• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP KECERDASAN LOGIKA MATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI JAKARTA UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP KECERDASAN LOGIKA MATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI JAKARTA UTARA"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI

PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP

KECERDASAN LOGIKA MATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI

JAKARTA UTARA

AULIA MASRUROH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

ABSTRACT

AULIA MASRUROH. Correlation Between Breast-Feeding Practice, Food Consumption Patterns, and Learning Facilities with Logical-Mathematic Intelligence of Students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Under supervision of ALI KHOMSAN.

The aims of study was to know correlation between practice of breast-feeding, food consumption patterns, and learning facilities with logical-mathematic intelligence of students at SDN 09 Pagi Jakarta Utara. The study design used cross-sectional study. The total sample consists of 38 students of 4th grade. There was significant correlation between breast-feeding duration (p=0.000), exclusive breast-feeding duration (p=0.000), and mother‟s education (p=0.031) with IQ, while energy adequacy level (p=0.039), protein adequacy level (p=0.017), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (0.000), owning desk for studying (p=0.000), IQ (p=0.002), and age (p=-0.042) had significant and positive correlation with students mathematic report score. There was significant correlation between protein adequacy level (p=0.033), animal protein consumption frequency (p=0.000), doing homework at home (p=0.000), repeating the lesson (p=0.000), studying accompanied by parents (p=0.000), owning learning room (p=0.000), owning school stationery (p=0.000), owning desk for studying (p=0.000), and IQ (p=0.011) with students‟ mathematic learning test result. There was no significant correlation between nutritional status (p=0.301), sex (p=0.061), pocket money (p=0.826), father‟s education (p=0.825), mother‟s education (p=0.205), and family‟s income (p=0.865) with mathematic report score. There was no correlation between energy sufficient level (p=0.073), nutritional status (p=0.807), sex (p=0.078), pocket money (p=0.789), age (p=0.097), father‟s education (p=0.995), mother‟s education (p=0.090), family‟s income (p=0.596) with students learning test result.

Keywords : Breastfeeding, Food Consumption, Nutrition Status, Intelligence Quotient

(3)

RINGKASAN

AULIA MASRUROH

. Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Dibimbing oleh

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS

.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) mengetahui karakteristik orangtua dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara, 2) mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara, 3) mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa (IQ dan prestasi belajar matematika), 4) mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa, 5) mengidentifikasi fasilitas belajar siswa, 6) menganalisis hubungan praktek pemberian ASI dengan IQ, IQ dengan prestasi belajar matematika, hubungan antara pola konsumsi pangan dengan prestasi belajar matematika, hubungan antara fasilitas belajar dengan prestasi belajar matematika.

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Mei sampai Juli 2011 dengan desain cross sectional study. Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tempat pengambilan data, yaitu SDN 09 Pagi Jakarta Utara. Pemilihan lokasi sekolah dasar dilakukan secara purposive yaitu sekolah dasar yang sudah mempergunakan test IQ untuk mengukur tingkat kecerdasan anak. Pemilihan populasi contoh dilakukan secara purposive berdasarkan izin dari pihak sekolah. Kriteria inklusi dalam penarikan contoh penelitian ini yaitu 1) telah melakukan tes IQ untuk mengukur tingkat kecerdasan, 2) bersedia diwawancara, 3) bersedia memberikan keterangan yang lengkap, jelas, dan benar. Jumlah contoh yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 38 siswa. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia statistik dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell dan SPSS for Windows versi 16.0. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan uji korelasi Pearson

dan Rank Spearman.

Usia ayah berada dalam rentang dewasa madya dengan usia antara 41-65 tahun (52.6%), sedangkan usia ibu berada dalam rentang dewasa muda dengan rentang usia antara 20-40 tahun (76.3%). Sementara itu, besar keluarga siswa tersebar pada kelompok keluarga sedang (44.7%). Sebagian besar pendidikan terakhir ayah dan ibu adalah SMA/ Sederajat. Secara berturut-turut dengan persentase 50% dan 39.5%. Persentase tertinggi pekerjaan ayah sebagai pegawai (31.5%). Pekerjaan ibu dengan persentase tertinggi sebagai ibu rumah tangga (71.1%). Mayoritas 50% pendapatan keluarga per bulan berada pada nilai kurang dari Rp 1.000.000,00. Siswa kelas 4 SDN 09 terdiri dari laki-laki (55.3%) dan perempuan (44.7%). Rata-rata usia siswa berada pada rentang 10-11 tahun (89.5%). Uang saku siswa sebagian besar berkisar antara Rp. 6.000,00-Rp. 10.000,00 per hari (60.5%). Berdasarkan perhitungan IMT/U sebagian besar siswa berstatus gizi normal (76.3%).

Praktek ASI eksklusif (36.8%) relatif sedikit ditemukan di SD 09 dibandingkan dengan yang tidak diberikan ASI eksklusif (63.2%). Rata-rata alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya dikarenakan ASI tidak keluar (62.5%). Durasi pemberian ASI eksklusif mayoritas masih ≤ 2 bulan (57.9%). Pemberian ASI di SD 09 selama lebih dari 12 bulan sebesar 26.3%. Sebanyak 68.4 persen ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya. Ibu siswa memberikan susu formula kepada anaknya saat anak berusia kurang dari 6 bulan (63.2%). Intelligensi quetiont siswa berada pada kategori rata-rata

(4)

kurang dengan rentang skor 80-89 (31.6%), sedangkan nilai raport matematika siswa berada dalam kategori cukup dengan rentang 60-69 (39.5%) dan THB matematika siswa dalam kategori kurang dengan rentang <60 (47.4%).

Siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa makan tiga kali sehari dengan presentase sebesar 92.1%. Sebanyak 92.1% siswa selalu melakukan sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Sebagian besar siswa selalu terbiasa minum susu setiap hari (73.7%). Rata-rata siswa mengkonsumsi susu sebanyak satu gelas setiap hari (76.3%). Jenis susu yang paling banyak dikonsumsi adalah susu kental manis (52.6%). Sebesar 94.7% siswa selalu mengkonsumsi lauk hewani. Lauk hewani yang biasa dikonsumsi yaitu daging ayam (94.7%). Siswa selalu mengkonsumsi lauk nabati (94.7%). Lauk nabati yang biasa dikonsumsi yaitu tempe (92.1%). Sebesar 44.7% siswa menyatakan selalu mengkonsumsi sayur. Siswa lebih terbiasa mengkonsumsi sayur kangkung (81.6%). Sebanyak 50% siswa kadang-kadang mengkonsumsi buah. Buah yang biasa dikonsumsi yaitu buah jeruk (81.6%). Sebagian besar (52.6%) siswa kadang-kadang terbiasa membawa bekal ke sekolah. Mayoritas siswa paling banyak mengkonsumsi nasi dan lauk pauk sebagai bekal sekolah (60%). Siswa selalu terbiasa membawa air minum ke sekolah (52.6%). Air minum yang paling biasa dibawa yaitu air mineral (89.5%). Lebih dari 80% siswa selalu terbiasa jajan di sekolah. Tiga jenis makanan jajanan yang biasa dibeli oleh siswa adalah mie (50%), sosis (47.4%), dan pangsit (42.1%). Frekuensi pangan makanan pokok yang sering dikonsumsi yaitu nasi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 18.4±3.8 kali/ minggu (65.8%). Sumber protein hewani dengan frekuensi konsumsi tertinggi adalah sosis sapi dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.6±4.6 kali/ minggu (21.1%). Pangan sumber protein nabati yang paling sering dikonsumsi adalah tempe dengan rata-rata frekuensi konsumsi 7.4±4.6 kali/ minggu (26.3%). Sayuran yang paling tinggi dikonsumsi adalah sop kol dan wortel dengan rata-rata frekuensi konsumsi 1.4±2.1 kali/ minggu (10.5%). Buah yang paling tinggi frekuensi konsumsinya adalah papaya dengan rata-rata frekuensi 1.7±2.4 kali/ minggu (13.2%). Sumber susu dan olahannya yang paling tinggi frekuensinya adalah susu kental manis dengan rata-rata frekuensi 3.7±3.3 kali/minggu (44.7%). Rata-rata konsumsi energi siswa adalah 1359 Kalori dan rata-rata konsumsi protein siswa adalah 35.3 gram, sedangkan rata-rata tingkat kecukupan gizi energi dan protein masing-masing sebesar 65.8% dan 69.9%.

