• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan akan mempermudah penulisan dan penjabaran penulisan skripsi ini dengan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai apa yang menjadi pokok pembahasan di dalam skripsi ini. Sisematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yakni sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang, yaitu apa yang melatarbelakangi mengangkat judul ini. Permasalahan, yaitu mengenai hal-hal apa yang menjadi permasalahan di dalam skipsi ini. Tujuan penulisan, yaitu maksud dari penulis menulis skripsi. Manfaat penulisan, yaitu manfaat apa yang diberikan di dalam penyusunan skripsi ini bagi penulis maupun pembaca. Tinjauan Pustaka, berisi studi literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Metode penelitian, yaitu metode yang digunakan oleh penulis dalam mengkaji setiap

permasalahan. Keaslian penulisan, pernyataan oleh penulis tentang keaslian skripsi yang ditulis.

Bab II Pengaturan Hukum tentang Jual Beli Menggunakan Aplikasi OVO di Kota Medan

Bab ini berisikan 3 subbab, yaitu tinjauan umum tentang jual beli, tinjauan umum tentang perlindungan konsumen dan tinjauan umum tentang transaksi elektronik

Bab III Praktik Jual Beli dengan Pembayaran Elektronik OVO di Kota Medan

Bab ini menguraikan hasil penelitian yang dilakukan yang terdiri dari 5 subbab yaitu gambaran umum OVO,praktik menggunakan layanan OVO di Kota Medan, keuntungan menggunakan layanan OVO di Kota Medan hak dan kewajiban OVO serta permasalahan dalam transaksi jual-beli menggunakan OVO oleh pengguna di Kota Medan.

Bab IV Perlindungan Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Menggunakan Pembayaran Elektronik OVO di Kota Medan

Bab ini terdiri dari 3 subbab yaitu tanggung jawab OVO sebagai penyedia jasa layanan pembayaran elektronik, penyelesaian masalah dalam transaksi jual beli menggunakan pembayaran elektronik OVO dan perlindungan konsumen dalam transaksi jual beli menggunakan pembayaran elektronik OVO menurut Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Bab V Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dari seluruh pembahasan dan disertai dengan saran.

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG JUAL BELI MENGGUNAKAN APLIKASI OVO DI KOTA MEDAN

A. Tinjauan Umum Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli

Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian yang paling lazim diadakan di antara para anggota masyarakat.20 Membeli dan menjual adalah dua kata kerja yang sering kita pergunakan dalam istilah sehari-hari yang apabila digabungkan antara keduanya, berarti salah satu pihak menjual dan pihak lainnya membeli, dan hal ini tidak dapat berlangsung tanpa pihak yang lainnya, dan itulah yang disebut perjanjian jual beli.21 Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “koop en verkoop” yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu “verkoopt” (menjual) sedang yang lainnya “koopt” (membeli). Dalam bahasa Inggris jual-beli disebut dengan

“sale” saja yang berarti “penjualan” (hanya dilihat dari sudut pandang si penjual), begitu pula dalam bahasa Perancis disebut dengan “vente” yang juga berarti

“penjualan”, sedangkan dalam bahasa Jerman dipakainya perkataan “kauf” yang berarti “pembelian”.22

Salim H.S mendefinisikan perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli. Dimana dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan

20Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu , Sumur Bandung, Jakarta, 1974, hal.13

21 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak , Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2007, hal.125

22 R. Subekti, Aneka Perjanjian , Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal.2

berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut23

Sedangkan menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan”

Berdasarkan uraian definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian yang mengikat dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan suatu obyek barang kepada pihak lain dan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk menbayar harga obyek barang tersebut.

2. Syarat-syarat sah jual beli

Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan. Untuk dianggap sah suatu persetujuan atau perjanjian jual beli, maka para pihak yang mengikat dirinya wajib memenuhi syarat sah persetujuan atau perjanjian jual beli yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi:

“Supaya terjadi persetujuan yang sah, dipenuhi empat syarat:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu pokok persoalan tertentu;

d. Suatu sebab yang tidak terlarang;”

23 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 49

Keempat unsur selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:

1). Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif) dan

2). Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif)24

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan ysng merupakan obyek yang diperjanjikan dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum.25

a) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Menurut Subekti, sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.

