5.1 Pembahasan Rancangan KUHP
5.1.2 Situasi Umum Pembahasan Buku II RKUHP di Tahun 2016
Buku II Rancangan KUHP, mengatur mengenai tindak pidana beserta ancaman pidananya. Pembahasan Buku II RKUHP pada tahun 2016 terbilang cukup cepat dan tergesa-gesa. Karena pada pertengahan 2016 terhitung Tanggal 20 September 2016 Panja RKUHP sudah mulai melaksanakan Pembahasan Buku II RKUHP dari Bab I Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara dan diakhiri pada pembahasan 14 Desember 2016 yakni Bab XVI Tindak Pidana Kesusilaan. Hal ini berarti, hanya dalam waktu 4 bulan saja Panja RKUHP telah menyepakati 16 Bab dan 287 pasal dalam pembahasan Buku II RKUHP.
Kecepatan dan komitmen pemerintah dalam merampungkan segera pembahasan RKUHP patut diapresiasi. Namun bila melihat hasil kesepakatan pembahasan, Buku II masih memiliki problem krusial yang tidak terlalu dalam difokusi dan dikaji oleh Panja RKUHP. Hal ini terlihat seperti Tindak pidana yang terkait dengan posisi individu terhadap Negara, dimana pasal-pasal proteksi Negara (misalnya penghinaan presiden, penghinaan terhadap pemerintah yang sah) pasal tersebut dihidupkan kembali dalam RKUHP, padahal pasal-pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selain itu, tindak pidana yang terkait moral/victimless crime yang cenderung mengalami overkriminalisasi (zina, prostitusi jalanan, dll). Pemberi informasi dan layanan Keluarga Berencana (KB) dan HIV juga terancam dipidana. Disetujuinya Pasal yang mempertunjukkan pencegah kehamilan/kontrasepsi pada 13
62
Desember 2016 yang lalu dengan beberapa catatan,39 akan sangat kontra produktif dengan upaya berbagai pihak dalam menjalankan program Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (Kespro) untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak serta meningkatkan kesejahteraan keluarga. Padahal pemberian informasi dan layanan kontrasepsi saat ini tidak hanya dilakukan oleh Negara namun juga dijalankan oleh tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi, swasta dan masyarakat sipil.
Sementara itu, tindak pidana terkait perlindungan kepentingan publik atau masyarakat, belum cukup diatur untuk melindungi masyarakat, seperti tindak pidana eksploitasi seksual anak dan perdagangan orang. Tindak pidana membeli layanan seks pada anak atau prostitusi anak (pelacuran anak) ternyata tidak diatur dalam Buku II R KUHP ini. Tidak ada satu pun pasal yang menjelaskan secara rinci tentang anak-anak yang menjadi korban prostitusi dan siapa saja orang yang bisa dihukum bila terlibat dalam prostitusi anak. Tidak adanya yang mendefinisikan prostitusi anak dalam Buku II RKUHP dan tidak adanya pula interupsi atau pembahasan mendalam mengenai eksploitasi seksual anak oleh Panja RKUHP40 jelas patut dipertanyakan. Padahal Indonesia sudah meratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak. Seharusnya sudah menjadi kewajiban pemerintah mengharmonisasi Undang-Undang yang ada dengan Protokol Opsional ini untuk menjamin anak-anak tidak menjadi korban dari jenis kejahatan tersebut.
Selain itu, problem distribusi pemidanaan dalam RKUHP masih cenderung meningkatkan sanksi pemenjaraan dibanding sanksi pidana yang lebih mendorong alternatif pidana kemerdekaan (alternative to imprisonment) seperti dalam kerangka tujuan pemidanaan. Hal ini justru bertolak belakang dengan sikap pemerintah yang sebelumnya selalu mengkampanyekan adanya alternatif jenis penghukuman hukuman baru, misalnya dalam bentuk, denda, ganti rugi dan kerja sosial dalam RKUHP.
Temuan ICJR dalam kajian mengenai distribusi pemidanaan dalam RKUHP melihat hal yang janggal. Terlihat bahwa jumlah tindak pidana yang dapat diberikan pidana kerja sosial ternyata berjumlah kecil sekali (hanya 59 tindak pidana). Dalam R KUHP jumlah tindak pidana yang masuk kategori ancaman denda kategori 1 saja hanya berjumlah 48 dan perbuatan yang diancam penjara maksimum 6 (enam) bulan hanya 11. Bandingkan dengan total ancaman pidana (seumur hidup, penjara, tutupan, pengawasan, denda, dan kerja sosial) yang berjumlah sebanyak 2.711 tindak pidana. Dengan sedikitnya pidana alternatif di luar pidana perampasan kemerdekaan, maka persoalan kelebihan penghuni dari rutan dan lapas di Indonesia masih akan menghantui negara selama beberapa tahun ke depan. Implikasi dari temuan ini adalah alternatif pidana jenis ini agak sulit secara signifikan berpengaruh terhadap pengurangan jumlah penghuni Lapas.
