• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Kajian Teori

a) Tinjauan tentang Good Governance

Menurut Kooiman (2009: 273) yang dikutip oleh Muhammad Kurniawan, governance merupakan serangkaian proses interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah atas kepentingan-kepentingan tersebut. Governance merupakan mekanisme-mekanisme, proses-proses dan institusi-institusi melalui warga negara mengartikulasi kepentingan-kepentingan mereka, memediasi perbedaan-perbedaan mereka serta menggunakan hak dan kewajiban legal mereka.

Governance merupakan proses lembaga-lembaga pelayanan, mengelola sumber daya public dan menjamin realita hak asasi manusia. Dalam konteks ini good governance memiliki hakikat yang sesuai yaitu bebas dari penyalahgunaan wewenang dan korupsi, serta dengan pengakuan hak yang berlandaskan pada pemerintahan hukum.11

Menurut World Bank, yang dikutip oleh Nurul Widiyawati Islami Rahayu, good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien. Dan ada 3 aspek penting dalam sebuah gevernance, yaitu state, private sector dan civil society. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dalam membentuk sebuah good governace. Sehingga, Good zakat governance yang ideal

11 Muhammad Kurniawan, Mewujudkan Good Governance di Pemerintah kota Malang melalui Implementasi Undang-undang no. 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik, (Universitas Brawijaya, 2017), 158.

adalah adanya negara yang memayungi regulasi zakat. Negara dipercaya oleh masyarakat dalam regulasi zakat karena dapat mengangkat nilai-nilai efektif, efesien dan akuntabel.12

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Good Governance merupakan tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik, dan administrasi guna mengelola urusan-urusan Negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan tersebut mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.

Dalam manajemen Good zakat governance ini, pemerintah harus memperhatikan 4 aspek pengelolaan zakat:

1) Penghimpunan

Penghimpunan atau disebut juga fundraising dapat diartikan sebagai kegiatan menghimpun atau menggalang dana zakat, infaq dan sadaqah serta sumber daya lainnya dari masyarakat baik individu, kelompok, organisasi dan perusahaan yang akan disalurkan dan didayagunakan untuk mustahik.13 Ada dua macam fundraising: direct fundraising dan indirect fundraising.

a) Direct Fundraising : Penghimpunan langsung merupakan metode yang menggunakan tehnik-tehnik atau cara-cara yang melibatkan

12 Nurul Widyawati Islamai Rahayu, Good Governance Zakat (Lumajang: LP3DI Press, 2017), 67.

13 Didin Hafiduddin dan Ahmad Juwaeni, Membangun Peradaban Zakat (Jakarta: IMZ, 2006), 47.

partisipasi muzakki secara langsung. Yaitu bentuk-bentuk fundraisingdimana proses interaksi dan daya akomodasi terhadap respon muzakki bisa seketika (langsung) dilakukan.

b) Indirect Fundraising : Penghimpunan tidak langsung merupakan suatu metode yang menggunakan tehnik-tehnik atau cara-cara yang tidak melibatkan partisipasi muzakki secara langsung. Yaitu bentuk-bentuk fundraising dimana tidak dilakukan dengan memberikan daya akomodasi langsung terhadap respon muzakki secara langsung.14

2) Pendistribusian

Salah satu pendistribusian yang baik adalah adanya keadilan yang sama diantara semua golongan yang telah Allah tetapkan sebagai penerima zakat, juga keadilan bagi setiap golongan si penerima zakat yang kami maksudkan adil disini bukanlah ukuran yang sama dalam pembagian zakat di setiap golongan penerimanya, ataupun disetiap individunya. Sebagaiman yang dikatakan Imam Syafi‟i; yang dimaksudkan adil disini adalah dengan menjaga kepentingan masing-masing penerima zakat dan juga masalah bagi dunia Islam.15

3) Pendayagunaan

Pendayagunaan ini merupakan inti dari seluruh pengelolaan zakat.16 Menurut Muhammad Daud Ali bentuk pendayaguaan dana

14 Didin dan Ahmad, Membangun Peradaban , 56.

15 Dr. Yusuf Qardhawi, Spektrum Zakat Dalam Membangun Ekonomi Kerakyatan (Cet 1; Jakarta:

Zikrul Hakim, 2005), 148.

