• Tidak ada hasil yang ditemukan

siswa selalu terbiasa jajan di sekolah, dari beberapa jenis kelompok makanan jajanan, maka sebagian besar siswa lebih banyak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebanyak 86.8% siswa selalu terbiasa jajan di sekolah, dari beberapa jenis kelompok makanan jajanan, maka sebagian besar siswa lebih banyak

membeli mie (50%), sosis (47.4%), dan pangsit (42.1%). Alasan siswa membeli jajanan tersebut karena rasanya enak dan gurih. Menurut Atmarita (2004), kebiasaan jajan anak-anak tidak perlu dihilangkan karena jika makanan yang dibeli tersebut sudah memenuhi syarat-syarat kesehatan, maka bisa melengkapi atau menambah kebutuhan gizi anak.

Tabel 20 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan jajan dan jenis jajanan yang sering dibeli Variabel n % Kebiasaan Jajan Selalu 33 86.8 Kadang-kadang 4 10.5 Jarang 1 2.6 Tidak Pernah 0 0

Makanan Jajanan yang sering dibeli

Pangsit 16 42.1 Mie 19 50 Martabak 13 34.2 Es Teh 9 23.7 Roti 7 18.4 Sosis 18 47.4 Nasi Goreng 6 15.8 Bakso 10 26.3 Lainnya 13 34.0

Frekuensi Konsumsi Pangan

Frekuensi makan mempengaruhi jumlah asupan makanan bagi individu dimana hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan gizi (Sukandar 2007). Frekuensi makan diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu maupun kali per bulan. Frekuensi makan pada orang dengan kondisi sosial ekonomi mampu lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang kondisi

ekonominya lemah. Hal ini disebabkan orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih tinggi memilki daya beli yang lebih sehingga dapat mengonsumsi makanan dengan frekuensi yang lebih tinggi (Khomsan et al. 1998).

Data ukuran dan frekuensi yang dikumpulkan meliputi makanan pokok, pangan hewani dan olahannya, pangan nabati dan olahannya, sayuran, dan buah-buahan, serta susu dan olahannya. Data ukuran dan frekuensi konsumsi selama 1 bulan terakhir dikumpulkan dengan menggunakan Food Frequency Quotientnaire (Gibson 2005).

Tabel 21 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi konsumsi pangan per minggu

Pangan Rata-rata Frekuensi ± SD(kali)

Makanan Pokok

Nasi (Beras Putih) 18.4±3.8

Mie (Instant) 4.1±2.8

Roti 1.9±2.2

Pangan Hewani dan Olahannya

Telur Ayam 6.4±4.6

Sosis Sapi (Worst) 7.6±4.6

Nugget Ayam 1.4±1.9

Pangan Nabati dan Olahannya

Kacang Hijau 0.9±1.1 Tempe 7.4±4.6 Tahu 5.2±4.3 Sayuran Bayam 1.5±1.8 Kangkung 1.3±1.9

Sop Kol dan Wortel 1.4±2.1

Buah-Buahan

Jeruk 1.6±1.7

Pepaya 1.7±2.4

Pisang 1.6±2.1

Susu dan olahannya

Keju 0.7±0.7

Susu Kental manis 3.7±3.3

Susu Bubuk 1.5±2.9

Makanan pokok dalam penelitian ini terdiri atas nasi (beras putih), mie (instant), dan roti (Tabel 21). Nasi merupakan pangan sumber karbohidrat dengan frekeunsi konsumsi tertinggi. Rata-rata frekuensi konsumsi nasi siswa adalah 18.4±3.8 kali/ minggu (65.8%). Sumber protein hewani dan olahannya

