• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistim Inventori untuk Permintaan Dependen

Dalam dokumen Manajemen Operasi (Halaman 124-200)

Manajemen Sistem Persediaan (Inventori)

B. Sistim Inventori untuk Permintaan Dependen

Berikut ini beberapa teknik pengelolaan persediaan untuk permintaan yang dependen: a) Materials Required Planning (MRP)

b) Manufacture Resource Planning (The big MRP) / Enterprise Resource Planning (ERP)

Sistem Inventori untuk Permintaan Independen

Untuk mengelola persediaan yang menyangkut item-item dimana sifat permintaannya independen, ada empat model yang dapat digunakan:

1. Fixed Order Quantity Model atau FOQ atau Q Model (Model Pemesanan dengan Jumlah Tetap)

Fixed-Order Quantity Model atau Q model adalah model untuk menentukan titik spesifik, R, saat dimana pemesanan dilakukan dan jumlah yang harus dipesan, Q. Titik pemesanan, R, biasanya dinyatakan dalam jumlah unit inventori pada level R. Penghitungan Q digunakan rumus EOQ ( Economic Order Quantity) atau juga disebut sebagai Optimal Order Quantity. Penggambaran model Fixed Order Quantity dapat dilihat pada gambar. Berbagai model yang masuk kategori Q model antara lain:

EOQ

Yang perlu diperhatikan dari model tersebut adalah bahwa asumsi-asumsi yang digunakan tidak realistik. Akan tetapi, model tersebut dapat digunakan sebagai pijakan awal untuk memahami manajemen inventori.

Catatan:

Tentang bahasan EOQ selengkapnya silakan baca di topik Persediaan/ Inventori pada sub-topik yang membahas EOQ

Fixed Order Quantity Model (Q Model) dengan Adanya Penggunaan Selama Waktu Produksi / Economic Production Quantity (EPQ).

Model sebelumnya mengasumsikan bahwa jumlah yang dipesan akan diterima dalam sekali antar, pada hal dalam kenyataan tidak selalu demikian. Pada banyak situasi, produksi dari item persediaan dan penggunaan item tersebut berjalan secara simultan. Hal ini benar bila satu bagian dari sistim produksi bertindak sebagai supplier bagi bagian yang lain. Pada kasus yang demikian, bila d adalah tingkat permintaan (demand rate) yang konstan untuk item yang diproduksi dan p adalah tingkat produksi (production rate), maka TC dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

Dengan menggunakan konsep diferensiasi, diperoleh rumusan matematik menghitung Q optimal yang disebut Economic Production Quantity (EPQ):

Sedangkan Total Biaya Annual atau disingkat TAC atau TC dihitung dengan rumus:

Contoh Lot size yang Optimal model FOQ; Penggunaan selama Produksi / Economic Production Quantity

Produk X adalah komponen standard persediaan suatu perusahaan. Assembel akhir dari produk jadi dilakukan setiap hari. Salah satu komponen produk X (disebut komponen Y) diproduksi di departemen lain. Departemen tersebut memproduksi komponen Y pada tingkat produksi 100 unit per hari. Sementara tingkat permintaan/penggunaan komponen tersebut 40 unit per hari. Dengan menggunakan data tambahan di bawah ini, tentukan lot size untuk produksi komponen Y.

Tingkat permintaan/penggunaan harian (d) = 40 unit Permintaan tahunan (D) = 40 unit x 250 hari kerja Produksi harian (p) = 100 unit

Biaya set up produksi (S) = Rp.50

Biaya simpan tahunan (H) = 0,50 per unit

Biaya/ harga komponen Y (C) = Rp.7,00 per unit Lead time (L) = 7 hari

Pembahasan:

Dengan demikian bahwa pemesanan komponen Y sebanyak 1.826 unit akan dilakukan bila tingkat persediaan di gudang tinggal 280 unit.

