BAB I PENDAHULUAN
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Batasan Masalah D. Tujuan Penulisan E. Manfaat Penulisan F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan
BAB II SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL A. Pemodelan Matematis
B. Persamaan Diferensial C. Matriks Jacobian
D. Nilai Eigen dan Vektor Eigen E. Persamaan Karakteristik F. Polinomial Karakteristik G. Kriteria Routh-Hurwitz H. Titik Kesetimbangan
I. Kestabilan Titik Kesetimbangan J. Bilangan Reproduksi Dasar K. Matriks Generasi Berikutnya L. Metode Runge-Kutta Orde Empat
BAB III MODEL MATEMATIS PENYEBARAN COVID-19 YANG MELIBATKAN PENURUNAN KEKEBALAN TUBUH
A. Asumsi-Asumsi yang Digunakan B. Penyusunan Model
C. Analisis Titik Kesetimbangan
D. Analisis Kestabilan Titik Kesetimbangan E. Bilangan Reproduksi Dasar
BAB IV PENYELESAIAN NUMERIS DENGAN METODE RUNGE-KUTTA ORDE EMPAT
A. Skema Penyelesaian Model dengan Menggunakan Metode Runge-Kutta Orde Empat
B. Penyelesaian Model
C. Analisis Pengaruh Adanya Penurunan Kekebalan Tubuh D. Penyelesaian Model dengan Adanya Laju Vaksinasi E. Analisis Pengaruh Adanya Vaksinasi
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
7 BAB II
PEMODELAN MATEMATIS DAN SISTEM PERSAMAAN DIFERENSIAL
Dalam bab ini akan dibahas mengenai landasan teori yang menjadi dasar dari skripsi ini. Landasan teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah pemodelan matematis, persamaan diferensial, matriks Jacobian, nilai eigen dan vektor eigen, persamaan karakteristik, polinomial karakteristik, kriteria Routh-Hurwitz, titik kesetimbangan, kestabilan titik kesetimbangan, bilangan reproduksi dasar, matriks generasi berikutnya , dan metode Runge-Kutta orde empat.
A. Pemodelan Matematis
Pada bagian ini akan dijelaskan pemodelan matematis dan langkah-langkah dalam penyusunan model matematis yang baik. Referensi yang digunakan diambil dari buku A First Course in Mathematical Modeling, fifth edition (Giodarno, et al., 2014).
Pemodelan matematis merupakan salah satu cara untuk menggambarkan permasalahan kompleks ke dalam bentuk matematika. Model matematis merupakan penyederhanaan dan konstruksi matematika terkait bagian dari kenyataan atau fenomena dunia nyata yang dirancang untuk suatu tujuan tertentu. Model matematis dapat berupa persamaan atau pertidaksamaan.
Model matematis yang dibentuk harus mampu menjelaskan permasalahan yang sedang diamati.
Model matematis yang baik dapat disusun melalui beberapa langkah.
Langkah-langkah dalam penyusunan model matematis tersebut adalah:
1. Mengidentifikasi Masalah
Langkah pertama dalam menyusun model matematis adalah mengidentifikasi masalah. Biasanya langkah awal ini adalah langkah yang sulit karena dalam situasi kehidupan nyata, bentuk permasalahan matematika yang harus dipecahkan dari masalah yang ingin diidentif ikasi tidak diberikan secara langsung. Oleh karena itu, pada langkah ini harus
dilakukan proses pemilahan data yang akan digunakan dan mengidentifikasi beberapa aspek tertentu yang akan dipelajari sesuai dengan masalah yang dipilih. Selain itu, dalam mengidentifikasi masalah perlu ditetapkan pertanyaan dan tujuan apa yang ingin dijawab. Pertanyaan ini merupakan suatu hal yang penting karena menjadi sebuah acuan dalam membangun model matematis.
2. Membuat Asumsi
Langkah selanjutnya adalah membuat asumsi. Pada langkah ini, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi masalah harus ditentukan. Akan tetapi, dalam penyusunan model matematis, tidak semua faktor tersebut dapat digunakan karena akan mempengaruhi kompleksitas model matematika dari masalah yang diidentifikasi. Dalam hal ini, model matematis dari masalah tersebut dapat disederhanakan dengan mengurangi jumlah faktor yang akan dipertimbangkan dalam penyusunan model. Selain itu, hubungan antara variabel harus ditentukan. Dengan mengasumsikan hubungan yang relatif sederhana dapat mengurangi kompleksitas masalah.
Dengan demikian, asumsi dibagi menjadi dua bagian:
a. Klasifikasi Variabel
Hal-hal yang mempengaruhi masalah dan telah diidentifikasi pada langkah pertama disebut sebagai variabel. Variabel dapat diklasifikasikan menjadi variabel terikat atau variabel bebas. Dalam hal ini, variabel yang dijelaskan dalam model adalah variabel terikat, dan variabel yang tersisa adalah variabel bebas.
b. Menentukan Keterkaitan antara Variabel
Sebelum menentukan keterkaitan antara variabel, umumnya dibuat beberapa penyederhanaan tambahan. Masalah yang ingin diidentifikasi mungkin sangat kompleks sehingga kita tidak dapat melihat hubungan antara variabel-variabel yang ada. Oleh karena itu, perlu untuk mempelajari submodel, yang mempelajari satu atau lebih variabel bebas secara terpisah dan pada akhirnya menghubungkan submodel tersebut secara bersama-sama. Selain itu, dengan mempelajari
berbagai teknik, seperti proporsionalitas, akan membantu dalam menentukan keterkaitan antara variabel.