Lebih dari 70% siswa kelas 4 SDN 09 terbiasa mengerjakan PR di rumah. Sebesar 55.3% siswa tidak terbiasa mengulang kembali pelajaran di rumah, sedangkan sebanyak 60.5% siswa terbiasa ditemani belajar oleh orangtuanya. Sebesar 50% siswa memiliki meja khusus untuk belajar. Sebagian besar (39.5%) siswa meluangkan waktunya untuk kursus. Sebanyak 60.5% siswa tidak memiliki ruang belajar untuk belajar di rumah. Sebesar 100% siswa memiliki buku pelalajaran yang lengkap. Sebagian besar (52.6%) siswa tidak memiliki alat tulis lengkap. Berdasarkan uji korelasi Pearson, durasi pemberian ASI, durasi pemberian ASI esksklusif berhubungan signifikan dengan IQ, sedangkan nilai raport matematika siswa berhubungan nyata dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan protein, konsumsi protein hewani, mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran, orangtua menemani saat belajar, memiliki ruang belajar, memiliki alat tulis sekolah, memiliki meja khusus belajar, IQ, dan usia. Tingkat kecukupan protein, konsumsi protein hewani, mengerjakan PR di rumah, mengulang kembali pelajaran, orangtua menemani saat belajar, memiliki ruang belajar, memiliki alat tulis sekolah, memiliki meja khusus belajar, dan IQ berhubungan nyata dengan THB matematika siswa. Hasil uji korelasi Rank Spearman terdapat hubungan nyata antara tingkat pendidikan ibu dengan IQ.

(5)

HUBUNGAN PRAKTEK PEMBERIAN ASI, POLA KONSUMSI

PANGAN, DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP

KECERDASAN LOGIKA MATEMATIKA ANAK SDN 09 PAGI

JAKARTA UTARA

AULIA MASRUROH

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(6)

Judul : Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, dan Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika-Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara

Nama : Aulia Masruroh

NRP : I14070089

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP. 19600202 198403 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

(7)

PRAKATA

Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Rabb semesta Alam, Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan berbagai nikmat-Nya kepada kita selaku hamba-nikmat-Nya. Tak lupa shalawat serta salam yang senantiasa penulis hanturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW. Atas berkat izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul „Hubungan Praktek Pemberian ASI, Pola Konsumsi Pangan, Fasilitas Belajar terhadap Kecerdasan Logika-Matematika Anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara‟. Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yaitu kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Pembimbing Akademik yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, kritik, dan saran hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku Dosen Pemandu Seminar dan Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukannya.

3. Abah, Ibu, dan nenek tercinta atas kasih sayangnya, dukungan, dan doa yang tak pernah berhenti diberikan kepada penulis dalam setiap perjalanan kehidupan.

4. Adik-adik tercinta Khairunnisa dan Miftah Abdul Majid yang telah banyak memberikan dorongan semangat, warna, dan kebahagian bagi penulis. 5. Kepala Sekolah dan Staf Tata Usaha serta guru-guru SDN 09 Pagi

Pademangan Barat Jakarta Utara atas keramahan dan kesediaan dalam membantu pengambilan data.

6. Sahabat-sahabatku Nonly, Deviani, Itni, Yunda, Ezria, Ria, atas dukungan, kenangan, dan membantu penulis dalam pengolahan, serta penyusunan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabatku di Tiara (Ria, Fastasqi, Nani, Teh Tatay, Resta, Alfa, Ayu, Desti, Icha, Medal, Teh Tati, Wida, Afticha, Lida dan Desi) atas kebersamaannya, kehangatan, keceriaan, dukungan serta persaudaraannya selama ini.

8. Keluargaku Gizi Masyarakat 44 dan teman-teman di IPB yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

(8)

9. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skrispsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan pahala dan kebaikan yang lebih besar dan semoga skrispsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, November 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 September 1990 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Drs. Sukandi Syah, MPd dan Ibu Dra. Suryati, MPd.

Tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Al-Huda Jakarta Utara, dan melanjutkan ke pendidikan dasar di SDN 09 Pagi Pademangan Barat Jakarta Utara setelah itu melanjutkan ke jenjang menengah pertama di SMPN 34 Pademangan Timur Jakarta Utara hingga tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan ke SMAN 1 Jakarta Pusat dan menamatkannya pada tahun 2007

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Angkatan 44 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama masa kuliah penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, antara lain sebagai Staf Departemen Komunikasi dan Informasi BEM TPB, Bendahara Rohis Kelas di Masa TPB, Staf Birena Al-Hurriyah, Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kewirausahaan BEM FEMA tahun 2008, Staf Divisi Syiar Islam Forum Syiar Islam FEMA (Forsia) tahun 2008, Reporter Majalah Pangan Emulsi tahun 2009-2011. Penulis juga ikut aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti, MPKMB 45 tahun 2008, MPF (Masa Perkenalan Fakultas) FEMA “HERO 45” dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) Gizi “Nutrient 45” tahun 2009. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan Kursus Bahasa Jepang tahun 2010. Tanggal Juli-Agustus 2010 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Kelurahan Pangkalan Kerinci Barat, Kecamatan pangkalan Kerinci, Pelalawan, Riau. Mei 2011 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Tujuan Umum………...3 Tujuan Khusus………..3 Hipotesis ... 4 Kegunaan ... 4 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Praktek Pemberian ASI (0 - 2 Tahun) ... 5

Karakteristik Keluarga dan Siswa ... 9

Pola Konsumsi Pangan ... 11

Metode Pengukuran Konsumsi Makanan ... 12

Kebiasaan Makan ... 14

Perkembangan Kecerdasan Anak ... 14

Proses dan Sarana Belajar ... 19

KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

METODE PENELITIAN... 24

Desain, Tempat, dan Waktu ... 24

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 24

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 24

Pengolahan dan Analisis Data ... 26

Definisi Operasional ... 28

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

Gambaran Umum Sekolah ... 31

Karakteristik Siswa ... 31

Jenis Kelamin, Usia, dan Uang Saku……….31

Status Gizi………...32

Karakteristik Keluarga Siswa ... 33

Besar Keluarga Siswa………...32

Usia Orangtua Siswa……….33

Kondisi Sosial Ekonomi………34

Praktek Pemberian ASI ... 36

Praktek Pemberian ASI Eksklusif………35

Pemberian ASI………...36

Pemberian Susu Formula……….37

Kecerdasan Logika Matematika ... 39

Nilai Intelligence Quotient Siswa……….38

Prestasi Belajar Matematika………39

Kebiasaan Makan Siswa... 41

(11)

Kebiasaan Sarapan………...41

Kebiasaan Minum Sehari……….41

Konsumsi Pangan Hewani………...42

Konsumsi Pangan Nabati……….43

Konsumsi Sayur……….43

Konsumsi Buah………..44

Kebiasaan Membawa Bekal Ke Sekolah………...45

Kebiasaan Membawa Air Minum Ke Sekolah………...45

Kebiasaan Jajan di Sekolah……….46

Frekuensi Konsumsi Pangan ... 47

Konsumsi Pangan dan Tingkat Kecukupan Gizi ... 49

Tingkat Kecukupan Zat Gizi……….49

Fasilitas Belajar ... 51

Hubungan antar Variabel ... 53

Hubungan Durasi Pemberian ASI Eksklusif dengan IQ………..53

Hubungan Durasi Pemberian ASI dengan IQ………...53

Hubungan Karakteristik Orangtua dengan IQ………...54

Hubungan Tingkat Kecukupan Zat Gizi dengan Prestasi Belajar………..55

Hubungan Konsumsi Protein Hewani dan Nabati dengan Prestasi……..57

Hubungan Fasilitas Belajar dengan Prestasi Belajar Matematika……….57

Hubungan Karakteristik Siswa dengan Prestasi Belajar Matematika……58

Hubungan Karatkteristik Keluarga dengan Prestasi Belajar………...60

Hubungan IQ dengan Prestasi belajar Matematika……….60

KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

Kesimpulan ... 63

Saran ... 65

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain……...6

2 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan tingkat kecukupan zat gizi lain………...12