R KUHP juga terlihat menyukai pidana maksimum, terlihat mayoritas pidana diatas 5 tahun lebih mendominasi dalam R KUHP. Sedangkan jenis perbuatan kejahatan yang dianggap ringan justru sangat sedikit. jenis pidana sangat serius menempati posisi pertama dengan 621 ancaman pidana yang diikuti dengan kejahatan yang serius dengan 532 perbuatan. Pembobotan pemidanaan dalam bentuk ringan, serius, dan sangat serius pada dasarnya justru bertolak belakang dengan upaya pengembangan alternatif lain di luar pidana perampasan kemerdekaan. Karena pada akhirnya jumlah perbuatan yang
39
Meskipun Pasal 483 ini disetujui Panja untuk dibahas dalam TIMUS dan TIMSIN, Ketua Panja RKUHP memberikan catatan untuk mempertimbangkan dan mengakomodir perbuatan yang bukan dilaksanakan oleh pertugas pemerintah (NGO, LSM, lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan).Laporan Monitoring ICJR, Pembahasan RKUHP oleh Panja Komisi III DPR dan Pemerintah, Rabu 14 Desember 2016.
40
Laporan Monitoring ICJR, Pembahasan RKUHP oleh Panja Komisi III DPR dan Pemerintah, Rabu 14 Desember 2016.
63
diancam dengan pidana karena dianggap kejahatan serius dan sangat serius menjadi terlampau besar jumlahnya.
Berdasarkan laporan monitoring ICJR dalam pembahasan RKUHP pada tanggal 13 Desember 2016, disela-sela pembahasan Bab XI Tindak Pidana Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu, Tim Pemerintah menyampaikan informasi kepada ketua Panja RKUHP berkenaan dengan ancaman pidana. Tim Pemerintah menyampaikan bahwa telah membuat guidance pembobotan pidana, terkait dengan deliknya. Mulai dari yang sangat ringan, ringan sampai kejahatan yang sangat serius, kemudian dilihat kategorisasinya. Mulai dari nilai ketercelaan, kondisi pelaku-korban sampai kerugian materil-imateril hingga unsur-unsur lain yang mengakibatkan berat tidaknya untuk dijatuhkan ancaman pidana. Tim Pemerintah mengharapkan guidance tersebut dijadikan sebagai panduan dalam penyusunan rancangan undang-undang apapun yang ada kaitannya dengan ketentuan pidana. Jadi, akan ada semacam satu paduan seluruh ancaman disatukan menjadi satu.41
Usul dan informasi yang disampaikan pemerintah dengan adanya guidance pembobotan pidana ditengah-tengah pembahasan Bab XI Buku II RKUHP menjadi hal yang aneh. Dimana bukankah seharusnya hal penting mengenai standar, guidance, dan kategorisasi pembobotan pidana tersebut disampaikan di awal pembahasan Buku II RKUHP hingga selesai untuk mengawal dan konsisten pada standar/guidance pembobotan pidana yang telah dibuat. Penyusunan KUHP juga belum memilah tindak pidana ringan, sedang, dan berat karena hampir semua berujung pemenjaraan.
Dari gambaran problem tersebut, maka dapat dilihat bahwa buku II KUHP bersifat lebih eksesif da e jajah arga egara se diri dari pada KUHP uata kolo ial a g saat i i berlaku. Ketiadaan pola pemidanaan, pengulangan dan naiknya ancaman pidana menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki dasar yang kuat dalam merumuskan suatu perbuatan merupakan perbuatan pidana, tingkat keseriusan, sampai dengan menentukan ancaman pidana.
Anehnya justru R KUHP sendiri ternyata terlampau sedikit mengadopsi hukuman alternatif lain di luar pidana penjara. Dalam R KUHP ada ketentuan bahwa Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial. Ini merupakan ketentuan baru yang penting dalam R KUHP saat ini. Dengan mempertimbangkan bahwa pemerintah berkeinginan untuk mengurangi tekanan di rutan dan lapas, namun Pidana penjara masih mendominasi dalam R KUHP, sedangkan hukuman pidana alternatif melemah. Implikasi atas hal ini maka kebijakan pemidanaan R KUHP Akan tetap membebani Pemerintah, yaitu kelebihan penghuni masih akan menghantui Lapas, dan biaya bantuan hukum akan semakin tinggi. Jika melihat peta pemidanaan dalam seperti demikian, maka upaya pengurangan tekanan di rutan dan lapas masih akan mendapat tantangan yang serius.