Tulang Tengkorak Trenggiling memiliki daerah cavum nasi yang luas karena dinaungi oleh tiga
tulang yaitu os frontale, os nasale, dan os praemaxillare. Hal ini diduga berkaitan dengan penciuman trenggiling yang tajam. Penciuman tersebut digunakan pada saat mencari sumber makanan berupa semut atau rayap. Kepala trenggiling berbentuk kerucut memanjang sehingga lebih memudahkannya untuk menerobos masuk ke dalam sarang semut atau rayap. Menurut Feldhamer et al. (1999), kepala yang berbentuk kerucut memanjang merupakan ciri hewan insektivora.
Os occipital trenggiling memiliki permukaan yang luas dan kasar. Tulang ini juga berkembang dengan baik pada anjing dan kucing, tetapi tidak pada kuda dan sapi (Colville & Bassert 2002). Menurut Getty (1975), os occipital merupakan insersio dari otot-otot yang berfungsi sebagai fleksor dan ekstensor kepala dan leher. Hal ini menunjukkan bahwa otot-otot fleksor dan ekstensor kepala dan leher yang berinsersio pada os occipital trenggiling relatif subur. Trenggiling tidak memiliki processus paramastoideus. Processus ini merupakan origo m. digastricus dan m. occipitohyoideus yang berperan dalam proses pengunyahan. Hal ini sesuai dengan perilaku makan trenggiling yang tidak melakukan proses pengolahan makanan secara mekanis di dalam mulutnya. Trenggiling memiliki dua condylus occipitalis. Menurut Kent & Carr (2001), mamalia modern memiliki dua condylus occipitalis, sedangkan pada kelompok tetrapoda awal dan reptil hanya memiliki satu condylus occipitalis.
Pada tengkorak trenggiling tidak didapatkan adanya arcus zygomaticus dan crista facialis. Menurut Getty (1975), arcus zygomaticus dan crista facialis merupakan insersio dari m. masseter. Otot ini mempunyai fungsi menekan os mandibulare ke rahang atas serta membuat gerakan lateral dari os mandibulare (mengunyah). Menurut Kent & Carr (2001), arcus zygomaticus sangat berkembang pada beberapa hewan dan tidak berkembang pada hewan lain tergantung pada aktifitas m. masseter yang bertaut padanya. Arcus zygomaticus dan crista facialis yang tidak berkembang pada trenggiling sesuai dengan pola
30
makan hewan ini yang tidak mengunyah makanan, akan tetapi langsung menelannya. Makanan yang ditelan oleh trenggiling akan dicerna di dalam lambungnya.
Trenggiling memiliki fossa temporalis yang sempit, berbeda dengan karnivora yang memiliki fossa temporalis luas. Fossa ini pada karnivora berfungsi sebagai tempat pertautan otot-otot temporal (Feldhamer et al. 1999). Trenggiling tidak mempunyai gigi karena pada os maxillare, os praemaxillare, dan os mandibulare tidak terdapat limbus alveolaris. Ketiga tulang ini mempunyai bentuk yang sederhana. Os mandibulare trenggiling tidak memilki ramus vertikal, sehingga trenggiling tidak memiliki angulus mandibulare. Bagian dorsoposterior os mandibulare mempunyai facies articularis yang rata dengan os temporale, menyebabkan gerakan membuka lebar dari os mandibulare trenggiling sangat terbatas. Hal ini sangat berbeda dengan kelompok hewan lain seperti karnivora dan herbivora yang memiliki ramus vertikal, sehingga memungkinkan gerakan membuka rahang bawah lebih besar. Walaupun os mandibulare trenggiling berbentuk sederhana tetapi memiliki foramen mandibulare yang relatif besar dan dihubungkan oleh canalis mentalis yang besar. Canalis mentalis dilalui oleh nervus mandibulare. Menurut Dyce et al. (1996) nervus mandibulare berfungsi untuk menginervasi daerah bibir. Hal ini menunjukkan bahwa moncong trenggiling merupakan daerah yang sensitif dan aktif.
Tulang Belakang
Trenggiling memiliki ossa vertebrae cervicalis yang pendek dan secara umum sama dengan ossa vertebrae cervicalis mamalia lain. Menurut Feldhamer et al. (1999) dan Kent & Carr (2001) os vertebrae cervicalis pertama dan kedua, yaitu os atlas dan os axis mengalami banyak perubahan untuk menyediakan banyak pergerakan dengan kepala. Gerakan fleksio os atlas trenggiling tertahan oleh processus spinosus os axis pada tuberculum dorsalis caudalis. Processus spinosus os axis pada trenggiling mirip dengan processus spinosus os axis pada karnivora. Menurut Getty (1975), processus spinosus os axis merupakan origo dari m. rectus capitis dorsalis major yang berfungsi sebagai ekstensor kepala.
