mengidentifikasi Masalah

Langkah pertama dalam menyusun model matematis adalah mengidentifikasi masalah. Biasanya langkah awal ini adalah langkah yang sulit karena dalam situasi kehidupan nyata, bentuk permasalahan matematika yang harus dipecahkan dari masalah yang ingin diidentif ikasi tidak diberikan secara langsung. Oleh karena itu, pada langkah ini harus

dilakukan proses pemilahan data yang akan digunakan dan mengidentifikasi beberapa aspek tertentu yang akan dipelajari sesuai dengan masalah yang dipilih. Selain itu, dalam mengidentifikasi masalah perlu ditetapkan pertanyaan dan tujuan apa yang ingin dijawab. Pertanyaan ini merupakan suatu hal yang penting karena menjadi sebuah acuan dalam membangun model matematis.

2. Membuat Asumsi

Langkah selanjutnya adalah membuat asumsi. Pada langkah ini, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masalah harus ditentukan. Akan tetapi, dalam penyusunan model matematis, tidak semua faktor tersebut dapat digunakan karena akan mempengaruhi kompleksitas model matematika dari masalah yang diidentifikasi. Dalam hal ini, model matematis dari masalah tersebut dapat disederhanakan dengan mengurangi jumlah faktor yang akan dipertimbangkan dalam penyusunan model. Selain itu, hubungan antara variabel harus ditentukan. Dengan mengasumsikan hubungan yang relatif sederhana dapat mengurangi kompleksitas masalah.

Dengan demikian, asumsi dibagi menjadi dua bagian:

a. Klasifikasi Variabel

Hal-hal yang mempengaruhi masalah dan telah diidentifikasi pada langkah pertama disebut sebagai variabel. Variabel dapat diklasifikasikan menjadi variabel terikat atau variabel bebas. Dalam hal ini, variabel yang dijelaskan dalam model adalah variabel terikat, dan variabel yang tersisa adalah variabel bebas.

b. Menentukan Keterkaitan antara Variabel

Sebelum menentukan keterkaitan antara variabel, umumnya dibuat beberapa penyederhanaan tambahan. Masalah yang ingin diidentifikasi mungkin sangat kompleks sehingga kita tidak dapat melihat hubungan antara variabel-variabel yang ada. Oleh karena itu, perlu untuk mempelajari submodel, yang mempelajari satu atau lebih variabel bebas secara terpisah dan pada akhirnya menghubungkan submodel tersebut secara bersama-sama. Selain itu, dengan mempelajari

berbagai teknik, seperti proporsionalitas, akan membantu dalam menentukan keterkaitan antara variabel.

3. Menyelesaikan atau Menginterpretasikan Model

Langkah ketiga adalah menyelesaikan atau menginterpretasikan model. Yang dilakukan pada langkah ini adalah mengumpulkan semua submodel untuk melihat informasi apa yang dapat diambil dari model yang dibentuk. Model dapat terdiri dari persamaan atau pertidaksamaan matematis yang kemudian harus diselesaikan. Pada saat menyelesaikan model tersebut, ada kemungkinan dimana kurangnya informasi yang menyebabkan tidak dapat menyelesaikan model tersebut. Selain itu, ada kejadian dimana kita mungkin berakhir dengan model yang begitu kompleks sehingga kita tidak dapat menyelesaikannya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan kembali ke langkah dua, yaitu dengan membuat asumsi tambahan untuk menyederhanakan model.

4. Verifikasi Model

Langkah berikutnya adalah verifikasi model. Sebelum model dapat digunakan, harus dilakukan verifikasi atau pengujian terlebih dahulu.

Dalam hal ini, pengujian dapat dilakukan dengan menjawab tiga pertanyaan berikut:

a. Apakah model dapat menjawab masalah yang diidentifikasi pada langkah pertama?

b. Apakah model dapat digunakan secara praktis, yang artinya bisa atau tidaknya dikumpulkan data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan model?

c. Apakah model tersebut masuk akal?

5. Implementasi Model

Langkah selanjutnya adalah implementasi model. Model yang diverifikasi dapat kita implementasikan sesuai dengan data yang kita miliki.

Model yang dibangun ini diharapkan dapat bermanfaat dan dipahami dengan mudah oleh siapapun.

6. Mempertahankan Model

Langkah terakhir dalam penyusunan model matematis adalah mempertahankan model. Langkah ini mengingatkan bahwa model yang telah dibuat diturunkan atau didasarkan pada identifikasi masalah pada langkah pertama dan asumsi pada langkah kedua. Oleh karena itu, model harus tetap dipertahankan berdasarkan kedua hal tersebut.

B. Persamaan Diferensial

Pada subbab ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa, persamaan diferensial parsial, orde dari persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa linear, persamaaan diferensial biasa nonlinear, sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama, dan sistem persamaan diferensial biasa nonlinear.

1. Persamaan Diferensial

Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian persamaan diferensial beserta contohnya.

Definisi 2.2.1

Persamaan diferensial adalah persamaan yang melibatkan turunan dari satu atau lebih variabel terikat terhadap satu atau lebih variabel bebas dengan variabel terikat tersebut (Ross, 1989). Dengan kata lain, persamaan diferensial adalah persamaan yang melibatkan hubungan fungsi dengan turunan-turunannya.