3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu………...32

4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga siswa………...34

5 Sebaran siswa berdasarkan kondisi sosial ekonomi keluarga………...35

6 Sebaran riwayat pemberian ASI eksklusif di SD Negeri 09…………...37

7 Sebaran siswa berdasarkan durasi pemberian ASI………...37

8 Sebaran siswa berdasarkan pemberian susu formula………...38

9 Sebaran siswa berdasarkan skor intelligence quotient………...40

10 Sebaran siswa berdasarkan prestasi belajar matematika………...40

11 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi makan………...41

12 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan sarapan………...42

13 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan minum susu, jumlah susu yang biasa diminum setiap hari, jenis konsumsi susu…………...43

14 Sebaran siswa menurut kebiasaan mengonsumsi lauk hewani dan jenis lauk hewani yang dikonsumsi………...43

15 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi lauk nabati………...44

16 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur………...44

17 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan mengonsumsi buah………...45

18 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa bekal ke sekolah dan jenis bekal yang dibawa………...46

19 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan membawa air minum dan jenis air minum yang dibawa ke sekolah………...46

20 Sebaran siswa berdasarkan kebiasaan jajan dan jenis jajanan yang sering dibeli………...47

21 Sebaran siswa berdasarkan frekuensi konsumsi pangan per minggu………...48

22 Konsumsi zat gizi, AKG, TKG siswa………...50

23 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan energi………...51

24 Sebaran siswa menurut tingkat kecukupan protein………...51

25 Sebaran fasilitas belajar siswa………...52

(13)

27 Sebaran siswa berdasarkan ASI eksklusif dan IQ………...54 28 Hubungan prestasi belajar matematika dengan beberapa

variabel………...56 29 Sebaran siswa berdasarkan status gizi dan prestasi belajar

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Skema kerangka pemikiran………...23

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Kuesioner Penelitian (diisi oleh siswa)………...74 2 Kuesioner Penelitian (diisi oleh orangtua)………...83

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hakikat manusia pada umumnya tidak bisa lepas dari orang lain, begitu pula dengan anak manusia banyak memerlukan pertolongan dari kedua orangtua. Peran orangtua sangat dominan terutama ibu. Ibu yang mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan, dan membimbing. Dalam hal menyusui, seorang ibu harus pandai dan selektif terutama dalam memanfaatkan karunia illahi yaitu dengan memberikan ASI pada anaknya. Selain itu, ibu juga harus selektif dalam memilih makanan yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan anaknya, karena anak merupakan asset bangsa, pewaris sekaligus sebagai generasi penerus bangsa. Oleh sebab itu anak diharapkan dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya sehingga menjadi orang dewasa yang sehat secara fisik, mental, sosial, dan emosionalnya dapat berkembang secara optimal sehingga menjadi SDM yang berkualitas. Menurut Bierley dalam Megawangi et al. (2005) menyatakan bahwa bukti dari penelitian otak menunjukkan potensi, fleksibilitas, dan kelenturan otak anak-anak menggambarkan dengan jelas akan pentingnya masa-masa prasekolah dan sekolah dasar.

Menurut WHO-UNICEF pada tahun 2002 dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding menerapkan cara pemberian makan pada bayi yang baik dan benar yaitu menyusui bayi secara eksklusif sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan dan meneruskan menyusui anak sampai umur 24 bulan dan mulai umur 6 bulan, bayi mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Data Susenas (2007-2008) cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi 0–6 bulan di Indonesia menunjukkan penurunan dari 62.2% (2007) menjadi 56.2% (2008). Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi sampai 6 bulan turun dari 28.6% (2007) menjadi 24.3% (2008). Sementara jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7 persen pada 2002 menjadi 27.9 persen pada 2003 (Riskesdas 2010).

Berdasarkan hasil penelitian UNICEF di Indonesia setelah krisis ekonomi dilaporkan bahwa hanya 14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah kelahiran. Kolostrum dibuang oleh kebanyakan ibu karena dianggap kotor dan tidak baik bagi bayi. UNICEF juga mencatat penurunan yang tajam dalam menyusui berdasarkan tingkat umur diketahui bahwa 63% sejumlah bayi disusui hanya pada bulan pertama, 45% bulan kedua, 30% bulan ketiga, 19% bulan keempat,

(17)

12% bulan kelima dan hanya 6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000 bayi atau 5% dari populasi bayi di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali (Kamalia 2005).

Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dari 1997 hingga 2002, jumlah bayi usia enam bulan yang mendapatkan ASI eksklusif menurun dari 7.9% menjadi 7.8%. Sementara itu, hasil SDKI 2007 menunjukkan penurunan jumlah bayi yang mendapatkan ASI eksklusif hingga 7.2%. Pada saat yang sama, jumlah bayi di bawah enam bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16.7% pada 2002 menjadi 27.9% pada 2007. UNICEF menyimpulkan, cakupan ASI eksklusif enam bulan di Indonesia masih jauh dari rata-rata dunia, yaitu 38% (Riskesdas 2010).

Pemberian ASI sejak bayi lahir akan berkembang menjadi anak yang cerdas. Kandungan asam lemak omega-3 dan omega-6 yang terkandung di dalam ASI sangat berperan dalam penyusunan sel-sel otak (Khomsan & Ridhayani 2008). Penelitian oleh James W. Anderson, seorang ahli dari universitas Kentucky menunjukkan bahwa kemampuan otak pada bayi yang diberi ASI lebih baik daripada bayi yang diberi susu buatan pabrik. Berdasarkan hasil penelitian ditetapkan bahwa ASI yang diberikan hingga 6 bulan bermanfaat bagi kecerdasan bayi, dan anak yang disusui kurang dari 8 minggu tidak memberi manfaat pada IQ (Yahya 2005 dalam Mindasa 2007). Mencapai tumbuh kembang yang optimal dibutuhkan zat gizi yang adekuat melalui pemberian makanan yang sesuai dengan tingkat kemampuan konsumsi anak, tepat jumlah (kuantitas) dan tepat mutu (kualitas), oleh karena kekurangan maupun kelebihan zat gizi, akan menimbulkan gangguan kesehatan, status gizi maupun tumbuh kembang (Samsuddin 2002 dalam Nilawati 2006). Menurut Brown dan Pollit (1996) menyatakan bahwa pengaruh asupan zat gizi terhadap gangguan perkembangan anak melalui menurunnya status gizi. Status gizi yang kurang tersebut akan menimbulkan kerusakan otak, sakit, dan penurunan pertumbuhan fisik. Ketiga keadaan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan intelektual. Gangguan perkembangan yang tidak normal antara lain ditandai dengan lambatnya kematangan sel-sel syaraf, lambatnya gerakan motorik, kurangnya kecerdasan dan lambatnya respon sosial.

Inteligensi atau kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam arti kapasitas yang dimiliki individu sehingga memungkinkan seseorang untuk belajar, memecahkan masalah, dan melakukan tugas-tugas kognitif tingkat tinggi lainnya.

(18)

Kecerdasan setiap orang berbeda-beda, ada yang cepat memahami apa yang dipelajari dan ada juga yang lamban dalam memahami apa yang dipelajari. Kecerdasan setiap orang dapat dilihat dari hasil yang dicapai atau biasa disebut dengan prestasi. Prestasi belajar setiap orang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat intelegensi dan fasilitas belajar (Suryabrata 2005). Hasil dari intelegensi setiap orang khususnya siswa dapat diperoleh dengan cara mengukur intelegensi atau biasa disebut dengan tes IQ.

Pemenuhan fasilitas belajar yang baik dapat mendorong siswa untuk rajin belajar. Fasilitas belajar sangat mempengaruhi prestasi belajar siswa karena pemenuhan fasilitas belajar yang memadai dan lengkap akan mendorong siswa untuk mendapat hasil yang maksimal (Suryabrata 2005). Berdasarkan persentase cakupan ASI yang masih rendah dan ada atau tidak hubungannya dengan kecerdasan anak, serta ada atau tidak hubungannya konsumsi pangan dan fasilitas belajar terhadap prestasi belajar anak, peneliti tertarik untuk mempelajari hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak di SDN 09 Pagi Jakarta Utara.