3. Menyelesaikan atau Menginterpretasikan Model
Langkah ketiga adalah menyelesaikan atau menginterpretasikan model. Yang dilakukan pada langkah ini adalah mengumpulkan semua submodel untuk melihat informasi apa yang dapat diambil dari model yang dibentuk. Model dapat terdiri dari persamaan atau pertidaksamaan matematis yang kemudian harus diselesaikan. Pada saat menyelesaikan model tersebut, ada kemungkinan dimana kurangnya informasi yang menyebabkan tidak dapat menyelesaikan model tersebut. Selain itu, ada kejadian dimana kita mungkin berakhir dengan model yang begitu kompleks sehingga kita tidak dapat menyelesaikannya. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan dengan kembali ke langkah dua, yaitu dengan membuat asumsi tambahan untuk menyederhanakan model.
4. Verifikasi Model
Langkah berikutnya adalah verifikasi model. Sebelum model dapat digunakan, harus dilakukan verifikasi atau pengujian terlebih dahulu.
Dalam hal ini, pengujian dapat dilakukan dengan menjawab tiga pertanyaan berikut:
a. Apakah model dapat menjawab masalah yang diidentifikasi pada langkah pertama?
b. Apakah model dapat digunakan secara praktis, yang artinya bisa atau tidaknya dikumpulkan data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan model?
c. Apakah model tersebut masuk akal?
5. Implementasi Model
Langkah selanjutnya adalah implementasi model. Model yang diverifikasi dapat kita implementasikan sesuai dengan data yang kita miliki.
Model yang dibangun ini diharapkan dapat bermanfaat dan dipahami dengan mudah oleh siapapun.
6. Mempertahankan Model
Langkah terakhir dalam penyusunan model matematis adalah mempertahankan model. Langkah ini mengingatkan bahwa model yang telah dibuat diturunkan atau didasarkan pada identifikasi masalah pada langkah pertama dan asumsi pada langkah kedua. Oleh karena itu, model harus tetap dipertahankan berdasarkan kedua hal tersebut.
B. Persamaan Diferensial
Pada subbab ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa, persamaan diferensial parsial, orde dari persamaan diferensial, persamaan diferensial biasa linear, persamaaan diferensial biasa nonlinear, sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama, dan sistem persamaan diferensial biasa nonlinear.
1. Persamaan Diferensial
Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian persamaan diferensial beserta contohnya.
Definisi 2.2.1
Persamaan diferensial adalah persamaan yang melibatkan turunan dari satu atau lebih variabel terikat terhadap satu atau lebih variabel bebas dengan variabel terikat tersebut (Ross, 1989). Dengan kata lain, persamaan diferensial adalah persamaan yang melibatkan hubungan fungsi dengan turunan-turunannya.
Contoh 2.2.1
Berikut ini adalah beberapa contoh dari persamaan diferensial:
๐2๐ฆ
๐๐ฅ2+ ๐ฅ๐ฆ (๐๐ฆ ๐๐ฅ)
2
= 0 ๐4๐ฅ
๐๐ก4 + 5๐2๐ฅ
๐๐ก2 + 3๐ฅ = sin ๐ก ๐๐ข
๐๐ง + ๐ง2๐ข = ๐ง๐๐ง
๐๐ฃ
๐๐ +๐๐ฃ
๐๐ก = ๐ฃ
(2.2.1) (2.2.2) (2.2.3) (2.2.4)
๐2๐
๐๐ฅ2+ ๐2๐
๐๐ฆ2+๐2๐
๐๐ง2 = 0
๐4๐ค
๐๐ฅ2๐๐ฆ2+๐2๐ค
๐๐ฅ2 +๐2๐ค
๐๐ฆ2 + ๐ค = 0
2. Persamaan Diferensial Biasa
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian persamaan diferensial biasa dan contohnya.
Definisi 2.2.2
Persamaan diferensial biasa (PDB) adalah persamaan diferensial yang melibatkan turunan biasa dari satu atau lebih variabel terikat terhadap satu variabel bebas (Ross, 1989).
Contoh 2.2.2
Persamaan (2.2.1), (2.2.2), dan (2.2.3) adalah persamaan diferensial biasa. Pada persamaan (2.2.1), variabel ๐ฅ adalah variabel bebas dan variabel ๐ฆ adalah variabel terikatnya. Pada persamaan (2.2.2), variabel bebasnya adalah ๐ก dan variabel terikatnya adalah ๐ฅ. Pada persamaan (2.2.3), variabel bebasnya adalah ๐ง dan variabel terikatnya adalah ๐ข
3. Persamaan Diferensial Parsial
Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian persamaan diferensial parsial beserta contohnya.
Definisi 2.2.3
Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan diferensial yang memuat turunan parsial dari satu atau lebih variabel terikat terhadap lebih dari satu variabel bebas(Ross, 1989).
Contoh 2.2.3
Persamaan (2.2.4), (2.2.5), dan (2.2.6) adalah persamaan diferensial parsial. Pada persamaan (2.2.4), variabel ๐ dan ๐ก adalah variabel bebas dan variabel ๐ฃ adalah variabel terikatnya. Pada persamaan (2.2.5), variabel bebasnya adalah ๐ฅ, ๐ฆ, dan ๐ง, sedangkan variabel terikatnya adalah (2.2.5)
(2.2.6)
๐ . Pada persamaan (2.2.6), variabel bebasnya adalah ๐ฅ dan ๐ฆ, sedangkan variabel terikatnya adalah ๐ค.