Contoh 2.2.1

Berikut ini adalah beberapa contoh dari persamaan diferensial:

๐‘‘2๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ2+ ๐‘ฅ๐‘ฆ (๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ)

2

= 0 ๐‘‘4๐‘ฅ

๐‘‘๐‘ก4 + 5๐‘‘2๐‘ฅ

๐‘‘๐‘ก2 + 3๐‘ฅ = sin ๐‘ก ๐‘‘๐‘ข

๐‘‘๐‘ง + ๐‘ง2๐‘ข = ๐‘ง๐‘’๐‘ง

๐œ•๐‘ฃ

๐œ•๐‘  +๐œ•๐‘ฃ

๐œ•๐‘ก = ๐‘ฃ

(2.2.1) (2.2.2) (2.2.3) (2.2.4)

๐œ•2๐‘ 

๐œ•๐‘ฅ2+ ๐œ•2๐‘ 

๐œ•๐‘ฆ2+๐œ•2๐‘ 

๐œ•๐‘ง2 = 0

๐œ•4๐‘ค

๐œ•๐‘ฅ2๐œ•๐‘ฆ2+๐œ•2๐‘ค

๐œ•๐‘ฅ2 +๐œ•2๐‘ค

๐œ•๐‘ฆ2 + ๐‘ค = 0

2. Persamaan Diferensial Biasa

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian persamaan diferensial biasa dan contohnya.

Definisi 2.2.2

Persamaan diferensial biasa (PDB) adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan biasa dari satu atau lebih variabel terikat terhadap satu variabel bebas (Ross, 1989).

Contoh 2.2.2

Persamaan (2.2.1), (2.2.2), dan (2.2.3) adalah persamaan diferensial biasa. Pada persamaan (2.2.1), variabel ๐‘ฅ adalah variabel bebas dan variabel ๐‘ฆ adalah variabel terikatnya. Pada persamaan (2.2.2), variabel bebasnya adalah ๐‘ก dan variabel terikatnya adalah ๐‘ฅ. Pada persamaan (2.2.3), variabel bebasnya adalah ๐‘ง dan variabel terikatnya adalah ๐‘ข

3. Persamaan Diferensial Parsial

Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian persamaan diferensial parsial beserta contohnya.

Definisi 2.2.3

Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan diferensial yang memuat turunan parsial dari satu atau lebih variabel terikat terhadap lebih dari satu variabel bebas(Ross, 1989).

Contoh 2.2.3

Persamaan (2.2.4), (2.2.5), dan (2.2.6) adalah persamaan diferensial parsial. Pada persamaan (2.2.4), variabel ๐‘  dan ๐‘ก adalah variabel bebas dan variabel ๐‘ฃ adalah variabel terikatnya. Pada persamaan (2.2.5), variabel bebasnya adalah ๐‘ฅ, ๐‘ฆ, dan ๐‘ง, sedangkan variabel terikatnya adalah (2.2.5)

(2.2.6)

๐‘ . Pada persamaan (2.2.6), variabel bebasnya adalah ๐‘ฅ dan ๐‘ฆ, sedangkan variabel terikatnya adalah ๐‘ค.

4. Orde dari Persamaan Diferensial

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian orde dari persamaan diferensial dan contohnya.

Definisi 2.2.4

Orde dari persamaan diferensial adalah derajat atau tingkat turunan tertinggi yang terlibat dalam persamaan diferensial (Ross, 1989).

Contoh 2.2.4

Persamaan (2.2.1) adalah persamaan diferensial biasa orde dua karena tingkat turunan tertingginya adalah dua. Persamaan (2.2.2) adalah persamaan diferensial biasa orde empat karena tingkat turunan tertingginya adalah empat. Persamaan (2.2.3) adalah persamaan diferensial biasa orde satu karena tingkat turunan tertingginya adalah satu. Selanjutnya, persamaan (2.2.4) adalah persamaan diferensial parsial orde satu karena tingkat turunan tertingginya adalah satu. Persamaan (2.2.5) adalah persamaan diferensial parsial orde dua karena tingkat turunan tertingginya adalah dua. Terakhir, persamaan (2.2.6) adalah persamaan diferensial parsial orde empat karena tingkat turunan tertingginya adalah empat.

5. Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde ke-๐’

Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa linear orde ke-๐‘› beserta contohnya.

Definisi 2.2.5

Suatu persamaan diferensial biasa linear orde ke-๐‘›, dimana variabel ๐‘ฆ adalah variabel terikat dan variabel ๐‘ฅ adalah variabel bebas, adalah suatu persamaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk:

๐‘Ž0(๐‘ฅ)๐‘‘๐‘›๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ๐‘›+ ๐‘Ž1(๐‘ฅ)๐‘‘๐‘›โˆ’1๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ๐‘›โˆ’1+ โ‹ฏ + ๐‘Ž๐‘›โˆ’1(๐‘ฅ)๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ + ๐‘Ž๐‘›(๐‘ฅ)๐‘ฆ = ๐‘(๐‘ฅ) dengan ๐‘Ž0(๐‘ฅ) โ‰  0 (Ross, 1989). Perhatikan bahwa

a. Variabel terikat ๐‘ฆ dan turunannya hanya terjadi pada pangkat pertama.

b. Tidak ada perkalian antara ๐‘ฆ dan turunannya.

Contoh 2.2.5

Berikut ini adalah contoh persamaan diferensial biasa linear:

๐‘‘2๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ2+ 5๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+ 6๐‘ฆ = 0 ๐‘‘4๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ4+ ๐‘ฅ2๐‘‘3๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ3+ ๐‘ฅ3๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ = ๐‘ฅ๐‘’๐‘ฅ

Pada persamaan (2.2.7) dan (2.2.8), variabel ๐‘ฆ adalah variabel bebas.

Perhatikan bahwa ๐‘ฆ dan turunannya hanya terjadi pada pangkat pertama dan tidak ada perkalian antara ๐‘ฆ dan turunannya.

6. Persamaan Diferensial Biasa Nonlinear

Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa nonlinear beserta contohnya.

Definisi 2.2.6

Persamaan diferensial biasa yang tidak linear disebut Persamaan diferensial biasa nonlinear (Ross, 1989).