Fixed Order Quantity Model (Q Model) dengan Tingkat Layanan Tertentu

Sistem dari Q model secara perpetual memonitor tingkat inventori dan melakukan pemesanan baru ketika persediaan mencapai level R. Masalah kehabisan bahan dari model demikian hanya mungkin muncul selama periode lead time, yakni antara waktu dilakukan pemesanan hingga waktu barang diterima. Gambar berikut menjelaskan adanya kemungkinan kehabisan bahan (stockout):

Reorder point dihitung dengan cara:

dimana

z = jumlah standard deviasi untuk tingkat layanan (service level) tertentu =standard deviasi penggunaan selama lead time

Untuk dapat menghitung nilai R di atas diperlukan data nilai z dan standard deviasi. Oleh karena itu pula perlu dihitung terlebih dahulu nilai z dan standard deviasi tersebut dengan cara:

Menghitung rata-rata penggunaan per hari

dimana n= jumlah hari lead time

Oleh karena standard deviasi di atas merupakan standard deviasi untuk satu hari, maka bila lead timenya lebih dari satu hari maka standard deviasi selama lead time sama dengan akar dari jumlah variance selama lead time, yaitu:

Kemudian, dihitung nilai z dengan menentukan nilai E(z) yakni jumlah unit yang memenuhi tingkat layanan yang diinginkan.

Dengan telah diperoleh nilai z (dilihat pada tabel) dan standard deviasi maka nilai R dapat ditentukan.

Contoh: Jumlah Order Ekonomis model FOQ dengan service level Bila diketahui bahwa

Tentukan saat dilakukan pemesanan ulang! (sebagai catatan hari kerja se tahun 250 hari)

Pembahasan:

Pemesanan ulang/ reorder point

Oleh karena nilai z belum diketahui maka perlu dicari terlebih dulu dengan rumus:

Selanjutnya nilai z pada E(z) = 0,4 dapat diperoleh denga melihat tabel jumlah out of stock versus Standard Deviasi yang dinormalisaskan pada 1 SD. Diperoleh nilai z = 0, sehingga solusi

pemesanan kembali (R) adalah:

Kesimpulannya: ketika persediaan di gudang tinggal 60 unit perusahaan harus memesan kembali sebanyak 200 unit

Contoh 2

Permintaan harian untuk suatu produk tertentu terdistribusi normal dengan rata-rata 60, dan standar deviasi 7. Supplier dapat dipercaya untuk menjaga lead time 6 hari. Biaya order Rp.10,- dan biaya simpan Rp.0,5 pewr unit per tahun. Tidak ada biaya kehabisan bahan, karena pesanan yang belum terpenuhi dapat segera didatangkan. Diasumsikan penjualan terjadi dalam satu tahun. Tentukan jumlah yang dipesan dan kapan dilakukan pemesanan kembali untuk memenuhi 95% pelanggan yang diambilkan dari persediaan.

Informasi:

Pembahasan :

Pertama menghitung jumlah pemesanan optimal atau Economic Order Quantity

Untuk menentukan saat pemesanan kembali, perlu lebih dulu menghitung jumlah produk yang digunakan selama lead time dan menambahkannya sebagai safety stock.

Oleh karena nilai z dan standar deviasi belum diketahui maka perlu dihitung terlebih dulu besaran z dan standar deviasi selama lead time .

hasil perhitunganmenunjukkan bahwa standar deviasa selama lead time sebesar 17,2 Sedang nilai z dicari dengan

Dengan menggunakan tabel, dapat diperoleh nilai z pada E(z) = 2,721 sebesar –2,72 Setelah diketahui nilai dari z dan maka R dapat ditentukan:

Sehingga kebijakannya akan berbunyi, jumlah pemesanan sebesar 936 unit akan dilakukan pada saat persediaan tersisa sebanyak 313 unit.

2. Fixed-Time Periode Model atau FTP atau P Model

Pada sistem periode tetap, inventori dihitung hanya pada waktu-waktu tertentu, misalnya setiap minggu atau setiap bulan. Dengan demikian pada sistim ini, jumlah yang dipesan untuk setiap kali pemesanan tergantung pada tingkat penggunaan selama periode monitoring.