16 Rahayu, Good Governance, 132.

zakat dapat dilakukan atau dikategorikan sebagai berikut: Pertama, Pemanfaatan atau pendayagunaan zakat konsumtif tradisional. Kedua, Pemanfaatan dan pendayagunaan dana zakat konsumtif kreatif. Ketiga, Pemanfaatan dan pendayagunaan zakat produktif tradisional. Keempat, adalah pemanfataan atau pendayagunaan dana zakat produktif kreatif.17

4) Controlling (pengawasan)

Pengawasan pada umumnya adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan dengan rencana yang ditetapkan.18

Ada lima prinsip yang harus dipegang teguh Untuk membangun Good Zakat Governance dalam keempat aspek di atas (penghimpunan, pendistribusian, pendayagunan dan pengawasan): transparansi (transparancy), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), independensi (independency), dan kesetaraan dan kewajaran (fairness).19

1) Transparansi

Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.

17 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1998), 62-63.

18 S. P Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Bumi Aksara , 1989), 66.

19 Wahyudin Zarkasyi, Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya (Bandung : Alfabeta, 2008), 38.

2) Akuntabilitas

Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

3) Responsibilitas

Pertanggungjawaban yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

4) Independensi

Independensi yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

5) Kesetaraan dan Kewajaran

Fairness yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan (stake holders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.

b) Tinjauan Tentang Zakat

Dasar hukum dari pengumpulan zakat telah ditetapkan oleh Allah di antaranya dalam Al-Qur‟an Surat At-Taubah ayat 103, sebagai berikut:



































Artinya: Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk

mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.20

Pembicaraan tentang system atau pola pendayagunaan zakat berarti membicarakan beberapa usaha atau kegiatan yang saling berkaitan dalam menciptakan tujuan tertentu dengan tujuan zakat itu disyariatkan.

Dalampendekatan fiqh, dasar pendayagunaan zakat umumnya didasarkan pada surah at-Taubah yang telah dijelaskan diatas.

Ayat tersebut menjelaskan tentang peruntukan kepada siapa zakat itudiberikan. Para ahli tafsir menguraikan kedudukan ayat tersebut dalamuraian yang beragam, baik terhadap kuantitas, kualitas dan prioritas.

Penjelasan yang beragam dari para ulama terhadap maksud ayat tersebut menunjukkan bahwa konsep pendayagunaan atau pihak-pihak yang berhak menerima zakat, dalam penerapannya memberikan atau membuka keluasan pintu ijtihad bagi mujtahid termasuk kepala Negara dan Badan Amil Zakat, untuk mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi sesuai dengan kemaslahatan yang dapat dicapai dari potensi zakat tersebut.21

Umar Bin al-Khattab berpendapat, bisa saja zakat dibagikan kepada salah seorang mustahik saja, ataupun dibagi secara rata. Distribusi zakat, menurut mazhab Shafi‟i tidak membolehkan pembayaran zakat hanya dalam satu kelompok saja karena berpegang teguh pada ayat al-Qur‟an surat al-Taubah ayat 60. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Malik

20 Al-Quran, 09:103.

21 Hamid Abidin (ed), Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS (Jakarta: Piramedia, 2004), 6.

Bin Anas, dan Ahmad Bin Hanbal seperti halnya „Umar Bin al-Khattab, membolehkan pembagian zakat hanya kepada satu kelompok saja.22

Idealnya, pengelolaan zakat dapat menunjang kemandirian daerah muzaki untuk didistribusikan kepada mustahik di wilayahnya.

Sebagaimana pada masa awal kerasulan Muhammad SAW di mana zakat merupakan tonggak pembangunan ekonomi kedaerahan. Kalaupun ingin membantu masyarakat di luar daerahnya, harus tetap mempertimbangkan batas maksimum kesejahteraan masyarakat. Nantinya, pendayagunaan zakat akan mendorong sebuah peningkatan taraf hidup sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat tanpa menggantungkan pada sistem bantu dari pusat.23

Dalam bentuk dan sifat penyaluran zakat jika kita melihat pengelolaan zakat pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, kemudian diaplikasikan pada kondisi sekarang, maka kita dapati bahwa penyaluran zakat dapat dibedakan dalam dua bentuk, yakni:

1) Bantuan sesaat (konsumtif), yang berarti bahwa zakat hanya diberikan kepada mustahik hanya satu kali atau sesaat saja. Namun berarti bahwa penyaluran kepada mustahik tidak disertai target terjadinya kemandirian ekonomi (pemberdayaan) dalam diri mustahik. Hal ini dilakukan karena mustahik yang bersangkutan tidak mungkin lagi mandiri, yang dalam aplikasinya dapat meliputi orang tua yang sudah jompo, orang cacat,

22 Wahbah Az-Zuhaili, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, terj. Agus Efendi dan Bahrudin Fanani (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1995.). 445.