terdiri atas telur ayam, sosis sapi, dan nugget ayam. Sumber protein hewani dengan frekuensi konsumsi tertinggi adalah sosis sapi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.6±4.6 kali/ minggu (21.1%). Sumber pangan nabati dan olahannya terdiri atas kacang hijau, tempe, dan tahu. Pangan sumber protein nabati yang paling tinggi frekuensi konsumsi adalah tempe dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.4±4.6 kali/ minggu (26.3%). Sayuran yang dikonsumsi siswa terdiri atas bayam, kangkung, dan sop kol dan wortel. Sayuran yang paling tinggi dikonsumsi adalah sop kol dan wortel dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.4±2.1 kali/ minggu (10.5%). Buah yang dikonsumsi siswa adalah jeruk, papaya, dan pisang. Buah yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah papaya dengan rata-rata frekuensi 1.7±2.4 kali/ minggu (13.2%). Sementara itu, susu dan olahannya yang dikonsumsi oleh siswa adalah keju, susu kental manis, dan susu bubuk. Sumber susu dan olahannya yang paling tinggi frekuensinya adalah susu kental manis dengan rata-rata frekuensi 3.7±3.3kali/minggu (44.7%).

Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2005) konsumsi energi dan zat gizi dipengaruhi oleh umur, berat badan, tinggi badan, pola kebiasaan makan, serta pendapatan.

Kesesuaian antara konsumsi zat gizi seseorang dengan kecukupannya disebut juga dengan tingkat kecukupan energi. Untuk mengetahui tingkat kecukupan energi responden, maka perlu diketahui data mengenai total energi yang dikonsumsi responden beserta data kecukupannya. Tabel 22 menunjukkan rata-rata konsumsi zat gizi, angka kecukupan zat gizi, dan tingkat kecukupan zat gizi siswa.

Tabel 22 menunjukkan rata-rata konsumsi energi siswa adalah 1359 Kalori dan rata-rata konsumsi protein siswa adalah 35.3 gram. Jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi berdasarkan WNPG (2004), maka diperoleh rata-rata Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) energi sebesar 65.8%, protein sebesar

69.9%. Rata-rata kecukupan konsumsi energi secara nasional anak umur 7–12 tahun (usia sekolah dasar) berkisar antara 71,6%-89,1% dan sebanyak 44,4% anak mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal, sedangkan rata-rata nasional kecukupan konsumsi protein anak usia 7-12 tahun berkisar antara 85,1%-137,4% dan persentase konsumsi protein di bawah kebutuhan minimal adalah 30,6% (Riskesdas 2010).

Tabel 22 Konsumsi zat gizi, AKG, dan TKG siswa Rata-Rata Energi dan Protein Jumlah Energi

Konsumsi (Kalori) 1359

Angka Kecukupan Energi (Kalori) 1936 Tingkat Kecukupan Energi (%) 65.8 Protein

Konsumsi (g) 35.3

Angka Kecukupan Protein (g) 47.3 Tingkat Kecukupan Protein (%) 69.9

Gibson (2005) mengklasifikasikan tingkat kecukupan energi dan protein kedalam lima tingkat, yaitu : (1) defisit tingkat berat (<70% kebutuhan), (2) defisit tingkat sedang (70%-79% kebutuhan), (3) defisit tingkat ringan (80%-89% kebutuhan), (4) normal (90%-119% kebutuhan), dan (5) diatas angka kebutuhan (≥120% kebutuhan).

Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Tingkat kecukupan energi dan protein siswa dibedakan menjadi lima dengan mengacu pada cut of poin berdasarkan Gibson (2005). Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa siswa memiliki presentase defisit energi tingkat berat sebesar 71.1%. Tingkat kecukupan yang tergolong defisit ini diduga karena siswa mengkonsumsi makanan yang rendah kalori dan lebih menyukai makanan jajanan. Konsumsi pangan yang kurang akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam otak, berakibat ketidakmampuan fungsi normal. Keadaan yang lebih berat dan kronis, kekurangan gizi menyebabkan pertumbuhan badan terganggu, badan lebih kecil diikuti dengan ukuran otak yang juga kecil. Jumlah sel dalam otak berkurang dan terjadi ketidakmatangan dan ketidaksempurnaan biokimia dalam otak. Keadaan ini berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan otak (Soemantri 1978).