Perbedaan pokok sistim Fixed-Time Periode (P model) dengan Fixed-Order Quantity (Q Model) adalah sebagai berikut:

Aspek Q Model/ FOQ P Model/ FTP

1 Jumlah yang dipesan Konstan, jumlah yang dipesan setiap

waktu sama Variabel, jumlah yang dipesan untuk setiapkali pesan senantiasi bervariasi

2 Waktu pemesanan Pemesanan/pemesanan kembali dilakukan pada saat inventori berada pada tingkat reorder (R)

Pemesanan/pemesanan kembali dilakukan pada saat dilakukan review yang dilakukan secara berkala dengan tenggang waktu yang tetap.

3 Pencatatan Pencatatan dilakukan setiap kali ada penambahan atau pengurangan inventori

Dihitung hanya pada saat periode review tiba.

4 Ukuran Inventori Lebih sedikit dibanding P model Lebih banyak dibanding Q model

5 Waktu pemeliharaan Lebih tinggi karena pencatatan dilakukan secara perpetual

6 Jenis item Harganya lebih mahal, kritikal, dan penting.

Beberapa model yang masuk kategori Fixed-Time Periode (P Model) antara lain:  Fixed Time Periode FTP atau P Model dengan Tingkat Layanan Tertentu

Pada sistim fixed time period, pemesanan kembali dilakukan pada saat review (T) dan lead time (L) yang konstan, serta safety stock sebanyak:

Selanjutnya jumlah yang dipesan, q adalah

= rata-rata permintaan selama T dan L + safety stock + Inventori di tangan + dlm perjalanan Rumusan matematiknya:

dimana

T = tenggang/jarak waktu antar review

Rho = standard deviasi permintaan selama lead time dan periode review I = tingkat persediaan termasuk pesanan yang direncanakan diterima Nilai z diperoleh dengan terlebih dulu menghitung E (z), yakni:

Contoh Jumlah Pemesanan: Model FTP dengan Service Level

Diketahui permintaan harian untuk suatu produk adalah 10 unit dengan standard deviasi 3 unit. Periode Review 30 hari dan lead time 14 hari. Manajemen telah membuat kebijakan untuk memenuhi 98% permintaan dalam bentuk persediaan. Pada review awal periode, terdapat persediaan 150 unit. Berapa banyak yang harus dipesan?

Pembahasan

Jumlah pemesanan dihitung dengan rumus:

Oleh karena nilai z dan standar deviasi belum diketahui, maka perlu dihitung terlebih dulu:

Selanjutnya untuk menentukan nilai z, perlu menghitung E(z):

dari tabel dan hasil interpolasi diperoleh nilai z= 0,21, sehingga jumlah yang harus dipesan adalah:

Dengan demikian untuk memenuhi 98% permintaan, maka pada saat review dilakukan pemesanan sebanyak 294 unit.

Special Purpose Model (Model Tujuan Khusus)

Ada dua macam model yang termasuk dalam kategori model tujuan khusus, yakni: i) Price-Break Model

Model ini digunakan untuk menganalisis pengaruh jumlah pemesanan bila terdapat perubahan harga (diskon) sehubungan dengan banyaknya pemesanan.. bagaimanapun, dalam kenyataan sering dijumpai adanya pemotongan atau pengurangan harga bila jumlah pemesanan semakin besar. Misalnya bila jumlah yang dipesan lebih kecil dari 500 unit,maka harga akan sebesar harga normal. Bila membeli 500 unit hingga 1000 unit akan diberi potongan harga 10%, dan bila membeli di atas 1000 unit akan mendapat potongan 15%.

Contoh Price Break Diketahui

D = 10.000 unit (permintaan tahunan) S = Rp.20,- per pesan

i = 20% dari harga per tahun

C = per unit tergantung besarnya pemesanan; pesan di bawah 499 unit harga per unit = Rp.5,00; pesan antara 500 sampai 999 unit, harga per unitnya Rp.4,50, sedang bila pesan di atas 1.000, harga per unitnya 3,90.

