• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan hasil penelitian ini akan disusun dalam lima bab. Bab I adalah yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II adalah Pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan masalah yang pertama, yakni faktor penyebab perilaku eksploitasi alam dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Bab III adalah Pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan masalah yang kedua, yakni dampak eksploitasi alam

dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Bab IV adalah Pembahasan.

Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan masalah yang ketiga, yakni perlawanan para tokoh terhadap tindakan eksploitasi alam dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye.

Bab V adalah Penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran dari hasil penelitian. Kesimpulan yang dimaksud adalah deskripsi tentang fenomena eksploitasi alam di dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Saran yang dimaksud adalah saran kepada kepada peneliti lain yang akan melakukan kajian lebih lagi terhadap novel Si Anak Pemberani.

30 BAB II

FAKTOR PENYEBAB PERILAKU EKSPLOITASI ALAM DALAM NOVEL SI ANAK PEMBERANI KARYA TERE

2.1 Pengantar

Sesuai dengan tujuan penelitian pertama yang akan dicapai dalam penelitian ini, yaitu menguraikan faktor penyebab perilaku eksploitasi alam dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye maka, dalam bab ini akan diuraikan hasil analisis faktor penyebab perilaku eksploitasi alam dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Faktor penyebab eksploitasi alam yang akan dibahas pada penelitian ini ialah mengacu kepada tindakan dan dialog para tokoh di dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Masalah eksploitasi alam yang utama dalam novel ini adalah adanya pertambangan pasir di sungai yang membuat ekosistem alam di sekitarnya menjadi rusak. Selain itu, ada pula bentuk eksploitasi alam berupa penebangan dan pembakaran hutan yang dimunculkan dalam novel ini. Para warga kampung yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil alam terkena dampak negatif dari adanya pertambangan pasir.

Kampung beserta alamnya yang direpresentasikan dalam novel ini adalah sebuah kampung yang berada di lembah Bukit Barisan, Pulau Sumatera.

“Perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya Syahdan, mewakili petani dari lembah Bukit Barisan Pulau Sumatra…..”

(Liye, 2021: 273) Faktor yang mempengaruhi perilaku eksploitasi alam dalam novel ini dapat dikaji menggunakan kajian ekokritik model kajian etika lingkungan. Etika

lingkungan hidup adalah sebagai refleksi kritis tentang norma dan nilai atau prinsip moral yang dikenal umum selama ini dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dan refleksi kritis tentang cara pandang manusia tentang manusia, alam, dan hubungan antara manusia dan alam serta perilaku yang bersumber dari cara pandang ini (Taum, 2021). Hal ini berhubungan dengan kearifan lingkungan.

Kearifan lingkungan bewujud prinsip-prinsip moral berupa sikap hormat terhadap alam (respect for nature), sikap tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature), solidaritas kosmis (cosmic solidarity), prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature), prinsip tidak merugikan alam (no harm), prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam; prinsip keadilan; prinsip demokrasi; dan prinsip integritas moral (Bandingkan Tylor, 1986; Naess, 1993; Singer, 1993; Keraf, 2010).

Eksploitasi alam yang ada dalam novel ini disebabkan oleh faktor ekonomi dan faktor kekuasaan. Faktor ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pihak tertentu tanpa memikirkan kepentingan warga kampung dan alam di sekitarnya. Bahkan pihak yang melakukan eksploitasi ini menjanjikan keadaan ekonomi yang lebih baik juga terhadap para warga kampung, tetapi semua ini hanyalah tipuan supaya warga kampung mengizinkan adanya pertambangan pasir. Selain itu, faktor kekuasaan juga mengambil peran dari tindakan eksploitasi ini. Dalam novel ini, pihak yang melakukan eksploitasi mendapatkan dukungan yang kuat dari para pejabat dan penguasa daerah bahkan negara.

2.2 Faktor Ekonomi

Dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Leye, eksploitasi alam yang berupa pertambangan pasir di sungai terjadi karena adanya keinginan untuk memperoleh kekayaan dari hasil alam yang diambil sebanyak-banyaknya oleh pihak yang memiliki modal untuk melakukan penambangan. Pihak penambang pasti akan mendapatkan keuntungan yang banyak dari hasil tambang. Mereka bahkan memberikan janji dan tawaran yang menarik untuk memberikan kesejahteraan kepada para warga kampung. Namun, hal ini hanyalah cara mereka untuk mendapatkan izin dari warga kampung yang menolak keberadaan mereka.