Tujuan Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasaan logika-matematika anak SDN 09 Pagi Jakarta Utara.

Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik orangtua (usia, besar keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan) dan siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (usia, jenis kelamin, uang saku, dan status gizi).

2. Mempelajari praktek pemberian ASI di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (praktek ASI dan alasannya, durasi pemberian ASI, pemberian susu non-ASI).

3. Mengetahui kecerdasan logika-matematika siswa di SDN 09 Pagi Jakarta Utara (IQ dan prestasi belajar matematika).

4. Mengidentifikasi kebiasaan konsumsi pangan siswa. 5. Mengidentifikasi fasilitas belajar siswa.

6. Menganalisis hubungan antara praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika matematika anak.

(19)

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar berhubungan dengan kecerdasan logika-matematika.

Kegunaan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pentingnya, praktek pemberian ASI, pola konsumsi pangan, dan fasilitas belajar terhadap kecerdasan logika-matematika anak. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya serta Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan pada khususnya untuk lebih memperhatikan praktek pemberian ASI, konsumsi pangan, dan fasilitas belajar sehingga dapat meningkatkan kecerdasan logika matematika anak. Selain itu, informasi ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Praktek Pemberian ASI (0 - 2 Tahun)

ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi selama enam bulan (Roesli 2000). ASI merupakan jaringan kehidupan yang tidak terstruktur, seperti darah, dan dapat mentransportasikan zat gizi yang digunakan untuk sistem biokimia, memperkuat sistem imunitas dan menghancurkan pathogen (Riordan 2005). Menurut Muchtadi (2002) ASI merupakan makanan satu-satunya yang eksklusif bagi bayi di tahun pertama kehidupannya.

ASI juga merupakan makanan yang paling ideal bagi bayi karena mempunyai nilai gizi yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat oleh manusia ataupun yang berasal dari susu hewan, seperti susu sapi, susu kerbau, atau susu kambing (Krisnatuti et al. 2006). Eckhardt et al. (2001) menyatakan bahwa pemberian ASI secara penuh selama minimal empat bulan pertama dapat meningkatkan pertumbuhan fisik bayi. Pemberian ASI dapat menumbuhkan kasih sayang dan ikatan emosional antara ibu dan bayinya, yang sangat mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak di kemudian hari (Sulistijani dan Herlianty 2003).

ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI kepada bayi secara langsung oleh ibunya dan tidak diberikan makanan cair atau padat lainnya kecuali obat tetes atau sirup yang berisi suplemen vitamin, mineral, atau obat (Gibney et al. 2005). ASI eksklusif yakni memberikan ASI saja sampai anak berusia 6 bulan kini semakin sulit dipraktikkan oleh ibu-ibu di perkotaan. Kesibukan karir menjadi hambatan utama seorang ibu untuk menyusui anaknya dengan sempurna. Selain itu, ada juga ibu-ibu yang tidak bisa menyusui anaknya karena putting tidak keluar, produksi ASI kurang, dan lain-lain (Khomsan 2004). Pentingnya pemberian ASI telah dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 1990an, mulai dengan kampanye pemberian ASI eksklusif 4 bulan, kemudian dilanjutkan dengan kampanye pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan.

Menurut petunjuk Bina Gizi Masyarakat, pengertian ASI eksklusif adalah hanya memberikan ASI saja sampai bayi berumur 6 bulan. Bahkan pemberian ASI harus dilanjutkan sampai anak berumur 2 tahun yang tentunya disertai dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai (Nurmiati dan Besral 2008). Pertemuan bersama antara perwakilan WHO dan UNICEF pada tahun 1990 di

(21)

Italia menghasilkan Deklarasi Innocenti tentang Perlindungan, Promosi, dan Dukungan pada Pemberian ASI. Deklarasi tersebut mendefinisikan bahwa pemberian makanan bayi yang optimal adalah pemberian ASI eksklusif mulai dari saat lahir hingga bayi berusia 4-6 bulan dan terus berlanjut hingga tahun kedua kehidupan, sementara makanan tambahan yang sesuai baru diberikan ketika bayi berusia 6 bulan (Gibney et al. 2005). Dukungan pemerintah Indonesia terhadap hal tersebut diwujudkan dalam berbagai kegiatan seperti Gerakan Nasional Perancangan PP-ASI serta Gerakan Rumah Sakit dan Puskesmas Sayang Bayi (Depkes RI 2004). Roesli (2000) menjelaskan bahwa ASI sebagai makanan tunggal yang memenuhi kebutuhan bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau lebih.

Kandungan Gizi ASI

ASI lebih unggul dibandingkan makanan lain untuk bayi seperti susu formula, karena kandungan protein pada ASI lebih rendah dibandingkan pada susu sapi sehingga tidak memberatkan kerja ginjal, jenis proteinnya pun mudah dicerna. Selain itu, ASI mengandung lemak dalam bentuk asam amino esensial, asam lemak jenuh, trigliserida rantai sedang, dan kolesterol dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan bayi (Brown et al. 2005). Perbandingan kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kontribusi energi dari zat gizi makro pada ASI dan formula lain Zat Gizi Makro ASI Formula Susu Sapi Formula Susu Kedelai

(Kalori) (Kalori) (Kalori)

Protein 7% 9-12% 11-13%

Karbohidrat 38% 41-43% 39-45%

Lemak 55% 48-50% 45-49%

Sumber: Brown et al. 2005

Durasi Pemberian ASI

WHO pada tahun 1991 merekomendasikan durasi pemberian ASI eksklusif pada bayi selama periode 4-6 bulan pertama. Tahun 2001, WHO menetapkan durasi pemberian ASI eksklusif yang optimal adalah selama 6 bulan (Gibney et al. 2005). Fawtrell et al. (2007) mendukung hal ini melalui hasil penelitian yang menyatakan bahwa durasi ASI eksklusif selama 6 bulan lebih optimal dibandingkan 3-4 bulan. The U.S Surgeon General merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan meneruskan ASI sampai 12 bulan, dengan pengenalan makanan padat pada usia 4-6 bulan (Brown et al. 2005).

(22)

Eastwood (2003) menyatakan pada usia 4-6 bulan bayi membutuhkan makanan MP-ASI karena hanya sedikit ibu yang mampu memproduksi ASI secara cukup untuk kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan. Penelitian Wigati (2005) menunjukkan bahwa pemenuhan zat-zat gizi yang dibutuhkan untuk mengotimalkan kecerdasan pada periode tumbuh otak adalah melalui pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan diteruskan sampai waktu ideal (24 bulan). Menurut Nurmiati dan Besral (2008) menyatakan bahwa ketahanan hidup bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi >6 bulan 33.3 kali lebih baik daripada bayi yang mendapatkan ASI dengan durasi <4 bulan. Menurut Widagdo et al. (2000) menyatakan bahwa lama pemberian ASI sebagian besar sampai 2 tahun (50%). Anak yang diberi ASI sampai 4 bulan hanya sedikit (6%), hal ini disebabkan umur anak yang baru mencapai 4 bulan dan adanya ibu dengan jumlah ASI sedikit dan sibuk bekerja.

Manfaat ASI bagi Kecerdasan Otak Anak

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan menemukan, bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010).

Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Tim peneliti di Universitas McGill, Kanada, menemukan bahwa bayi yang mendapat ASI memiliki hasil lebih baik pada tes

Intelligent Quotient (IQ) pada usia enam tahun (Perkins & Vannais 2004). Berdasarkan laporan Archives of General Psychiatry, para ilmuwan asal Kanada menemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diberi ASI Eksklusif selama tiga bulan pertama, walaupun banyak di antaranya juga mendapat ASI sampai dua belas bulan, mencapai angka rata-rata 5.9 dalam tes IQ. Selain itu, penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa guru-guru yang selalu mengamati kegiatan

(23)

belajar-mengajar di kelas menyatakan anak-anak yang diberikan ASI memiliki kemampuan akademik lebih tinggi dalam membaca dan menulis, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapat ASI (Perkins & Vannais 2004).