Contoh 2.2.6

Berikut ini adalah contoh persamaan diferensial biasa nonlinear:

๐‘‘2๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ2+ 5๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+ 6๐‘ฆ2= 0 ๐‘‘2๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ2+ 5 (๐‘‘๐‘ฆ ๐‘‘๐‘ฅ)

3

+ 6๐‘ฆ = 0 ๐‘‘2๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ2+ 5๐‘ฆ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+ 6๐‘ฆ = 0

Persamaan (2.2.9) adalah PDB nonlinear karena variabel terikat ๐‘ฆ muncul dalam pangkat dua, yakni ๐‘ฆ2. Persamaan (2.2.10) adalah PDB nonlinear karena terdapat bentuk 5 (๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ)3, yang artinya terdapat pangkat tiga dari turunan pertamanya. Persamaan (2.2.11) juga merupakan PDB nonlinear (2.2.7) (2.2.8)

(2.2.9) (2.2.10) (2.2.11)

karena terdapat bentuk 5๐‘ฆ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ, yang artinya terdapat perkalian antara variabel terikat dan turunan pertamanya.

7. Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde Pertama

Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa linear orde pertama dan contohnya.

Definisi 2.2.6

Persamaan diferensial biasa linear orde pertama dengan variabel terikat ๐‘ฆ dan variabel bebas ๐‘ฅ adalah persamaan yang secara umum berbentuk

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+ ๐‘ƒ(๐‘ฅ)๐‘ฆ = ๐‘„(๐‘ฅ)

dengan ๐‘ƒ dan ๐‘„ adalah fungsi terhadap ๐‘ฅ atau konstanta yang diberikan (Ross, 1989).

Contoh 2.2.6

Perhatikan persamaan berikut:

๐‘ฅ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+ (๐‘ฅ + 1)๐‘ฆ = ๐‘ฅ4 (4 + ๐‘ฅ2)๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+ 2๐‘ฅ๐‘ฆ = 4๐‘ฅ ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+2

๐‘ฅ๐‘ฆ = sin 3๐‘ฅ ๐‘ฅ2

Persamaan (2.2.13), (2.2.14), dan (2.2.15) adalah persamaan diferensial biasa linear orde pertama. Persamaan (2.2.13) dapat diubah ke dalam bentuk (2.2.12) dengan mengalikan kedua ruas dengan 1

๐‘ฅ, sehingga bentuknya menjadi seperti persamaan (2.2.12) dengan ๐‘ƒ(๐‘ฅ) = (๐‘ฅ+1)

๐‘ฅ dan ๐‘„(๐‘ฅ) = ๐‘ฅ3. Persamaan (2.2.14) juga dapat diubah ke dalam bentuk (2.2.12) dengan mengalikan kedua ruas dengan 1

4+๐‘ก2, sehingga bentuknya menjadi seperti persamaan (2.2.12) dimana ๐‘ƒ(๐‘ฅ) = 2๐‘ฅ

4+๐‘ฅ2 dan ๐‘„(๐‘ฅ) = 4๐‘ฅ

4+๐‘ฅ2. (2.2.12)

(2.2.13) (2.2.14) (2.2.15)

Persamaan (2.2.15) memiliki bentuk yang sama seperti persamaan (2.2.12) dengan ๐‘ƒ(๐‘ฅ) =2

๐‘ฅ dan ๐‘„(๐‘ฅ) =sin 3๐‘ฅ

๐‘ฅ2 .

8. Persamaan Diferensial Biasa Nonlinear Orde Pertama

Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama beserta contohnya.

Definisi 2.2.7

Persamaan diferensial biasa orde pertama yang tidak linear atau tidak dapat ditulis atau dibentuk dalam bentuk persamaan (2.2.12) disebut persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama (Ross, 1989).

Contoh 2.2.7

Perhatikan persamaan berikut:

๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ = ๐‘ฅ๐‘ฆ3 ๐‘‘๐‘ฆ

๐‘‘๐‘ฅ+ ๐‘ƒ(๐‘ฅ)๐‘ฆ + ๐‘„(๐‘ฅ)๐‘ฆ4= ๐‘…(๐‘ฅ)

Persamaan (2.2.16) adalah persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama dengan variabel terikatnya adalah variabel ๐‘ฆ dan variabel bebasnya adalah variabel ๐‘ฅ. Penyebab persamaan (2.2.16) merupakan persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama adalah variabel ๐‘ฆ yang memuat pangkat tiga, yaitu ๐‘ฆ3. Persamaan (2.2.17) adalah persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama dengan variabel terikatnya adalah variabel ๐‘ฆ dan variabel bebasnya adalah variabel ๐‘ฅ. Penyebab persamaan (2.2.17) merupakan persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama adalah variabel ๐‘ฆ yang memuat pangkat empat, yaitu ๐‘ฆ4.

9. Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde Pertama

Pada bagian ini akan dibahas mengenai sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama dan contohnya.

(2.2.17) (2.2.16)

Definisi 2.2.8

Secara umum, bentuk dari sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama adalah

๐‘ฅ1โ€ฒ = ๐‘Ž11(๐‘ก)๐‘ฅ1+ ๐‘Ž12(๐‘ก)๐‘ฅ2+ โ‹ฏ + ๐‘Ž1๐‘›(๐‘ก)๐‘ฅ๐‘›+ ๐‘“1(๐‘ก), ๐‘ฅ2โ€ฒ = ๐‘Ž21(๐‘ก)๐‘ฅ1+ ๐‘Ž22(๐‘ก)๐‘ฅ2+ โ‹ฏ + ๐‘Ž1๐‘›(๐‘ก)๐‘ฅ๐‘›+ ๐‘“2(๐‘ก),