Mereka sebenarnya tidak peduli dengan kehidupan warga kampung yang menjadi pewaris asli kekayaan alam yang ada di sana. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dibuktikan dan dilihat pada data berikut ini.

“Kami justru datang menawarkan kehidupan yang lebih baik. Kami bisa memperbaiki sekolah kalian yang hampir roboh. Membangun balai desa yang lebih baik. Memberikan puluhan lapangan pekerjaan. Dan di atas segalanya, kami bisa memberikan kesempatan untuk kau sendiri, menjadi seseorang yang penting, Syahdan…”

(Liye, 2021: 16)

“Astaga, berapa kali harus kubilang. Sudah empat jam kita membicarakan kesepakatan ini, Syahdan.” Suara berat itu terdengar lebih kencang, dengan intonasi sepertiga kesal, sepertiga putus asa, sepertiga mengancam. “Baiklah, kami naikkan angkanya. Dua kali lipat untuk setiap truk, dan kau mendapatkan bagian tersendiri. Kau juga bisa membeli truk-truk, bisa mengelola tambang pasir sendiri.”

(Liye, 2021: 16)

Kutipan di atas adalah perkataan yang diucapkan oleh pemilik tambang pasir, yaitu Johan kepada Syahdan yang merupakan salah satu warga kampung tempat tambang pasir berada, teman lamanya, sekaligus ayah dari Eliana (Si Anak

Pemberani). Saat itu pihak tambang pasir dan para perwakilan warga kampung mengadakan sebuah pertemuan yang membahas tentang adanya pertambangan pasir. Johan terlihat dalam ucapannya bahwa ia menjanjikan kehidupan yang layak bagi Syahdan dan warga kampung lainnya. Namun, semua ini hanyalah bujuk rayunya untuk menarik hati para warga kampung. Johan mengetahui bahwa kampung itu memiliki banyak kekayaan alam yang bisa ia ambil untuk kebutuhan ekonomi dan memuaskan dirinya sendiri. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

“Kaulah yang tidak akan pernah mengerti kesempatan besar ini, Syahdan.” Suara serak itu semakin kencang. “Kau tahu, tambang pasir ini hanya bagian kecil dari rencana besarku. Untuk kesepuluh kali aku tegaskan, hutan kampung kalian menyimpan harta karun.

Bukan minyak bumi, bukan emas berlian, melainkan sesuatu yang tidak kalah berharga. Puluhan meter di bawah hutan kalian terbenam harta karun, Syahdan. Emas hitam. Batu bara. Miliaran ton jumlahnya. Kalulah yang tidak mau mengerti kesempatan besar yang kami tawarkan. Kau membuang kesempatan menjadikan seluruh kampun kaya raya.”

(Liye, 2021: 17)

Johan yang merupakan pemilik tambang pasir juga menunjukkan bahwa ia memiliki motif ekonomi atau hasrat mendapatkan kekayaan yang kuat melalui tambang pasir dengan mengejek kehidupan ekonomi Syahdan dan warga kampung lainnya. Bahkan ia tidak berpikir bahwa perkataannya hanya menyakiti hati keluarga Syahdan dan penduduk kampung lainnya. Ditunjukkan pada kutipan berikut.

“Sudah lama sekali aku tidak mendengar kata itu. Lungsuran.”

Pemilik suara serak itu terbahak panjang. Badan tambunnya bergoyang di atas kursi. Dagunya yang menempel di dada bergerak-gerak.

(Liye, 2021: 19)

“Sebentar… Sebentar…” Suara serak itu justru menahanku. Lelaki tambun itu melambaikan tangan, menggeleng. “Lihatlah, Syahdan, kehidupan apa yang kauberikan pada anak-anakmu? Seragam

bekas? Astaga! Dua bidadari kecil ini memakai baju lungsuran?

Kejutan apa lagi yang kudengar setelah kabar sekolah yang bangunannya nyaris roboh? Guru honorer yang berpuluh tahun mengajar sendirian dan tak pernah jadi PNS? Ayolah, kita bisa mendengar kata-kata ‘pasar loak’, ‘baju kodian’, atau ‘seribu tiga’?