Berapa jumlah yang harus dipesan? Pembahasan:

Rumus yang cocok untuk dipakai mencari solusi dari kasus di atas adalah:

Masing-masing kategori harga dicari EOQ-nya. Dari perhitungan tersebut dapat ditentukan jumlah pemesanan yang feasible dan yang tidak. Dari yang feasible, selanjutnmya dipilih yang TIC-nya terkecil. (Kunci Jawaban Untuk C= Rp.5,- maka EOQ = 633 , tidak feasible, untuk P=Rp.4,5 maka nya = 666, feasible dengan TIC Rp.45.599,7, untuk P=Rp.3,9, maka EOQ-nya = 716, tidak feasible, sedang untuk P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible dengan TIC=Rp39.590 dan ini menrupakan solusi optimal)

ii) Single-periode Model

Model ini sering disebut sebagai model statis. Pemesanan dan persediaan dinalisis berdasarkan trade off dengan menggunakan analisis marginal. Marginal analisis di sini hanya akan cocok bila ada informasi mengenai probabilitas kejadian. Dalam situasi ini, perlu dilihat mengenai laba yang diharap (expected profit) dan kerugian yang diharap (expected loss). Dengan demikian bila laba yang diharap lebih besar atau sama dengan kerugian yang diharap, maka situasi yang demikian adalah menguntungkan. Jadi persamaannya adalah sebagai berikut:

P= probabilitas unit persediaan terjual MP= marginal profit

ML = marginal loss

1-P = probabilitas unit persediaan tidak terjual

Selanjutnya nilai bersih dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Contoh Salvage Value

Misalkan sebuah produk dijual pada harga Rp.100,00 per unit. Biaya produk tetap sebesar Rp.70,- per unit. Setiap unit yang tidak terjual memiliki nilai sisa (salvage value) Rp.20,-. Permintaan diharapkan berada pada range 35 sampai 40 unit setiap periode. Bila jumlah barang yang ada sebanyak 35 unit dipastikan dapat terjual, namun bila persediaan barang di atas 40 unit

maka pasti ada yang tidak laku. Kemungkinan barang laku dan tidak laku adalah sebagai berikut: Jumlah unit yang diminta Probabilita s permintaan Akumulas i jml produk Probabilita s terjual 35 0,10 1 sampai 35 1,00 36 0,15 36 0,90 37 0,25 37 0,75 38 0,25 38 0,50 39 0,15 39 0,25 40 0,10 40 0,10 41 0 41 lebih 0

Tentukan berapa unit yang harus dipesan? Pembahasan:

Keuntungan margin jika setiap unit terjual adalah harga dikurangi biaya atau MP= P-C =100 – 70 = 30

Kerugian margin terjadi jika unit barang tidak laku terjual. Besarnya adalah biaya dikurangi nilai sisa atau

ML = C – SV = 70 – 20 = 50

Probabilitas optimal dari unit terakhir yang terjual adalah:

Berdasarkan tabel probabilitas akumulatif pada kasus di atas, maka kemungkinan terjual dari unit barang harus sama atau lebih besar dari 0,625, dan angka yang paling mendekati itu adalah

37 unit dengan probabilitas terjual sebesar 0,75. Selanjutnya net benefit dari memiliki persediaan sebanyak 37 unit adalah profit margin yang diharap dikurangi kerugian margin yang diharap:

iii) Miscellaneous System (Sistim Rupa-Rupa) Ada setidaknya tiga sistim antara lain:

1. Sistim persediaan Sederhana

Sistim Persediaan Sederhana meliputi tiga sistim:  Sistim Pemesanan Opsional

Suatu sistim pengendalian inventori dimana inventori direview dengan frekuensi yang tetap seperti mingguan atau bulanan, dan pemesanan penambahan dilakukan jika tingkat inventori telah berada pada jumlah tertentu.