4. Orde dari Persamaan Diferensial
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pengertian orde dari persamaan diferensial dan contohnya.
Definisi 2.2.4
Orde dari persamaan diferensial adalah derajat atau tingkat turunan tertinggi yang terlibat dalam persamaan diferensial (Ross, 1989).
Contoh 2.2.4
Persamaan (2.2.1) adalah persamaan diferensial biasa orde dua karena tingkat turunan tertingginya adalah dua. Persamaan (2.2.2) adalah persamaan diferensial biasa orde empat karena tingkat turunan tertingginya adalah empat. Persamaan (2.2.3) adalah persamaan diferensial biasa orde satu karena tingkat turunan tertingginya adalah satu. Selanjutnya, persamaan (2.2.4) adalah persamaan diferensial parsial orde satu karena tingkat turunan tertingginya adalah satu. Persamaan (2.2.5) adalah persamaan diferensial parsial orde dua karena tingkat turunan tertingginya adalah dua. Terakhir, persamaan (2.2.6) adalah persamaan diferensial parsial orde empat karena tingkat turunan tertingginya adalah empat.
5. Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde ke-๐
Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa linear orde ke-๐ beserta contohnya.
Definisi 2.2.5
Suatu persamaan diferensial biasa linear orde ke-๐, dimana variabel ๐ฆ adalah variabel terikat dan variabel ๐ฅ adalah variabel bebas, adalah suatu persamaan yang dapat dinyatakan dalam bentuk:
๐0(๐ฅ)๐๐๐ฆ
๐๐ฅ๐+ ๐1(๐ฅ)๐๐โ1๐ฆ
๐๐ฅ๐โ1+ โฏ + ๐๐โ1(๐ฅ)๐๐ฆ
๐๐ฅ + ๐๐(๐ฅ)๐ฆ = ๐(๐ฅ) dengan ๐0(๐ฅ) โ 0 (Ross, 1989). Perhatikan bahwa
a. Variabel terikat ๐ฆ dan turunannya hanya terjadi pada pangkat pertama.
b. Tidak ada perkalian antara ๐ฆ dan turunannya.
Contoh 2.2.5
Berikut ini adalah contoh persamaan diferensial biasa linear:
๐2๐ฆ
๐๐ฅ2+ 5๐๐ฆ
๐๐ฅ+ 6๐ฆ = 0 ๐4๐ฆ
๐๐ฅ4+ ๐ฅ2๐3๐ฆ
๐๐ฅ3+ ๐ฅ3๐๐ฆ
๐๐ฅ = ๐ฅ๐๐ฅ
Pada persamaan (2.2.7) dan (2.2.8), variabel ๐ฆ adalah variabel bebas.
Perhatikan bahwa ๐ฆ dan turunannya hanya terjadi pada pangkat pertama dan tidak ada perkalian antara ๐ฆ dan turunannya.
6. Persamaan Diferensial Biasa Nonlinear
Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa nonlinear beserta contohnya.
Definisi 2.2.6
Persamaan diferensial biasa yang tidak linear disebut Persamaan diferensial biasa nonlinear (Ross, 1989).
Contoh 2.2.6
Berikut ini adalah contoh persamaan diferensial biasa nonlinear:
๐2๐ฆ
๐๐ฅ2+ 5๐๐ฆ
๐๐ฅ+ 6๐ฆ2= 0 ๐2๐ฆ
๐๐ฅ2+ 5 (๐๐ฆ ๐๐ฅ)
3
+ 6๐ฆ = 0 ๐2๐ฆ
๐๐ฅ2+ 5๐ฆ๐๐ฆ
๐๐ฅ+ 6๐ฆ = 0
Persamaan (2.2.9) adalah PDB nonlinear karena variabel terikat ๐ฆ muncul dalam pangkat dua, yakni ๐ฆ2. Persamaan (2.2.10) adalah PDB nonlinear karena terdapat bentuk 5 (๐๐ฆ
๐๐ฅ)3, yang artinya terdapat pangkat tiga dari turunan pertamanya. Persamaan (2.2.11) juga merupakan PDB nonlinear (2.2.7) (2.2.8)
(2.2.9) (2.2.10) (2.2.11)
karena terdapat bentuk 5๐ฆ๐๐ฆ
๐๐ฅ, yang artinya terdapat perkalian antara variabel terikat dan turunan pertamanya.
7. Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde Pertama
Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa linear orde pertama dan contohnya.
Definisi 2.2.6
Persamaan diferensial biasa linear orde pertama dengan variabel terikat ๐ฆ dan variabel bebas ๐ฅ adalah persamaan yang secara umum berbentuk
๐๐ฆ
๐๐ฅ+ ๐(๐ฅ)๐ฆ = ๐(๐ฅ)
dengan ๐ dan ๐ adalah fungsi terhadap ๐ฅ atau konstanta yang diberikan (Ross, 1989).