Alangkah miskin keluarga kau, Syahdan.”

(Liye, 2021: 20) Novel ini juga menunjukkan faktor memperoleh kekayaan yang menjadi salah satu penyebab eksploitasi alam di seluruh dunia. Manusia berambisi mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya dari hasil alam. Mereka tidak peduli bahwa yang mereka lakukan menjadi bentuk eksploitasi yang dapat merusak alam dan kehidupan makhluk hidup di sekitarnya. Seperti pada kutipan novel berikut yang menggambarkan faktor penyebab eksploitasi alam dari pandangan salah satu tokoh, yaitu Pak Bin. Pak Bin adalah satu-satunya guru di kampung itu yang mengajar Eliana dan seluruh anak kampung lainnya.

Pak Bin senang hati menerima kami di rumah panggungnya. Dia bercerita banyak hal tentang hutan, lembah, sungai, tentang alam sekitar yang dia ketahui. Pak Bin bercerita tentang tambang-tambang besar di dunia. “Mereka melubangi tanah, membuat terowongan belasan pal. Mereka membangun rel kereta untuk lori, terus masuk ke dalam bumi. Tidak terbayangkan ambisi manusia terhadap emas, perak, tembaga, minyak, dan sebagainya.” Kami mendengarkan penjelasan Pak Bin dengan takzim. “Tetapi itu belum seberapa. Perkebunan-perkebunan mahaluas, ratusan ribu hektare, mengambil alih hutan-hutan produktif. Manusia semakin rakus dengan bio-diesel misalnya, untuk keperluan industri ataupun rumah tangga, maka jutaan hektare hutan di seluruh dunia dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Apakah perkebunan itu merusak? Tentu saja. Keseimbangan alam terganggu.”

(Liye, 2021: 390)

Kutipan novel di atas mendukung faktor penyebab eksploitasi alam yang dilakukan oleh pihak pertambangan pasir. Dalam novel ini, Johan sebagai pemiliknya. Johan melalui setiap perkataannya menunjukkan bahwa ia memiliki hasrat yang kuat untuk memperoleh kekayaan melalui sumber daya alam yang ada di kampung tempat Eliana dan keluarganya tingal. Hal yang dilakukan oleh pemilik tambang ini sama dengan yang dilakukan oleh orang-orang di seluruh dunia, seperti yang diceritakan oleh tokoh Pak Bin di atas.

“… Ratusan ribu hektare untuk kebun kelapa sawit misalnya. Atau untuk menanam tebu. Pendatang dari kota akan menebang sampai habis seluruh hutan. Mereka mengambil pohon-pohonnya yang nilainya triliunan rupiah. Tidak terkira. Selesai digunduli, mereka pergi. Urusan menjadikan kebun kelapa sawit belakangan. Mereka sudah kaya-raya dengan menjarah hutan. Banyak sekali kasus pemegang konsensi hanya tertarik pada pohon-pohon saja.”

(Liye, 2021: 264-265)

“Mereka tahu, Eli. Mereka lebih pandai disbanding siapa pun.

Tetapi mereka memilih tutup mata. Mereka dibutakan oleh uang, target pertumbuhan, pembangunan, dan entahlah. Mereka lebih membela perusahaan besar yang memiliki modal dan kekuasaan.

Sebaliknya, penduduk kampung yang menolak, justru ditangkapi, dijebloskan dalam penjara. Berpuluh tahun kasus mereka dilupakan, tetap mendekam dalam sel gelap hanya karena mereka membela hutan warisan leluhur. Kasus seperti ini banyak, Eli.

Hidup terkadang tidak bisa dimengerti bukan?” Bapak tertawa getir.

(Liye, 2021: 265-266) Kutipan novel di atas adalah perkataan dari tokoh Syahdan, ayah Eliana.

Melalui perkataannya bisa dilihat bahwa faktor keinginan untuk memperoleh kekayaan adalah faktor yang paling sering dan cukup besar dalam mendukung adanya eksploitasi alam. Bahkan ambisi yang besar untuk memperoleh kekayaan dari kegiatan eksploitasi alam dapat mengorbankan para penduduk yang melakukan penolakan. Mereka diperlakukan seolah menjadi pihak yang bersalah.