 Two-Bin System

Persediaan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah persediaan yang akan digunakan, sedang kelompok kedua berfungsi sebagai penyangga untuk menjamin ketersediaan bahan.

 One-Bin System

Suatu sistim dimana penambahan dilakukan secara periodik tanpa mempermasalahkan barapa banyak yang dibutuhkan

2. ABC Classification System

Menurut sistim ini, pengendalian inventori dilakukan berdasarkan kategorinya. Pengkategorian inventori didasarkan pada nilai item. Untuk kelompok A terdiri dari item-item yang memiliki nilai tinggi, kelompok B untuk item-item yang memiliki nilai moderat, dan kategori C untuk item-item yang nilainya rendah dan kuantitasnya besar.. Tujuan dari pengelompokan ini adalah untuk memisahkan tingkat pengendalian item-item persediaan. Semakin tinggi nilainya semakin diperlukan pengendalian yang ketat.

Catatan.

tentang sistem klasifikasi ABC selengkapnya dapat dibaca di topik Persediaan/ Inventori pada sub-topik Analisis Persediaan Metode ABC

3. Penghitungan ulang Inventori dan Akurasi

Pencatatan inventori biasanya berbeda dengan pehitungan fisik aktual. Akurasi inventori menunjuk pada sejauh mana keseuaian antara jumlah yang dicatat dan jumlah fisik aktualnya. Untuk menjamin akurasi inventori, penghitungan inventori dilakukan sesering mungkin dan mencocokkannya dengan catatan. Metode yang digunakan disebut Cycle Counting. Cycle Counting adalah teknik penghitungan inventori secara fisik dengan frekuensi yang lebih sering.

Tidak hanya satu atau dua kali setahun.

Sistem Persediaan Untuk Permintaan Dependen

Untuk dapat melakukan pengendalian terhadap inventori dalam konteks permintaan yang dependen, ada beberapa sistem yang dapat digunakan, yakni: 1). Material Requirement Planning (MRP) System. 2). Manufacturing Resource Planning/ Enteprise Resource Planning (MRPII/ big MRP/ ERP). (Hendra Poerwanto G)

Untuk dapat melakukan pengendalian terhadap inventori dalam konteks permintaan yang dependen, salah satu dari beberapa sistim yang dapat digunakan adalah Material Requirement Planning (MRP) System atau sering juga disebut "Little" MRP. MRP merupakan sistim yang dirancang untuk kepentingan perusahaan manufaktur termasuk perusahaan kecil. Alasannya adalah bahwa MRP merupakan pendekatan yang logis dan mudah dipahami untuk memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan penentuan jumlah bagian, komponen, dan material yang diperlukan untuk menghasilkan produk akhir. MRP juga memberikan skedul waktu yang terinci kapan setiap komponen, material dan bagian harus dipesan atau diproduksi.

MRP didasarkan pada permintaan dependen. Permintaan dependen adalah permintaan yang disebabkan oleh permintaan terhadap item level yang lebih tinggi. Misalnya permintaan akan mesin otomotif, roda merupakan permintaan dependen yang tergantung pada permintaan otomobil. MRP digunakan pada berbagai industri terutama yang berkarakteristik job-shop, yakni industri yang memproduksi

sejumlah produk dengan menggunakan peralatan produksi yang relatif sama.. MRP tidak akan cocok bila diterapkan pada perusahaan yang menghasilkan produk dalam jumlah yang relatif sedikit.

Tujuan Material Requirement Planning (MRP)

Tujuan Sistim MRP adalah untuk mengendalikan tingkat inventori, menentukan prioritas item, dan merencanakan kapasitas yang akan dibebankan pada sistim produksi. Secara umum tujuan pengelolaan inventori dengan menggunakan sistim MRP tidak berbeda dengan sistim lain yakni:

1. memperbaiki layanan kepada pelanggan, 2. meminimisasi investasi pada inventori, dan 3. memaksimisasi efisiensi operasi

Filosofi MRP adalah “menyediakan” komponen, material yang diperlukan pada jumlah, waktu dan tempat yang tepat.