โ‹ฎ

๐‘ฅ๐‘›โ€ฒ = ๐‘Ž๐‘›1(๐‘ก)๐‘ฅ1+ ๐‘Ž๐‘›2(๐‘ก)๐‘ฅ2 + โ‹ฏ + ๐‘Ž๐‘›๐‘›(๐‘ก)๐‘ฅ๐‘› + ๐‘“๐‘›(๐‘ก)

dengan fungsi-fungsi yang diberikan (Boyce, 2012). Sistem persamaan (2.2.18) juga dapat disederhanakan menjadi bentuk:

๐ฑโ€ฒ = ๐€(๐‘ก)๐ฑ + ๐Ÿ(๐‘ก)

dengan ๐ฑโ€ฒ adalah vektor dengan elemen ๐‘ฅ1โ€ฒ, ๐‘ฅ2โ€ฒ, โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘›โ€ฒ, ๐€(t) adalah matriks ๐‘› ร— ๐‘› dengan elemen ๐‘Ž11(๐‘ก), ๐‘Ž12(๐‘ก), โ€ฆ , ๐‘Ž๐‘›๐‘›(๐‘ก) , ๐ฑ adalah vektor dengan elemen ๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2, โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘›, dan ๐Ÿ adalah vektor dengan elemen ๐‘“1(๐‘ก), ๐‘“2(๐‘ก), โ€ฆ , ๐‘“๐‘›(๐‘ก).

Contoh 2.2.8

Perhatikan contoh sistem persamaan berikut:

๐‘ฅ1โ€ฒ = โˆ’2๐‘ฅ1+ ๐‘ฅ2, ๐‘ฅ2โ€ฒ = ๐‘ฅ1โˆ’ 2๐‘ฅ2

๐‘ฅ1โ€ฒ = ๐‘ฅ2, ๐‘ฅ2โ€ฒ = โˆ’๐‘ฅ1โˆ’1

8๐‘ฅ2

Sistem persamaan (2.2.19) dan (2.2.20) adalah sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama. Pada persamaan (2.2.19) dan (2.2.20), variabel ๐‘ฅ1 dan ๐‘ฅ2 adalah variabel terikat.

10. Sistem Persamaan Diferensial Biasa Nonlinear Orde Pertama

Pada bagian ini akan dibahas mengenai sistem persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama beserta contohnya.

(2.2.18)

(2.2.19)

(2.2.20)

Definisi 2.2.9

Sistem persamaan diferensial biasa orde pertama yang tidak linear adalah sistem persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama (Boyce, 2012).

Contoh 2.2.9

Perhatikan contoh sistem persamaan berikut:

๐‘ฅ1โ€ฒ = ๐‘ฅ2(โˆ’2๐‘ฅ1+ ๐‘ฅ2), ๐‘ฅ2โ€ฒ = ๐‘ฅ1(๐‘ฅ1โˆ’ 2๐‘ฅ2)

Sistem persamaan (2.2.21) adalah sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama, dimana variabel ๐‘ฅ1 dan ๐‘ฅ2 adalah variabel terikat. Sistem persamaan tersebut merupakan sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama karena melibatkan perkalian ๐‘ฅ1 dan ๐‘ฅ2.

C. Matriks Jacobian

Pada bagian ini akan dibahas mengenai matriks Jacobian beserta contohnya. disebut matriks Jacobian dari ๐Ÿ di titik ๐ฑ (Perko, 2001).

Contoh 2.3.1

๐œ•๐‘“1

๐œ•๐‘ฅ1 = 1, ๐œ•๐‘“1

๐œ•๐‘ฅ2= โˆ’2๐‘ฅ2,

๐œ•๐‘“2

๐œ•๐‘ฅ1= ๐‘ฅ2, ๐œ•๐‘“2

๐œ•๐‘ฅ2= โˆ’1 + ๐‘ฅ1.

Dengan demikian, berdasarkan bentuk matriks (2.3.1), matriks Jacobian dari ๐‘“ di titik ๐ฑ = (1, โˆ’1)๐‘‡ adalah

๐ฝ(๐Ÿ(๐ฑ)) = (

๐œ•๐‘“1

๐œ•๐‘ฅ1(1, โˆ’1) ๐œ•๐‘“1

๐œ•๐‘ฅ2(1, โˆ’1)

๐œ•๐‘“2

๐œ•๐‘ฅ1(1, โˆ’1) ๐œ•๐‘“2

๐œ•๐‘ฅ2(1, โˆ’1) ) atau

๐ฝ(๐Ÿ(๐ฑ)) = ( 1 2

โˆ’1 0)

D. Nilai Eigen dan Vektor Eigen

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai nilai eigen dan vektor eigen beserta contohnya.

Definisi 2.4.1

Jika ๐ด adalah matriks ๐‘› ร— ๐‘›, maka vektor taknol ๐ฑ di โ„๐‘› disebut vektor eigen dari ๐ด bila ๐ด๐ฑ adalah perkalian skalar dari ๐ฑ sedemikian hingga

๐ด๐ฑ = ๐œ†๐’™

untuk beberapa skalar ๐œ†. Skalar ๐œ† disebut nilai eigen dari ๐ด dan ๐ฑ dikatakan sebagai vektor eigen yang bersesuaian atau berkaitan dengan ๐œ† (Anton and Rorres, 2013).

Contoh 2.4.1

Diketahui matriks ๐ด berukuran 2 ร— 2, yaitu ๐ด = [5 โˆ’6

2 โˆ’2]. Maka vektor ๐ฑ = [2

1] merupakan vektor eigen dari matriks ๐ด karena ๐ด๐ฑ = [5 โˆ’6

2 โˆ’2] [2 1] = [4

2] = 2 [2

1] = 2๐ฑ

Dapat diamati bahwa ๐ฑ adalah vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen ๐œ† = 2.