2.3 Faktor Kekuasaan

Dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye, faktor kekuasaan juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya eksploitasi alam. Eksploitasi alam yang berupa pertambangan pasir, penebangan, dan pembakaran hutan adalah kegiatan yang paling digambarkan dalam novel ini. Semua kegiatan ini bisa terjadi karena adanya dukungan dan izin dari pihak yang lebih berkuasa. Pada kegiatan pertambangan misalnya, pertambangan yang legal pun harus memiliki izin dari pemerintah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 (7) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin yang diberikan untuk melaksanakan usaha pertambangan.

Merupakan kewenangan Pemerintah, dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, untuk memberikan IUP. Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) mengatur bahwa IUP diberikan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya (hukumpertambangan.com, 1/10/021). Faktor kekuasaan yang menyebabkan adanya eksploitasi alam dalam novel ini dibuktikan dalam beberapa kutipan berikut.

“Walau seluruh penduduk kampung bilang ‘tidak’, bukan berarti urusan otomatis selesai. Kak Yati tahu persis soal itu. Johan punya izin lengkap, ditambah lagi bupati, pejabat, semuanya tidak di pihak kita. Mereka bisa kapan saja mengirimkan kembali puluhan truk, dikawal petugas bersenjata. Siapa yang mengganggu, tembak di tempat. Siapa yang menghalangi, langsung penjarakan. Kita semua paham, sungi, hutan, lembah, secara hukum bukan milik kita. Bahkan tanah dan rumah penduduk saja tidak banyak yang bersertifikat…”

(Liye, 2021: 25)

Kutipan di atas adalah ucapan yang dikatakan oleh tokoh Syahdan kepada Wak Yati, kakaknya. Melalui perkataan tokoh ini dapat dilihat bahwa pertambangan pasir yang dimiliki oleh Johan adalah pertambangan pasir yang mendapatkan izin dan dukungan dari para pejabat yang berkuasa. Bahkan para warga yang mencoba untuk menghalangi kegiatan pertambangan akan mendapatkan hukuman.

“Harus berapa kali kukatakan, mereka puya izin lengkap sekarang.” Mang Dullah menghela napas, menunjuk berkas di atas meja. “Dan kali ini mereka dikawal oleh petugas. Surat yang mereka kirimkan padaku tadi pagi jelas menulis, Siapa pun yang mengganggu tambang pasir, siapa pun penduduk yang berada radius lima puluh meter dari mereka, maka akan ditangkap.”

(Liye, 2021: 149)

Kutipan di atas adalah perkataan dari tokoh Mang Dullah, selaku salah satu tetua kampung. Pertambangan pasir itu bahkan memiliki petugas yang menjaga kegiatan mereka. Mereka seolah memiliki kuasa untuk membunuh dan memenjarakan setiap orang yang berusaha menghalangi kegiatan pertambangan pasir. Hal ini menjadi suatu bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh pihak pertambangan hingga terkesan mengancam para penduduk kampung.

“Mereka telah mengutak-atik hukum agar sesuai keinginan jidat mereka.

Gosh, baca kitab undang-undang Belanda, sungai adalah wilayah terlarang untuk aktivitas tambang. Haram hukumnya menyentuh sungai. Mereka pastilah menyumpal mulut pihak berkepentingan unuk mendapatkan izin lengkap mengeduk pasir. Dan lebih banyak lagi untuk menyumpal petugas yang bersedia menjaga tambang.”

(Liye, 2021: 150)

Kutipan di atas dalah perkataan dari tokoh Wak Yati yang mempermasalahkan izin atas aktivitas pertambangan pasir di sungai. Perkataan ini

sebenarnya juga menjadi suatu bentuk protes terhadap kegiatan pertambangan pasir di sungai. Pertambangan pasir yang ada ternyata berhasil mendapatkan izin karena ada kepentingan penguasa yang melindunginya. Hal ini didukung oleh kutipan dari perkataan tokoh Syahdan berikut ini.

Bapak mengusap wajah, Mang Dullah menghela napas. Mau bagaimana lagi? Urusan ini bukan sekadar bilang ‘tidak’. Pembicaraan dengan pemilik tambang sudah berkali-kali dilakukan, dan berkali-kali gagal.

Pemilik tambang memutuskan tutup mata. Terus beroperasi dengan menggunakan kekuasan.