Contoh 2.2.6
Perhatikan persamaan berikut:
๐ฅ๐๐ฆ
๐๐ฅ+ (๐ฅ + 1)๐ฆ = ๐ฅ4 (4 + ๐ฅ2)๐๐ฆ
๐๐ฅ+ 2๐ฅ๐ฆ = 4๐ฅ ๐๐ฆ
๐๐ฅ+2
๐ฅ๐ฆ = sin 3๐ฅ ๐ฅ2
Persamaan (2.2.13), (2.2.14), dan (2.2.15) adalah persamaan diferensial biasa linear orde pertama. Persamaan (2.2.13) dapat diubah ke dalam bentuk (2.2.12) dengan mengalikan kedua ruas dengan 1
๐ฅ, sehingga bentuknya menjadi seperti persamaan (2.2.12) dengan ๐(๐ฅ) = (๐ฅ+1)
๐ฅ dan ๐(๐ฅ) = ๐ฅ3. Persamaan (2.2.14) juga dapat diubah ke dalam bentuk (2.2.12) dengan mengalikan kedua ruas dengan 1
4+๐ก2, sehingga bentuknya menjadi seperti persamaan (2.2.12) dimana ๐(๐ฅ) = 2๐ฅ
4+๐ฅ2 dan ๐(๐ฅ) = 4๐ฅ
4+๐ฅ2. (2.2.12)
(2.2.13) (2.2.14) (2.2.15)
Persamaan (2.2.15) memiliki bentuk yang sama seperti persamaan (2.2.12) dengan ๐(๐ฅ) =2
๐ฅ dan ๐(๐ฅ) =sin 3๐ฅ
๐ฅ2 .
8. Persamaan Diferensial Biasa Nonlinear Orde Pertama
Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama beserta contohnya.
Definisi 2.2.7
Persamaan diferensial biasa orde pertama yang tidak linear atau tidak dapat ditulis atau dibentuk dalam bentuk persamaan (2.2.12) disebut persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama (Ross, 1989).
Contoh 2.2.7
Perhatikan persamaan berikut:
๐๐ฆ
๐๐ฅ = ๐ฅ๐ฆ3 ๐๐ฆ
๐๐ฅ+ ๐(๐ฅ)๐ฆ + ๐(๐ฅ)๐ฆ4= ๐ (๐ฅ)
Persamaan (2.2.16) adalah persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama dengan variabel terikatnya adalah variabel ๐ฆ dan variabel bebasnya adalah variabel ๐ฅ. Penyebab persamaan (2.2.16) merupakan persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama adalah variabel ๐ฆ yang memuat pangkat tiga, yaitu ๐ฆ3. Persamaan (2.2.17) adalah persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama dengan variabel terikatnya adalah variabel ๐ฆ dan variabel bebasnya adalah variabel ๐ฅ. Penyebab persamaan (2.2.17) merupakan persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama adalah variabel ๐ฆ yang memuat pangkat empat, yaitu ๐ฆ4.
9. Sistem Persamaan Diferensial Biasa Linear Orde Pertama
Pada bagian ini akan dibahas mengenai sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama dan contohnya.
(2.2.17) (2.2.16)
Definisi 2.2.8
Secara umum, bentuk dari sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama adalah
๐ฅ1โฒ = ๐11(๐ก)๐ฅ1+ ๐12(๐ก)๐ฅ2+ โฏ + ๐1๐(๐ก)๐ฅ๐+ ๐1(๐ก), ๐ฅ2โฒ = ๐21(๐ก)๐ฅ1+ ๐22(๐ก)๐ฅ2+ โฏ + ๐1๐(๐ก)๐ฅ๐+ ๐2(๐ก),
โฎ
๐ฅ๐โฒ = ๐๐1(๐ก)๐ฅ1+ ๐๐2(๐ก)๐ฅ2 + โฏ + ๐๐๐(๐ก)๐ฅ๐ + ๐๐(๐ก)
dengan fungsi-fungsi yang diberikan (Boyce, 2012). Sistem persamaan (2.2.18) juga dapat disederhanakan menjadi bentuk:
๐ฑโฒ = ๐(๐ก)๐ฑ + ๐(๐ก)
dengan ๐ฑโฒ adalah vektor dengan elemen ๐ฅ1โฒ, ๐ฅ2โฒ, โฆ , ๐ฅ๐โฒ, ๐(t) adalah matriks ๐ ร ๐ dengan elemen ๐11(๐ก), ๐12(๐ก), โฆ , ๐๐๐(๐ก) , ๐ฑ adalah vektor dengan elemen ๐ฅ1, ๐ฅ2, โฆ , ๐ฅ๐, dan ๐ adalah vektor dengan elemen ๐1(๐ก), ๐2(๐ก), โฆ , ๐๐(๐ก).
Contoh 2.2.8
Perhatikan contoh sistem persamaan berikut:
๐ฅ1โฒ = โ2๐ฅ1+ ๐ฅ2, ๐ฅ2โฒ = ๐ฅ1โ 2๐ฅ2
๐ฅ1โฒ = ๐ฅ2, ๐ฅ2โฒ = โ๐ฅ1โ1
8๐ฅ2
Sistem persamaan (2.2.19) dan (2.2.20) adalah sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama. Pada persamaan (2.2.19) dan (2.2.20), variabel ๐ฅ1 dan ๐ฅ2 adalah variabel terikat.
10. Sistem Persamaan Diferensial Biasa Nonlinear Orde Pertama
Pada bagian ini akan dibahas mengenai sistem persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama beserta contohnya.
(2.2.18)
(2.2.19)
(2.2.20)
Definisi 2.2.9
Sistem persamaan diferensial biasa orde pertama yang tidak linear adalah sistem persamaan diferensial biasa nonlinear orde pertama (Boyce, 2012).
Contoh 2.2.9
Perhatikan contoh sistem persamaan berikut:
๐ฅ1โฒ = ๐ฅ2(โ2๐ฅ1+ ๐ฅ2), ๐ฅ2โฒ = ๐ฅ1(๐ฅ1โ 2๐ฅ2)
Sistem persamaan (2.2.21) adalah sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama, dimana variabel ๐ฅ1 dan ๐ฅ2 adalah variabel terikat. Sistem persamaan tersebut merupakan sistem persamaan diferensial biasa linear orde pertama karena melibatkan perkalian ๐ฅ1 dan ๐ฅ2.