Tabel 23 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan energi Klasifikasi n % Defisit Berat 27 71.1 Defisit Sedang 3 7.9 Defisit Ringan 7 18.4 Normal 0 0

Diatas Angka Kebutuhan 1 2.6

Total 38 100

Protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena fungsinya sebagai bahan bakar dalam tubuh dan zat pembangun dan pengatur (Winarno 1997). Sebanyak 50% siswa mengalami defisit protein tingkat berat. Namun terdapat 10.5% siswa yang mengalami kelebihan konsumsi protein bila dibandingkan dengan nilai kecukupannya. Defisit protein tingkat berat yang dialami oleh sebagian besar siswa ini diperkirakan karena siswa lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan dibandingkan dengan mengkonsumsi lauk pauk, baik yang berasal dari hewani maupun nabati. Menurut Judarwanto (2004), kekurangan zat gizi berupa vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya mempengaruhi metabolisme otak, sehingga menganggu pembentukan DNA di susunan syaraf. Hal ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel-sel otak baru terutama pada usia di bawah tiga tahun sehingga berpengaruh terhadap perkembangan mental dan kecerdasan otak anak.

Tabel 24 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan protein

Klasifikasi n %

Defisit Berat 19 50

Defisit Sedang 9 23.7

Defisit Ringan 6 15.8

Normal 0 0

Diatas Angka Kebutuhan 4 10.5

Total 38 100

Fasilitas Belajar

Tersedianya fasilitas belajar yang memadai merupakan salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar seseorang. Menurut Moesono (1986), anak-anak yang berbakat membutuhkan bimbingan dan perlengkapan. Tersedianya alat-alat penunjang pendidikan akan dapat membantu pengembangan bakat anak secara optimal. Penyediaan fasilitas belajar meliputi ruang belajar, buku-buku pelajaran, alat-alat tulis, keikutsertaan dalam les tambahan. Selain sarana

dan fasilitas belajar, proses belajarpun harus diperhatikan untuk mencapai prestasi belajar yang baik. Menurut Moesono (1986), proses belajar adalah seluruh kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak baik ketika di sekolah maupun di rumah. Kegiatan belajar yang dilakukan anak misalnya mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru, pekerjaan sekolah, mempersiapkan diri sebelum ulangan, membaca buku pelajaran secara teratur dan mencatat semua pelajaran yang diberikan oleh guru. Proses belajar yang diteliti meliputi mengerjakan PR di rumah, mengulangkembali pelajaran di sekolah saat di rumah, orangtua menemani belajar, sedangkan sarana belajar meliputi memiliki meja khusus untuk belajar, kursus atau les, memiliki ruang belajar, memiliki buku pelajaran yang lengkap, memiliki alat-alat tulis.

Proses belajar seseorang dapat memperlancar prestasi belajarnya. Tabel 25 menunjukkan bahwa lebih dari 70% siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa mengerjakan PR di rumah. Sebesar 55.3% siswa tidak terbiasa mengulang kembali pelajaran di rumah, sedangkan sebanyak 60.5% siswa terbiasa ditemani belajar oleh orangtuanya. Siswa yang memiliki cara belajar yang baik dapat dilihat melalui mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran di rumah.

Fasilitas yang dibutuhkan anak dalam kegiatan belajar meliputi fasilitas fisik dan non fisik. Fasilitas fisik seperti buku-buku pelajaran, alat tulis. Fasilitas non fisik seperti guru les (Moesono 1986). Menurut Gunarsa (2006), anak-anak yang mempunyai keluarga besar dan kondisi ekonomi yang miskin tidak punya cukup uang untuk membeli buku dan membiayai kegiatan-kegiatan belajar lainnya sehingga prestasi belajarnya rendah. Sarana belajar yang diperlukan meliputi meja belajar, ruang belajar, buku pelajaran yang lengkap, dan alat-alat tulis. Sebesar 50% siswa memiliki meja khusus untuk belajar.