Riordan (2005) menjelaskan ASI dapat meningkatkan perkembangan otak, anak yang disusui lebih pintar dibandingkan anak yang tidak disusui. Komposisi ASI yang mengandung protein yang tinggi, memiliki perbandingan antara whey dan casein yang sesuai untuk bayi. ASI mengandung whey lebih banyak yaitu 63:65, sehingga protein ASI lebih mudah dicerna dibandingkan dengan susu sapi. ASI juga mengandung taurin, Dexosahexsanoid Acid (DHA) dan Arachhidonic Acid (AA). Taurin adalah sejenis asam amino kedua yang berperan penting sebagai neuro-transmitter dan proses maturasi sel otak (Depkes 2001).

Pusat Kedokteran RS Anak Cincinnati di Amerika Serikat melakukan penelitian, dengan membandingkan bayi yang diberi ASI dengan bayi yang diberi susu buatan pabrik. James W Anderson mendapatkan hasil, bahwa IQ (tingkat kecerdasan) bayi yang diberi ASI lebih tinggi lima angka dari bayi lainnya (Sara 2006).

Praktek Pemberian Susu Formula

Muchtadi (2002) menyatakan bahwa susu formula adalah susu bayi yang berasal dari susu sapi yang telah diformulasikan sedemikan rupa sehingga komposisinya mendekati ASI. Susu formula dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu susu formula adaptasi, susu formula awal, dan susu formula lanjutan. Susu formula adaptasi (adapted formula), adapted berarti disesuaikan dengan keadaan fisiologis bayi. Komposisinya sangat mendekati ASI sehingga cocok untuk digunakan bayi yang baru lahir sampai berumur 4 bulan. Susu formula awal (Complete starting formula), memiliki susunan zat gizi yang lengkap dan dapat diberikan sebagai formula permulaan. Kadar protein dan mineral susu formula ini lebih tinggi dari susu formula adaptasi. Susu formula lanjutan ( follow-up formula), diberikan bagi bayi berumur 6 bulan ke atas. Kandungan protein dan mineralnya lebih tinggi daripada susu formula sebelumnya.

Susu formula biasanya diberikan sebagai makanan tambahan dan sebagai pengganti ASI (PASI). Susu formula sebagai makanan tambahan karena anak menangis terus atau karena ibu merasa ASInya kurang, sedangkan susu formula sebagai pengganti ASI (PASI) karena ASI tidak keluar atau anaknya

(24)

tidak mau ASI, anak sudah disapih, anak ditinggal bekerja, anjuran dari paramedis atau bidan (Fitrisia 2002).

Adanya beragam kekuatan sosial yang mendorong ibu-ibu untuk memberikan ASI dan susu botol kepada bayinya. Kekuatan sosial yang mendukung pemberian ASI kepada bayi antara lain sikap ibu yang alami, pertimbangan ekonomi, konservasi sumber daya dan lingkungan, kritikan terhadap industri makanan bayi, pengetahuan ilmiah baru dan perhatian lembaga internasional dan nasional (WHO, UNICEF, ILO, FAO, dan International Pediatric Assosiacion). Kekuatan sosial yang mendorong para ibu menyusui bayinya dengan susu botol adalah struktur keluarga dan peranan ibu, meningkatnya urbanisasi, dan sikap komersialisme pengusaha makanan bayi.

Karakteristik Keluarga dan Siswa Besar Keluarga

Besar Keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan keadaan ekonomi kurang, jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan perumahan pun tidak terpenuhi (Berg 1986). Menurut Suhardjo (1996), semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pendapatan per kapita dan pengeluaran pangan menurun dengan peningkatan besar keluarga (Sanjur 1982).

Pendidikan

Campbell (2002) menyatakan bahwa pendidikan formal sangat penting karena dapat membentuk pribadi dengan wawasan berpikir yang lebih baik. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal akan semakin luas wawasan berfikirnya, sehingga akan lebih banyak informasi yang diserap. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap ragam pangan yang dikonsumsi (Soewondo & Saidi 1990). Tingkat pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak, termasuk didalamnya pemberian makan. Suhardjo (1996) mengatakan bahwa orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan

(25)

jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Tingkat pendidikan orangtua yang lebih tinggi akan lebih memberikan stimulasi lingkungan (fisik, sosial, emosional, dan psikologis) bagi anak-anaknya dibandingkan dengan orangtua yang tingkat pendidikannya rendah.

Pendapatan

Pendapatan adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh seseorang dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain, seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain (Hardinsyah 1997). Hapsari (2005) menjelaskan bahwa orang tua yang berasal dari keadaan ekonomi baik, akan memiliki lebih banyak waktu untuk membimbing anak karena tidak lagi memikirkan keadaan ekonomi.

Jenis Pekerjaan

Besar pendapatan yang diterima oleh individu akan dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar (Suhardjo 1989).

Uang Saku

Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian, mingguan, dan bulanan. Perolehan uang saku menjadi suatu kebiasaan sehingga diharapkan anak dapat belajar bertanggung jawab untuk mengelola uang saku yang dimiliki (Napitu 1994).

Status Gizi

Status gizi rendah disebabkan kurang asupan makanan. Makanan hanya mampu bertahan dalam lambung 6-8 jam, setelah itu lambung kosong karena sari-sari makanan telah diserap dan diedarkan ke seluruh tubuh, maka untuk memenuhi kebutuhannya akan terjadi pemecahan glikogen, sehingga terjadi deplesi jaringan yang kemudian menyebabkan perubahan biokimia, perubahan fungsional dan perubahan anatomis tubuh. Jika hal tersebut berlangsung lama

(26)

akan menyebabkan glukosa darah ke otak berkurang sehingga anak tidak konsentrasi dalam belajar dan daya ingat rendah sehingga prestasi belajar pun rendah (Soekirman 2002).

WHO (1995) merekomendasikan z-score untuk mengevaluasi data antropometri anak, khususnya di negara berkembang, karena anak yang berada jauh di bawah persentil data acuan dapat diklasifikasikan secara akurat. Penentuan status gizi seseorang diukur dengan menggunakan metode antropometri melalui perhitungan indeks IMT/U. Indeks IMT/U ini digunakan untuk seseorang yang berusia 9-24 tahun berdasarkan nilai z-score. Seseorang dikatakan kurus bila -3 SD ≤ z ≤ -2 SD, normal bila -2 SD ≤ z ≤ +1 SD, kegemukan bila +1 SD ≤ z ≤ +2 SD, dan obesitas bila z ≥ +2 SD (WHO 2007).

IMT =

Pola Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi (dimakan) oleh seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Tujuan mengkonsumsi pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi tertentu yang diperlukan oleh tubuh. Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan (kebutuhan hidup minimal), ukuran kemiskinan, serta perencanaan ketersediaan dan produksi pangan daerah (Hardinsyah et al 2002).

Konsumsi pangan sehari-hari bagi sebagian besar penduduk di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: 1) Produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, 2) Pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga, 3) Tersedianya pangan yang dipengaruhi oleh produksi dan pengeluaran uang untuk keperluan pangan rumah tangga (Harper et al 1986). Kebutuhan zat gizi akan terjamin pemenuhannya dengan cara mengkonsumsi makanan yang beragam. Konsumsi pangan beragam akan memberikan mutu yang lebih baik daripada makanan yang dikonsumsi secara tunggal atau masing-masing pangan yang menyusunnya, hal ini terjadi karena adanya efek saling mengisi (Suhardjo 1989).

(27)

Makanan yang anak-anak konsumsi sebaiknya mengandung sekurang-kurangnya tiga zat gizi. Jumlah makanan yang mereka butuhkan tergantung pada ukuran tubuh, umur, dan aktivitas tubuhnya. Jika anak-anak hanya menunggu jam makan keluarga, mereka sering merasa lapar, ada baiknya anak diberi makanan selingan atau memberi makan dengan frekuensi yang lebih sering (Nasution dan Riyadi 1994).

Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif maupun kuantitatif. Parameter kualitatif meliputi nilai sosial, ragam jenis, bahan makanan, dan cita rasa, sedangkan parameter kuantitatif adalah komposisi zat gizi. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan (AKG) atau Recomended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi dari makanan mencakup hampir semua orang sehat untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, dan genetika (FKMUI 2009). Berikut ini adalah tabel Tingkat Kecukupan Energi dan zat gizi lainnya.