C. Matriks Jacobian
Pada bagian ini akan dibahas mengenai matriks Jacobian beserta contohnya. disebut matriks Jacobian dari ๐ di titik ๐ฑ (Perko, 2001).
Contoh 2.3.1
๐๐1
๐๐ฅ1 = 1, ๐๐1
๐๐ฅ2= โ2๐ฅ2,
๐๐2
๐๐ฅ1= ๐ฅ2, ๐๐2
๐๐ฅ2= โ1 + ๐ฅ1.
Dengan demikian, berdasarkan bentuk matriks (2.3.1), matriks Jacobian dari ๐ di titik ๐ฑ = (1, โ1)๐ adalah
๐ฝ(๐(๐ฑ)) = (
๐๐1
๐๐ฅ1(1, โ1) ๐๐1
๐๐ฅ2(1, โ1)
๐๐2
๐๐ฅ1(1, โ1) ๐๐2
๐๐ฅ2(1, โ1) ) atau
๐ฝ(๐(๐ฑ)) = ( 1 2
โ1 0)
D. Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai nilai eigen dan vektor eigen beserta contohnya.
Definisi 2.4.1
Jika ๐ด adalah matriks ๐ ร ๐, maka vektor taknol ๐ฑ di โ๐ disebut vektor eigen dari ๐ด bila ๐ด๐ฑ adalah perkalian skalar dari ๐ฑ sedemikian hingga
๐ด๐ฑ = ๐๐
untuk beberapa skalar ๐. Skalar ๐ disebut nilai eigen dari ๐ด dan ๐ฑ dikatakan sebagai vektor eigen yang bersesuaian atau berkaitan dengan ๐ (Anton and Rorres, 2013).
Contoh 2.4.1
Diketahui matriks ๐ด berukuran 2 ร 2, yaitu ๐ด = [5 โ6
2 โ2]. Maka vektor ๐ฑ = [2
1] merupakan vektor eigen dari matriks ๐ด karena ๐ด๐ฑ = [5 โ6
2 โ2] [2 1] = [4
2] = 2 [2
1] = 2๐ฑ
Dapat diamati bahwa ๐ฑ adalah vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai eigen ๐ = 2.
E. Persamaan Karakteristik
Pada bagian ini akan dibahas mengenai persamaan karakteristik beserta contohnya.
Teorema 2.5.1
Jika ๐ด adalah matriks berukuran ๐ ร ๐, maka ๐ adalah nilai eigen dari matriks ๐ด jika dan hanya jika memenuhi persamaan
det(๐๐ผ โ ๐ด) = 0
Persamaan (2.5.1) merupakan persamaan polinomial dalam ๐ dan disebut persamaan karakteristik dari matriks ๐ด (Anton and Rorres, 2013).
Contoh 2.5.1
Diberikan matriks ๐ด berukuran 2 ร 2, yaitu ๐ด = [ 5 7
โ2 โ4].
Berdasarkan persamaan (2.5.1), diperoleh bahwa nilai eigen dari ๐ด adalah penyelesaian dari persamaan det(๐๐ผ โ ๐ด) = 0, yang dapat ditulis sebagai berikut:
|๐ โ 5 7
โ2 ๐ + 4| = 0 atau
(๐ โ 5)(๐ + 4) โ (โ2)(7) = 0 atau
๐2โ ๐ โ 6 = 0 atau
(๐ + 2)(๐ โ 3) = 0
Jadi, ๐ด mempunyai dua nilai eigen yaitu ๐1= โ2 dan ๐2= 3.
F. Polinomial Karakteristik
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai polinomial karakteristik dan contohnya.
Definisi 2.6.1
Jika ๐ด adalah matriks berukuran ๐ ร ๐, maka persamaan (2.5.1) dapat dijabarkan dan persamaan karakteristik dari ๐ด akan berbentuk:
๐๐+ ๐1๐๐โ1+ โฏ + ๐๐๐โ1+ ๐๐ = 0
(2.5.1)
Persamaan polinomial
๐(๐) = ๐๐+ ๐1๐๐โ1+ โฏ + ๐๐๐โ1 + ๐๐ disebut polinomial karakteristik dari ๐ด (Anton and Rorres, 2013).
Contoh 2.6.1
Perhatikan bahwa pada Contoh 2.5.1, persamaan karakteristiknya adalah
๐2โ ๐ โ 6 = 0 Sehingga polinomial karakteristiknya adalah
๐(๐) = ๐2โ ๐ โ 6
Dapat dilihat bahwa persamaan (2.6.1) adalah polinomial karakteristik pangkat dua.
G. Kriteria Routh-Hurwitz
Pada bagian ini akan dibahas mengenai kriteria Routh-Hurwitz.
Referensi yang digunakan diambil dari buku An Introduction to Mathematical Biology (Allen, 2007).
Nilai eigen dapat diperoleh dengan menghitung nilai ๐ yang memenuhi persamaan det(๐๐ผ โ ๐ด) = 0. Namun, permasalahan yang sering timbul adalah nilai akar-akar persamaan karakteristik yang sulit untuk didapatkan. Akibatnya, nilai akar-akar tersebut tidak diketahui. Dalam menentukan kestabilan, diperlukan suatu hal yang dapat menjamin bahwa nilai dari akar-akar persamaan karakteristik bernilai negatif atau tidak. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menjamin bahwa nilai akar-akar persamaan karakteristik negatif atau tidak adalah dengan menggunakan kriteria Routh-Hurwitz.