Tabel 25 Sebaran fasilitas belajar siswa

Fasilitas Belajar n %

Mengerjakan PR di Rumah 30 78.9

Mengulang Kembali Pelajaran 17 44.7

Memiliki Meja Khusus untuk Belajar 19 50.0

Orangtua Menemani Belajar 15 39.5

Kursus atau Les 15 39.5

Memiliki Ruang belajar 15 39.5

Memiliki Buku Pelajaran yang lengkap 38 100

Sebagian besar (39.5%) siswa meluangkan waktunya untuk kursus. Sebanyak 60.5% siswa tidak memiliki ruang belajar untuk belajar di rumah. Penyediaan buku-buku pelajaran juga menjadi penunjang dalam proses belajar mengajar. Sebesar 100% siswa memiliki buku pelalajaran yang lengkap. Hal ini dikarenakan sekolah meminjamkan buku-buku pelajaran kepada siswanya. Penyediaan alat-alat tulis dapat memperlancar prestasi belajar seseorang (Sukardi dalam Damayanti 2002). Alat tulis yang diperlukan meliputi pensil, pulpen, penggaris, penghapus, rautan pensil, dan lain-lain. Sebagian besar (52.6%) siswa tidak memiliki alat tulis lengkap. Alasan yang dikemukan siswa karena alat-alat tulisnya sering hilang, maka dari itu siswa malas membeli kembali alat-alat tulisnya. Menurut Gunarsa (2006) kurangnya fasilitas belajar menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimiliki, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya.

Hubungan antar Variabel

Berdasarkan hasil penelitian terdapat sembilan variabel yang diduga memiliki hubungan dengan intelligensi quetion (IQ) dan prestasi belajar yaitu durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI eksklusif, tingkat kecukupan gizi, konsumsi zat gizi, frekuensi konsumsi pangan, kebiasaan makan, fasilitas belajar, karakteristik siswa, dan karakteristk orangtua.

Hubungan IQ dengan Beberapa Variabel

Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi. Kecerdasan ini diatur oleh bagian korteks otak yang dapat memberikan kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (Boeree 2003). Intelligence Quotient (IQ) diduga memiliki hubungan dengan durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI eksklusif, dan karakteristik orangtua.

Tabel 26 Hubungan IQ (intelligence quotient) dengan beberapa variabel

Variabel Intelligence Quotient (IQ)

r p

Durasi ASI Eksklusif 0.784 0.000

Durasi ASI 0.694 0.000

Pendidikan Ayah 0.200 0.228

Pendidikan Ibu 0.351 0.031

Hubungan Durasi Pemberian ASI Eksklusif dengan IQ

Terdapat hubungan yang sangat nyata antara durasi pemberian ASI eksklusif dengan Intelligensi Quotient (IQ) (p<0.01). Hubungan yang ditunjukkan antara kedua variabel tersebut bernilai positif dengan nilai korelasi sebesar 0.784. Hal ini menunjukkan bahwa anak yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan maka IQ anak tersebut semakin tinggi. Berdasarkan laporan Archives of General Psychiatry, para ilmuwan asal Kanada menemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diberi ASI Eksklusif selama tiga bulan pertama, walaupun banyak di antaranya juga mendapat ASI sampai dua belas bulan, mencapai angka rata-rata 5.9 dalam tes IQ. Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan menemukan, bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010).