(Liye, 2021: 150-151)

Kekuasaan dan kekuatan pihak yang melakukan eksploitasi alam ternyata tidak hanya terjadi pada kampung yang berada di lembah Bukit Barisan. Novel ini juga menggambarkan kekuasaan pelaku eksploitasi yang terjadi di semua wilayah Pulau Sumatera.

“…Orang kota bilang hanya mengambil hutan telantar, padang rumput gersang, lahan-lahan kritis. Tetapi itu dusta. Alat-alat berat justru dikirimkan ke hutan-hutan terbaik. Penduduk kampung mati-matian menolak, tapi percuma, kekuatan orang kota jauh lebih besar dibanding yang mereka bisa bayangkan.”

(Liye, 2021: 264)

“Seluruh hutan di Pulau Sumatra terancam…”

“Dan semua orang membiarkan perusakan besar-besaran itu. Pejabat tinggi memberikan konsesi atau izin pengolahan hutan…”

(Liye, 2021: 264-265)

Bahkan novel ini menggambarkan bahwa faktor kekuasaan yang menyebabkan eksploitasi alam tidak hanya terjadi di Pulau Sumatera, tapi pulau-pulau lainnya di Indonesia.

“Konsesi jutaan hektare itu mengepung hutan-hutan Kalimantan dan Sumatra. Esok lusa, hutan Papua yang begitu elok, begitu indah, akan menjadi target berikutnya. Jutaan hektare untuk mengembangkan pertanian apalah, untuk perkebunan apalah. Itu belum terhitung jutaan

hektare konsesi untuk pertambangan. Setiap jengkal hutan, kampung, bahkan kota sudah mereka kotak-kotak. Mereka jatah macam membagi harta nenek moyang mereka.”

(Liye, 2021: 265)

“…Hari ini kita hanya menghadapi tambang pasir milik Johan. Esok lusa, lebih besar lagi kekuatan para pendatang yang hendak mengambil hutan-hutan kita.”

(Liye, 2021: 265)

Novel ini juga menceritakan bahwa aparat keamanan yang seharusnya mengayomi masyarakat, sekarang lebih membela pihak yang berkuasa dan bisa membayar mereka. Terdapat dalam kutipan berikut.

“Semalam Johan datang ke rumah Dullah, membawa banyak polisi dari kota kabupaten. Dia marah-marah, dan lebih marah-marah lagi para polisis itu. Oi, mereka mengancam akan serius menangkap siapa saja yang mengganggu operasi tambang. Sepertinya polisi sekarang lebih melindungi siapa yang membayar mereka disbanding melindungi warga….”

(Liye, 2021: 182)

“… Belum lagi Johan diuntungkan dengan memiliki uang serta kekuasaan.”

(Liye, 2021: 183)

Berdasarkan kutipan-kutipan novel di atas dapat dianalisis bahwa faktor kekuasaan atau kekuatan para pelaku eksploitasi alam sangat berpengaruh terhadap alam dan penduduk di sekitarnya. Pelaku eksploitasi yang merupakan pendatang memperlakukan alam dan penduduknya aslinya dengan sewenang-wenang. Mereka hanya memuaskan ambisi mereka dengan mengambil hasil alam, tanpa memikirkan kerusakan alam yang terjadi setelahnya. Mereka juga tidak pernah memikirkan cara untuk merawat alam kembali setelah mengambil sumber dayanya. Penduduk asli menjadi korban eksploitasi alam tanpa mendapatkan manfaat yang berarti untuk mereka. Bahkan diceritakan pada akhir novel ini,

bahwa Johan kembali datang berpuluh tahun kemudian dengan kekuatan yang lebih besar.

Yang aku tahu, dan itu tidak terlalu mengejutkan, setahun terakhir Johan kembali ke kampung kami sebagai pemilik tambang batu bara. Entah bagaimana caranya, dia datang dengan uang tidak terbatas. Dia menguasai konsensi tambang ribuan hektare, seluruh lembah kampung kami yang masih terjaga.

Hari ini, seperti yang dikabarkan Damdas lewat telepon, Johan mengirimkan puluhan alat berat untuk mulai memorak-porandakan hutan kami. Johan pasti menggunakan segala cara untuk memperoleh izin konsensi pertambangan. Termasuk menyumpal mulut-mulut pejabat dan petugas korup. Sejak dua puluh tahun lalu dia sudah mengincar harta karun di perut hutan kami. Apalagi kalau bukan cadangan batu bara miliaran ton itu. Kalian mau tahu seberapa merusaknya tambang batu bara? Cari tahulah sendiri. Itu mengerikan.