23 Muhtar Sadili, Urgensi Peraturan Daerah (PERDA) Dalam Pengelolaan Zakat “dalam ProblematikaZakat Kontemporer” (Jakarta : Forum Zakat, 2003), 106.

pengungsi yang terlantar atau korban bencana alam.

2) Pemberdayaan (produktif), yaitu penyaluran zakat produktif, yang diharapkan akan terjadi kemandirian ekonomi mustahik. Pada pemberdayaan ini disertai dengan pembinaan atau pendampingan atas usaha yang dilakukan.24

Pemberian modal harus dipertimbangkan secara matang oleh amil.

Apakah orang itu mampu mengolah dana yang diberikan itu, sehingga pada suatu saat dia tidak lagi menggantungkan hidupnya kepada orang lain, termasuk mengharapkan zakat, jika ini dapat dikelola dengan baik atas pengawasan dari amil (bila memungkinkan) maka secara berangsur-angsur orang miskin akan terus berkurang dan tidak tertutup kemungkinan, dia bisa menjadi muzaki, bukan lagi mustahik. Prosedur pelaksana usaha produktif adalah sebagai berikut:

1) Melakukan studi kelayakan 2) Menetapkan jenis usaha produktif 3) Melakukan bimbingan dan penyuluhan

4) Malakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan 5) Mangadakan evaluasi

6) Membuat laporan.25

Pendayagunaan dana zakat berfungsi sebagai upaya untuk mengurangi perbedaan antara kaya dan miskin karena bagian harta

24 Hertanto Widodo dan Teten Kustiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan Untuk Organisasi Pengelola Zakat (Ciputat: Institut Manajemen Zakat, 2001), 84.

25 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 581 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, Bab V Pasal 2

kekayaan orang kaya membantu dan menumbuhkan kehidupan ekonomi yang miskin, sehingga keadaan ekonomi orang miskin dapat diperbaiki.

Oleh karena itu, zakat berfungsi sebagai sarana jaminan sosial dan persatuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu dan memberantas kemiskinan umat manusia, dalam hal ini zakat merupakan bukti kepedulian sosial.26

Kerjasama semua pihak, baik para muzaki, lembaga zakat dan Mustahik sangat diperlukan untuk optimalisasi distribusi zakat produktif.

Adapun langkah-langkah distribusi zakat secara produktif adalah sebagai berikut;

1) Pendataan yang akurat sehingga yang menerima benar-benar orang yang tepat.

2) Pengelompokkan peserta ke dalam kelompok kecil, homogen baik dari sisi gender, pendidikan, ekonomi dan usia. Kemudian dipilih ketua kelompok, diberi pembimbing dan pelatih.

3) Pemberian pelatihan dasar. Dalam pelatihan harus berfokus untuk melahirkan pembuatan usaha produktif, manajemen usaha, pengelolaan keuangan usaha dan lain-lain. Pada pelatihan ini juga diberi penguatan secara agama sehingga melahirkan anggota yang berkarakter dan bertanggung jawab.

4) Pemberian dana. Dana diberikan setelah materi tercapai, dan peserta dirasa telah dapat menerima materi dengan baik. Usaha yang telah

26 Syauqi Ismail Syahhatih, Prinsip Zakat Dalam Dunia Modern (Jakarta: Pustaka Media Utama, 2003), 9.

direncanakan pun dapat diambil. Anggota akan dibimbing oleh pembimbing dan mentor secara intensif sampai anggota tersebut mandiri untuk menjalankan usaha sendiri.27