Processus transversus pada ossa vertebrae cervicalis trenggiling panjang melekuk ke caudoventral. Hal ini menunjukkan bahwa trenggiling memiliki otot-otot leher yang subur. Os vertebrae cervicalis VII pada trenggiling betina bersendi dengan tulang melekuk mirip os costae. Menurut Kent & Carr (2001), buaya memiliki os cervicalis delapan buah dan semuanya bersendi dengan os costae cervicalis, sehingga gerakan leher buaya kaku. Pada trenggiling diduga processus transversus yang panjang menyebabkan gerakan leher trenggiling kaku. Otot-otot leher trenggiling mendapat dukungan suplai nutrisi oleh arteri vertebralis yang berjalan di sepanjang os vertebrae cervicalis melalui foramen transversarium.
Ossa vertebrae thoracalis dan ossa vertebrae lumbalis trenggiling membentuk satu kesatuan garis lengkung seperti busur. Posisi ossa vertebrae thoracalis dan lumbalis yang melengkung ini sangat mendukung kemampuan trenggiling ketika menggulung badannya. Daerah punggung trenggiling merupakan merupakan lengkung busur yang tertinggi sehingga otot-otot di daerah ini aktif digunakan. Hal ini diduga menyebabkan processus spinosus osa vertebrae thoracalis mempunyai ujung yang tumpul. Processus mammilaris pada ossa vertebrae thoracalis dan lumbalis sangat berkembang. Menurut Getty (1975), pada kuda processus mammilaris merupakan insersio dari m. multifidus dorsi. Otot ini berfungsi sebagai ekstensor punggung dan fleksor punggung ke lateral.
Pada ossa vertebrae cervicalis, thoracalis, dan lumbalis trenggiling, di antara processus spinosus dan processus transversus terdapat daerah lekukan yang jelas terlihat sebagai tempat berlalunya m. longisimus. Menurut Dyce et al. (1996) m. longisimus biasanya berorigo pada os ilium, os sacrum, dan processus mammilaris ossa vertebrae thoracalis dan lumbalis, kemudian berinsersio pada processus transversus ossa vertebrae thoracalis dan lumbalis serta ossa costae. Otot ini berfungsi sebagai fleksor dan ekstensor punggung dan lumbar ke lateral.
Pada ossa vertebrae thoracalis 13-15 dan semua ossa vertebrae lumbalis trenggiling memiliki hubungan persendian antara processus accessorius dengan processus articularis cranialis yang unik, karena saling bertautan satu dengan yang lain. Processus articularis cranialis melekuk ke medial sehingga menahan gerakan fleksio ossa vertebrae thoracalis dan lumbalis pada saat menggulung.
32
Persendian yang saling mengunci antara processus accssorius dan processus articularis cranialis juga ditemukan pada processus ossa vertebrae lumbalis anjing (Dyce at al. 1996). Akan tetapi berbeda dengan anjing, “interlocking articulation” pada trenggiling terbentuk di medial dari processus mammilaris.
Trenggiling memiliki os sacrum yang bersatu dengan os coxae. Hubungan ini sangat kuat dan mencirikan hewan penggali (Pough et al. 2005). Hal ini dapat dimengerti karena pada saat menggali tanah, maka kaki belakang trenggiling berfungsi sebagai penahan utama badan, sehingga diperlukan struktur yang kuat pada daerah panggul. Selain itu, struktur yang kuat pada daerah panggul didukung oleh kecilnya sudut yang dibentuk oleh os ilium dengan ossa vertebrae lumbalis. Mamalia modern biasanya memiliki os sacrale 3-5 buah, berbeda dengan beberapa hewan lain, seperti amfibi (satu os sacrale), reptil, burung, dan tikus tanah (dua os sacrale) (Kent & Carr 2001). Jumlah os sacrale trenggiling tiga buah pada jantan dan empat buah pada betina sehingga trenggiling termasuk mamalia modern.