(Liye, 2021: 434)

Tindakan Johan, pemilik tambang yang kembali lagi setelah berpuluh tahun berlalu menunjukan bahwa keserakahan dalam memperoleh kekayaan dan faktor kekuasaan sangat mempengaruhi terjadinya eksploitasi alam ini. Pihak yang sudah merasakan keuntungan dari hasil mengeksploitasi alam pasti kembali lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.

2.4 Rangkuman

Dari analisis faktor penyebab perilaku eksploitasi alam di atas ditemukan adanya dua faktor utama yang terdapat di dalam novel Si Anak Pemberani karya Tere Liye. Faktor-faktor tersebut antara lain, faktor ekonomi dan faktor kekuasaan. Kedua faktor ini saling mendukung satu sama lain, sehingga mampu memberikan dorongan yang kuat terhadap para pelaku eksploitasi untuk

menjalankan misinya. Faktor-faktor yang menyebabkan eksploitasi alam ini telah melanggar keenam prinsip moral terhadap kearifan lingkungan.

Pelanggaran sikap hormat terhadap alam (respect for nature). Hal ini dibuktikan dengan adanya keseimbangan alam yang terganggu akibat adanya eksploitasi berupa pertambangan pasir, penggundulan, dan pembakaran hutan.

Pelanggaran sikap sikap tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature), dibuktikan dengan sikap serakah manusia yang hanya ingin mengambil kekayaan alam tanpa mau menjaga keseimbangan alam. Bahkan keserakahan manusia ini juga merusak unsur-unsur alam, seperti tanah, air, dan tumbuhan.

Pelanggaran solidaritas kosmis (cosmic solidarity), dibuktikan dengan manusia yang melakukan tindakan eksploitasi tidak menyadari bahwa manusia memiliki kedudukan yang sederajat dengan alam. Seharusnya manusia ikut merasakan saat alam dirusak dan ada upaya untuk mencegah kerusakan. Eksploitasi alam yang terjadi malah merupakan hasil dari tindakan manusia.

Pelanggaran prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature), dibuktikan dengan tindakan eksploitasi alam yang merusak tentu bukanlah sikap untuk melindungi dan memelihara alam dengan sebaik-baiknya.

Manusia tidak lagi menciptakan ketenangan dan keselarasan terhadap alam dan makhluk hidup lainnya. Eksploitasi yang dilakukan malah membuat perselisihan antar sesama manusia. Bahkan manusia tega menyerang sesamanya hanya demi mendapatkan kekayaan alam sebanyak-banyaknya. Pelanggaran prinsip tidak merugikan alam (no harm), dibuktikan dengan adanya eksploitasi yang merusak alam dan mengancam eksistensi makhluk hidup di dalamnya. Akibat kegiatan

eksploitasi ini menyebabkan hewan-hewan di habitatnya menjadi terganggu kelangsungan hidupnya. Bahkan alam yang seharusnya berdampingan damai dengan manusia menjadi menyerang manusia yang telah merusaknya.

Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam; prinsip keadilan; prinsip demokrasi; dan prinsip integritas moral juga telah dilanggar dalam hal ini karena kegiatan eksploitasi alam merupakan sikap rakus, tamak, dan tidak selaras dengan alam. Masyarakat yang selama ini hidup bergantung dengan alam pun tidak mendapatkan keadilan karena dalam segi pemanfaatan sumber daya alam dibandingkan dengan masyarakat modern akan kalah dari segi permodalan, teknologi, informasi dan sebagainya, sehingga kepentingan masyarakat sangat

Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam; prinsip keadilan; prinsip demokrasi; dan prinsip integritas moral juga telah dilanggar dalam hal ini karena kegiatan eksploitasi alam merupakan sikap rakus, tamak, dan tidak selaras dengan alam. Masyarakat yang selama ini hidup bergantung dengan alam pun tidak mendapatkan keadilan karena dalam segi pemanfaatan sumber daya alam dibandingkan dengan masyarakat modern akan kalah dari segi permodalan, teknologi, informasi dan sebagainya, sehingga kepentingan masyarakat sangat

Dokumen terkait