E. Persamaan Karakteristik

Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan karakteristik beserta contohnya.

Teorema 2.5.1

Jika ๐ด adalah matriks berukuran ๐‘› ร— ๐‘›, maka ๐œ† adalah nilai eigen dari matriks ๐ด jika dan hanya jika memenuhi persamaan

det(๐œ†๐ผ โˆ’ ๐ด) = 0

Persamaan (2.5.1) merupakan persamaan polinomial dalam ๐œ† dan disebut persamaan karakteristik dari matriks ๐ด (Anton and Rorres, 2013).

Contoh 2.5.1

Diberikan matriks ๐ด berukuran 2 ร— 2, yaitu ๐ด = [ 5 7

โˆ’2 โˆ’4].

Berdasarkan persamaan (2.5.1), diperoleh bahwa nilai eigen dari ๐ด adalah penyelesaian dari persamaan det(๐œ†๐ผ โˆ’ ๐ด) = 0, yang dapat ditulis sebagai berikut:

|๐œ† โˆ’ 5 7

โˆ’2 ๐œ† + 4| = 0 atau

(๐œ† โˆ’ 5)(๐œ† + 4) โˆ’ (โˆ’2)(7) = 0 atau

๐œ†2โˆ’ ๐œ† โˆ’ 6 = 0 atau

(๐œ† + 2)(๐œ† โˆ’ 3) = 0

Jadi, ๐ด mempunyai dua nilai eigen yaitu ๐œ†1= โˆ’2 dan ๐œ†2= 3.

F. Polinomial Karakteristik

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai polinomial karakteristik dan contohnya.

Definisi 2.6.1

Jika ๐ด adalah matriks berukuran ๐‘› ร— ๐‘›, maka persamaan (2.5.1) dapat dijabarkan dan persamaan karakteristik dari ๐ด akan berbentuk:

๐œ†๐‘›+ ๐‘1๐œ†๐‘›โˆ’1+ โ‹ฏ + ๐œ†๐‘๐‘›โˆ’1+ ๐‘๐‘› = 0

(2.5.1)

Persamaan polinomial

๐‘ƒ(๐œ†) = ๐œ†๐‘›+ ๐‘1๐œ†๐‘›โˆ’1+ โ‹ฏ + ๐œ†๐‘๐‘›โˆ’1 + ๐‘๐‘› disebut polinomial karakteristik dari ๐ด (Anton and Rorres, 2013).

Contoh 2.6.1

Perhatikan bahwa pada Contoh 2.5.1, persamaan karakteristiknya adalah

๐œ†2โˆ’ ๐œ† โˆ’ 6 = 0 Sehingga polinomial karakteristiknya adalah

๐‘ƒ(๐œ†) = ๐œ†2โˆ’ ๐œ† โˆ’ 6

Dapat dilihat bahwa persamaan (2.6.1) adalah polinomial karakteristik pangkat dua.

G. Kriteria Routh-Hurwitz

Pada bagian ini akan dibahas mengenai kriteria Routh-Hurwitz.

Referensi yang digunakan diambil dari buku An Introduction to Mathematical Biology (Allen, 2007).

Nilai eigen dapat diperoleh dengan menghitung nilai ๐œ† yang memenuhi persamaan det(๐œ†๐ผ โˆ’ ๐ด) = 0. Namun, permasalahan yang sering timbul adalah nilai akar-akar persamaan karakteristik yang sulit untuk didapatkan. Akibatnya, nilai akar-akar tersebut tidak diketahui. Dalam menentukan kestabilan, diperlukan suatu hal yang dapat menjamin bahwa nilai dari akar-akar persamaan karakteristik bernilai negatif atau tidak. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjamin bahwa nilai akar-akar persamaan karakteristik negatif atau tidak adalah dengan menggunakan kriteria Routh-Hurwitz.

Teorema 2.7.1

Diberikan polinomial karakteristik dalam bentuk polinomial pangkat ๐‘› berikut:

๐‘ƒ(๐œ†) = ๐œ†๐‘› + ๐‘Ž1๐œ†๐‘›โˆ’1+ ๐‘Ž2๐œ†๐‘›โˆ’2+ โ‹ฏ + ๐œ†๐‘Ž๐‘›โˆ’1+ ๐‘Ž๐‘›

dengan ๐‘Ž๐‘– adalah bilangan real, untuk ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘›. Didefinisikan ๐‘› matriks Hurwitz dengan menggunakan koefisien ๐‘Ž๐‘– dari polinomial karakteristik ๐‘ƒ(๐œ†):

๐ป1 = [๐‘Ž1],

(2.6.1)

๐ป2 = [๐‘Ž1 1 ๐‘Ž3 ๐‘Ž2], ๐ป3= [

๐‘Ž1 1 0

๐‘Ž3 ๐‘Ž2 ๐‘Ž1 ๐‘Ž5 ๐‘Ž4 ๐‘Ž3

],

โ‹ฎ

๐ป๐‘› = [

๐‘Ž1 1 0 0 โ‹ฏ 0

๐‘Ž3 ๐‘Ž2 ๐‘Ž1 1 โ‹ฏ 0 ๐‘Ž5 ๐‘Ž4 ๐‘Ž3 ๐‘Ž2 โ‹ฏ 0 ๐‘Ž7 ๐‘Ž6 ๐‘Ž5 ๐‘Ž4 โ‹ฏ 0

โ‹ฎ โ‹ฎ โ‹ฎ โ‹ฎ โ‹ฑ โ‹ฎ

0 0 0 0 โ‹ฏ ๐‘Ž๐‘›]

,

dimana ๐‘Ž๐‘—= 0 jika ๐‘— > ๐‘›. Semua akar dari polinomal karakteristik ๐‘ƒ(๐œ†) adalah negatif atau memiliki bagian real negatif jika dan hanya jika determinan dari semua matriks Hurwitz adalah positif, yakni

det(๐ป๐‘—) > 0, ๐‘— = 1, 2, 3, โ€ฆ , ๐‘›.