Tabel 2 Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi lain Zat gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan Energi dan protein Defisit berat ≤70% kebutuhan

Defisit sedang 70-79% kebutuhan Defisit ringan 80-89%

Normal 90-119%

Diatas angka kebutuhan ≥ 120% Vitamin dan mineral Kurang ≤ 77% angka kecukupan Cukup ≥ 77% angka kecukupan Sumber: Gibson 2005

Metode Pengukuran Konsumsi Makanan

Penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supariasa 2002). Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang bersifat kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan. Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supariasa 2002)

(28)

Metode Frekuensi Makanan (Food Frequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan, atau tahun. Kelebihan metode frekuensi makanan yaitu: relatif murah, dapat dilakukan sendiri oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan. Sedangkan kekurangannya yaitu: tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner, responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi. Kuesionernya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan (Supariasa 2002). Frekuensi konsumsi pangan dikelompokkan menjadi empat yaitu sering (≥5 kali/minggu), kadang-kadang (3-4 kali/minggu), jarang (1-2 kali/minggu), dan tidak pernah (0 kali/minggu).

Metode Mengingat-ingat (Food Recall Method)

Prinsipnya metode ini dilakukan dengan cara mencatat jenis dan jumlah bahan yang dikonsumsi pada masa lalu (biasanya 24 jam yang lalu) melalui wawancara. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumah tangga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring, atau alat lain yang biasa digunakan di rumah tangga. Selanjutnya dikonversi ke dalam satuan gram. Agar diperoleh hasil yang teliti maka perlu dilatih sebelumnya mengenai penggunaan URT dan mengkonversikannya ke satuan berat (Hardinsyah et al 2002).

Metode ini mempunyai kelemahan dalam tingkat ketelitiannya, karena keterangan-keterangan yang diperoleh adalah hasil ingatan responden. Namun, kelemahan ini dapat diatasi dengan memperpanjang waktu survei (lebih dari 1x24 jam). Kelebihan dari metode ini adalah murah dan sederhana. Metode ini direkomendasikan untuk survei konsumsi pangan dalam rangka memperoleh gambaran (representasi) dari populasi. Metode ini bisa digunakan untuk individu dan keluarga (Hardinsyah et al 2002).

(29)

Kebiasaan Makan

Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, dan sosial budaya (Sanjur 1982). Menurut Wirakusumah (1994) kebiasaan makan keluarga menjadi contoh bagi generasi muda dalam keluarga tersebut. Kebiasaan makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi risiko terhadap penyakit dan dapat mencegah penyakit. Kebiasaan makan mencerminkan terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi (Atmarita 2004).

Kebiasaan makan yang tergesa-gesa, termasuk kurang mengunyah akan membawa efek yang kurang menguntungkan bagi pencernaan dan mengakibatkan cepat merasa lapar kembali. Rasa lapar yang sering muncul akan berakibat pada konsumsi makanan yang tidak tepat pada waktunya dan bertambahnya intik makanan. begitu pula jika frekuensi makan tidak teratur, jarak antara dua waktu makan yang terlalu panjang menyebabkan adanya kecendrungan untuk makan lebih banyak dan melebihi kebutuhan (Wirakusumah 1994). Faktor kebiasaan makan, disamping faktor genetik, lingkungan, perilaku dan sosial budaya adalah faktor utama yang menjadi pemicu ketidakmampuan tersebut (Blackburn 2001).

Perkembangan Kecerdasan Anak

Kemampuan berpikir anak mula-mula berkembang melalui kelima inderanya, misalnya melihat warna-warna, mendengar suara atau bunyi, mengenal rasa dan lain-lain. Kemudian melalui kata-kata yang didengar dan diajarkan, anak mengerti bahwa segala hal itu ada namanya. Daya pikir dan pengertian mula-mula terbatas pada apa yang dilihat dan dipegang atau dimainkan. Melalui bermain-main serta ajaran yang diberikan orangtua atau orang lain, anak setahap demi setahap mengenal, mengerti lingkungannya, dan memiliki kemampuan memecahkan persoalan. Anak akan memiliki bermacam pengertian/konsep seperti: konsep tentang benda, warna, manusia, dan bentuk. Semua konsep atau pemikiran ini kemudian akan berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, yang lebih abstrak dan majemuk, misalnya mengerti dan menggunakan konsep sama-berbeda, bertambah-berkurang, sebab akibat, dan lain-lain (Depkes 1997).

(30)

Perkembangan mempunyai arti suatu pola perubahan (change) atau pergerakan (movement) yang dimulai dari periode konsepsi (di dalam kandungan) dan berlangsung terus-menerus sepanjang siklus hidup (life cycle). Perkembangan meliputi pertumbuhan dengan pola pergerakan yang kompleks karena merupakan hasil dari beberapa proses yang simultan yaitu proses biologi, kognitif, dan sosial. Ketiga proses ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya (Santrock 1975 dalam Hurlock 1999).

Perkembangan fisik seseorang telah dimulai sejak masih berupa janin dalam kandungan dan sedikit demi sedikit berhenti sekitar 21 tahun. Perkembangan otak seseorang telah dimulai sejak janin masih berusia 3 bulan dalam kandungan ibu dan mengalami laju sangat pesat selama 3 tahun pertama setelah lahir. Pada usia tujuh bulan, perkembangan otak mencapai lebih dari 95 persen. Sejak usia tujuh bulan sampai mencapai usia dewasa, perkembangan otak berjalan sangat lambat sampai mencapai puncaknya pada usia 20-21 tahun pada pria selanjutnya, secara kontinu otak mengalami penyusutan berat dengan tingkat rata-rata 1 gram setiap tahun (Winarno dan Ong 2007).

Pencapaian suatu kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada patokan umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai seorang anak pada umur tertentu. Perkembangan pada anak meliputi perkembangan gerakan (motorik), perkembangan komunikasi aktif dan pasif, perkembangan kecerdasan (kognisi), dan perkembangan kemampuan menolong diri sendiri dan kemampuan sosialisasi (Depkes 1997).

Kecerdasaan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya. Semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk mencapai prestasi yang tinggi (Hawadi 2001). Oleh karena itu, intelegensi yang baik atau kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha belajar.

Menurut Gardner dalam Armstrong (2002), kecerdasan terbagi menjadi 8 jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika,

(31)

kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi, kecerdasan naturalis.

Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menggunakan kata-kata secara efektif, baik untuk mempengaruhi maupun memanipulasi. Kehidupan sehari-hari kecerdasan linguistik bermanfaat untuk berbicara, mendengarkan, membaca, dan menulis. Pekerjaan yang mengutamakan kecerdasan ini antara lain: guru, orator, bintang film, presenter TV, pengacara, penulis, dan sebagainya.

Kecerdasan Logis-Matematis melibatkan ketrampilan mengolah angka dan atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Kehidupan sehari-hari kecerdasan ini bermanfaat untuk menganalisa laporan keuangan, memahami perhitungan utang nasional, atau mencerna laporan sebuah penelitian. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: akuntan pajak, programmer, ahli matematika, ilmuwan, dan sebagainya.

Kecerdasan Spasial melibatkan kemampuan seseorang untuk memvisualisasikan gambar di dalam kepala (dibayangkan) atau menciptakannya dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Kecerdasan ini dalam kehidupan sehari-hari sangat dibutuhkan, misalnya: saat menghias rumah atau merancang taman, menggambar atau melukis,menikmati karya seni, dan sebagainya. Pekerjaan yang mengutamakan kecerdasan spasial antara lain: arsitek, pematung/ pemahat, penemu, designer, dan sebagainya.

Kecerdasan Kinestetik-Jasmani adalah kecerdasan seluruh tubuh dan juga kecerdasan tangan. Kecerdasan ini dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan, misalnya: membuka tutup botol, memasang lampu di rumah, memperbaiki mobil, olah raga, dansa, dan sebagainya. Jenis pekerjaan yang menuntut kecerdasan ini antara lain: atlet, penari, pemain pantomim, aktor, penjahit, ahli bedah, dan sebagainya.