Apa yang dikehendaki pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain.26 Kesepakatan .dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu pihak atau lebih akan

24Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 93

25 Ibid., hal. 94

26 R.Subekti, Hukum Perjanjian PT.Intermasa,Jakarta, 2005,hal. 17

menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan yang disampaikan tersebut dikenal dengan nama “penawaran”. Penawaran berisikan kehendak dari salah satu pihak atau lebih dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal dari pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut.27

Cara –cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas,maupun tidak tegas yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan. Beberapa cara terjadinya kesepakatan/terjadinya penawaran dan penerimaan adalah:

1.1. Dengan cara tertulis;

1.2. Dengan cara lisan;

1.3 Dengan simbol-simbol tertentu; bahkan 1.4 Dengan berdiam diri.28

Cara yang paling banyak digunakan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan pembuatan secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, di kala timbul sengketa di kemudian hari.29

b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yanng akan menimbulkan

27 Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaja.Op.Cit.,hal.96 28 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal 14

29 Salim H.S., Op.Cit., hal. 33

akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang.30

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi dan orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai 1331 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”

Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain yang dinyatakan tidak cakap, maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan limitasi orang-orang yang dianggap cakap hukum adalah:

1.1 anak yang belum dewasa;

2.2 orang yang di bawah pengampuan;

3.3 perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan31 (namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, seorang istri sudah dianggap cakap untuk melakukan perbuatan hukum) c) Suatu pokok persoalan tertentu

Sebagai syarat yang ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan adalah mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak-hak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit sudah harus ditentukan jenisnya.

30 Ibid., hal. 34

31Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 128

Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan32. Hal ini ditegaskan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1333 yang berbunyi:

“Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.”

d) Suatu sebab yang tidak terlarang (halal)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Perdata dijelaskan bahwa yang disebut sebab yang halal adalah:

1.1 bukan tanpa sebab;

2.2 bukan sebab yang palsu;

3.3 bukan sebab yang terlarang;33

Disini harus dibedakan “sebab” yang dimaksud Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu sebab seseorang dalam berbuat perjanjian.

Sebab (bahasa Belanda orzaak, bahasa Latin causa) dalam hal ini mengacu kepada isi perjanjian. Karena pada dasarnya undang-undang hanya melihat pada apa yang tercantum dalam perjanjian, apa yang merupakan prestasi yang harus dilakukan para pihak, yang merupakan prestasi pokok, yang merupakan unsur essensialia atau yang terkait dengan unsur esensialia tersebut, yang tanpa adanya

32 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit., hal.19

33Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit., hal. 161

unsur esensialia dalam perjanjian tersebut, tidak mungkin perjanjian tersebut akan dibuat oleh para pihak.34Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

3. Hak dan Kewajiban Penjual dan Pembeli

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara penjual dan pembeli memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Menurut Pasal 1513 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang ditetapkan di dalam persetujuan, hal tersebut merupakan hak yang harus diterima oleh penjual seperti pada umumnya. Kemudian pada Pasal 1517 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur juga jika pembeli tidak membayar harga pembelian, maka penjual dapat menuntut pembatalan jual beli itu menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Adapun kewajiban pihak penjual adalah sebagai berikut:

a. Melakukan penyerahan

. Berdasarkan Pasal 1475 KUH Perdata, penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli.Walaupun perjanjian jual beli telah mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjualbelikan akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kata kesepakatan, karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjualbelikan dibutuhkan penyerahan.35

Adapun cara penyerahan tersebut adalah sebagai berikut:

34 Ibid

35Ahmadi Miru, Op.Cit., hal 128

1).Barang bergerak tak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ke tangan pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin diserahkan satu-persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol tertentu (penyerahan simbolis), misalnya:

penyerahan kunci gudang sebagai simbol dari penyerahan barang yang ada di dalam gudang tersebut.36

2) Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta di bawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui atau diaki secara tertulis oleh si berutang 3) Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah

melalui pendaftaran atau balik nama.37

.Apabila karena kelalaian penjual, penyerahan tersebut tidak dapat dilaksanakan, pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian atas alasan bahwa si penjual tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa syarat batal selalu dianggap dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian timbal balik mana kala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