Untuk ๐‘› = 2, sesuai dengan kriteria Routh-Hurwitz, maka haruslah ๐‘Ž1 > 0 dan det(๐ป2) = ๐‘Ž1๐‘Ž2> 0 atau ๐‘Ž1> 0 dan ๐‘Ž2> 0. Untuk polinomial karakteristik berderajat ๐‘› = 3, 4 dan 5, kriteria Routh-Hurwitz yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut:

a. Untuk ๐‘› = 3, haruslah ๐‘Ž1 > 0, ๐‘Ž2> 0, ๐‘Ž3 > 0, dan ๐‘Ž1๐‘Ž2 > ๐‘Ž3

b. Untuk ๐‘› = 4, haruslah ๐‘Ž๐‘– > 0 untuk ๐‘– = 1, 2, 3 dan 4, serta memenuhi:

๐‘Ž1๐‘Ž2๐‘Ž3 > ๐‘Ž32+ ๐‘Ž12๐‘Ž4

c. Untuk ๐‘› = 5, haruslah ๐‘Ž๐‘– > 0 untuk ๐‘– = 1, 2, 3, 4 dan 5, serta memenuhi:

๐‘Ž1๐‘Ž2๐‘Ž3 > ๐‘Ž32+ ๐‘Ž12๐‘Ž4 dan

(๐‘Ž1๐‘Ž4โˆ’ ๐‘Ž5)(๐‘Ž1๐‘Ž2๐‘Ž3 โˆ’ ๐‘Ž32โˆ’ ๐‘Ž12๐‘Ž4) > ๐‘Ž5(๐‘Ž1๐‘Ž2โˆ’ ๐‘Ž3)2+ ๐‘Ž1๐‘Ž52

H. Titik Kesetimbangan

Pada bagian ini akan dibahas mengenai titik kesetimbangan beserta contohnya.

Titik kesetimbangan merupakan solusi dari suatu sistem persamaan diferensial yang tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Dalam sistem

epidemiologi terdapat dua jenis titik kesetimbangan, yaitu titik kesetimbangan bebas penyakit (disease-free equilibrium) dan titik kesetimbangan endemik (endemic equilibrium). Titik kesetimbangan bebas penyakit adalah titik dimana penyakit tidak mungkin menyebar pada suatu populasi karena jumlah individu yang terinfeksi penyakit sama dengan nol. Hal ini berarti menandakan keadaan dimana setiap individu dalam suatu populasi bebas dari virus, artinya tidak ada individu yang terinfeksi penyakit lagi. Titik kesetimbangan endemik adalah titik dimana penyakit pasti dapat menyebar pada suatu populasi. Hal ini juga berarti bahwa keadaan dimana penyakit tidak dapat hilang secara total, tetapi masih ada pada suatu populasi.

Berikut ini adalah definisi mengenai titik kesetimbangan.

Definisi 2.8.1

Diberikan suatu sistem persamaaan diferensial ๐‘ฅฬ‡ = ๐‘“(๐‘ฅ)

dimana ๐‘“: ๐ธ โŠ‚ โ„๐‘› โ†’ โ„๐‘›. Titik ๐‘ฅ0โˆˆ โ„๐‘› disebut titik kesetimbangan dari sistem persamaan (2.8.1) jika ๐‘“(๐‘ฅ0) = 0 (Perko, 2001).

Contoh 2.8.1

Tentukan titik kesetimbangan dari sistem persamaan diferensial yang diberikan sebagai berikut:

๐‘“(๐‘ฅ) = ( ๐‘ฅ1+ 2

4 โˆ’ (๐‘ฅ1๐‘ฅ2+ ๐‘ฅ12) ) Penyelesaian:

Berdasarkan Definisi 2.8.1, titik kesetimbangan dari sistem persamaan (2.8.2) adalah ๐‘ฅ0 jika ๐‘“(๐‘ฅ0) = 0. Sehingga untuk mendapatkan titik kesetimbangan, sistem persamaan (2.8.2) ditulis menjadi

๐‘ฅ1+ 2 = 0 4 โˆ’ (๐‘ฅ1๐‘ฅ2+ ๐‘ฅ12) = 0 Dari persamaan (2.8.3) didapatkan

๐‘ฅ1+ 2 = 0 atau

๐‘ฅ1= โˆ’2

(2.8.1)

(2.8.2)

(2.8.3) (2.8.4)

Subtitusi ๐‘ฅ1 = โˆ’2 ke persamaan (2.8.4), diperoleh 4 โˆ’ ((โˆ’2)๐‘ฅ2+ (โˆ’2)2) = 0 atau

4 โˆ’ (4 โˆ’ 2๐‘ฅ2) = 0 atau

2๐‘ฅ2= 0 atau

๐‘ฅ2 = 0

Diperoleh ๐‘ฅ1 dan ๐‘ฅ2 yang memenuhi ๐‘“(๐‘ฅ0) = ๐‘“(๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2) = 0, yaitu ๐‘ฅ1 = โˆ’2

dan

๐‘ฅ2 = 0 Jadi, titik kesetimbangannya adalah

๐‘ฅ0 = (๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2) = (โˆ’2, 0).

I. Kestabilan Titik Kesetimbangan

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai kestabilan titik kesetimbangan dan contohnya. Kestabilan titik kesetimbangan pada sistem persamaan nonlinear dapat ditentukan berdasarkan tanda nilai eigen dari matriks Jacobian.