Kecerdasan Musikal melibatkan kemampuan menyanyikan lagu, mengingat melodi musik, mempunyai kepekaan akan irama, atau sekedar menikmati musik. Kehidupan sehari-hari, kecerdasan ini banyak manfaatnya dalam segala hal, misalnya saat menyanyi, memainkan alat musik, menikmati musik di TV / radio, dan sebagainya. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan ini antara lain: penyanyi, pianis / organis, disc jokey (DJ), teknisi suara, tukang stem piano, dan lain-lain.

Kecerdasan Antarpribadi melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan orang lain. Kehidupan sehari-hari, baik untuk pribadi, keluarga,

(32)

dan pekerjaan, kecerdasan ini dinilai mutlak diperlukan dan seringkali disebut sebagai "yang lebih penting" dari kecerdasan lainnya untuk dapat sukses dalam hidup. Kecerdasan antarpribadi ini melibatkan banyak hal, misalnya kemampuan berempati, kemampuan memanipulasi, kemampuan "membaca orang", kemampuan berteman, dan sebagainya. Segala jenis pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain pastilah membutuhkan kecerdasan ini, terutama publik figure, pemimpin, guru, konselor, dan lain-lain.

Kecerdasan Intrapribadi adalah kecerdasan memahami diri sendiri, kecerdasan untuk mengetahui “siapa diri saya sebenarnya”, untuk mengetahui “apa kekuatan dan kelemahan saya”. Kecerdasan ini merupakan kecerdasan untuk bisa merenungkan tujuan hidup sendiri dan untuk mempercayai diri sendiri. Pekerjaan yang menuntut kecerdasan Intrapribadi antara lain: wirausaha, konselor, terapis, dan lain-lain.

Kecerdasan Naturalis melibatkan kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam di sekitar kita. Kehidupan sehari-hari, seseorang membutuhkan kecerdasan ini untuk berkebun, berkemah, atau melakukan proyek ekologi. Pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan naturalis antara lain: ahli biologi, dokter hewan, dan lain-lain.

Tingkat Kecerdasan Anak

Menurut Gani (1984) dalam Agustina (2003), cara mengukur kecerdasan anak dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung dapat dilakukan dengan psikotes yang menghasilkan ukuran taraf kecerdasan (IQ). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan memantau prestasi akademik para murid. Beberapa penelitian membuktikan bahwa berhasil tidaknya pertumbuhan dan perkembangan seseorang anak tidak bisa lepas dari sinergi faktor gizi, kesehatan, intelektual, emosional, dan spiritual secara sinergis.

Senjaya (2009), menjelaskan bahwa inteligensi terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) kemampuan untuk mengarahkan pikiran dan tindakan, (2) kemampuan untuk mengubah arah tindakan setelah tindakan tersebut dilaksanakan, dan (3) kemampuan untuk mengkritik diri sendiri atau melakukan auto critism.

Intelligence Quotient atau IQ adalah skor yang diperoleh dari tes intelegensi. Kecerdasan ini di atur oleh bagian korteks otak yang dapat memberikan

(33)

kemampuan untuk berhitung, beranalogi, berimajinasi, dan memiliki daya kreasi serta inovasi (Boeree 2003).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ Anak

Tinggi rendahnya IQ seorang anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. IQ dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: (1) Faktor Genetik, kecerdasan dapat diturunkan melalui gen-gen dalam kromosom. Oleh karena itu, ayah-ibu yang cerdas akan melahirkan anak yang cerdas pula (Boeree 2003); (2) Faktor Gizi, gizi yang baik sangat penting untuk pertumbuhan sel-sel otak, terutama pada saat hamil dan pada waktu bayi, di mana sel-sel otak sedang tumbuh dengan pesatnya. Kekurangan gizi pada saat pertumbuhan, bisa berakibat berkurangnya jumlah sel-sel otak dari jumlah yang normal. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kerja otak tersebut di kemudian hari. Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo et al. (1995), telah membuktikan bahwa status gizi anak mempunyai dampak positif terhadap inteligensinya; (3) Faktor Lingkungan, lingkungan yang baik adalah lingkungan yang dapat memberikan kebutuhan mental bagi anak. Kebutuhan mental meliputi kasih sayang, rasa aman, pengertian, perhatian, penghargaan serta rangsangan intelektual. Kekurangan rangsangan intelektual pada masa bayi dan balita dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan kecerdasannya. Faktor lingkungan lain yang juga mempunyai efek positif terhadap kecerdasan anak antara lain: hubungan orang tua dan anak, tingkat pedidikan ibu, dan riwayat sosial-budaya (Wibowo et al.

1995). Menurut Mc Wayne (2004), anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang rendah mempunyai risiko tertundanya perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan anak yang tumbuh dengan penghasilan orang tua yang tinggi.

Prestasi Belajar

Proses belajar yang dilakukan akan menimbulkan perubahan tingkah laku, yang terjadi karena hasil pengalaman. Proses belajar pada dasarnya ditujukan untuk: 1) mendapatkan pengetahuan yang ditandai dengan kemampuan berpikir, 2) menanamkan konsep serta keterampilan, dan 3) membentuk sikap (Sardiman 2005). Pencapaian tujuan belajar dimaksudkan untuk memperoleh hasil belajar sebagai evaluasi terhadap proses belajar yang dilakukan.

(34)

Menurut Hawadi (2001), prestasi belajar merupakan gambaran penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak dapat berasal dari dalam dirinya sendiri (faktor internal), maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal meliputi kecerdasan/intelegensi, bakat, minat, dan motivasi, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Motivasi berprestasi merupakan salah satu faktor yang berperan pencapaian prestasi seseorang. Motivasi berprestasi berhubungan dengan kebutuhan untuk berprestasi yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam bertindak untuk mencapai prestasi. Selain itu, motivasi berprestasi merupakan kekuatan yang berhubungan dengan pencapaian beberapa standar keunggulan yang merupakan suatu dorongan yang terdapat di dalam diri seseorang untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya (MC Clelland 1976 dalam Setiawati 2007).

Menurut Rahayu (1976) dalam Rina (2008) menyatakan bahwa prestasi belajar anak dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran yang meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Skor prestasi belajar merupakan hasil yang diwujudkan dalam bentuk angka (Soemantri 1978 dalam Agustina 2003).

Prestasi belajar siswa dapat diukur melalui skor prestasi belajar dari beberapa mata pelajaran. Skor prestasi belajar merupakan hasil yang diwujudkan dalam bentuk angka. Perubahan positif yang terjadi pada diri anak menunjukkan adanya hasil belajar (Winkel 1996).

Keluarga adalah tempat dimana anak memperoleh dasar dalam bentuk kemampuannya agar menjadi orang yang berhasil di masyarakat. Sejak dini anak perlu belajar disiplin waktu dan diri karena kebiasaan disiplin yang sudah terbentuk sejak dini akan memudahkan anak dalam pergaulan dan hubungan sosial. Kebiasaan disiplin diri dan disiplin waktu ini mendukung kelancaran perkembangan kognitif dan prestasi di sekolah (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Proses dan Sarana Belajar

Orangtua yang bertanggung jawab akan berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak, baik dari segi fisik seperti makanan, maupun segi psikis seperti kebutuhan akan perkembangan intelektual, melalui pendidikan, perawatan, dan pengasuhan. Hal ini sama dalam proses belajar orangtua perlu memperhatikan ketersediaan sarana dan fasilitas belajar. Sarana dan fasilitas belajar yang

(35)

umumnya harus dimiliki oleh anak dalam proses belajar meliputi ruang belajar, meja belajar, lampu belajar, buku pelajaran, buku catatan, dan alat tulis.

Tersedianya sarana belajar yang memadai memungkinkan anak dapat belajar dengan baik, sehingga memungkinkan anak mencapai prestasi belajar yang baik. Menurut Darman (1984) dalam (Siregar 2003) bahwa salah satu faktor yang menentukan prestasi belajar adalah adanya fasilitas belajar yaitu perlengkapan belajar. Apabila kebutuhan dan perlengkapan belajar kurang terpenuhi dapat membawa akibat yang negatif, misal anak tidak bisa belajar dengan baik sehingga sulit diharapkan untuk mencapai prestasi yang tinggi.