Teorema 2.7.1
Diberikan polinomial karakteristik dalam bentuk polinomial pangkat ๐ berikut:
๐(๐) = ๐๐ + ๐1๐๐โ1+ ๐2๐๐โ2+ โฏ + ๐๐๐โ1+ ๐๐
dengan ๐๐ adalah bilangan real, untuk ๐ = 1, 2, โฆ , ๐. Didefinisikan ๐ matriks Hurwitz dengan menggunakan koefisien ๐๐ dari polinomial karakteristik ๐(๐):
๐ป1 = [๐1],
(2.6.1)
๐ป2 = [๐1 1 ๐3 ๐2], ๐ป3= [
๐1 1 0
๐3 ๐2 ๐1 ๐5 ๐4 ๐3
],
โฎ
๐ป๐ = [
๐1 1 0 0 โฏ 0
๐3 ๐2 ๐1 1 โฏ 0 ๐5 ๐4 ๐3 ๐2 โฏ 0 ๐7 ๐6 ๐5 ๐4 โฏ 0
โฎ โฎ โฎ โฎ โฑ โฎ
0 0 0 0 โฏ ๐๐]
,
dimana ๐๐= 0 jika ๐ > ๐. Semua akar dari polinomal karakteristik ๐(๐) adalah negatif atau memiliki bagian real negatif jika dan hanya jika determinan dari semua matriks Hurwitz adalah positif, yakni
det(๐ป๐) > 0, ๐ = 1, 2, 3, โฆ , ๐.
Untuk ๐ = 2, sesuai dengan kriteria Routh-Hurwitz, maka haruslah ๐1 > 0 dan det(๐ป2) = ๐1๐2> 0 atau ๐1> 0 dan ๐2> 0. Untuk polinomial karakteristik berderajat ๐ = 3, 4 dan 5, kriteria Routh-Hurwitz yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut:
a. Untuk ๐ = 3, haruslah ๐1 > 0, ๐2> 0, ๐3 > 0, dan ๐1๐2 > ๐3
b. Untuk ๐ = 4, haruslah ๐๐ > 0 untuk ๐ = 1, 2, 3 dan 4, serta memenuhi:
๐1๐2๐3 > ๐32+ ๐12๐4
c. Untuk ๐ = 5, haruslah ๐๐ > 0 untuk ๐ = 1, 2, 3, 4 dan 5, serta memenuhi:
๐1๐2๐3 > ๐32+ ๐12๐4 dan
(๐1๐4โ ๐5)(๐1๐2๐3 โ ๐32โ ๐12๐4) > ๐5(๐1๐2โ ๐3)2+ ๐1๐52
H. Titik Kesetimbangan
Pada bagian ini akan dibahas mengenai titik kesetimbangan beserta contohnya.
Titik kesetimbangan merupakan solusi dari suatu sistem persamaan diferensial yang tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Dalam sistem
epidemiologi terdapat dua jenis titik kesetimbangan, yaitu titik kesetimbangan bebas penyakit (disease-free equilibrium) dan titik kesetimbangan endemik (endemic equilibrium). Titik kesetimbangan bebas penyakit adalah titik dimana penyakit tidak mungkin menyebar pada suatu populasi karena jumlah individu yang terinfeksi penyakit sama dengan nol. Hal ini berarti menandakan keadaan dimana setiap individu dalam suatu populasi bebas dari virus, artinya tidak ada individu yang terinfeksi penyakit lagi. Titik kesetimbangan endemik adalah titik dimana penyakit pasti dapat menyebar pada suatu populasi. Hal ini juga berarti bahwa keadaan dimana penyakit tidak dapat hilang secara total, tetapi masih ada pada suatu populasi.
Berikut ini adalah definisi mengenai titik kesetimbangan.
Definisi 2.8.1
Diberikan suatu sistem persamaaan diferensial ๐ฅฬ = ๐(๐ฅ)
dimana ๐: ๐ธ โ โ๐ โ โ๐. Titik ๐ฅ0โ โ๐ disebut titik kesetimbangan dari sistem persamaan (2.8.1) jika ๐(๐ฅ0) = 0 (Perko, 2001).
Contoh 2.8.1
Tentukan titik kesetimbangan dari sistem persamaan diferensial yang diberikan sebagai berikut:
๐(๐ฅ) = ( ๐ฅ1+ 2
4 โ (๐ฅ1๐ฅ2+ ๐ฅ12) ) Penyelesaian:
Berdasarkan Definisi 2.8.1, titik kesetimbangan dari sistem persamaan (2.8.2) adalah ๐ฅ0 jika ๐(๐ฅ0) = 0. Sehingga untuk mendapatkan titik kesetimbangan, sistem persamaan (2.8.2) ditulis menjadi
๐ฅ1+ 2 = 0 4 โ (๐ฅ1๐ฅ2+ ๐ฅ12) = 0 Dari persamaan (2.8.3) didapatkan
๐ฅ1+ 2 = 0 atau
๐ฅ1= โ2
(2.8.1)
(2.8.2)
(2.8.3) (2.8.4)
Subtitusi ๐ฅ1 = โ2 ke persamaan (2.8.4), diperoleh 4 โ ((โ2)๐ฅ2+ (โ2)2) = 0 atau
4 โ (4 โ 2๐ฅ2) = 0 atau
2๐ฅ2= 0 atau
๐ฅ2 = 0
Diperoleh ๐ฅ1 dan ๐ฅ2 yang memenuhi ๐(๐ฅ0) = ๐(๐ฅ1, ๐ฅ2) = 0, yaitu ๐ฅ1 = โ2
dan
๐ฅ2 = 0 Jadi, titik kesetimbangannya adalah
๐ฅ0 = (๐ฅ1, ๐ฅ2) = (โ2, 0).