Trenggiling memanfaatkan ekornya untuk beberapa fungsi yang beragam, seperti pada beberapa monyet yang menggunakan ekornya untuk berpegangan pada dahan pohon dan untuk menahan berat tubuhnya. Menurut Kent & Carr (2001) pada mamalia modern jumlah tulang ekor semakin berkurang dan sangat bervariasi tergantung pada fungsi ekor. Hewan yang tidak menggunakan ekornya sebagai alat gerak utama, maka semakin ke caudal ekor lebih menyerupai bentuk silinder. Processus transversus, processus spinosus, dan processus mammilaris tulang ekor trenggiling sangat berkembang, sehingga otot-otot ekor trenggiling juga sangat berkembang. Di bagain ventral os coccygeae trenggiling terdapat os chevron yang terdapat sampai os coccygeae terakhir. Os chevron adalah tulang yang berada di bagian medioventral tulang ekor dan menjadi tempat berlalunya arteri dan vena caudalis (Kent & Carr 2001). Os chevron pada trenggiling jantan terdapat pada daerah persendian antara os sacrum terakhir dengan os coccygeae pertama, sedangkan pada trenggiling betina terdapat pada bidang ventral persendian antara os coccygae pertama dan kedua. Hal ini menyebabkan ruang pelvis trenggiling betina lebih luas dan bermanfaat untuk mempermudah
kelahiran. Os chevron juga ditemukan pada os coccygeae anjing, buaya, dan ular. Tulang ini mempunyai arah cranioventral. Pada trenggiling os chevron mengalami perubahan bentuk dari os coccygeae cranial ke caudal, yaitu dari bentuk huruf ’Y’ menjadi huruf ’V’. Foramen yang dibentuk os chevron dan ossa coccygeae trenggiling besar, karena selain dilalui oleh arteri dan vena coccygeae medialis juga dilalui oleh otot fleksor ekor. Os chevron trenggiling juga diduga berfungsi menahan fleksio ekor yang kuat pada saat menggulung serta membantu dalam mengembalikan posisi ekor seperti semula.
Tulang Rusuk dan Tulang Dada
Tulang rusuk (ossa costae) trenggiling secara umum sama dengan ossa costae mamalia lain. Os costae berfungsi untuk melindungi organ-organ penting yang ada di dalam rongga dada, sehingga mempunyai sifat lentur dan ringan (Hildebrand & Goslow 2001). Ossa costae trenggiling hanya ada pada ossa vertebrae thoracalis. Pada tetrapoda awal, ossa costae terdapat pada ossa vertebrae cervicalis, thoracalis, lumbalis, dan os coccygeae awal (Kent & Carr 2001). Ossa costae trenggiling dihubungkan dengan os sternum oleh cartilago costae yang cukup panjang sehingga lebih melenturkan konstruksi tulang-tulang dada.
Tulang dada (os sternum) berada di medioventral thorax dan bersendi dengan beberapa ossa costae thoracalis. Tulang ini bersifat lentur. Pada hewan terestrial os sternum tersusun oleh beberapa sternebrae (segmen tulang) dan relatif lebih sempit dari pada os sternum reptil. Os sternum tidak terbentuk atau tereduksi pada tetrapoda yang memiliki kaki depan tidak berkembang (Kent & Carr 2001). Os sternum trenggiling tersusun oleh beberapa segmen tulang dengan processus xiphoideus yang memanjang dan melebar di bagian caudal. Diduga os sternum yang bersegmen ini bermanfaat mempermudah trenggiling ketika menggulung badannya. Menurut Getty (1975) os sternum merupakan origo dari m. pectoralis profundus pars humeralis (posterior) yang berfungsi sebagai aduktor dan retraktor kaki depan. Perkembangan os sternum pada trenggiling menunjukkan otot-otot yang bertaut padanya berfungsi baik. Hal ini dapat dimengerti karena kaki depan trenggiling digunakan untuk beberapa fungsi seperti
34
menggali tanah dan memanjat pohon. Aktifitas tersebut tentu berkaitan dengan aduktor dan retraktor kaki depan. Processus xiphoideus trenggiling besar seperti kepala sendok karena menjadi origo dari otot lidah yang panjang.
Tulang Lidah
Tulang lidah (os hyoideus) trenggiling mempunyai bentuk yang lebih sederhana daripada os hyoideus karnivora. Menurut Colville & Bassert (2002) tulang ini terletak di bagian awal dari lidah, faring, dan laring, serta berfungsi untuk membantu menelan makanan.
SKELET APENDIKULAR TRENGGILING JAWA