Di samping menuntut pembatalan perjanjian, si pembeli juga dapat menuntut agar penyerahan barang tersebut dilakukan sepanjang penyerahan

36Ibid

37 Ibid., hal.129

tersebut masih memungkinkan untuk dilaksanakan bahkan dapat disertai penggantian biaya, rugi dan bunga.38

b) Menjamin Aman Hukum

Kewajiban ini timbul sebagai konsekuensi jaminan penjual kepada pembeli bahwa barang itu adalah betul-betul miliknya sendiri, bebas dari beban atau tuntutan dari pihak lain. Misalnya, pembeli digugat oleh pihak ketiga , yang menurut keterangannya barang itu miliknya sendiri. Dalam hukum acara perdata, pembeli dapat meminta kepada hakim, agar penjual diikutsertakan dalam gugatan itu.39

Apapun alasannya, bila terjadi penghukuman untuk menyerahkan barang yang telah dibelinya itu kepada orang lain, maka si pembeli berhak menuntut kembali dari si penjual:

1) pengembalian uang harga pembelian;

2) pengembalian hasil, jika diwajibkan ia menyerahkan hasil-hasil itu kepada pemilik sejati yang melakukan penuntutan penyerahan;

3) biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan gugatan si pembeli untuk ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh penggugat asal;

4) penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan penyerahannya sekadar itu telah dibayar oleh si pembeli40. Apabila pada waktu dijatuhkan hukuman untuk menyerahkan barangnya kepada orang lain, lalu barang itu merosot harganya, si penjual tetap

38 Ibid., hal.129-130

39 I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan (Jakarta: Sinar Grafika, 2015) hal.168 40 Ibid.,hal.169

diwajibkan mengembalikan uang harga seutuhnya. Sebaliknya, bila harganya bertambah, meskipun tanpa perbuatan si pembeli, si penjual diwajibkan membayar kepada si pembeli kelebihan harga pembelian itu.

Selanjutnya, si penjual diwajibkan mengembalikan kepada pembeli segala biaya telah dikeluarkan untuk pembetulan dan perbaikan yang perlu pada barang itu.(1499 KUH Perdata) 41

Namun,walaupun undang-undang menentukan kewajiban penjual sebagaimana tersebut diatas,para pihak dapat memperjanjikan lain (mengurangi atau memperluas kewajiban tersebut) bahkan dibolehkan memperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung apapun. Akan tetapi, pembebasan penjual untuk menanggung apapun dalam perjanjian tersebut tidak berlaku terhadap kerugian yang dialami oleh pembeli yang merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh penjual, dan ketentuan terakhir ini tidak dapat dikesampingkan sehingga setiap perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan tersebut adalah batal.42

c) Menanggung cacat yang tersembunyi

Si penjual diwajibkan menanggung cacat tersembunyi (verbogen gebrekan) atas barang yang dijualnya, yang berakibat barang itu tidak bisa dipakai atau tidak masimal pemakaiannya, seandainya si pembeli mengetahui adanya cacat itu, maka ia tidak akan membeli barang itu kecuali dengan harga yang kurang.43

Jika cacat itu kelihatan atau tidak tersembunyi, penjual tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, dan dalam hal itu pembeli dianggap telah

41 Ibid

42 Ahmadi Miru, Op.Cit.,hal135 43 I Ketut Oka Setiawan, Loc.cit

menerima adanya cacat itu. Namun, dalam hal penjual menanggung cacat tersembunyi, ia tidak harus mengetahui hal itu, kecuali jika ia telah minta diperjanjikan bahwa ia tidak menanggung suatu apapun.

Bila penjual mengetahui barang tersebut mengandung cacat, maka selain ia mengembalikan harga pembelian, ia juga diwajibkan mengganti segala kerugian. Dalam hal itu, sudah barang tentu pengetahuan penjual yang demikian itu harus dibuktikan.44

Sedangkan bagi pembeli, hak utama pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis. Dan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.

“harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal dalam undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub di dalam pengertian jual-beli. Bagaimana tidak, umpamanya harga itu adalah barang, maka itu akan merubah perjanjian menjadi “tukar-menukar” atau kalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitu seterusnya. Di dalam pengertian jual beli sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan di lain pihak ada uang.45

Harga yang dimaksud harus ditetapkan oleh kedua belah pihak,namun diperkenankan untuk menyerahkan perkiraan atau penentuan harga kepada pihak ketiga. Dalam hal demikian, maka jika pihak ketiga ini tidak mampu untuk membuat perkiraan atau penentuan harga, maka tidaklah terjadi suatu pembelian (Pasal 1465). Hal ini berarti bahwa perjanjian jual-beli yang harganya ditetapkan

44 Ibid., hal.170

45 R.Subekti, Aneka Perjanjian., Op.Cit., hal 21

oleh pihak ketiga pada hakikatnya adalah suatu perjanjian dengan suatu “syarat tangguh”, karena perjanjian itu baru akan terjadi jika harga sudah ditetapkan oleh pihak ketiga tersebut.

Selain itu, si pembeli biarpun tidak ada suatu perjanjian yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau lain pendapatan.46

Apabila si pembeli tidak membayar harga pembelian tersebut, hal itu merupakan suatu wanprestasi yang dapat memberikan alasan kepada si penjual untuk menuntut ganti-rugi atau pembatalan pembelian sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.47

4. Risiko dalam jual beli

Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak. Misalnya barang yang diperjual-belikan musnah di perjalanan karena kapal laut yang mengangkutnya karam di tengah laut akibat serangan badai atau rumah yang disewakan terbakar habis karena korsleting listrik. Siapakah yang (menurut hukum) harus memikul kerugian-kerugian tersebut? Inilah persoalan yang dengan suatu istilah hukum dinamakan “risiko” itu.48

Mengenai risiko dalam KUH Perdata, ada tiga peraturan, yaitu risiko atas barang tertentu, risiko atas barang yang dijual menurut berat, jumlah dan ukuran serta risiko atas barang yang dijual menurut tumpukan.

Risiko atas barang tumpukan diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata yang berbunyi:

46 Ibid

47Ibid., hal.24 48 Ibid

“jika barang yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan maka barang ini sejak saat pembelian atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya”

Yang dimaksudkan dengan barang tertentu adalah barang yang pada waktu perjanjian sudah ada dan ditunjuk oleh si pembeli. Misalnya, pembeli ini masuk ke sebuah toko mebel dan memilih sebuah lemari yang disetujui untuk dibelinya. Yang dibeli adalah lemari yang ditunjuk itu, bukan lemari yang lainnya dan bukan ia pesan untuk dibuatkan lemari yang seperti itu. Dalam istilah perdagangan lemari tersebut termasuk apa yang dinamakan “ready stock”.

Mengenai barang seperti itu dalam Pasal 1460 di atas menetapkan bahwa risiko dipikulkan kepada si pembeli, walaupun barangnya belum diserahkan. Jadi, misalnya lemari tersebut dalam perjalanan sewaktu diangkut kerumahnya si pembeli dimana ia akan diserahkan, hancur karena suatu kecelakaan, maka tetaplah ia si pembeli diharuskaan membayar harganya. Maka inilah yang dinamakan “memikul risiko” atas suatu barang.49

Menurut ketentuan-ketentuan Pasal 1461 dan 1462 risiko atas barang-barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran diletakkan pada pundak si penjual hingga barang-barang itu telah ditimbang atau diukur. Sedangkan, risiko atas barang-barang yang dijual menurut tumpukan diletakkan pada si pembeli.

Barang-barang yang masih harus ditimbang, dihitung atau diukur terlebih dahulu sebelum dikirim (diserahkan) kepada si pembeli, boleh dikatakan baru akan dipisahkan dari barang-barang milik si penjual setelah dilakukan

49 Ibid., hal 25-26

penimbangan, penghitungan atau pengukuran. Baru setelah dipisahkan itu, barang tersebut merupakan barang yang disediakan untuk dikirimkan kepada pembeli atau untuk diambil oleh si pembeli.

Sedangkan barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari awal disendirikan (dipisahkan) dari barang-barang milik si penjual sehingga

Sedangkan barang yang dijual menurut tumpukan, dapat dikatakan sudah dari awal disendirikan (dipisahkan) dari barang-barang milik si penjual sehingga

Dokumen terkait