Definisi 2.9.1 (Olsder and Woude, 2003)

Diberikan sistem persamaan diferensial orde satu ๐‘ฅฬ‡ = ๐‘“(๐‘ฅ), serta solusi dari sistem persamaan tersebut pada saat ๐‘ก yang dinotasikan dengan ๐‘ฅ(๐‘ก, ๐‘ฅ0), dengan kondisi awal ๐‘ฅ(0) = ๐‘ฅ0.

a. Vektor ๐‘ฅฬ… yang memenuhi ๐‘“(๐‘ฅฬ…) = 0 disebut titik kesetimbangan.

b. Titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… dikatakan stabil jika untuk setiap ๐œ€ > 0 terdapat ๐›ฟ >

0 sedemikian hingga, jika โ€–๐‘ฅ0โˆ’ ๐‘ฅฬ…โ€– < ๐›ฟ, maka โ€–๐‘ฅ(๐‘ก, ๐‘ฅ0) โˆ’ ๐‘ฅฬ…โ€– < ๐œ€ untuk setiap ๐‘ก โ‰ฅ 0.

c. Titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… dikatakan stabil asimtotik jika titik kesetimbangannya stabil dan terdapat ๐›ฟ1 > 0 sedemikian hingga

๐‘กโ†’โˆžlimโ€–๐‘ฅ(๐‘ก, ๐‘ฅ0) โˆ’ ๐‘ฅฬ…โ€– = 0 apabila โ€–๐‘ฅ0โˆ’ ๐‘ฅฬ…โ€– < ๐›ฟ1.

d. Titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… dikatakan tidak stabil jika titik kesetimbangan tidak memenuhi (b).

Pada definisi tersebut, โ€– โ€– menotasikan norm atau panjang di โ„๐‘›.

Teorema 2.9.1 (Olsder and Woude, 2003)

Diberikan sistem persamaan ๐‘ฅฬ‡ = ๐ด๐‘ฅ, dengan ๐ด adalah matriks berukuran ๐‘› ร— ๐‘› yang memiliki nilai eigen berbeda ๐œ†1, ๐œ†2, โ€ฆ , ๐œ†๐‘˜ (๐‘˜ โ‰ค ๐‘›).

a. TItik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… stabil asimtotik jika dan hanya jika โ„œ๐‘’(๐œ†๐‘–) < 0 untuk ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘˜.

b. Titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… stabil jika โ„œ๐‘’(๐œ†๐‘–) โ‰ค 0 untuk ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘˜.

c. Titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… tidak stabil jika terdapat setidaknya satu โ„œ๐‘’(๐œ†๐‘–) > 0 untuk ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘˜.

Teorema 2.9.2 (Allen, 2007)

Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear orde satu ๐‘ฅฬ‡ = ๐‘“(๐‘ฅ) dengan titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ….

a. Misalkan persamaan karakteristik dari matriks Jacobian ๐ฝ(๐‘“(๐‘ฅฬ…)) adalah ๐œ†๐‘›+ ๐‘Ž1๐œ†๐‘›โˆ’1+ ๐‘Ž2๐œ†๐‘›โˆ’2 + โ‹ฏ + ๐‘Ž๐‘›โˆ’1๐œ† + ๐‘Ž๐‘› = 0

Jika persamaan karakteristik (2.9.1) memenuhi kriteria Routh-Hurwitz pada Teorema 2.7.1, yakni determinan dari semua matriks Hurwitz adalah positif, maka titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… stabil asimtotik lokal.

b. Jika terdapat determinan matriks Hurwitz yang bernilai negatif, maka titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… tidak stabil.

Teorema 2.9.3 (Hale and Kocak, 1991)

Diberikan titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… dari sistem persamaan diferensial nonlinear orde satu ๐‘ฅฬ‡ = ๐‘“(๐‘ฅ).

(2.9.1)

a. Jika semua bagian real nilai eigen dari matriks Jacobian ๐ฝ(๐‘“(๐‘ฅฬ…)) bernilai negatif, maka titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… stabil asimtotik lokal.

b. Jika terdapat satu nilai eigen dari matriks Jacobian ๐ฝ(๐‘“(๐‘ฅฬ…)) yang bernilai positif, maka titik kesetimbangan ๐‘ฅฬ… tidak stabil.

Contoh 2.10.1

Tentukan jenis kestabilan titik kesetimbangan (0,0) dari sistem persamaan diferensial nonlinear berikut:

๐‘‘๐‘ฅ1

๐‘‘๐‘ก = 4๐‘ฅ1+ 2๐‘ฅ2+ 2๐‘ฅ12โˆ’ 3๐‘ฅ22 ๐‘‘๐‘ฅ2

๐‘‘๐‘ก = 4๐‘ฅ1โˆ’ 3๐‘ฅ2+ 7๐‘ฅ1๐‘ฅ2 Penyelesaian:

Matriks Jacobian dari sistem persamaan (2.9.2) di titik ๐ฑ = (0,0) adalah

๐ฝ(๐‘“(๐ฑ)) = (

๐œ•๐‘“1

๐œ•๐‘ฅ1(๐ฑ) ๐œ•๐‘“1

๐œ•๐‘ฅ2(๐ฑ)

๐œ•๐‘“2

๐œ•๐‘ฅ1(๐ฑ) ๐œ•๐‘“2

๐œ•๐‘ฅ2(๐ฑ) ) atau

๐ฝ(๐‘“(๐ฑ)) = (4 + 4(0) 2 โˆ’ 6(0) 4 + 7(0) โˆ’3 + 7(0)) atau

๐ฝ(๐‘“(๐ฑ)) = (4 2 4 โˆ’3)

Sehingga persamaan karakteristik dari matriks ๐ฝ(๐‘“(๐ฑ)) adalah det (๐œ†๐ผ โˆ’ ๐ฝ(๐‘“(๐ฑ))) = 0

atau

|๐œ† โˆ’ 4 โˆ’2

โˆ’4 ๐œ† + 3| = 0 atau

(๐œ† โˆ’ 4)(๐œ† + 3) โˆ’ (โˆ’2)(โˆ’4) = 0 atau

(2.9.2)

๐œ†2 โˆ’ ๐œ† โˆ’ 20 = 0 atau

(๐œ† โˆ’ 5)(๐œ† + 4) = 0

Sehingga didapatkan dua nilai eigen yang berbeda, yaitu ๐œ†1= 5 dan ๐œ†2= โˆ’4.

