• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.7 Sistim Kemasyarakatan

Sebagaimana orang Batak Toba umumnya, system kekerabatan adalah Patrilineal yaitu menghitung garis keturunan menurut garis ayah. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba yang diatur menurut system Patrilineal adalah marga. Seorang anak yang dilahirkan akan membawa nama marga ayahnya, bukan ibunya. Dan wanita yang menikah akan membawa nama marga suaminya.

Marga digunakan orang Batak Toba untuk mengetahui hubungan kerabat dan bagaimana cara untuk bertegur sapa.minat yang dimiliki oleh setiap orang Batak Toba terhadap asal-usul masing-masing, terungkap dalam umpama :

“Jolo tiniptip Sangkar asa bahen huru-huruan Jolo sinungkun marga asa binoto Partuturan”. Yang artinya :

“Untuk membuat sangkar burung orang harus

Memotong gelagah, untuk tahu hubungan kerabatnya, Orang harus menanya marganya”.

Orang Batak Toba yang baru berkenalan berusaha untuk mengetahui bagaimana letak “partuturon” (Silsilah kekerabatan) baru kemudian bersikap dan bertingkah laku menurut hubungan kekerabatan itu.

Dengan marga juga diatur mengenai perkawinan, dalam masyarakat ini dikenal dengan adanya exogami marga. Orang Batak Toba dilarang mencari jodoh diantara semua orang yang mempunyai marga yang sama. Perkawinan yang dianggap ideal adalah perkawinan antara seseorang dengan anaknya perempuan saudara laki-laki inangnya (paribannya). Tetapi untuk masyarakat Batak Toba di Desa Girsang, hal itu tidak berlaku lagi. Orangtua memberikan kebebasan bagi anak-anaknya untuk memilih jodohnya sendiri.

Orang Batak Toba di desa girsang sangat taat terhadap “Paradaton”(hal-hal yang menyangkut adapt-istiadat), terlihatnya dengan kerapnya dilaksanakan aktifitas- aktifitas adapt dalam peristiwa-peristiwa penting seperti perkawinan, bencana, kematian, mendirikan rumah dan peristiwa lainnya. Dalam aktifitas-aktifitas adat terlihat dengan jelas adat “Dalihan na tolu” yang menjadi prinsip hidup orang batak. Dalam adapt dalihan na tolu akan tampak hak dan kewajibab masing-masing pihak yang terlibat dalam aktifitas adat. Secara etimologi dalihan na tolu berarti “tunggu yang tiga” yang berarti dalam aktifitas adapt ada tiga kelompok kerabat yaitu hula- hula, dongan sabutuha dan boru yang mempunyai hubungan khusus dengan orang yang menyelenggarakan pesta yaitu “suhut”. Ungkapan dalihan na tolu ini mengandung pengertian bahwa masyarakat Batak Toba dipandang sebagai sebuah kuali (Belanga). Sedangkan dalihan na tolu adalah tiga batu tungku yang mendukung kuali tersebut sehingga padanya terdapat keseimbangan. Masyarakat Batak Toba ( kuali ) melambangkan wadah untuk melakukan kegiatan bersama sedeangkan tiga tungku melambangkan tiga kelompok kerabat yaitu hula-hula,

dongan sabutuha, dan boru. Setiap kelompok kerabat mempunyai peranan dan kegiatan-kegiatan sendiri seperti menurut siahaan yang dikutip oleh Koentjaraningrat (1982 : 127). Pepatah Batak dalam kaitan dalihan na tolu mengatakan :

“Somba marhula-hula,manta mardongan tubu, elek marboru”. Yang artinya :

“Menaruh hormat (sembah) kepada hula-hula, Bersikap hat-hati terhadap teman semarga, Berlaku sayang kepada boru”.

Landasan kognitif dan landasan normatif dari setiap fungsi kedudukan dalihan na tolu dapat dilihat dalam umpama Batak berikut ini :

Untuk hula-hula : “Hula-hula bona ni ari, tinongos ni ompunta mula jadi, Mula jadi, Sisabuton marulak noli Si sombaon di rim ni Tahi, hula-hula mataniari binsar, sipanumbak do tondina Sipamuai ia sahalana dinasa pomparanna”.

Ungkapan diatas mengisyaratkan bahwa hula-hula adalah cahaya matahari yang diutus yang kuasa memberi pengayoman kepada roh setiap borunya.

untuk dongan sabutuha : “Ansimun sada holbung, pege sangkarimbang Manimbang rap tu toru mangangkat rap tu ginjang”. Ungkapan untuk dongan sabutuha ini mengisyaratkan kebersamaan untuk menangung duka dan derita,ringan sama dijinjing berat sama dipikul.

untuk boru : “Siporsan na dokdok, sialap na dao naso mabiar diari golap. Siboan indahan na so bari si boan tuak na so mansom”. Umpama untuk boru ini mengisyaratkan kesediaan untuk melakukan segala pengorbanan demi hula-hulanya. Inilah semua inti gagasan dalihan na tolu. Kedudukan seseorang dalam dalihan na tolu tidaklah bersifat tetap. Dalam suatu aktivitas adapt dia bisa menjadihula-hula dan pada kesempatan lain bisa menjadi boru, tergantung pada hubungannya dengan orang yang mengadakan pesta.

Seperti sistem kekerabatan, prinsip patrilineal mempengaruhi juga kelompok- kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang terkecil di daerah ini adalah keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum kawin. Anak yang lahir membawa marga ayahnya. Keluarga inti ini biasanya sekaligus menjadi suatu rumahtangga. Karena anak yang sudah kawin memisahkan diri dari orangtua dan mengurus ekonominya sendiri (Manjae), sehingga bentuk keluarga luas sudah jarang dijumpai di desa girsang. Hanya kadangkala ditemui orangtua yang tinggal bersama anaknya karena tidak mampu lagi mengurus dirinya sendiri.

Kelompok kekerabatan ada yang berupa klen besar yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan sejenis ialah keturunan pria maupun wanita (Koentjaraningrat 1990 : 126). Dalam hal ini adalah keturunan pria (Patrilineal). Contoh klen besar seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu marga. Disini dijumpai kelompok kekerabatan berdasarkan marga, seperti kelompok parna dohot boruna, sinaga dohot buruna dan lain-lain. Kelompok ini aktif apabila ada kejadian penting dalam kehidupan anggota-anggotanya. Untuk mengeratkan hubungan sesama anggota biasanya diadakan arisan sekali dalam satu bulan.

Disamping kelompok kekerabatan ini, di desa girsang juga terdapat organisasi sosial yang merupakan institusi modrn dalam rangka melancarkan aktivitas hidup bermasyarakat. Organisasi itu adalah organisasi keagamaan, pendidikan, kesehatan, olahraga dan organisasi lainnya.

Sistim kepemimpinan terdiri dari pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin informal adaalah pengetua adapt yang hanya berfungsi pada saat adanya aktivitas-aktivitas adapt. Sedangkan pemimpin formal adalah lurah dan perangkat pemerintahan lainnya seperti LMD (Lembaga Masyarakat Desa), dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa).

Dokumen terkait