I. Kestabilan Titik Kesetimbangan
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai kestabilan titik kesetimbangan dan contohnya. Kestabilan titik kesetimbangan pada sistem persamaan nonlinear dapat ditentukan berdasarkan tanda nilai eigen dari matriks Jacobian.
Definisi 2.9.1 (Olsder and Woude, 2003)
Diberikan sistem persamaan diferensial orde satu ๐ฅฬ = ๐(๐ฅ), serta solusi dari sistem persamaan tersebut pada saat ๐ก yang dinotasikan dengan ๐ฅ(๐ก, ๐ฅ0), dengan kondisi awal ๐ฅ(0) = ๐ฅ0.
a. Vektor ๐ฅฬ yang memenuhi ๐(๐ฅฬ ) = 0 disebut titik kesetimbangan.
b. Titik kesetimbangan ๐ฅฬ dikatakan stabil jika untuk setiap ๐ > 0 terdapat ๐ฟ >
0 sedemikian hingga, jika โ๐ฅ0โ ๐ฅฬ โ < ๐ฟ, maka โ๐ฅ(๐ก, ๐ฅ0) โ ๐ฅฬ โ < ๐ untuk setiap ๐ก โฅ 0.
c. Titik kesetimbangan ๐ฅฬ dikatakan stabil asimtotik jika titik kesetimbangannya stabil dan terdapat ๐ฟ1 > 0 sedemikian hingga
๐กโโlimโ๐ฅ(๐ก, ๐ฅ0) โ ๐ฅฬ โ = 0 apabila โ๐ฅ0โ ๐ฅฬ โ < ๐ฟ1.
d. Titik kesetimbangan ๐ฅฬ dikatakan tidak stabil jika titik kesetimbangan tidak memenuhi (b).
Pada definisi tersebut, โ โ menotasikan norm atau panjang di โ๐.
Teorema 2.9.1 (Olsder and Woude, 2003)
Diberikan sistem persamaan ๐ฅฬ = ๐ด๐ฅ, dengan ๐ด adalah matriks berukuran ๐ ร ๐ yang memiliki nilai eigen berbeda ๐1, ๐2, โฆ , ๐๐ (๐ โค ๐).
a. TItik kesetimbangan ๐ฅฬ stabil asimtotik jika dan hanya jika โ๐(๐๐) < 0 untuk ๐ = 1, 2, โฆ , ๐.
b. Titik kesetimbangan ๐ฅฬ stabil jika โ๐(๐๐) โค 0 untuk ๐ = 1, 2, โฆ , ๐.
c. Titik kesetimbangan ๐ฅฬ tidak stabil jika terdapat setidaknya satu โ๐(๐๐) > 0 untuk ๐ = 1, 2, โฆ , ๐.
Teorema 2.9.2 (Allen, 2007)
Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear orde satu ๐ฅฬ = ๐(๐ฅ) dengan titik kesetimbangan ๐ฅฬ .
a. Misalkan persamaan karakteristik dari matriks Jacobian ๐ฝ(๐(๐ฅฬ )) adalah ๐๐+ ๐1๐๐โ1+ ๐2๐๐โ2 + โฏ + ๐๐โ1๐ + ๐๐ = 0
Jika persamaan karakteristik (2.9.1) memenuhi kriteria Routh-Hurwitz pada Teorema 2.7.1, yakni determinan dari semua matriks Hurwitz adalah positif, maka titik kesetimbangan ๐ฅฬ stabil asimtotik lokal.
b. Jika terdapat determinan matriks Hurwitz yang bernilai negatif, maka titik kesetimbangan ๐ฅฬ tidak stabil.
Teorema 2.9.3 (Hale and Kocak, 1991)
Diberikan titik kesetimbangan ๐ฅฬ dari sistem persamaan diferensial nonlinear orde satu ๐ฅฬ = ๐(๐ฅ).
(2.9.1)
a. Jika semua bagian real nilai eigen dari matriks Jacobian ๐ฝ(๐(๐ฅฬ )) bernilai negatif, maka titik kesetimbangan ๐ฅฬ stabil asimtotik lokal.
b. Jika terdapat satu nilai eigen dari matriks Jacobian ๐ฝ(๐(๐ฅฬ )) yang bernilai positif, maka titik kesetimbangan ๐ฅฬ tidak stabil.