Tabel 27 Sebaran siswa berdasarkan ASI eksklusif dan IQ ASI

Ekslusif IQ (intelligence quotient)

Kurang Rata-Rata

Kurang Sedang

Rata-Rata

Cerdas Cerdas Total

n % n % n % n % n % n %

≤ 2 bulan 10 26.3 12 31.6 0 0.0 0 0.0 0 0.0 22 57.9 3-4 bulan 1 2.6 0 0.0 1 2.6 0 0.0 0 0.0 2 5.3 4-6 bulan 0 0.0 0 0.0 10 26.3 2 5.3 2 5.3 14 36.8 Total 11 28.9 12 31.6 11 28.9 2 5.3 2 5.3 38 100.0

Tabel 27 menunjukkan sebaran siswa berdasarkan ASI ekslusif dan IQ. Persentase siswa dengan IQ kurang (0%), rata-rata kurang (0%), sedang (26.3%), rata-rata cerdas (5.3%), dan cerdas (5.3%) sebagian besar diberikan ASI eksklusif selama 4-6 bulan. Riordan (2005) menjelaskan ASI dapat meningkatkan perkembangan otak, anak yang disusui lebih pintar dibandingkan anak yang tidak disusui. Komposisi ASI yang mengandung protein yang tinggi, memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mengandung whey lebih banyak yaitu 63:65, sehingga protein ASI lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung taurin, Dexosahexsanoid acid (DHA) dan Arachhidonic Acid (AA). Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang berperan penting sebagai neuro-transmitter dan proses maturasi sel otak (Depkes 2001).

Hubungan Durasi Pemberian ASI dengan Intelligence Quotient (IQ)

Hubungan antara durasi pemberian ASI dengan Intelligensi Quotient (IQ) menunjukkan hubungan yang sangat nyata positif (r=0.694, p<0.01) (Tabel 26). Hal tersebut artinya semakin lama ibu memberikan asi kepada seorang anak maka semakin tinggi intelligence Quotient (IQ) seorang anak. Penelitian Jacobson, Chiodo & Jacobson (1999) membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ. Tim peneliti di Universitas McGill, Kanada, menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes Intelligent Quotient (IQ) pada usia enam tahun (Perkins & Vannais 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010).

Hubungan Karakteristik Orangtua dengan Intelligence Quotient (IQ)

Hasil uji korelasi Rank Spearman (Tabel 26) tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ayah (r=0.200, p>0.05) dengan Intelligence Quetion (IQ), namun terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu (r=0.351, p<0.05) dengan Intelligence Quotient (IQ). Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi IQ seorang anak, Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yulia (1987) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka peranan ibu cenderung semakin besar, sehingga ibu yang mempunyai keterampilan membimbing lebih tinggi lebih mampu mengembangkan kemampuan intelektual anak-anaknya, dibandingkan dengan ibu-ibu yang mempunyai keterampilan membimbing lebih rendah.

Faktor lingkungan yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan yaitu tingkat pendidikan ibu (Wibowo et al. 1995). Hasil penelitian Suprihatin et al. (1996) tentang studi transisi keluarga, konsumsi pangan dan gizi dan perkembangan/ kecerdasan anak bahwa tingkat pendidikan ibu terhadap skor IQ menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0.004). Pertama, ibu yang pendidikan tinggi mempunyai potensi kecerdasan yang relatif tinggi pula yang diturunkan ke anak. Kedua, ibu yang berpendidikan tinggi mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyerap informasi yang berguna dalam pengasuhan anak, sehingga ibu mempunyai bekal pengetahuan yang relatif baik untuk diterapkan

dalam menumbuh kembangkan anak. Pendidikan ibu yang relatif tinggi, memungkinkan ibu lebih sering memperoleh informasi tentang perkembangan anak dari majalah, surat kabar, radio, dan televisi sehingga orangtua lebih mengerti tentang perkembangan anak (Hurlock 1999). Menurut Boeree (2003), IQ dipengaruhi oleh faktor genetik. Kecerdasan dapat ditunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula. Pendapatan keluarga tidak berhubungan nyata dengan IQ (r=0.011, p>0.05). Hal ini diduga karena rata-rata pendapatan keluarga siswa kurang dari Rp 1000000,00 per bulan, IQ dalam kategori rata-rata kurang.