Zakat yang dihimpun oleh lembaga amil zakat harus segera disalurkan kepada para mustahik sesuai dengan skala prioritas yang telah disusun dalam program kerja. Mekanisme dalam distribusi zakat kepada mustahik bersifat konsumtif dan juga produktif. Sedangkan pendistribusian zakat tidak hanya dengan dua cara, akan tetapi ada tiga yaitu distribusi konsumtif, distribusi produktif dan investasi.

c) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (Mustahiq Zakat)

Kata pemberdayaan adalah terjemahan dari istilah bahasa Inggris yaitu empowerment yang berasal dari kata dasar power yang berarti kemampuan berbuat, mencapai, melakukan atau memungkinkan. Awalan em dalam kata empowerment berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yang berarti di dalamnya, karena itu pemberdayaan dapat berarti kekuatan dalam diri manusia, suatu sumber kreatifitas. Menurut bahasa, pemberdayaan berasal dari kata daya yang berarti tenaga atau kekuatan.

Jadi, pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya masyarakat dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkan. yang lemah untuk mencegah terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah.28

27 Murtadho Ridwan, “Analisis Model Fundraising Dan Distribusidana Zis Di UPZ Desa Wonoketingal Karanganyar Demak”, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2, (Agustus 2016), 1-27.

28Masdar Farid Mas‟udi, Pajak Itu Zakat: Uang Allah untuk Kemaslahatan Rakyat (Bandung:

Mizan Pustaka, 2005), 114.

Pemberdayaan (empowerment) merupakan suatu konsep dalam upaya menjadikan adanya kekuatan atau kekuasaan (power) pada seseorang/individu atau kelompok.Pemberdayaan berhubungan dengan upaya untuk merubah kemampuan seseorang, keluarga, atau kelompok dari keadaan tidak memiliki kemampuan/kekuatan/keberdayaan menuju keadaan yang lebih baik.29

Menurut Habiyullah Jabbar pemberdayaan merupakan proses kerja sama antara pihak yang memberdayakan dan pihak yang diberdayakan.

Keduanya merupakan suatu-kesatuan yang integral untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemandirian. Kerja sama ini lazim dalam bentuk program yang dikelola bersama oleh semua pihak yang terjadi dari: pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat.30

Pemberdayaan menuntut adanya perubahan dalam banyak aspek dalam masyarakat. Pemberdayaan melibatkan apa yang disebut dengan memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk dapat menggunakan kemampuan yang ada dalam dirinya. Di samping itu mereka juga harus bertindak sebagai navigator dalam perjalanan menuju pemberdayaan.

Pemberdayaan secara pasti dapat diwujudkan, tetapi perjalanan tersebut tidaklah berlaku bagi mereka yang tidak semangat. Pemberdayaan mendasarkan pada pengakuan yang eksplisit bahwa orang-orang dalam

29 Dr. N. Oneng Nurul Bariyah, M.Ag, Total Quality Managemen Zakat Prinsip dan Praktek Pemberdayaan Ekonomi (Ciputat: Wahana Kardofa FAI UMJ, cet. Pertama, 2012), 223.

30 Habiyullah Jabbar, (ed). Keadilan, Pemberdayaan, dan Penanggulangan Kemiskinan (Jakarta:

Balntika, Cet. Pertama, 2004), 99.

masyarakat memiliki kemampuan yang mencakup pengalaman, pengetahuan, serta motivasi internal mereka.31

Pemberdayaan dalam kaitannya dengan penyampaian kepemilikan harta zakat kepada mereka yang berhak terbagi dalam empat bagian, yaitu sebagai berikut:32

1) Pemberdayaan sebagian dari kelompok yang berhak akan harta zakat, misalnya fakir miskin, yaitu dengan memberikan harta zakat kepada mereka sehingga dapat mencukupi dan memenuhi kebutuhan mereka.

2) Memberdayakan kaum fakir, yakni dengan memberikan sejumlah harta untuk memenuhi kebutuhan hidup serta memberdayakan mereka yang tidak memiliki keahlian apapun.

3) Pemberdayaan sebagian kelompok yang berhak akan harta zakat, yang memiliki penghasilan baru dengan ketidakmampuan mereka. Mereka itu adalah pegawai zakat dan para muallaf.

4) Pemberdayaan sebagian kelompok yang berhak akan harta zakat untuk mewujudkan arti dan maksud zakat.

Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah pembinaan atau pemberdayaan yang dikembangkan untuk merubah dan sekaligus meningkatkan taraf perekonomian. Konsep pemberdayaan mempunyai dua makna, yakni mengembangkan dan memandirikan, menswadayakan masyarakat lapisan bawah terhadap penekanan sektor kehidupan.

Pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan pendistribusian dana

31 Ken Blancard, Pemberdayaan Karyawan (Yogyakarta: Asmara Books, 2008), 1.

32 Abdurrachman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. kedua, 2001), 169.

zakat produktif mempunyai arti memandirikan masyarakat tersebut, sehingga masyarakat dalam hal ini adalah orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik) tidak selamanya tergantung kepada orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki).

Selanjutnya El-Din sebagaimana yang dikutip oleh Irfan Syauqi Beik mencoba untuk menganalisa fungsi alokatif dan stabilisat Zakat dalam perekonomian. Ia menyatakan bahwa fungsi alokatif zakat diekspresikan sebagai alat atau instrumen untuk memerangi kemiskinan.

Namun demikian, hendaknya dalam pola pendistribusiannya, zakat tidak hanya diberikan dalam bentuk barang konsumsi saja melainkan juga dalam bentuk barang produksi. Ini dilakukan ketika mustahik memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mengolah dan melakukan aktivitas produksi. Ia pun mendorong distribusi zakat dalam bentuk ekuitas, yang diharapkan akan memberikan dampak yang lebih luas terhadap kondisi perekonomian.

Sejumlah studi untuk melihat secara empiris dampak zakat terhadap pengurangan kemiskinan dan pengangguran telah dilakukan, meskipun masih sangat jarang.33

Zakat dianggap mampu dalam pengentasan kemiskinan, karena zakat merupakan sarana yang dilegalkan agama dalam pembentukan modal. Pembentukan modal semata-mata tidak hanya berasal dari pengolahan dan pemanfaatan sumber daya alam saja, tetapi melalui upaya penyisihan. Dengan kata lain zakat dimana harta atau dana zakat yang

33 Irfan Syauqi Beik, “Analisis Peran Zakat dalam Mengurangi Kemiskinan : Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika Zakat & Empowering”, Jurnal Pemikiran dan Gagasan – Vol II (2009), 46-68

diberikan kepada para mustahik tidak dihabiskan akan tetapi dikembangkan dan digunakan untuk membantu usaha mereka.

Pemanfaatan zakat sangat targantung pada pengelolaannya. Apabila pengelolaannya baik, pemanfaatannya akan dirasakan oleh masyarakat.34

Pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam;

1) Memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas dalam mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan;

2) Menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan;

3) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan keputusan yang mempengaruhi mereka.35

d) Pola-pola Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat, pola pemberdayaan yang tepat sasaran sangat diperlukan, bentuk yang tepat adalah dengan memberikan kesempatan kepada kelompok miskin untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang telah mereka tentukan. Disamping itu masyarakat juga diberikan kekuasaan

34 Amalia, Kasyful Mahalli, “Potensi Dan Peranan Zakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di Kota Medan”, Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1, No.1, (Desember 2012). 70-83.

35 Suharto. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian , 59.

untuk mengelola dananya sendiri, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak amil zakat, inilah yang membedakan antara partisipasi masyarakat dengan pemberdayaan masyarakat.

Perlu difikirkan siapa sesungguhnya yang menjadi sasaran pemberdayaan masyarakat, sesungguhnya juga memiliki daya untuk membangun, dengan ini good governance yang telah dielu-elukan sebagai suatu pendekatan yang dipandang paling relevan, baik dalam tatanan pemerintahan secara luas maupun dalam menjalankan fungsi pembangunan.

Good governance adalah tata pemerintahan yang baik merupakan suatu kondisi yang menjalin adanya proses kesejahteraan, kesamaan, kohesi dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan komponen pemerintah, rakyat dan usahawan swasta.36

Dalam kondisi ini mengetengahkan tiga pilar yang harus diperlukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut adalah pemerintah, swasta dan masyarakat yang hendaknya menjalin hubungan kemitraan yang selaras.

Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri, kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Pemberdayaan masyarakat hendaknya

36 Ambar Teguh Sulistiyani, Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan (Yogyakarta, Gava Media, 2004), 76.

mengarah pada pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik, untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses.