Contoh 2.10.1
Tentukan jenis kestabilan titik kesetimbangan (0,0) dari sistem persamaan diferensial nonlinear berikut:
๐๐ฅ1
๐๐ก = 4๐ฅ1+ 2๐ฅ2+ 2๐ฅ12โ 3๐ฅ22 ๐๐ฅ2
๐๐ก = 4๐ฅ1โ 3๐ฅ2+ 7๐ฅ1๐ฅ2 Penyelesaian:
Matriks Jacobian dari sistem persamaan (2.9.2) di titik ๐ฑ = (0,0) adalah
๐ฝ(๐(๐ฑ)) = (
๐๐1
๐๐ฅ1(๐ฑ) ๐๐1
๐๐ฅ2(๐ฑ)
๐๐2
๐๐ฅ1(๐ฑ) ๐๐2
๐๐ฅ2(๐ฑ) ) atau
๐ฝ(๐(๐ฑ)) = (4 + 4(0) 2 โ 6(0) 4 + 7(0) โ3 + 7(0)) atau
๐ฝ(๐(๐ฑ)) = (4 2 4 โ3)
Sehingga persamaan karakteristik dari matriks ๐ฝ(๐(๐ฑ)) adalah det (๐๐ผ โ ๐ฝ(๐(๐ฑ))) = 0
atau
|๐ โ 4 โ2
โ4 ๐ + 3| = 0 atau
(๐ โ 4)(๐ + 3) โ (โ2)(โ4) = 0 atau
(2.9.2)
๐2 โ ๐ โ 20 = 0 atau
(๐ โ 5)(๐ + 4) = 0
Sehingga didapatkan dua nilai eigen yang berbeda, yaitu ๐1= 5 dan ๐2= โ4.
Karena terdapat nilai eigen yang bagian realnya positif, yakni ๐1= 5, maka titik (0,0) tidak stabil.
J. Bilangan Reproduksi Dasar
Pada bagian ini akan dibahas mengenai bilangan reproduksi dasar beserta contohnya.
Bilangan reproduksi dasar, yang dinotasikan dengan ๐ 0, adalah jumlah infeksi baru yang dihasilkan oleh adanya satu individu terinfeksi dalam suatu populasi. Jika ๐ 0 < 1, maka rata-rata individu yang terinfeksi menghasilkan kurang dari satu individu baru yang terinfeksi selama periode infeksinya, infeksi tidak dapat berkembang. Sebaliknya, jika ๐ 0 > 1, maka setiap individu terinfeksi rata-rata menghasilkan lebih dari satu infeksi baru, dan penyakit tersebut dapat menyebar dalam suatu populasi.
Contoh 2.10.1
Sebagai contoh, jika nilai ๐ 0 = 3, maka hal ini berarti bahwa satu individu terinfeksi dalam suatu populasi dapat menghasilkan tiga individu terinfeksi baru. Illustrasi untuk contoh ini diberikan pada Gambar 2.10.1.
Gambar 2.10.1. Illustrasi untuk ๐ 0 = 3 (Ndii, 2018)
K. Matriks Generasi Berikutnya
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai matriks generasi berikutnya dan contohnya. Referensi atau panduan yang digunakan untuk menulis mengenai matriks generasi berikutnya diambil dari jurnal yang ditulis oleh Driessche and Watmough, 2002.
Pertimbangkan populasi yang dapat dikelompokkan ke dalam ๐ kompartemen. Misalkan ๐ฅ = (๐ฅ1, ๐ฅ2, โฆ , ๐ฅ๐)๐ dengan ๐ฅ๐ โฅ 0 untuk ๐ = 1,2, โฆ , ๐, dan ๐ฅ๐ adalah banyaknya jumlah individu setiap kompartemen.
Selanjutnya, kompartemen dapat diurutkan sehingga ๐ kompartemen pertama adalah kompartemen yang terdapat individu terinfeksi. Kemudian didefinisikan ๐๐ = {๐ฅ โฅ 0 | ๐ฅ๐ = 0, ๐ = 1, 2, โฆ , ๐}, yang mana ๐๐ adalah himpunan semua titik kesetimbangan bebas penyakit dengan ๐ adalah banyaknya kompartemen yang terdapat individu terinfeksi.
Untuk menghitung bilangan reporduksi dasar penting untuk membedakan infeksi baru dari semua perubahan kelompok kompartemen. Hal ini berarti bahwa pentingnya untuk membedakan kelompok terinfeksi dan tidak terinfeksi. Misalkan โฑ๐(๐ฅ) menyatakan laju kemunculan infeksi baru pada kompartemen ๐ dan ๐ฑ๐(๐ฅ) adalah laju perpindahan individu pada kompartemen ๐ yang dirumuskan sebagai berikut
๐ฑ๐(๐ฅ) = ๐ฑ๐โ(๐ฅ) โ ๐ฑ๐+(๐ฅ)
dengan ๐ฑ๐โ(๐ฅ) merupakan laju perpindahan individu yang keluar dari kompartemen ๐ dan ๐ฑ๐+(๐ฅ) adalah laju perpindahan individu yang masuk ke dalam kompartemen ๐. Model penyebaran penyakit terdiri dari kondisi awal non negatif dengan sistem persamaan berikut:
๐ฅฬ = ๐๐(๐ฅ) = โฑ๐(๐ฅ) โ ๐ฑ๐(๐ฅ), ๐ = 1,2, โฆ , ๐
dengan ๐ฑ๐(๐ฅ) = ๐ฑ๐โ(๐ฅ) โ ๐ฑ๐+(๐ฅ). Selanjutnya, asumsi-asumsi berikut haruslah dipenuhi:
a. Setiap fungsi menyatakan perpindahan langsung dari individu, maka semua fungsi bernilai non negatif. Dengan kata lain, dapat ditulis sebagai berikut:
Jika ๐ฅ โฅ 0, maka โฑ๐, ๐ฑ๐โ(๐ฅ), ๐ฑ๐+(๐ฅ) โฅ 0 untuk ๐ = 1, 2, โฆ , ๐.
Jika ๐ฅ โฅ 0, maka โฑ๐, ๐ฑ๐โ(๐ฅ), ๐ฑ๐+(๐ฅ) โฅ 0 untuk ๐ = 1, 2, โฆ , ๐.