Fasilitas belajar dapat mempengaruhi proses belajar seseorang. Kurangnya fasilitas menyebabkan siswa kurang dapat mengaktualisasikan kemampuan dasar yang dimilikinya, sehingga dapat menimbulkan kegagalan dalam prestasi akademiknya. Segala bentuk kegiatan belajar mutlak diperlukan alat-alat tulis. Semakin lengkap alat tulis yang dimilki maka semakin lancar proses belajarnya (Gunarsa & Gunarsa 2006).

Fasilitas yang dibutuhkan anak dalam kegiatan belajar meliputi fasilitas fisik dan non fisik. Fasilitas fisik seperti buku-buku pelajaran, alat tulis. Fasilitas non fisik seperti guru les. Suasana yang nyaman juga berpengaruh terhadap timbulnya minat anak untuk belajar. Oleh karena itu penyediaan ruang atau tempat khusus bagi anak untuk belajar sangat penting diperhatikan. Selain sarana dan fasilitas belajar, proses belajarpun harus diperhatikan untuk mencapai prestasi belajar yang baik. Proses belajar adalah seluruh kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak baik ketika di sekolah maupun di rumah. Kegiatan belajar yang dilakukan anak misalnya mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru, pekerjaan sekolah, mempersiapkan diri sebelum ulangan, membaca buku pelajaran secara teratur dan mencatat semua pelajaran yang diberikan oleh guru (Moesono 1986).

(36)

KERANGKA PEMIKIRAN

ASI (Air Susu Ibu) merupakan makanan eksklusif bagi bayi. ASI tak dapat digantikan oleh makanan atau minuman lainnya, karena ASI mengandung zat gizi yang paling tepat, lengkap dan ideal bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan bayi (Khasanah 2011). Pemberian ASI Eksklusif dapat mencegah bayi dari berbagai penyakit infeksi dan resiko penyakit lainnya karena ASI mengandung zat kekebalan tubuh. Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Lucas dan para koleganya di Institute for Child Care di Great Ormond Street Hospital, London menunjukkan bahwa anak-anak yang pada masa bayi menerima setidaknya sedikit ASI memiliki nilai tes IQ yang lebih tinggi dibanding yang hanya mendapat formula standar (Julianto 2010). Penelitian yang dilakukan tahun 1992 di Flinders Medical Center terhadap 32 bayi usia enam bulan, menemukan bayi-bayi yang diberi ASI, kecerdasan mentalnya 40 persen lebih tinggi dibanding bayi-bayi yang mendapat susu non-ASI. Kecerdasan mental pada bayi yang disusui dengan ASI memperlihatkan bayi tersebut tumbuh menjadi orang yang lebih cerdas (Pambudy 2010). Penelitian lain juga telah membuktikan bahwa pemberian ASI meningkatkan perkembangan kognitif bayi dan meningkatkan IQ (Jacobson, Chiodo & Jacobson 1999). Konsumsi pangan dan praktek pemberian ASI dapat didukung dengan karakteristik orangtua dan karakteristik anak.

Karakteristik orangtua berhubungan dengan perkembangan kecerdasan otak anak. Menurut Hurlock (1999) menyatakan bahwa proses perkembangan anak dipengaruhi oleh bentuk, jenis, dan hubungan antara anggota keluarga, serta sikap dan tingkah laku anggota keluarga terhadap anak. Penghasilan orang tua yang rendah menyebabkan terhambatnya perkembangan kognitif anak (Mc Wayne 2004). Menurut Ariani & Purwantini (2010) dalam Paramitadewi (2010), menyatakan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka akan semakin banyak jumlah uang yang dibelanjakan untuk konsumsi. Karakteristik orangtua yang dianalisis hubungannya dengan kecerdasan logika matematika anak dalam penelitian ini antara lain usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan. Selain itu, karakteristik anak seperti umur, jenis kelamin, dan uang saku juga menjadi variabel yang dianalisis hubungannya dengan kecerdasan logika matematika anak.

Keputusan ibu dalam memberikan ASI dan MP-ASI pada anak tidak lepas dari perkembangan kecerdasan anak. Menurut Khasanah (2011) bahwa bayi

(37)

yang diberi ASI memiliki IQ lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI. Oleh sebab itu kecerdasan anak yang dilihat dari aspek kecerdasan logika-matematika anak diteliti, meliputi IQ dan hasil prestasi belajar matematika (nilai raport matematika dan nilai tes hasil belajar matematika). Faktor luar yang juga berkaitan terhadap kecerdasan logika-matematika anak adalah fasilitas belajar. Intelegensi juga harus didukung oleh fasilitas belajar karena walaupun tingkat intelegensi tinggi namun pemenuhan fasilitas tidak lengkap maka prestasi yang dicapai tidak akan maksimal. Oleh sebab itu, hasil prestasi belajar matematika yang dihubungkan dengan fasilitas belajar diteliti.

Pertumbuhan dan perkembangan anak tidak lepas dari kebiasaan makan. Kebiasaan makan anak yang tidak teratur akan mengakibatkan konsumsi makan menjadi kurang teratur. Konsumsi pangan sangat berhubungan dengan status gizi anak. Jika konsumsi pangan anak tercukupi semua kebutuhan energi dan zat gizinya diharapkan akan menghasilkan status gizi yang baik dan terhindar dari masalah kesehatan kurang gizi. Sebaliknya, jika anak tidak tercukupi semua kebutuhan energi dan zat gizinya maka akan menghasilkan status gizi kurang dan rawan terhadap masalah kesehatan kurang gizi. Status gizi akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak dan kemampuan anak dalam menangkap pelajaran di sekolah, sehingga anak yang memiliki status gizi yang kurang, tidak optimal dalam menangkap pelajaran disekolah.

Penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik orangtua dengan praktek pemberian ASI dan pola konsumsi pangan. Selain itu, penelitian ini menganalisis hubungan antara karakteristik orangtua, karakteristik siswa, serta pola konsumsi pangan dengan praktek pemberian ASI dengan fasilitas belajar dengan kecerdasan logika-matematika anak, skema kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar

Gambar 1  Skema kerangka pemikiranGenetik Karakteristi orangtua :   Usia   Pendidikan   Pekerjaan   Pendapatan  Karakteristik siswa :   Usia  Jenis Kelamin  Uang saku  Status Gizi Konsumsi Pangan Praktek Pemberian ASI
Tabel 3 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik individu  Karakteristik individu  n  %  Jenis Kelamin  Laki-Laki  21  55.3  Perempuan  17  44.7  Total  38  100  Usia Siswa  10-11 tahun  34  89.5  &gt; 11 tahun  4  10.5  Total  38  100  Uang Saku  ≤ Rp 5000
Tabel 4 Sebaran siswa berdasarkan karakteristik keluarga siswa (n=38)
Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan kondisi sosial ekonomi keluarga (n=38)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada makalah ini, kami melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan kesulitan siswa dalam menyelesaikan soal-soal Geometri model TIMSS yang telah

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipe kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah konseptual pada materi SPLTV yang ditinjau berdasarkan analisis kesalahan

Agar warta Sabda Kitab Suci bisa sampai kepada umat beriman, maka perlu dibacakan kepada umat yang berkumpul (Waskito, 1981:34). Lektor bukan hanya seorang petugas yang

Bank Mandiri (Persero) Tbk sebelum dan sesudah memiliki PT. Bank Mantap dilihat dari Rasio CAR, NPL, LDR ROE, ROA dan BOPO. Sumber data dalam penelitian ini adalah laporan

[r]

Setelah diskusi dan membaca, siswa mampu mengomunikasikan pengalaman sikap toleransi dan kerja sama antar teman berbeda agama sebagai identitas

Perlu ada penyuluhan dan pelatihan tentang bagaimana mengelola sampah berbasis masyarakat dan memanfaatkan sampah organik untuk menjadi pupuk cair organik atau kompos

i bn ‘Abba&gt;s , matannya tidak bertentangan dengan tolok ukur yang digunakan sehingga kualitasnya adalah S}ah}i&gt;h} al-Matan dan dapat dijadikan