Karena terdapat nilai eigen yang bagian realnya positif, yakni ๐œ†1= 5, maka titik (0,0) tidak stabil.

J. Bilangan Reproduksi Dasar

Pada bagian ini akan dibahas mengenai bilangan reproduksi dasar beserta contohnya.

Bilangan reproduksi dasar, yang dinotasikan dengan ๐‘…0, adalah jumlah infeksi baru yang dihasilkan oleh adanya satu individu terinfeksi dalam suatu populasi. Jika ๐‘…0 < 1, maka rata-rata individu yang terinfeksi menghasilkan kurang dari satu individu baru yang terinfeksi selama periode infeksinya, infeksi tidak dapat berkembang. Sebaliknya, jika ๐‘…0 > 1, maka setiap individu terinfeksi rata-rata menghasilkan lebih dari satu infeksi baru, dan penyakit tersebut dapat menyebar dalam suatu populasi.

Contoh 2.10.1

Sebagai contoh, jika nilai ๐‘…0 = 3, maka hal ini berarti bahwa satu individu terinfeksi dalam suatu populasi dapat menghasilkan tiga individu terinfeksi baru. Illustrasi untuk contoh ini diberikan pada Gambar 2.10.1.

Gambar 2.10.1. Illustrasi untuk ๐‘…0 = 3 (Ndii, 2018)

K. Matriks Generasi Berikutnya

Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai matriks generasi berikutnya dan contohnya. Referensi atau panduan yang digunakan untuk menulis mengenai matriks generasi berikutnya diambil dari jurnal yang ditulis oleh Driessche and Watmough, 2002.

Pertimbangkan populasi yang dapat dikelompokkan ke dalam ๐‘› kompartemen. Misalkan ๐‘ฅ = (๐‘ฅ1, ๐‘ฅ2, โ€ฆ , ๐‘ฅ๐‘›)๐‘‡ dengan ๐‘ฅ๐‘– โ‰ฅ 0 untuk ๐‘– = 1,2, โ€ฆ , ๐‘›, dan ๐‘ฅ๐‘– adalah banyaknya jumlah individu setiap kompartemen.

Selanjutnya, kompartemen dapat diurutkan sehingga ๐‘š kompartemen pertama adalah kompartemen yang terdapat individu terinfeksi. Kemudian didefinisikan ๐‘‹๐‘ = {๐‘ฅ โ‰ฅ 0 | ๐‘ฅ๐‘– = 0, ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘š}, yang mana ๐‘‹๐‘  adalah himpunan semua titik kesetimbangan bebas penyakit dengan ๐‘š adalah banyaknya kompartemen yang terdapat individu terinfeksi.

Untuk menghitung bilangan reporduksi dasar penting untuk membedakan infeksi baru dari semua perubahan kelompok kompartemen. Hal ini berarti bahwa pentingnya untuk membedakan kelompok terinfeksi dan tidak terinfeksi. Misalkan โ„ฑ๐‘–(๐‘ฅ) menyatakan laju kemunculan infeksi baru pada kompartemen ๐‘– dan ๐’ฑ๐‘–(๐‘ฅ) adalah laju perpindahan individu pada kompartemen ๐‘– yang dirumuskan sebagai berikut

๐’ฑ๐‘–(๐‘ฅ) = ๐’ฑ๐‘–โˆ’(๐‘ฅ) โˆ’ ๐’ฑ๐‘–+(๐‘ฅ)

dengan ๐’ฑ๐‘–โˆ’(๐‘ฅ) merupakan laju perpindahan individu yang keluar dari kompartemen ๐‘– dan ๐’ฑ๐‘–+(๐‘ฅ) adalah laju perpindahan individu yang masuk ke dalam kompartemen ๐‘–. Model penyebaran penyakit terdiri dari kondisi awal non negatif dengan sistem persamaan berikut:

๐‘ฅฬ‡ = ๐‘“๐‘–(๐‘ฅ) = โ„ฑ๐‘–(๐‘ฅ) โˆ’ ๐’ฑ๐‘–(๐‘ฅ), ๐‘– = 1,2, โ€ฆ , ๐‘›

dengan ๐’ฑ๐‘–(๐‘ฅ) = ๐’ฑ๐‘–โˆ’(๐‘ฅ) โˆ’ ๐’ฑ๐‘–+(๐‘ฅ). Selanjutnya, asumsi-asumsi berikut haruslah dipenuhi:

a. Setiap fungsi menyatakan perpindahan langsung dari individu, maka semua fungsi bernilai non negatif. Dengan kata lain, dapat ditulis sebagai berikut:

Jika ๐‘ฅ โ‰ฅ 0, maka โ„ฑ๐‘–, ๐’ฑ๐‘–โˆ’(๐‘ฅ), ๐’ฑ๐‘–+(๐‘ฅ) โ‰ฅ 0 untuk ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘›.

Jika ๐‘ฅ โ‰ฅ 0, maka โ„ฑ๐‘–, ๐’ฑ๐‘–โˆ’(๐‘ฅ), ๐’ฑ๐‘–+(๐‘ฅ) โ‰ฅ 0 untuk ๐‘– = 1, 2, โ€ฆ , ๐‘›.

Dokumen terkait