Keunggulan dan Kelemahan Material Requirement Planning (MRP)

Keunggulan MRP diantaranya 1) Memberikan kemampuan untuk menciptakan harga yang lebih kompetitif, 2) Mengurangi harga jual, 3) mengurangi persediaan, 4) Layanan yang lebih baik kepada pelanggan, 5) respon yang lebih baik terhadap tuntutan pasar, 6) kemampuan mengubah skedul master, 7) mengurangi biaya set-up, dan waktu nganggur (idle time)

Distribution Required Planning (DRP)

Sistem Distribution Required Planning (DRP) yang baik akan mempunyai kemampuan pengelolaan dalam persediaan terutama pada bidang pengiriman. Distribution Required Planning (DRP) akan selalu berusaha untuk dapat

menyeimbangkan antara pasokan material dengan kebutuhan produksi. Melakukan pengiriman persediaan kepada pelanggan dengan efektif. Sebagai tambahan, system DRP ini juga diharapkan dapat melakukan penghematan biaya logistik yang signifikan melalui perencanaan kapasitas transportasi secara agregat dan

penugasan pengiriman yang efektif dan efisien. Distribution Required Planning (DRP) akan berhubungan dengan kondisi persediaan terhadap Rencana Induk Produksi (MPS). Dimana data masukkan dari MPS merupakan landasan untuk melakukan perhitungan Distribution Required Planning (DRP). Berikut bagan yang menggambarkan posisi DRP dalam Sistem Perencanaan & Pengendalian Produksi

Sistem Multi-Echelon di dalam Distribution Required Planning (DRP) Di dalam system multi-echelon terdapat satu atau lebih titik penyimpanan (stocking point) yang terletak di antara pabrik dan pelanggan. Ada beberapa alasan mengapa suatu korporat memilih system ini, yaitu sebagai berikut :

1. Dengan menyediakan persediaan dekat dengan pelanggan, diharapkan dapat memenuhi tingkat pelayanan kepada pelanggan.

2. Dapat mengurangi biaya transportasi sebagai akibat dari dekatnya titik persediaan dengan pelanggan.

3. Terkadang, dengan dekatnya titik penyimpanan dengan pelanggan diharapkan pelanggan akan merasa “tenang” dan senang.

Gudang cabang yang berfungsi untuk menyimpan barang jadi maupun komponen, sering disebut sebagai Pusat Distribusi (Ditsribution Centre), dan gudang yang akan melayani beberapa gudang yang ada di bawahnya (Pusat Distribusi) disebut sebagai Pusat Pasokan (Central Supply) atau Pusat Distribusi Regional. Berikut ini pada gambar adalah contoh system distribusi dual-echelon, dimana barang jadi yang telah diproduksi disimpan di Pusat Pasokan dan akan

dikirimkan ke pusat-pusat distribusi yang ada di bawahnya dan pada akhirnya akan disampaikan kepada pelanggan sebagai end-user dari produk yang telah dibuat. Berikut gambar Sistem Distribusi Dual – Echelon

Pada beberapa kondisi tertentu, system multi-echelon ini dapat sampai beberapa tingkat bawah, biasanya tingkatan di bawah Pusat Distribusi disebut sebagai Pusat Rabat (Retail Centre). Pusat Rabat ini akan dilayani oleh satu Pusat Distribusi (downline distribution centre). Sedangkan untuk Pusat Rabat yang dapat dilayani oleh beberapa Pusat Distribusi disebut sebagai Cross distribution centre.