Ada dua upaya agar pemberdayaan ekonomi masyarakat bisadijalankan, diantaranya pertama mempersiapkan pribadi masyarakat menjadi wirausaha. Karena kiat Islam yang pertama dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah dengan bekerja. Dengan memberikan bekal pelatihan, karena pelatihan merupakan bekal yang amat penting ketikaakan memasuki dunia kerja.

Program pembinaan untuk menjadi seorang wiraswasta ini dapatdilakukan melalui beberapa tahap kegiatan, diantaranya :37

a) Memberikan bantuan motivasi moril

Bentuk motivasi moril ini berupa penerangan tentang fungsi, hakdan kewajiban manusia dalam hidupnya yang pada intinya manusia diwajibkan beriman, beribadah, bekerja dan berikhtiar dengan sekuat tenaga sedangkan hasil akhir dikembalikan kepada dzat yang Maha Pencipta. Bentuk-bentuk motifasi moril ini dilakukan melalui pengajian umum/bulanan, diskusi keagamaan dan lain-lain.38

b) Pelatihan Usaha

Melalui pelatihan ini setiap peserta diberikan pemahaman terhadap konsep-konsep kewirausahaan dengan segala macam seluk beluk permasalahan yang ada didalamnya. Tujuan pelatihan ini adalah untuk

37 Musa Asy‟ari, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat (Klaten, Lesfi Institusi Logam, 1992), 141.

38 Sudjangi et. Model Pendekatan Agama Dalam Pengentasan Kemiskinan di Kotamadya (Badan Litbag Agama, Depagri, Jakarta, 1997), 48.

memberikan wawasan yang lebih menyeluruh dan aktual sehingga dapat menumbuhkan motivasi terhadap masyarakat disamping diharapkan memiliki pengetahuan taknik kewirausahaan dalam berbagai aspek.

Pelatihan sebaiknya diberikan lebih aktual, dengan mengujikan pengelolaan praktek hidup berwirausaha, baik oleh mereka yang memang bergelut di dunia usaha, atau contoh-contoh konkrit yang terjadi dalam praktek usaha. Melalui pelatihan semacam ini diharapkan dapat mencermati adanya kiat-kiat tertentu yang harus ia jalankan, sehingga dapat dihindari sekecil mungkin adanya kegagalan dalam pengembangan kegiatan wirausahanya.39

c) Permodalan

Permodalan dalam bentuk uang merupakan salah satu faktor penting dalam dunia usaha, tetapi bukan yang terpenting untuk mendapatkan dukungan keuangan, baik perbankan manapun dana bantuan yang disalurkan melalui kemitraan usaha lainnya. Penambahan modal dari lembaga keuangan, sebaiknya diberikan, bukan untuk modal awal, tetapi untuk modal pengembangan, setelah usaha itu dirintis dan menunjukkan prospeknya yang cukup baik, karena jika usaha itu belum menunjukkan perkembangan profit yang baik, sering kali bank tidak akan memberikan pinjaman.

39 M. Damawan Raharjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), 295.

Bentuk pemberdayaan yang kedua adalah dengan pendidikan, kebodohan adalah pangkal dari kemiskinan, oleh karenanya untuk mengentaskan kemiskinan dalam jangka panjang adalah dari sektor pendidikan, karena kemiskinan ini kebanyakan sifatnya turun-menurun, dimana orang tuanya miskin sehingga tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya, dan hal ini akan menambah daftar angka kemiskinan kelak di kemudian hari.

Bentuk pemberdayaan di sektor pendidikan ini dapat disalurkan melalui dua cara, pertama pemberian beasiswa bagi anak yang kurang mampu, dengan diberikannya beasiswa otomatis menguangi beban orang tua dan sekaligus meningkatkan kemauan belajar, kedua penyediaan sarana dan prasarana, proses penyalurannya adalah dengan menyediakan proses tempat belajar formal ataupun non formal, atau paling tidak dana yang disalurkan untuk pendidikan ini selain untuk beasiswa juga untuk pembenahan fasilitas sarana dan prasarana belajar, karena sangat tidak mungkin menciptakan seorang pelajar yang berkualitas dengan sarana yang minim.40

40 Ambar Teguh, Kemitraan dan Model-model, 204.

Dokumen terkait