Hubungan Prestasi belajar Matematika dengan Beberapa Variabel Menurut Hawadi (2001), prestasi belajar merupakan gambaran penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dapat berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan/ intelegensi, bakat, minat, dan motivasi, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Prestasi belajar matematika diduga berhubungan dengan tingkat kecukupan zat gizi, konsumsi protein hewani dan nabati, karakteristik siswa, fasilitas belajar, karakteristik orangtua, dan IQ. Prestasi belajar matematika dilihat dari dua variabel yaitu nilai raport matematika dan THB matematika.

Tabel 28 Hubungan prestasi belajar matematika dengan beberapa variabel Variabel

Prestasi Belajar Matematika

Nilai Raport Matematika THB Matematika

r p r p

Tingkat Kecukupan Energi 0.336 0.039 0.294 0.073 Tingkat Kecukupan Protein 0.384 0.017 0.347 0.033 Konsumsi Protein Hewani 0.663 0.000 0.762 0.000 Konsumsi Protein Nabati 0.189 0.257 0.039 0.814

Status Gizi -0.172 0.301 0.041 0.807 Jenis Kelamin 0.306 0.061 0.290 0.078 Uang Saku 0.037 0.826 0.045 0.789 Usia -0.331 0.042 -0.273 0.097 Mengerjakan PR di Rumah 0.843 0.000 0.806 0.000 Mengulangkembali Pelajaran 0.843 0.000 0.806 0.000 Orangtua Menemani Belajar 0.880 0.000 0.878 0.000

Kursus 0.880 0.000 0.878 0.000

Memiliki Ruang Belajar Pribadi 0.880 0.000 0.878 0.000 Memiliki Meja Khusus Belajar 0.784 0.000 0.695 0.000 Memiliki Alat Tulis Pribadi 0.813 0.000 0.738 0.000

Pendidikan Ayah -0.037 0.825 0.001 0.995

Pendidikan Ibu 0.210 0.205 0.279 0.090

Pendapatan Keluarga 0.029 0.865 0.089 0.596

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Prestasi Belajar Matematika Berdasarkan uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang nyata positif antara tingkat kecukupan energi (r=0.336, p<0.05), tingkat kecukupan protein (r=0.384, p<0.05) dengan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai raport matematika. Sementara itu, tingkat kecukupan energi (r=0.294, p>0.05) tidak berhubungan nyata dengan prestasi belajar yang dilihat dari tes hasil belajar matematika, namun tingkat kecukupan protein (r=0.347, p<0.05). Hal ini berarti bahwa semakin cukup tingkat kecukupan protein maka semakin tinggi prestasi belajar siswa. Hal ini diduga karena siswa lebih banyak mengonsumsi makanan jajanan yang berasal dari protein daripada makanan yang mengandung kalori tinggi.

Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003) menyatakan bahwa protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk zat anti energi dimana tiap gram protein menghasilkan sekitar 4.1 kalori. Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreativitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain. Protein merupakan salah satu sumber zat gizi makro (makronutrien) yang berkontribusi besar pada fungsi otak. Asam amino esensial diperlukan untuk mengatur pembentukan neurotransmiter di otak (Bourre 2006). Menurut Khomsan dan Faisal (2008), zat pembangun merupakan unsur protein yang sangat penting untuk perkembangan tingkat kecerdasan seseorang.

Menurut Winarno dan Ong (2007), tubuh mencerna karbohidrat menjadi bentuk glukosa dan mendistribusikan glukosa ke seluruh sel dalam tubuh, termasuk otak. Dalam sel, glukosa mengalami proses pembakaran sehingga menghasilkan energi yang akan dipakai untuk beraktivitas, otak mengonsumsi lebih besar dari organ lainnya. Dalam aktivitas sehari-hari, otak mengonsumsi lebih dari 40% seluruh karbohidrat yang dimakan. Sel-sel neuron di otak memerlukan energi dalam jumlah yang besar karena sel tersebut berperan dalam aktivitas metabolisme.