Sistem “Pull” dan Sistem “Push” di dalam Distribusi

Di dalam sistem replenishment distribution inventories terdapat dua system, yaitu system Pull dan system Push. Keduanya mempunyai perbedaan yang

signifikan dalam pengguanaan horizon distribusi. Berikut ini adala definisi dari kedua system tersebut yang diadaptasi dari George Johnson (APICS Dictionary), yaitu :

1) Pull system

Pull system adalah suatu system dimana operasi (produksi pengadaan, pergerakan material, distribusi produk) terjadi hanya sebagai respon terhadap kebutuhan pengguan yan ada dibawahnya (downstream user). Tujuannya adalah untuk membeli/ menerima/ mengirim/ membuat/ menggerakkan sesuai dengan yang dibutuhkan dan selalu diusahakan tidak ada persediaan yan tersisa. Pull system adalah yang paling tua dan paling banyak diguanakan. Dimana setiap pusat Distribusi menentukan sendiri peramalan kebutuhannya dan bagaimana mereka mengella persediaan. Setelah itu setiap Pusat Distribusi akan melakukan

pemesanan kepada Pusat Pasokan. Pemesanan tersebut tidak diperhatikan kondisi kebutuhan pada Pusat Distribusi yang lain. Sedangkan Pusat Pasokan tidak pernah mendapatkan informasi mengenai keadaan persediaan pada Pusat Distribusi yang ada di bawahnya. Pemesanan pada tingkat Pusat Distribusi merupakan kebutuhan pada tingkat Pusat Pasokan. Keuntungan dan Kekurangan dari system pull :

Keuntungan dari System Pull adalah dimana proses dapat diopersaikan secara manual dan membutuhakan tingkat komunikasi yang rendah antara Pusat Pasok dengan Pusat Distribusi. Keuntungan lainnya adalah jika Pusat Distribusi merupakan profit centre maka mereka mempunyai kekuasaan penuh untuk mengelola persediaannya denga lebih leluasa tanpa adanya

interfensi dari Pusat Pasokan.

Kelemahan dari Sistem Pull adalah dimana dengan adanya variabilitas permintaan akan menyebabkan membengkaknya permintaan pada Pusat Pasokan hany apada salah satu Pusat distribusi. Ini menyebabkan Pusat Distribusi lainnya tidak seimbang dalam pemenuhan pesanan. Kerugian lainnya adalah dengan keadaan tersebut, Pusat Pasokan akan terbebani biaya safety stock dan biaya shortage yang sangat luar biasa.

2) Push System

Push system adalah suatu system dimana operasi (produksi, pengadaan,

pergerakkan material, distribusi produk) terjadi hanya sebagai respon terhadap perencanaan penjadwalan untuk setiap operasi tanpa memperhitungkan status real-time dari operasi yan bersangkutan. Tujuannya adalah untuk mengoperasikan suatu penjadwalan.]

Pada system Push, keputusan replenishment dilakukan pada tingkat upstream. Sehingga informasi mengenai permintaan dan tingkat persediaan pada downstream akan dikirim secara periodic ke tingkat upstream. Hal ini dapat mengfhindari

keadaan variabilitas dari permintaan. Selain itu juga, system Push ini dapat melakukan peramalan kebutuhan dan waktu pengiriman ke downstream dengan tepat. Keuntungan lain dari system Push adalah di mana pengiriman ke Pusat Distribusi dapat disinkronisasikan sedemikian rupa, sehingga persediaan di tingkat Pusat Pasokan dapat dieliminasi.

Distribution Replenishment System

Pada Distribution Replenishment System terdapat tiga metoda (Order Point-Based Stock-DRP) yang sering digunakan yaitu sebagi berikut :

1. Order-Point System : system ini sering digunakan untuk tipe persediaan yang bersifat independent. Secara garis besar, system ini berlandaskan pada pemantauan terhadap kondisi suatu sistem persediaan dan melakukan pemesanan kepada Pusat Pasokan jika persediaan pada tingkat pusat

Distribusi telah mencapai titik tertentu. Pasokan jika persediaan pada tingkat Distribusi telah mencapai titik tertentu.

2. Base-Stock System : sistem ini mempunyai kelebihan dari order-point system yaitu dimana replenishment pada tingkat Pusat Pasokan berdasarkan pada permintaan pelanggan, bukan berdasarkan pemesanan dari setiap Pusat

Dalam dokumen Manajemen Operasi (Halaman 124-200)

Dokumen terkait