Menurut Waugh dan Grant (2003), mendukung aktivitas internal dan eksternal, tubuh membutuhkan energi. Sumber energi didapatkan dari metabolisme bahan makanan yang mengandung karbohidrat, lemak dan protein.

Proporsi makanan yang normal biasanya mengandung karbohidrat 55-75%, lemak 15-30% dan protein 10-15%. Bahan makanan sumber energi tersebut akan dipecah menjadi molekul yang sederhana dan diubah menjadi energi kimia yang disimpan dalam bentuk Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan menghasilkan panas melalui oksidasi seluler (siklus Krebs). Setiap 1 gram karbohidrat yang dioksidasi akan menghasilkan energi 4,1 kkal, air dan karbon dioksida. Sementara oksidasi lemak menghasilkan 9,3 kkal/gram dan oksidasi protein menghasilkan energi 4,35 kkal/gram (Sherwood 2007).

Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Nabati dengan Prestasi Belajar Matematika

Hasil uji korelasi Pearson terhadap konsumsi protein hewani dan nilai raport matematika menunjukkan adanya hubungan nyata positif (r=0.663, p<0.01). Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi protein nabati (r=0.189, p>0.05) dengan nilai raport matematika. Terdapat hubungan sangat nyata positif antara konsumsi protein hewani (r=0.762, p<0.01) dengan THB matematika, namun tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi protein nabati (r=0.039, p>0.05) dengan THB matematika. Hal ini berarti semakin tinggi konsumsi protein hewani maka semakin tinggi prestasi belajar matematika siswa.

Konsumsi protein berguna untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi, meskipun fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan, tetapi apabila tubuh kekurangan zat energi, fungsi protein untuk menghasilkan energi atau untuk membentuk glukosa akan didahulukan. Glukosa dibutuhkan sebagi sumber energi sel-sel otak dan sistem syaraf (Almatsier 2004). Hemoglobin, pigmen darah yang berwarna merah dan berfungsi sebagai pengangkut oksigen ke otak, sehingga otak dapat berpikir lebih baik. Apabila protein yang masuk ke dalam tubuh kurang dapat menyebabkan konsentrasi belajar menurun sehingga menyebabkan prestasi belajar menurun, sebaliknya apabila protein yang masuk cukup dapat menyebabkan prestasi belajar menjadi lebih baik. Menurut Winarno dan Ong (2007), telur merupakan sumber protein hewani yang baik untuk otak, karena telur mengandung sumber kholin. Kholin khususnya asetilkholin merupakan neurotransmitter yang bertugas untuk daya tangkap dan kecerdasan otak.

Semakin cepat asetilkholin bekerja, semakin cepat pula daya tangkap satu unit manusia terhadap informasi.

Hubungan Fasilitas Belajar dengan Prestasi Belajar Matematika

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara mengerjakan PR di rumah (r=0.854, p<0.01), mengulang kembali pelajaran (r=0.854, p<0.01), kursus (r=0.873, p<0.01), orangtua menemani saat belajar (r=0.873, p<0.01), memiliki ruang belajar (r=0.873, p<0.01), memiliki alat tulis sekolah (r=0.828, p<0.01), memiliki meja khusus belajar (r=0.804, p<0.01) dengan prestasi belajar yang dilihat dari nilai raport matematika siswa. Sementara itu, Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan hubungan yang sangat nyata antara mengerjakan PR di rumah (r=0.806, p<0.01), mengulang kembali pelajaran (r=0.806, p<0.01), kursus (r=0.878, p<0.01), orangtua menemani saat belajar (r=0.878, p<0.01), memiliki ruang belajar (r=0.878, p<0.01), memiliki alat tulis sekolah (r=0.738, p<0.01), memiliki meja khusus belajar (r=0.695, p<0.01) dengan prestasi belajar matematika yang dilihat dari nilai THB matematika siswa.

Dokumen terkait